Pagi barulah bermula. Sepagi itu pula benakku telah bersuka. Ada Dika di sampingku, menggenggam erat jemari tanganku. Langkah kedua kaki ini terasa begitu ringan. Pasrah, aku menurut saja kemana Dika akan membawa kedua kakiku melangkah.
Sepagi itu pula, jalanan sepanjang Surya Kencana telah disibukkan oleh lalu-lalang angkot serta bemo yang suaranya memekakkan telinga. Seolah tak peduli, semua yang kulihat menjadi begitu indah adanya.
"Selagi menunggu toko rotinya buka, kita sarapan dulu aja yuk?" ajak Dika sambil tersenyum.
"Yuk..." jawabku riang.
"Soto Bogor mau?" ajaknya lagi.
"Mau!!!" jawabku spontan.
"Nyebur ke empang yuk?" lanjutnya.
"Ayuuuk..." spontanku juga.
"Hahaha... kena kau..." Dika tertawa lepas.
"Biarin… asal nyeburnya bareng Dika!"
"Hihihi… emang Sherly pernah makan Soto Bogor?" kali ini Dika memprotes.
"Belum!" jawabku ringan sambil menebar senyum.
Sampai kuah soto panas dalam mangkokku habis sekalipun, rasanya enggan untuk segera beranjak. Rasa-rasanya masih enggan untuk berhenti memandang dan menyimak cerita demi cerita dari lelaki yang penuh keajaiban yang duduk di sampingku saat ini.
Tuturan ceritanya tentang jalanan sepanjang Surya Kencana mengalir begitu saja, seolah Dika tahu segalanya, tak ada habisnya. Saat itu, baru kusadari pula, bahwa selalu ada cerita, saat bersama Dika.
"Dik, abis ini kita mau kemana?"
"Pulang!"
"Yaaa… kenapa pulang sih? Sherly masih ingin berduaan… bersama Dika!"
"Hehe... iya… iya… tapi beli oleh-oleh dulu ya? Sebentar lagi toko rotinya buka tuh. Tar Tasya dibeliin Roti Unyil. Tolong sampaikan terima kasihku buat info ultahnya. Trus Mang Ujang kita belikan talas. Hobi banget tuh ama talas Bogor. Bilang makasih juga, udah buat jendela di kedainya. Terus buat jomblo-jomblo di klinik yang sering godain Dika, kita belikan peuyeum aja, biar cocok dengan rasa kesendirian mereka… hihihi…"
"Apaan sih? Ada-ada aja."
"Nggak salah kan, sekali-sekali turut berbagi suka? Tanpa mereka, mungkin kita tidak akan pernah bertemu. Tanpa mereka, mungkin kita tidak akan pernah bisa seperti ini. Tidak ada salahnya kan, kalau kita berterima kasih?"
"Iya… iya… iya… Eh, emang siapa yang sering godain Dika di klinik?"
"Hehe... ada deh, tar drg. Sherly Putri Titiani cemburu?"
"Apaan sih?"
"Hihihi..."
"Kalo Tasya kemarin... gimana ceritanya tuh... sampai dapat info darinya?"
"Wah, panjang itu ceritanya, tar tanya sendiri aja yah?"
"Hihihi… iya deh. Dika, makasih buat kadonya ya, Sayang?"
"He em… Eh, Tasya kemarin bilang, katanya mau pindah kosan ya?"
"Oh iya, rencananya hari ini. Aduh, ngga enak kalau ngga bantuin pindahan."
"Udah nanti aja sekalian. Abis ini pulang dulu ya. Udah pedes banget mata ini. Mesti dipejamkan barang satu atau dua jam, eh, tiga jam sekalian ya, biar mimpiin Sherly nya lebih lama nanti… hihihi..."
"Ngapain juga mesti dimimpiin… kan Sherly mau ikutan tidur di samping Dika nanti… sambil peluk-peluk dan ciumi Dika… yeee..."
"Sssttt… jangan bilang-bilang… tar pada iri!"
"Hihihi… Dika, makasih buat semuanya yah?"
"Anytime."
Sesampainya di rumah, Dika langsung membuat dua cangkir cappucinno dan meletakkannya di meja kamarnya. Dika segera menyalakan kipas exhaust. Aku memilih duduk di springbed sambil memperhatikan segala tingkah Dika serta tak bosan-bosannya melempar senyum kepadanya.
"Dik, Sherly boleh tidur ama Dika kan?"
"Boleh dong… tapi bednya kecil?"
"Hihi… biarin… biar Sherly bisa peluk Dika… hehe…"
"Modus!!!"
"Dik, Sherly boleh nanya ngga?"
"Tanya apaan?"
"Tentang Negeri Castle-mu."
Dika tersenyum dan langsung rebah di tempat tidur. Dika menarik lenganku. Kupeluk Dika dengan penuh kedamaian. Dika membelai kepalaku sambil menuturkan kisah hidupnya.
"Negeri Castle-ku itu adalah negeri penuh cinta, kampung kelahiranku, tempat aku dilahirkan, tumbuh dan berkembang. Di sana pula aku belajar berdamai dengan alam, dengan diriku sendiri dan terutama belajar berbagi kasih. Selain kawan dan sahabat-sahabatku, ada Bapak yang sampai saat ini sekalipun selalu mendukung semua keputusanku. Beliau seperti Superman, manusia terhebat dalam hidupku. Tanpa beliau, Dika ini siapa? Beliu juga yang banyak mengajariku tentang dunia perempuan, dunia yang menjadi hidupnya. Kamu pasti takut kalau pertama ketemu dengan beliau."
"Koq, serem, Dik?"
"Hihi… tau kaga… bahkan sampai pensiun, orang-orang masih juga memanggil dan menganggap beliau sebagai Bos Besar. Aku tumbuh dan dibesarkan di lingkungan terminal yang keras. Itu karena kebetulan saja rumahku tepat di samping terminal bus."
"Oh, gitu..."
"Sebagai satu-satunya anak laki-laki dari enam bersaudara di rumah, Bapak selalu menjaga dan melindungi bungsunya ini bahkan sampai aku lulus SMA. Beliau juga yang menunjukkan dan mengajariku untuk selalu bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Satu-satunya hal yang selalu ditegaskan oleh beliau adalah perihal cinta. Beliau tidak ingin aku seperti beliau, yang membagi cintanya kepada tiga perempuan yang berbeda. Bapak beristri tiga. Konon katanya, Bapak tidak akan berhenti mencintai dan memiliki perempuan kalau belum memiliki anak laki-laki. Lalu dari rahim Bunda, akhirnya terlahir seorang Andika Satria Pamungkas… hehe..."
"Uihhh… keren… sumpah deh… Sherly baru tahu nama lengkap Dika hari ini… hehe..."
"Hehe... keren ya… cium dulu dong?"
"Ssstttt… tar kasian para jomblo kalo liat kita ciuman… hihihi..."
"Hihihi… iya… Dika lanjutin ya… Jadi sekalipun Beliau dapat berlaku adil, namun tetap saja ada yang terluka. Untuk satu hal itu, Bapak tidak ingin Dika menjadi seperti beliau. Dan kalaupun ada sosok yang begitu kurindu, itu pastilah Bapak, Bapakku terkasih."
Suara Dika semakin berat. Ada yang tertahan di kedua pelupuk matanya. Tapi Dika masih sanggup menahannya sekedar untuk tidak menetes.
"Maaf ya, Dik, kalau sampai membuat Dika teringat Bapak Dika?"
"Sudah lama aku tidak pulang, Sher..."
Tak ada diksi yang sanggup terucap dari mulutku. Spontan kupeluk erat Lelaki Ajaibku.
Sekedar sebagai catatan, saat kutuliskan semua ini, aku belum mengenal Bapak Dika, terlebih belum paham sebegitu berartinya seorang Bapak di mata Dika. Sudahlah, terlalu sedih, bagian ini nanti ada porsinya sendiri. Kulanjutkan saja.
"Jangan sedih ya Dik… Sherly jadi bingung kalau Dika sedih. Tapi Sherly yakin, Bapak pasti bangga dengan semua yang telah Dika lakukan. Sherly juga yakin, Bapak pasti akan turut senang dan bahagia, kalau tahu bahwa sekarang ada Sherly yang akan menemani Dika selalu." hiburku.
"Iya… makasih, Sher."
Hening.
"Bapak sudah terlalu sepuh di rumah. Dika takut beliau tidak akan sempat melihat Bungsunya ini berhasil mengibarkan panji-panji keberhasilannya." suara Dika semakin berat. Dika memejamkan kedua bola matanya.
"Sekarang Sherly tahu kan, rambut panjang ini, adalah simbol kebebasanku, kemerdekaanku. Jangan pernah sekalipun Sherly pinta Dika untuk memotongnya. Dika tidak akan memotongnya sebelum berhasil menaklukkan Ibukota beserta segala kesombongannya."
"Iya, Sherly bisa ngerti koq, tapi dirapiin dikit aja ya, Sayang?"
"Hihihi… rambut Sherly tuh… yang dipendekin… percaya deh, Sherly akan kelihatan jauh lebih manis kalau berambut cepak." Dika sudah bisa tersenyum.
"Curang!"
"Curang gimana maksudnya?"
"Ya gimana ngga curang… Sherly diminta mendekin rambut, eh, rambut Dika malah mau dipanjangin lagi!"
"Hihihi… iya ya?"
"Ya udah, abis ini Sherly pendekin deh rambut Sherly."
"Kaga usah, Sherly… jadilah dirimu sendiri, jadilah seorang Sherly Putri Titiani, bukan menjadi yang orang lain inginkan, yang Dika inginkan. Bagaimana Sherly menerima diri ini apa adanya sudah cukup buatku untuk memutuskan semua ini. Dika tahu, sepenuhnya sadar, tidak akan mudah, mungkin untuk saat ini Sherly belum mengerti maksud kalimat Dika ini, tapi terjadilah yang mesti terjadi… Terima kasih ya, Sher?"
Sekali lagi benar kata Dika di atas. Jauh hari setelah aku paham dengan kalimat Dika di atas, aku hanya bisa ternganga, kehabisan diksi dan semakin tunduk di hadapan Dika. Seajaib itukah Dika mempersiapkan diriku? Kulanjutkan saja dulu ya Pembaca… sabar untuk penjelasan kalimat di atas… hehe…
"Justru Sherly yang terima kasih. Dika hadir, membuka mata, membuka hati ini, mengasihi dan menyayangi Sherly dengan cara Dika yang begitu ajaib. Semua itu adalah berkah luar biasa bagi Sherly. Dika tahu kan, banyak laki-laki yang coba mendekati Sherly, namun sulit rasanya bagi Sherly sekedar untuk tersenyum. Sampai Dika hadir dan memberi warna dalam hari-hari pendek yang terasa begitu panjang kita lalui. Itulah kenapa Sherly berani memulai semua ini. Sherly sampai-sampai yakin, kalau Dika tidak akan keberatan. Dika adalah kado istimewa bagi Sherly."
"Hehe... kali ini Dika nih... yang terbang..."
"Dika tidak ingin mencium Sherly, Sayang?"
"Tar aja yah... kasian tuh, yang pada baca… hehe..."
"Hihihi… iya… suka-suka Dika aja deh."
"Sedikit masih tentang Bapak dan Negeri Castle-ku, mungkin Sherly perlu tahu, dulu, ketika Dika jatuh terpuruk selepas dari Djogdja, Bapak pula yang menunjukkan kepadaku, mengajariku bagaimana cara memperlakukan perempuan. Itu adalah satu-satunya hal yang terlambat Bapak ajarkan kepadaku. Bapak betul-betul tidak ingin Dika seperti Beliau, oleh karenanya Beliau tidak mengajariku tentang satu hal itu sebelumnya. Sampai akhirnya terlambat dan Dika betul-betul terpuruk oleh karenanya. Setelah hari-hari berat yang kulalui saat itu, barulah Bapak menunjukkan kepadaku bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan, bagaimana menghormati perempuan dan yang paling utama, bagaimana cara membahagiakan perempuan."
"Bapak orang hebat ya, Dik?"
"Dika lebih hebat… hehe… buktinya, Sherly lebih memilih Dika daripada Bapak... hahahaha..."
"Apaan sih? Terus gimana?"
"Selain Bapak, di Negeri Castle-ku juga ada beberapa kawan dan sahabat Dika. Sherly tahu nggak, bagi kebanyakan orang, sebuah hari dimulai ketika matahari mulai terbit. Dulu, ketika roda hidupku sedang berada di titik terendah, konsep sebuah hari bahkan turut menjadi terbalik."
"Maksudnya?"
"Bagiku, bagi kami, sekelompok anak-anak tanpa masa depan pada waktu itu, sebuah hari dimulai justru ketika senja baru bermula. Kami biasa berkumpul jelang senja hingga fajar tiba. Pulang ke rumah masing-masing ketika matahari mau terbit, lalu tidur sepanjang hari, sorenya berkumpul kembali, bersama-sama menjalani malam sampai fajar baru bergulir lagi. Demikianlah tahun-tahun yang begitu suram itu kami lalui dalam kebersamaan, dalam suka cita canda dan tawa serta melupakan cinta."
"Melupakan cinta?"
"Iya… Bagaimana kami akan mencintai sesama jika tak sanggup menatap cinta pada diri sendiri?"
"Iya… ya… terus?"
"Dari tahun-tahun yang terasa begitu berat saat itu, pada akhirnya kami menyadari, bahwa tak ada gunanya mempertanyakan cinta, tak ada gunanya menjadi nelangsa oleh karena cinta. Kami tersadar, bangkit dan kemudian mulai berbagi kasih. Cinta boleh possessive, tapi kasih adalah dasar yang paling mendasar dari pekerti cinta. Semenjak tahun-tahun kelam itu pulalah pada akhirnya kami mulai belajar untuk saling berbagi, membagikan kasih untuk semuanya saja, hingga kami menjadi damai."
"Keren."
"Waktu itu Bapak bilang, bahwa perempuan itu adalah untuk diperjuangkan, bukan dipertaruhkan, apalagi disakiti. Seorang laki-laki akan merasa lebih damai jika mampu membahagiakan perempuannya. Bahagia itu bukan karena cinta semata, sebab cinta itu ibarat kata-kata. Bahagia itu adalah saat kita sanggup berbagi kasih, sebab kasih adalah perbuatan. Oleh karenanya, untuk apa mengusung slogan cinta tanpa makna jika tak sanggup berbagi kasih?"
"Sherly agak bingung, Dik?"
"Ketahuilah, Sher, hanya butuh satu menit sekedar untuk tertarik dengan seseorang, satu jam untuk jatuh hati, lalu satu hari untuk mengajak nikah, tapi butuh seumur hidup sekedar untuk melupakan atau membuatnya bahagia seutuhnya. Oleh karenanya, untuk apa memperkarakan slogan cinta jika tak sanggup membuatnya bahagia?"
"Tapi Dika bahagia juga kan bersama Sherly?"
"Hehe... akan lebih bahagia lagi... kalau dicium..." pintanya tulus.
"Sini mendekat sini deh… e-eh sensor dulu ahh!!!"
Sejujurnya, saat itu juga, ingin sungguh rasanya untuk mencium ataupun dicium oleh Dika seorang. Rasa-rasanya, aku akan pasrah saja seandainya lelaki ajaibku itu menciumku saat itu. Bahkan seandainya aku yang menciumnya juga rela, iklas. Begitu damai benak ini.
Selalu ada ketulusan dalam pintanya, dalam inginku. Tapi lagi-lagi Dika terlalu ajaib untuk semua itu. Dan betul juga, dari ceritanya baru saja, aku jadi paham perihal konsep cinta dan kasih menurut Dika. Itulah yang membedakan seorang Dika dengan semua laki-laki yang pernah kukenal. Terkadang tanpa emosi, namun santun penuh kasih. Terkadang lepas seperti anak panah melesat dari busurnya, namun tanpa menyakiti.
Dika tahu betul cara membuatku tersenyum tanpa membuatku tersinggung. Dika paham betul cara membahagiakan diri ini. Seolah Dika sudah tahu apa yang kuinginkan, apa yang kuharapkan, bahkan Dika terkadang tahu apa yang akan kuucapkan.
Bersamanya, aku selalu lupa dengan hitungan waktu, lupa dengan segala suntuk kepenatanku, bahkan terkadang aku sampai lupa dengan diriku, lupa kalau aku seorang dokter.
Bersamanya aku selalu merasa pasrah, sebab aku percaya, Dika adalah pribadi yang baik, unik dan terlebih aku tahu kalau Dika juga menyayangiku, mengasihiku sungguh dengan caranya yang begitu ajaib.
Dika datang dalam hidupku di saat yang tepat. Dika hadir membawa serta kedamaian yang dimilikinya, hingga pada akhirnya aku turut menjadi damai dibuatnya.
Dika menjadi pembeda, selalu memberi warna tersendiri dalam tiap detik waktuku, dalam tiap kebersamaan yang kami lalui.
...Dari cerita demi cerita tentang kisah perjalanan hidup Dika,
aku baru tahu, selalu ada cinta disana.
Terima kasih, Dika, atas kasih dan sayangmu buatku…