"Kita sudah sampai."
Diah mendongakkan kepalanya dan melihat rumah berlantai dua di depan matanya, rumah itu bercat putih gading yang terlihat simple dan minimalis. Ada sebuah pohon besar yang ditanam dekat kolam dan daun berguguran karena diterpa angin. Kolam yang berukuran sedang dengan air mancur berbentuk guci tumpah terlihat cocok menghiasinya. Ikan-ikan berenang dalam kolam yang terlihat jernih dan jelas sekali sering dibersihkan.
Tak jauh dari kolam terdapat beberapa tanaman dan bunga yang ditata dengan rapi hingga terlihat nyaman jika dipandang. Bahkan ada semak-semak yang menumbuhkan bunga mawar yang terlihat indah dan membuat siapapun ingin menghampirinya untuk sekedar menyentuh atau mengabadikannya dalam foto.
Tak ketinggalan juga ada gazebo yang bisa digunakan untuk bersantai dan menikmati pemandangan, batu-batu alam tertata rapi sebagai jalan sehingga tidak akan menginjak rumput dibawahnya. Siapapun yang merancang rumah seperti ini membuat Diah ingin menemuinya, sebab rumah ini sangat dekat dengan rumah impiannya.
Diah berdecak kagum dan tidak menyadari tatapan Rifan. "Kau menyukainya?" tanyanya dengan senyum kecil kemudian membuka pintu gerbang.
Diah mengangguk dan menatap ke arah taman kecil sekali lagi. "Siapa yang merancang taman ini?"
"Ibukku," jawab Rifan singkat.
"Apakah ibumu seorang desainer? Dia sangat baik dalam merancang rumah dan taman," kata Diah memuji. "Aku menyukai tata letaknya, tidak ada kesan mewah dan glamour walaupun memiliki halaman luas dan berlantai dua, aku menyukai rumah seperti ini."
Rifan menyugingkan senyumnya setelah mendengar perkataan Diah."Syukurlah kau menyukainya jadi kita tidak perlu membuat rumah lain," ucap Rifan dengan pelan kemudian menurunkan Diah.
"Apa yang baru saja kamu katakan?" Diah tidak dapat mendengar perkataannya dengan jelas karena terlalu fokus dengan taman.
"Tidak ada." Rifan tersenyum kemudian membuka pintu dengan kunci. "Ayo masuk!" Dia segera memeluk pinggang Diah dan membawanya masuk tanpa persetujuan.
Diah dengan pasrah membiarkan Rifan membawanya, lagipula dia tidak bisa melawannya dan hanya akan membuang tenaga.
"Apakah keluargamu di rumah?" Diah merasa malu jika harus bertamu ke rumah orang lain di jam seperti ini apalagi ini rumah Rifan.
Tanpa disadari Diah ekspresi Rifan berubah ganas dan penuh kebencian namun dia segera mengendalikan dirinya. "Aku tinggal sendiri," katanya sambil menggertakan gigi.
Diah tidak menyadari perubahan emosi Rifan dan malah fokus dengan desain interior rumahnya. "Dalamnya lebih bagus daripada luar," ucapnya tanpa sadar dan mengabaikan Rifan.
Rifan mendudukan Diah ke sofa dan pergi untuk mengambil kotak P3K, dia berniat mengganti perban Diah dan melihat apakah lukanya sudah membaik. Ia memiliki selep yang cukup ampuh menyembuhkan memar walaupun akan terasa sakit jika digunakan.
Ia tidak sering tinggal di sini karena harus tinggal di asrama, ia meninggalkan rumah ini untuk di jaga oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak lama. Ia mempercayai asisten rumah tangga tersebut karena sudah bekerja di rumah ini sejak dia belum lahir dan masih setia. Jadi dia bisa dengan tenang menjalani sekolahnya sekaligus bisnis yang dia rintis dari balik layar.
"Eh Rifan kamu pulang ya?"
Tiba-tiba terdengar suara wanita paruh baya dari belakang tubuhnya dan Rifan segera menyapanya. "Mbok Nah selamat pagi," sapanya dengan sopan.
"Lagi libur sekolah ya?" Wanita paruh baya itu meletakan gunting rumput di atas meja. "Sudah sarapan? Mau mbok Nah buatkan makanan?"
Mbok Nah adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan keluarga ibunya sejak dulu, setelah Rifan kembali ke kota ini mbok Nah langsung menghampirinya dan beliau bersedia bekerja untuk menjaga rumah ini, ia tidak keberatan jika gajinya lebih kecil daripada dulu karena dia sudah memiliki suami yang memenuhi kebutuhan utamanya.
Tetapi kenangan dalam rumah ini sangat melekat erat di benaknya dan dia tidak bisa melupakannya, sehingga saat dia melihat gerbang rumah ini terbuka sekali lagi dia langsung masuk dan melihat Rifan yang berdiri sendirian di depan pintu dengan kopernya. Hati keibuannya tersenggol dan dia bersedia membantu Rifan menjaga rumah ini, lagipula keluarga ibunya telah banyak membantunya di masa lalu dan dia harus membayar budi sekarang.
Rifan menggelengkan kepalanya dan menutup kotak P3K setelah memastikan isinya lengkap. "Tidak perlu mbok Nah, aku sudah makan tadi, setelah ini aku harus kembali ke sekolah."
"Yah sayang sekali, padahal aku sudah membeli udang dari pasar." Mbok Nah menghela nafas, Rifan sangat menyukai olahan masakan dari udang terutama udang goreng krispi.
"Sabtu dan minggu aku akan berada di rumah, mbok Nah bisa memasak udang." Rifan tersenyum saat mengingat masakan mbok Nah yang memiliki rasa cukup mirip dengan masakan ibunya.
"Baiklah aku akan memasaknya," ujar mbok Nah senang karena Rifan jarang kembali ke rumah ini sejak dia masuk SMA.
Rifan mengangguk kemudian mengucapkan perpisahan pada mbok Nah, Diah sudah menunggu di ruang tamu dan dia harus mengganti perbannya.
oOo
Diah masih asyik menatap desain rumah hingga tidak menyadari kepergian Rifan, ia beranjak dari sofa dan berjalan mendekati tembok ukiran kayu yang terlihat artistik dan elegan sehingga ia ingin menyentuhnya. Ia berdecak kagum sekali lagi saat merasakan tekstur halus di tangannya dan tidak merasakan debu sama sekali, sepertinya rumah ini sangat rutin dibersihkan.
Diah tidak tinggal diam, ia segera bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk mengagumi rumah hingga melupakan rasa sakit di kakinya. Rasa kagumnya lebih besar dari rasa sakit dan dia tidak bisa menahan diri untuk menyentuh segala hal di rumah ini yang sangat mirip dengan rumah impiannya. Sepertinya dia harus bekerja keras untuk mendapatkan rumah seperti ini.
Rifan mengerutkan dahinya saat tidak melihat Diah di sofa, dia mengedarkan pandangannya dan tatapannya jatuh pada tirai yang menyembunyikan tubuh mungil yang tengah asnyik menatap keluar jendela. Ia berdecak kesal kemudian berjalan mendekati Diah, sepertinya kucing kecil itu benar-benar tidak bisa tenang sebentar saja.
"Ahhh…" Diah hampir saja jatuh dari jendela tetapi ada tangan kuat yang memeluk pinggangnya, ia menoleh ke samping dan melihat Rifan tengah menatapnya sambil mengerutkan dahinya.
"Tidak bisa patuh," cibir Rifan.
Diah menggigit bibirnya kemudian menegakkan tubuhnya, ia seperti anak kecil yang melakukan kesalahan dan menatap lantai sambil memainkan jarinya.
Rifan menghela nafas kemudian menjemput Diah seperti anak kecil dan mendudukannya di atas sofa, ia berlutut di depannya kemudian melepaskan perban dengan perlahan.
Diah menatap Rifan yang tengah mengganti perban dengan wajah memerah saat melihat memarnya bertambah parah walaupun ia tidak merasa sakit, tetapi saat Rifan menyentuh memarnya dengan kuat dia langsung menjerit dan memberikan tatapan tajam kepadanya.
"Sialan sakit!" umpatnya marah.
"Oh sudah belajar mengumpat?" Rifan tidak memperdulikan respon Diah dan mengoleskan selep pada memarnya. "Tahan saja."
Diah menggigit bibirnya dengan kuat dan menahan erangan rasa sakit saat selep tersebut di terapkan pada memarnya, awalnya terasa dingin dan sejuk tetapi tiba-tiba ada rasa mencekit pada kulitnya seperti digerogoti ribuan semut. Ia hanya bisa menggigit tangannya untuk merendam rasa sakit.
"Tahan sebentar, selep ini mungkin menyakitkan tetapi kamu akan sembuh dengan cepat." Rifan tidak menatap Diah dan terus mengoleskan selep pada memarnya, ia tahu Diah sedang kesakitan tetapi dia harus melakukannya agar dia cepat sembuh.
Mbok Nah keluar dari halaman belakang saat mendengar suara teriakan, ia hampir berlari ke ruang tengah dan tersentak kaget saat melihat Rifan tengah berlutut di depan seorang perempuan sambil menyentuh kakinya. Ia menahan suara yang ingin keluar dan tidak berniat mengejutkan mereka, ia kembali masuk ke dapur dengan tenang dan memberikan tatapan curiga ke arah mereka.
Ini adalah pertama kali Rifan membawa orang lain ke rumah ini, apakah perempuan itu adalah pacarnya?
-TBC-