Diah membuka matanya dan menghela nafas tidak berdaya saat melihat Rifan telah datang dan sedang bersandar pada samping pintunya. Sepertinya dia sangat bersikukuh untuk mengantarkannya ke kelas selama kakinya sakit walaupun itu bukan karena kesalahannya, Diah hanya bisa meruntukinya dalam hati.
Dia selalu bertanya-tanya hal apa yang menarik dalam dirinya hingga menarik perhatian Rifan, ia merasa tidak ada hal istimewa dalam dirinya. Dia hanya perempuan biasa dengan tubuh pendek dan lebih suka menenggelamkan diri dalam dunianya sendiri, ia takut melihat dunia luar dan selalu berlindung dibawah sayap keluarganya.
Dia tahu bahwa tidak bisa terus-terusan menutup diri seperti itu dan harus memperluas komunikasinya, sekarang dia sedang belajar membuka diri dan memerlukan waktu.
Tapi rencana yang telah dia susun seketika hancur saat dia bertemu dengan Rifan, dia tidak tahu bahwa saat pertama kali mereka bertemu itu sudah menjadi titik balik dalam hidupnya. Ini seperti takdir yang telah merencanakan agar mereka bertemu dan Diah tidak bisa mengelaknya.
"Tidak ingin melarikan diri lagi?" Rifan menaikkan sebelah alisnya saat melihat jam tangannya, dia telah menunggu sejak tadi karena berfikir bahwa Diah akan berangkat lebih awal.
Diah tidak menjawab pertanyaannya dan memilih diam.
"Ayo!" Rifan tidak marah karena telah membuang waktunya untuk menunggu Diah, ia malah berlutut di depannya untuk menawarkan punggung.
Diah dengan pasrah naik ke punggungnya dan bernafas lega saat melihat koridor masih sepi, sebenarnya dia berencana bangun seperti kemarin tapi sayang sekali alarm ponselnya tidak menyala sebab baterainya telah habis. Tapi untung saja masih sedikit murid yang telah bangun untuk pergi ke kelas, jika bukan karena hal ini dia tidak akan berani menaikki punggung Rifan.
Kemarin telah memberinya pelajaran dan dia merasa tidak nyaman jika harus dekat dengan tiran sekolah, tetapi Rifan sangat bersikeras bersamanya dan Diah tidak bisa melawannya sama sekali. Tubuhnya sedikit gemetar jika memikirkan bahwa ia akan menjadi sasaran semua orang seperti saat dia ada disana.
Dia tidak ingin merasakannya lagi.
"Sudah sarapan?" tanya Rifan memecah keheningan.
Diah menggelengkan kepalanya karena dia belum makan dan tidak ada dapur di kamar asrama. "Belum."
"Untunglah kamu belum makan, aku sudah membawakan makanan untukmu."
Diah melirik tas yang dibawa Rifan, dia telah bertanya-tanya dalam hati isi tas tersebut karena dia tidak pernah melihat Rifan membawa tasnya ke sekolah, jadi ternyata itu berisi bekal makanan.
"Kamu yang membuatnya?" tanyanya heran.
Rifan menggelengkan kepalanya. "Tidak, itu dari mbok Nah."
Diah mengingat wanita paruh baya yang dia temui kemarin, kemanapun dia berada pasti banyak orang salah paham dengan umurnya karena tinggi badannya. Sebenarnya dia jengkel mendengar hal seperti itu terus tapi Diah berusaha terbiasa, lagipula ada sedikit keuntungan memiliki tubuh pendek.
"Aku meminta mbok Nah untuk memasak nasi omelet, kamu bisa memakannya di kelas," kata Rifan sambil menuruni tangga.
Diah menganggukkan kepalanya. "Terima kasih."
"Sama-sama." Sudut bibir Rifan tertarik ke atas karena mendapatkan rasa terima kasih dari Diah.
"Apa ada hal lain yang tidak bisa kamu makan?" Rifan ingin memastikan Diah tidak memiliki alergi tertentu.
"Tidak." Diah tidak pernah mengalami gejala alergi saat makan.
"Baguslah kalau begitu," kata Rifan bernafas lega.
Ada keheningan disekitar mereka saat Rifan berjalan, setelah turun dari lantai lima dia lewat pintu samping karena melihat sudah ada orang yang berangkat sekolah. Rifan tahu bahwa Diah merasa tidak nyaman dengan tatapan orang lain saat dia bersamanya, penampilannya kemarin membuat dugaan Rifan semakin kuat dan dia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan hal tersebut..
Sepertinya dia harus mengumumkan kepemilikan Rifan terhadap Diah ke forum sekolah agar orang-orang tidak mengganggunya, dia tidak ingin Diah merasa tidak nyaman saat bersamanya. Ini juga peringatan keras agar tidak ada siapapun yang berani merebutnya, dia tidak keberatan harus mengotori tangannya untuk membereskan mereka.
Rifan mengakui dia memiliki sifat posesif terhadap Diah dan dia tidak bisa mengendalikannya.
Dan dia rasa rencana untuk menghancurkan 'mereka' harus dia percepat karena hanya tinggal hitungan waktu bahwa 'mereka' mengetahui keberadaan Diah. dia tidak bisa menempatkan Diah dalam keadaan bahaya karena itu sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri.
Ia sudah menjadi kelemahan Rifan.
Tak terasa mereka akhirnya sampai di kelas dan Rifan menurunkan Diah dibangkunya, ia berlutut di hadapannya dan melepaskan perban Diah untuk melihat apakah cideranya sudah membaik. "Sebentar lagi akan sembuh." Ia tersenyum kecil saat melihat memarnya semakin memudar.
Diah menunduk untuk melihat pergelangan kakinya semakin membaik dan hanya tinggal memar kecil, "Obatmu sangat berguna." Diah tahu itu berkat obat yang diberikan Rifan.
Rifan mengangguk dan mengeluarkan selep yang dia gunakan kemarin, hanya perlu sedikit lagi maka cidera Diah akan sembuh total. "Tahan sebentar."
Diah mengangguk dan menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit.
Rifan dengan hati-hati mengoleskan selep pada kaki Diah, sesekali dia bisa mendengar rintihannya dan Rifan harus mengeraskan hatinya untuk melakukan hal tersebut. Dia ingin agar Diah segera sembuh.
"Sudah selesai." Rifan bangkit dan duduk disamping Diah, ia tidak memperban cideranya lagi karena itu akan segera sembuh.
"Makanlah!" dia membuka tas dan mengeluarkan bekal makanan.
Diah menerimanya karena dia sudah sangat lapar, semalam dia belum makan karena sibuk menyelesaikan tugas sekolah. Banyak materi yang harus dia pelajari karena kurikulum sekolah ini sedikit berbeda dengan sekolah lamanya, tapi untung saja ada teman asramanya yang bersedia membantunya.
"Ayo makan ini!" Rifan meletakan telur pada kotak makannya. "Ini juga."
"Makan yang banyak agar tumbuh tinggi."
"Tubuhmu sangat kecil dan dengan mudah diterbangkan angin."
"Mbok Nah sudah memasak banyak makanan dan kamu harus menghabiskannya."
"Sayang sekali makanan seenak ini dibuang."
Diah "…."
Diah menatap tumpukan makanan yang telah membentuk gunung kecil di depannya. Dia melemparkan tatapan kesal karena Rifan memasukan banyak makanan dan pastinya ia tidak bisa menghabiskan semua itu.
"Hentikan! Aku tidak bisa menghabiskan semuanya." Diah dengan cepat menghentikan tangan Rifan yang terus memasukan makanan ke kotaknya.
Rifan mengerutkan kening karena merasa itu belum cukup untuk Diah, tubuhnya terlalu kecil dan mengira ia tidak makan banyak saat di rumah. Sekarang Rifan telah menetapkan Diah sebagai miliknya dan dia harus bertanggung jawab untuk membesarkannya. Lagipula dia lebih menyukai tubuh montok saat dipeluk, itu terasa nyaman jika ia bawa tidur.
Diah sedikit bergidik saat merasakan tatapan Rifan, ia tidak mengerti arti dari tatapannya tetapi nalurinya berkata itu bukan hal yang baik.
"Makanlah! Kamu bisa menyisahkannya untuk makan siang nanti," katanya dan terus memasukan makanan.
"Kurasa aku perlu memperhatikan asupan makanmu mulai sekarang," gumannya dengan suara kecil tetapi Diah bisa mendengarnya.
Ia merasa seperti kelinci kecil yang sedang dibesarkan untuk dimakan.
Diah dengan enggan memasukan makanan tersebut ke dalam mulutnya, ia telah menyisihkan beberapa untuk dimakan nanti agar Rifan tidak terus memasukan makanan. Lama-kelamaan dia akan muak jika melihat banyak makanan di depannya.
"Mboh Nah sangat pengertian." Rifan mengeluarkan botol minuman dari tas dan mendorongnya ke arah Diah. "Minumlah!"
Diah mengerutkan keningnya dan memutar minuman tersebut untuk melihatnya, sudut bibirnya berkedut saat menyadari minuman apa itu.
Sialan Diah sudah muak minum susu.
oOo
Bel masuk telah berbunyi dan para murid berbondong-bondong memasuki kelas karena pelajaran akan segera dimulai. Hal itu juga terjadi pada kelas 11 IPA 2, sudah banyak murid telah menempati kursi mereka sambil sesekali menoleh ke belakang untuk melihat Rifan dan Diah. Mereka seperti harta eksotis yang langka membuat semua orang penasaran, apalagi sudah beredar kabar bahwa Rifan mendekati Diah dan hampir semua penghuni sekolah mengetahui hal tersebut.
Rifan memiringkan tubuhnya dan menatap Diah tengah sibuk menyali catatan dari Maja. Ia sangat suka melihat tulisan tangannya yang sangat indah seperti pemiliknya yang membuat hati Rifan tergelitik. Ia benar-benar ingin memeluk Diah dan memainkan jari letiknya, itu adalah bagian yang paling dia suka dari tubuh Diah.
Rifan mengerutkan dahinya saat merasakan tatapan yang diarahkan kepadanya semakin kuat, ia menoleh dan memberikan tatapan peringatan kepada mereka. Kepalanya menunduk dan mengeluarkan ponsel untuk menuliskan sesuatu yang akan dia post ke forum sekolah. Setelah selesai dia mengangkat ponselnya dan menunjukan kepada mereka agar melihat postingannya.
"Ada apa?" tanya Diah.
Rifan menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil. "Tulisanmu cantik."
Diah memutar matanya dan melanjutkan kegiatannya yang tertunda, lebih baik dia menyibukkan diri daripada melihat senyum Rifan yang membuatnya takut.
Rifan menyeringai saat melihat postingannya telah direspon banyak orang, dengan ini maka tidak ada yang akan mengganggu Diah.
Oh ya dia belum sempat memberitahukan keberadaan forum ini kepada Diah dan dia tidak berniat memberitahukannya sama sekali.
Biarkan ini menjadi rahasia kecil~~~
-TBC-
[Teater Mini]
Sub Forum : SMA Bunga Bangsa
Pengirim : @anonymous
Topik : MILIKKU!!!
Jangan ganggu Diah, dia adalah milikku!
Nb : Jangan beritahukan keberadaan forum ini kepadanya
Komentar :
@toohandsome sialan sekarang lo udah menyatakan kedaulatan penuh, emangnya dia mau sama lo Fan?
@anonymous bacot lu!
@LeaderToFeature akhirnya lo gerak cepat
@pejalankaki tenang saja Fan kami gak akan ganggu dia kok
@mianmian Kak Rifan akhirnya jatuh cinta~~~
@Superman akhirnya batu keras ini melunak juga
@Batman jika ada yang berani memisahkan kalian kami akan menghajarnya!
@Bungakecil kami mendukung kalian!
@mawarhitam kami mendukung kalian +2
@mangayee kami mendukung kalian +3
@R1se kami mendukung kalian +4
@vicenzo kami mendukung kalian +99999999
@anonymous Goodjob!