Diah menyeret kakinya dan membuka pintu dengan hati-hati, ia sebisa mungkin bergerak pelan agar tidak membangunkan teman sekamarnya terutama Maja karena tidak ingin menyusahkannya lagi. Walaupun kakinya belum sepenuhnya sembuh ia tetap memaksakannya dan berangkat lebih pagi dari kemarin, ia tidak ingin berangkat dengan Rifan lagi, sungguh memalukan!
Diah mengutuk Rifan dalam hati karena membuatnya melakukan hal ini, ia harus bangun lebih pagi dan dia masih sangat mengantuk. Padahal tujuannya pindah ke sekolah ini agar bisa hidup dengan tenang tetapi laki-laki itu tidak akan membiarkannya dan selalu muncul di depannya. Apakah hidup Diah selalu di penuhi hal muram sepertinya? Bahkan di sana juga seperti itu.
"Mau kemana?"
Tubuh Diah membeku dan matanya terbuka lebar saat melihat Rifan berdiri tepat di depannya, tangannya gemetar dengan hebat dan spontan menutup pintu dengan kencang.
Brakkkk
Nafasnya terengah-rengah dan dia bersadar pada pintu tak berdaya, ia menggigit bibirnya dan mengutuk Rifan dalam hati, apakah dia bisa membaca pikirannya hingga datang ke asramanya pada pukul SETENGAH LIMA? Bisakah Diah menjalani hidup dengan tenang sebentar saja?!?!?
Tok Tok Tok
Suara ketukan terdengar dari luar kamarnya dan Diah ragu untuk membukanya.
"Diah buka pintunya!" Suara Rifan terdengar dari balik pintu dengan nada berat.
Diah bergidik ngeri saat mendengar suara Rifan yang sedikit berbeda dari biasanya, sepertinya dia sedang dalam mood yang buruk.
"Jika kau tidak membukanya maka jangan salahkan aku jika akan mendobrak pintu," ancam Rifan tidak sabar.
Diah semakin ketakutan saat mendengar ancaman Rifan, jika dia melakukan hal tersebut maka akan menyebabkan kegaduhan di lantai 5 dan Diah tidak ingin hal itu terjadi.
Dengan tangan gemetar dia berbalik dan membuka pintu dengan perlahan.
Krekkkk
Suara decitan pintu terdengar dan dia bisa melihat Rifan tengah menatapnya dengan tatapan dalam.
"Ingin melarikan diri lagi?" ujar Rifan dengan nada tenang.
Mendengar suaranya yang tenang malah membuat Diah menelan ludahnya dan tidak berani menjawab pertanyaan Rifan, ia hanya bisa menundukan kepalanya.
Rifan masih terlihat tenang namun ekspresi wajahnya tidak bisa di tutupi bahwa ia dalam mood yang buruk karena kejadian semalam. Karena hal tersebut dia tidak bisa tidur lagi dan memilih berkeliaran ke luar sekaligus pergi ke asrama perempuan untuk melihat apakah kucing kecil yang dia jemput akan mematuhi perkataannya.
Dan ternyata dia tidak patuh.
Rifan mendecakkan lidahnya kemudian berlutut di depan Diah, ia tidak mengatakan apapun lagi dan mengisyaratkan Diah agar menaikki punggungnya.
Diah menggigit bibirnya kemudian dengan patuh naik ke punggungnya, melihat ekspresinya tadi membuat Diah takut jika dia akan melampiaskan kemarahan kepadanya.
Rifan bangkit kemudian berjalan melewati koridor lantai lima menuju tangga, ekspresi wajahnya terlihat tenang dan tidak kelelahan saat menggendong Diah. Koridor masih terlihat sepi karena ini masih terlalu pagi untuk murid-murid datang ke sekolah, untung saja Rifan mempercayai firasatnya dan segera datang ke asrama Diah sebelum dia melarikan diri.
Diah bersandar pada punggung Rifan dan menenggelamkan wajah ke lehernya, ia terlalu takut saat melihat ekspresi wajahnya dari samping
Tak lama kemudian mereka akhirnya keluar dari gedung asrama perempuan dan Rifan berjalan ke arah berlawanan dari gedung kelas mereka yang membuat Diah sangat terkejut.
"Kita akan kemana?" tanyanya tepat di sebelah telinganya.
Rifan menahan rasa geli karena Diah bernafas di dekat telinganya yang cukup sensitif. "Sarapan," jawabnya singkat.
"Kenapa kita harus keluar sekolah? Bukankah sudah ada kantin yang menyediakan makanan?" tanya Diah sekali lagi.
"Kantin tidak akan buka pada jam ini, lagipula siapa juga yang ingin buka pagi-pagi buta," ujarnya sambil melirik Diah dan menyindirnya.
Diah tersentak kemudian menenggelamkan wajahnya karena malu melihat tatapan menuduh dari Rifan. "Ini semua salahmu," bisiknya pelan tidak jelas.
Sayangnya Rifan mendengar perkataannya. "Jika kau dengan patuh mendengarkanku maka tidak akan terjadi seperti ini."
Diah mencibirkan bibirnya dan sangat tergoda untuk menggigit leher Rifan lalu mencabik-cabiknya, siapa juga yang bisa patuh mendengar perintah seenaknya?
"Ingin sarapan apa?" tanya Rifan.
"Terserah," sahut Diah acuh.
"Suka roti?"
Diah terdiam sejenak kemudian mengangguk, ia memang menyukai roti terutama rasa strawberry dan coklat, bahkan sering mencuri roti dari toko kakaknya.
"Kalau begitu kita sarapan roti saja." Rifan menyunggingkan senyumnya dan membawa Diah keluar sekolah.
oOo
Mereka akhirnya sampai di toko roti yang buka 24 jam dan tidak terlalu jauh dari sekolah mereka, untung saja masih ada toko di dekat sekolah yang buka di jam ini sehingga mereka tidak perlu mencari toko yang jaraknya sedikit jauh.
Rifan menurunkan Diah karena dia malu jika harus masuk toko dengan di gendong Rifan, ia menyeret kakinya hati-hati untuk mencari tempat duduk dan membiarkan Rifan berjalan menuju kasir untuk memesan makanan. Ia mengeluarkan ponselnya sambil menunggu Rifan selesai memesan.
Ada pesan masuk dan dia melihat bahwa Maja telah mengiriminya pesan, ia meringis kemudian membalas pesannya agar tidak khawatir atas kepergiannya. Sepertinya Maja sudah bangun karena terganggu atas kedatangan Rifan tadi.
"Ini makanlah." Rifan memberikan roti dan segelas susu.
Diah mengambil roti tersebut dan mengabaikan susu yang diberikan Rifan, dia sudah muak meminum susu sejak kecil agar dia tumbuh tinggi, ia telah menyerah dan memilih menerima kenyataan sebenarnya.
"Tidak suka susu?" Rifan menaikkan sebelah alisnya saat Diah mendorong susu ke arahnya.
Diah menggelengkan kepalanya dan melanjutkan makan dengan pipi menggembung.
Mood Rifan berubah menjadi lebih baik setelah melihat Diah dan dia menjadi gemas saat melihat pipinya yang menggembung seperti tupai, ingin sekali dia mencubit pipinya dan merasakan kekenyalan lembut seperti roti di tangannya.
Diah berhenti mengunyah saat merasakan tatapan intens dari Rifan dan dia tidak merasa nyaman. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
Rifan menurunkan tatapannya dan menyunggingkan senyum kecil. "Tidak ada, lanjutkan makanmu."
Diah memicingkan matanya dan menatapnya waspada, apa yang dia pikirkan saat menatapnya tadi?
Mereka makan dengan tenang tanpa ada yang membuka percakapan sama sekali, suasana tenang seperti ini cukup langka dan mereka sangat menikmatinya apalagi desain toko yang mengusung tema vintage membuat mereka teringat suasana zaman dulu. Tidak ada pelanggan lain selain mereka karena ini memang masih pagi dan hanya ada dua pegawai yang tengah bekerja.
Rifan menjilat sudut bibirnya kemudian melihat jam tangannya, ia mengernyitkan dahinya saat menyadari bahwa sekolah masih lama untuk buka, ia berpikir harus melakukan apa untuk menghabiskan waktu hingga sekolah buka.
"Sudah selesai?" tanya Rifan.
Diah mengambil tisu dan mengelap bibirnya kemudian mengangguk. "Sudah."
"Ayo kita pergi," Rifan berlutut di depannya dan menawarkan punggung.
Diah dengan patuh naik ke punggungnya dan melingkarkan lengannya ke leher Rifan.
"Kita akan pergi ke tempat lain dulu." Rifan kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan toko dan semakin menjauh dari sekolah.
Diah tersentak dan menatap Rifan tidak percaya. "Kau ingin membawaku kemana?"
Dengan senyum misterius, Rifan melirik Diah. "Kamu akan tahu."
Diah merasakan firasat buruk saat melihat senyumnya.
-TBC-