2 tahun kemudian berlalu sejak, kedua kakak adik yang saling menyangi satu sama lain itu bertengkar dan berbaikkan lagi.
Hari ini Agres Mahesa sedang bermain golf bersama dengan Angga caddynya.
"Tee shot!!" teriak Angga melihat pukulan kakaknya itu.
"Ya, terserah yang penting masuk," jawab Agres Angkuh.
"Ih kakak, mengenali jenis pukulan pada golf itu penting tahu..." sahut Angga cemberut.
"Ya.. ya, kamu benar! Selalu benar..." ucap Agres mengusap lembut kepala adik kecilnya itu.
Saat, Agres hendak memukul bola lagi. Dia mendengar ponsel adiknya berdering. Angga hendak mengangkat ponsel itu. Namun, Agres merebut ponsel itu saat melihat nama yang tercantum di kontak itu.
"Hoi kakak..." rajuk Angga pada kakaknya.
"Diam, Angga Mahesa.." pinta sang kakak lembut.
"Huh.. curang pake nama lengkap," ejek Angga cemberut.
"Hoi wanita sialan, siapa yang mengijinkanmu menghubungi adikku!" pekik Agre kesal di telepon.
"Mana adikmu?" tanya seorang wanita dalam telepon.
"Tak, ku izinkan dia berbicara padamu," jawab Agres tegas.
"Hm... Agres semakin kamu keras padaku. Semakin aku keras padanya..." Ancam perempuan itu.
"Dasar wanita rendahan, selama Agres Mahesa masih hidup. Adikku, akan kulindungi darimu dan setiap perbuatanmu itu. Akan ada balasannya. Yang harus kamu lakukan, hanyalah menunggu dengan ketar-ketir bahkan di saat aku sudah mati. Aku tetap akan membalasmu...." Ancam Agres lalu mematikan ponselnya.
"Kakak kejam sekali," protes Angga.
"Dia itu cuman penganggu, kita harus keras untuk menghadapinya..." belas Agres.
"Padahal kakak bisa bersikap baik, pada mama
sekali saja..." rayu adik kecilnya itu.
"Tidak," jawab Agres singkat.
"Kenapa padahal tidak ada salahnya kan jika, kaka..."
"Kamu tidak pernah melihat mama makanya bisa bicara seenaknya seperti itu Angga!" pekik Agres kesal.
Mendengar perkataan kakaknya itu Angga pun terdiam dan menundukkan kepalanya. Agres yang melihat reaksi adiknya langsung tersadar dengan perbuatannya.
"Maafkan aku, maafkan aku Angga..." ucap Agres meminta maaf.
"Kalau aku tahu mama akan pergi karena aku ada. Aku juga tidak mau dilahirkan!!" pekik Angga lalu lari.
"Angga!!" Agres memanggil Angga namun, Angga tidak menjawabnya dan tetap berlari.
Agres berlari mengejar Angga, dia mencari Adiknya ke seluruh lapangan golf namun, tetap tida menemukannya adik kecilnya itu.
"Angga!! Kakak minta maaf, kaka tidak bermaksud begitu. Kakak hanya benci sama peremluan sialan itu. Dia melukai kakak, dia menggantikan mama. Dan... dan papa melakukannya tanpa membicarakannya dengan kakak...." ujar Agres tetap mencari Adiknya.
"Saat itu malam hari, kamu sudah tidur saat itu! Papa datang dengan menggandeng seorang wanita lain bersama. Dan pria tua sialan itu langsung mengatakan jika dia mamaku yang baru. Aku tidak bisa terima itu Angga. Kakak tidak bisa...." tangis Agres putus asa.
"Lauria Lorent, satu-satunya wanita yang kukenal sebagai ibuku. Dan ketika dia muncul aku sangat kesal dan kakak terluka Angga, tapi tidak mungkin kakak mengatakan itu pada kamu. Kamu masih kecil tidak mungkin kakak mengatakan banyak hal pada kamu saar itu. Dan setiap mendengar kamu memanggil dia mama dan meminta kakak bersikap baik pada wanita sialan itu. Kakak jadi kesal, dan mengatakan hal buruk padamu..." lirihnya menangis.
"Sesakit apakah?" ucap sebuah suara yang tidak di telinga pemuda itu. Adik kecilnya Angga Mahesa menghampirinya dari balik pohon.
"Angga!!" Agres menghampiri Angga dengan gembira dan memeluk adik kecilnya itu.
"Angga, kakak minta maaf.." ucap Agres meminta maaf, mengusap wajah adik kecilnya itu.
"Kakak selalu begitu minta maaf, minta maaf. Suatu hari kakak tidak akan bisa mengucapkan maaf untuk merubah suatu masalah..." ucap Angga dingin.
"Haha.. masalah akan datang mungkin kakak tidak bisa merubahnya, tapi kakak akan selalu memilikimu untuk mengatasinya bersama!" ucap agres yakin.
"Aku 13 tahun," jawab Angga dingin.
"Tolong maafkan aku, Angga aku sangat.."
"Ya, tak masalah. Aku tidak pernah melihat
mama, makanya aku tidak mengerti.." sela Angga.
"Lihatlah wajahku dan bayangkan kalau aku perempuan. Kata orang-orang aku sangat persis dengan mama..." hibur Agres pada adik kecilnya itu.
"Itu artinya mama sangat cantik ya.." puji Angga.
"Iya," jawab Agres tersenyum.
Kedua kakak adik pun itu kembali berdamai, dan bermain golf bersama. Angga sangat senang memperhatikan Agres saat bermain golf. Karena melihat kakaknya memukul bola membuat kakanya terlihat keren.
"Kak Agres," panggil Angga lembut
"Ya," jawab pemudan itu lembut.
"Kakak, kenapa kakak suka bermain golf?" tanya Angga pernasaran.
"Bola ini adalah amarah dan kebencianku, pada semua hal. Dan tongkat ini adalah pengekspresian dari rasa kesalku. Saat aku membuat bola kecil sial ini masuk lubang, Aku sangat senang rasanya seperti rasa kesal itu sudah lenyap!" jawab Agres tersenyum.
"Boleh aku coba!" pinta Angga dengan puppy eyesnya.
"Kamu tahu kakak tidak bisa menolak permintaan dari mata itukan, kemari ambil tongkat ini!' perintah kakaknya.
Angga mulai mengambil tongkat kakaknya dan mulai memukul bola tapi tidak ada satu pun yang masuk. Namun, Angga tidak menyerah dan terus mencobanya dari hingga matahari hampir terbenam.
"Masih belum puas?" tanya Agres melirik adiknya yang mulai kelelahan memukul bola.
"Belum!! Aku akan pergi sampai bolanya bisa masuk.." tolak Angga menunjuk ke arah bola itu.
"Tapi tempat ini tutup sebentar lagi loh!" rayu Agres.
Mendengar kata-kata kakaknya Angga pun mulai merajuk. Sedangkan si kakak hanya tertawa lepas, melihat adikknya yang terus merengek itu.
"Kakak!!" tangis Angga.
"Baik-baik, kamu ingin tahu kenapa kamu gagal..." ujar Agres
"Kenapa?" tanya Angga.
"Tongkat yang kamu gunakan itu di desain untuk digunakan oleh orang bertangan kanan. Dan kamu menggunakannya dengan tangan kiri, tentu saja kamu gagal. Arahnya salah," ungkap Agres.
"Aku kan kidal!" jawab Angga membela diri.
"Kakak tahu, itu sebabnya pakai yang ini! Ini tongkat mama. Mama itu kidal, dan dia sangat suka bermain golf seperti kakak. Sekarang tongkat ini milikmu. Jangan beri tahu pria menyebalkan itu..." Agres memberikan tongkat ibu mereka pada Adiknya.
Angga memandangi tongkat golf itu, berwarna hitam dengan garis-garis putih dengan ukiran nama Lauria Lorent di gagang tongkat.
"Keren, ku pikir warnanya akan berwarna pink. Karena mama seorang perempuan..." puji Angga.
"Ah... mama itu tomboy, keras kepala, dan sangat cerdas. Kalau tertawa, tawanya sangat manis. Orang-orang bilang aku memang mirip dengannya, tapi sifatnya tidak menurun padaku..." cerita Agres.
"Kalau aku apakah mirip mama?" tanya Angga menunjuk ke arah dirinya.
"Tidak, tapi ku harap jangan mirip papa ya, yang gila cinta dan sinting..." jawab Agres.
"Iya kakak, " Angga mengangguk-angguk.
Angga mulai memukul bola dan benar seperti yang dikatakan Agres. Masalah kegagalan Angga adalah tongkatnya, bukan keahliannya.
"Tee shot!!" teriak Agres.
"Yes!! Aku bisa.." Angga tersenyum girang.
Melihat wajah adiknya yang gembira Agres menjadi murung. Dia sangat takut untuk pulang ke rumah yang akan membuat wajah gembira itu menjadi pudar.
"Angga," panggil Agres lembut.
"Iya," jawab Angga, yang bingung melihat wajah murung kakaknya.
"Bersediakah kamu, kabur dari rumah bersama kakak!!" ajak Agres memegang kedua pundak adik kecilnya itu.
"Mari kita bersenang Angga, lupakan sebentar saja masalah kita di rumah," ucap Agres.
"Hingga ke neraka pun, aku akan ikut yang penting bersama dengan kakak!" sahut Angga.
Dan Agres pun tersenyum kecil mendengar pernyataan adik kecilnya itu. Mereka telah memutuskan untuk melarikan diri bersama.
Tapi, ternyata justru rencana mereka untuk hidup bersama adalah hal yang membuat mereka berpisah untuk waktu yang lama.