Sesudah mengantar Ferry pulang, Raya dan Seny pun masuk ke dalam rumah. Seny meminta Raya untuk berganti pakaian, bersih-bersih dan makan siang. Dengan senang hati, Raya pun menuruti perintah mamanya dan meminta ijin untuk naik ke lantai dua menuju kamarnya.
"Raya ke kamar dulu ya Ma," pamit Raya.
"Iya Sayang, jangan lama-lama ya. Mama tunggu di meja makan sambil Mama siapkan makan siang untuk kamu," kata Seny.
"Siap Ma! Terima kasih ya Ma." kata Raya sambil memeluk mamanya.
Raya masih saja tersenyum entah karena apa. Yang dia rasakan saat ini hanyalah rasa senang. Dia meletakkan tasnya di atas meja belajar kemudian berlalu ke kamar mandi untuk melakukan aktifitasnya.
Ferry telah sampai di depan rumahnya. Bu Sita yang tak lain adalah ibunya Ferry sejak tadi menunggu dirinya yang tak kunjung pulang langsung bertanya mengapa Ferry pulang terlambat hari ini. Dengan senyum seperti biasa, dia pun menceritakan pada ibunya bahwa dia habis mengantar Raya pulang.
"Kamu habis dari mana Fer, kok jam segini baru sampai rumah?" tanya Bu Sita.
"Iya Bu, maaf ya Ferry pulang telat. Ferry habis anter teman Ferry yang baru pindah ke Jakarta," jelas Ferry.
"Temana baru? Maksud kamu ada anak baru di sekolah kamu? Rumahnya dimana Fer?" tanya ibunya penasaran.
"Iya Bu ada teman baru di sekolah Ferry. Dia satu kelas juga sama Ferry dan Reva," ucap Ferry menjelaskan.
Ibunya tersenyum mendengar penjelasan dari Ferry. Dia pun meminta Ferry untuk berganti pakaian kemudian makan siang bersama dirinya.
"Ya sudah kalau begitu kamu ganti baju dulu habis itu kita makan siang ya," perintah ibunya.
"Baik Bu, Ferry ke kamar dulu ya," ucap Ferry seraya berjalan menuju kamarnya.
Sambil menunggu Ferry, Bu Sita sibuk mempersiapkan makan siang untuk mereka berdua. Tak lama kemudian Ferry keluar dari kamarnya dan langsung menyusul ibunya di meja makan.
"Wah kayaknya enak nih Bu," puji Ferry.
"Ah kamu ini, orang cuma masakan kampung kok dibilang enak," ucap ibunya.
"Beneran Bu, mau ibu masak apapun itu udah pasti enak kok," sambung Ferry sambil mengunyah makanan di mulutnya.
Bu Sita pun tertawa mendengar celoteh putra bungsunya yang menemaninya ketika suaminya meninggal dunia. Sedangkan Raisa kakak perempuan Ferry ikut dengan suaminya tinggal di pulai Bali.
Sambil menikmati makan siang, Bu Sita mulai bertanya soal Raya, karena tadi dia belum sempat bertanya banyak pada Ferry. Sebagai seorang ibu dia hanya ingin tau dengan siapa saja anaknya itu bergaul.
"Fer, teman baru kamu yang tadi kamu antar itu rumahnya di mana?" tanya Bu Sita memulai percakapan.
"Oh Raya maksudnya Bu? Dia tinggal di Mutiara Residence Bu," jawab Ferry sambil menambahkan tumis kangkung ke dalam piringnya.
"Mutiara Residence?" ulang Bu Sita sambil mengingat-ingat letak perumahan mewah itu.
Bu Sita tau Mutiara Residence itu adalah perumahan kalangan menengah ke atas Bisa-bisanya Ferry berteman dengan orang yang jelas berbeda kasta dengan mereka Kehidupan keluarga Ferry bukannya sebagai orang yang tidak mampu. Hanya saja derajat mereka jauh dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di perumahan itu seperti Raya.
"Kamu dekat dengan Raya?" tanya ibunya dengan nada sedikit khawatir.
"Maksudnya bagaimana Bu?" tanya Ferry bingung.
"Ya ibu hanya mengingatkan kamu saja Fer, orang-orang yang tinggal di Mutiara Residence bukanlah orang yang sederajat dengan kita, ibu hanya tidak ingin kamu salah langkah," terang ibunya.
Ferry tak menjawab omongan Bu Sita karena dia tidak mengerti mengapa ibunya bisa berbicara seperyi itu. Padahal hubungannya dengan Raya hanya sebatas teman biasa sama halnya seperti dia berteman dengan Reva dan teman-teman wanita lainnya. Dia mengantar Raya pulang karena dia ingin tau di mana rumahnya, tidak lebih.
"Fer, selesai makan kamu bisa antar ibu ke swalayan? Ibu mau beli bahan-bahan kue, karena ibu ada pesanan," kata Bu Sita memecahkan lamunan Ferry.
"Oh, iya Bu bisa. Ini Ferry sudah selesai makannya, Ferry bereskan dulu ya biar ibu bisa ganti baju," kata Ferry.
"Ya sudah kalau begitu, Ibu ganti baju dulu ya," kata Bu Sita meninggalkan meja makan.
Setelah makan siang Raya kembali ke kamarnya, memutar lagu dari ponsel kesayangannya. Dia menyandarkan tubuhnya di atas ranjang. Dirinya tak henti-henti tersenyum entah apa sebabnya. Yang dia rasakan hanyalah bahagia. Apa mungkin bahagia yang Raya rasakan karena dia diantar pulang oleh Ferry?
Memikirkan Ferry membuatnya teringat akan teman sekelasnya itu dan membuat dirinya ingin menghubungi laki-laki itu. Dia ingin mengucapkan terima kasih lagi kepada Ferry. Maka dengan hati yang masih berbunga dia mulai mengetik pesan untuk Ferry.
"Fer, lagi apa? Aku ganggu gak?" ketik Raya.
Cukup lama Raya menunggu balasan dari Ferry. Karena dia sedang sibuk membereskan bekas makan siang bersama ibunya dia jadi belum bisa melihat pesan masuk dari Raya. Ketika dia telah selesai membereskan piring dia segera kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket dan ponselnya sementara Bu Sita sudah siap dan menunggu putranya di teras.
"Sebentar ya Bu, Ferry ambil jaket dan handphone dulu," pamit Ferry.
"Iya. Ibu tunggu di teras ya," ucap Bu Sita.
Ferry pun melenggang ke kamarnya. Begitu dia meraih benda pipih berwarna navy tersebut matanya langsung tertuju pada tulisan yang memberitau bahwa ada sebuah pesan masuk untuknya. Begitu dia membukanya senyum di wajahnya langsung terukir tanpa diminta.
"Raya? Ada apa ya dia kirim pesan?" ungkap Ferry sambil membuka pesan tersebut.
Senyum Ferry seketika merekah saat dia membaca isi pesan tersebut Rupanya Raya hanya menanyakan tentang kegiatan Ferry sore ini. Dengan penuh semangat dia pun membalas pesan Raya tersebut.
"Aku lagi mau antar ibu ke swalayan Ray, kamu sendiri lagi apa?" tanya Ferry balik.
Ketika dia hendak duduk di kasur untuk menunggu balasan dari Raya tiba-tiba terdengar suara teriakan ibunya yang memanggil namanya. Ferry lupa bahwa ibunya sedang menunggu dirinya di luar.
"Fer! Sudah belum?" teriak Bu Sita.
"Astagfirullah! Iya Bu sebentar," sahut Ferry sambil meletakkan ponselnya di saku celananya.
Dia akan melanjutkan chatttingannya ketika dia sudah sampai di swalayan. Dengan buru-buru Ferry pun menghampiri ibunya dan mengajak Bu Sita untuk segera berangkat.
"Yuk Bu," ajak Ferry.
Mereka pun berjalan menuju swalayan dan ketika tiba di sana Ferry meminta ibunya untuk masuk lebih dulu ke dalam sedangkan dia pergi ke parkiran. Selesai dia memarkirkan sepeda motornya dia langsung menelepon Raya demi mengobrol dengan gadis itu. Karena sebelumnya Ferry membalas dirinya akan pergi mengantar ibunya ke swalayan maka Raya tidak membalas pesannya lagi.
Dada Ferry sungguh berdebar padahal dia hanya ingin menelepon Raya, beberapa detik dia menunggu akhirnya gadis itu menjawab teleponnya.
"Halo Ray, aku ganggu gak?" tanya Ferry begitu Raya menjawab panggilannya.
"Oh gak kok Fer. Katanya kamu mau anter ibu kamu ke swalayan, udah selesai?" tanya Raya.
"Iya ini baru sampai di swalayan, tapi aku tunggu di luar, karena mau telepon kamu dulu," ucap Ferry jujur.
"Hahaha. Ya ampu Fer, masa sampe begitu sih kamu. Nanti ibu kamu marah loh," kata Raya.
Ferry ikut tertawa mendengar gadis di seberang sana tertawa riang. Mereka berdua sama-sama merasa senang saat itu hingga tak tau apa yang sedang mereka tertawakan. Di sela-sela tawa mereka tersebut tiba-tiba Raya mengucakan terima kasih kembali pada Ferry.
"Fer!" panggil Raya di sela-sela tawa mereka.
"Ya Ray. Ada apa?" seketika Ferry melemahkan suara tawanya.
"Terima kasih ya," ucapnya lirih.
"Terima kasih buat apa Ray?" tanya Ferry heran.
Raya tersenyum membayangkan kejadian tadi siang dimana dia bisa berboncengan dengan Ferry saat laki-laki itu mengantarnya ke rumah. Sementara Ferry masih menempelkan ponsel di telinganya menunggu jawaban dari Raya. Tapi gadis itu tak kunjung menjawabnya, karena sudah tidak sabar maka Ferry memanggil Raya supaya dia segera menjawab pertanyaan Ferry tadi.
"Ray! Terima kasih untuk apa?" ulang Ferry.
"Ya terima kasih karena tadi kamu udah nganterin aku pulang," jawab Raya.
"Oh ... ya ampun Ray, kamu gak perlu ngucapin terima kasih terus, kamu kan udah aku anggap teman aku jadi wajar kan?" ucap Ferry.
"Jadi kamu cuma anggap aku teman aja nih? Kamu gak mau anggap aku lebih dari seorang teman?" goda Raya.
Seketika Ferry bingung dengan ucapan Raya tadi, dia pun menanyakan apa maksud ucapannya itu.
"Makasudnya Ray?" tanya Ferry.
Bukannya menjawab pertanyaan Ferry, Raya justru terdengar sendang terkekeh di seberang sana.