Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 16 - Cinta Pada Sepotong Senja

Chapter 16 - Cinta Pada Sepotong Senja

Ada yang aneh dalam diri Lelaki Ajaibku petang itu. Dika seperti bukan menjadi Dika yang biasa kukenal. Dika yang ceria. Dika yang selalu banyak cerita. Petang itu Dika lebih banyak menyimpan kata. Pandangannya kosong. Semoga tidak terjadi apa-apa pada Dika, semoga Dika hanya kecapekan saja. Akhirnya kuajak Dika pulang untuk istirahat.

Untuk sekali itu Dika menurut. Tak banyak kata terucap dari mulutnya. Entah apa yang ada dalam benaknya, yang jelas lelaki ajaibku betul-betul sedang dalam kondisi terlemah, baik jasmani maupun rohani. Sampai di pondokanku juga, Dika lebih banyak berdiam diri dan langsung rebahan di karpet.

"Sher, Dika capek banget, boleh kaga, numpang tidur barang satu jam?"

"Iya Sherly buatin cappuccino yah?"

"Nanti aja, Sher, temenin Dika dulu bentar ya?"

"Sherly di sini, Dika, ngga kemana-mana Dika tidur di atas aja ya?"

"Di karpet aja kaga apa-apa, Sher."

"Ya udah sini deket Sherly… boleh Sherly cium Dika?"

Dika hanya mengangguk tanpa senyum dan mendekatkan kepalanya ke pangkuanku. Kupeluk Dika sejenak, lalu kucium keningnya. Dika tak merespon. Bahkan tak sampai hitungan sepuluh jari selesai, lelaki ajaibku sudah langsung terlelap.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini, Dika? Sampai kapan aku harus selalu melepas ikatan kuncirmu tiap kali tertidur? Kebiasaan!!!" gerutuku.

Kuperhatikan dari raut wajahnya, Dika tampak begitu letih. Kemudian perlahan kuangkat kepalanya dan kuletakkan di pangkuanku. Begitu letihnya sampai-sampai poni dan rambut panjangnya dapat kubelai sesukaku.

"Kasihan benar kamu, Dik? Seberat itukah hari-harimu harus kamu lalui? Tapi bohong besar kalau kamu tidak sedang ada masalah. Aku bisa merasakannya, Dika. Kenapa Dika tidak mau cerita? Sherly ada di sini selalu untukmu, untuk mendengarkanmu juga, Dika. Sudah terlalu sering Sherly mengeluh, merengek, bahkan meminta bantuanmu, tapi kamu, Dika, belum pernah sekalipun kulihat kamu seperti ini. Ada apa denganmu, Dika?" lagi-lagi benakku memprotesnya.

Lamunanku terhenti oleh suara Tasya yang berteriak mengetuk pintu kamarku.

"Masuk..." tuturku lirih.

"Sher, mau ngembali... in..."

"Sssttt... taruh di meja aja... pelan-pelan..."

"Kenapa ini orang?"

"Kecapekan... sekalian tolong ambilin bantal dong?"

"Ok, laptop Tasya taruh di meja ya? Makasih..."

Perlahan kuangkat kepala Dika dan kugeser ke sebelahku. Posisi bantal kubetulkan sehingga terlihat nyaman. Setelah beberapa saat meluruskan kakiku yang sedikit kram, aku segera berdiri, menyelimuti Dika, kemudian mandi. Untuk sesaat kulihat lelaki ajaibku, begitu lelapnya hingga tak merasa terganggu sama sekali. Selesai mandi, langsung kuhampiri kamar Tasya.

"Tas, Mami kelihatan ada di rumah ngga?"

"Mami kan nengok anaknya ke Bandung. Emang kaga ketemu tadi pagi?"

"Enggak..."

"Emang kenapa nyariin Mami?"

"Kayaknya Dika sakit deh... malem ni biar istirahat tidur di kamar ya?"

"Oh… santai aja kali... udah minum obat belom?"

"Itu dia, kayaknya Dika kecapekan akut deh... ngga bilang kalo sakit sih, cuma lesu banget... sampai ngga banyak cerita kayak biasanya."

"Ya udah, biar istirahat aja."

"Bisa minta tolong jagain bentar ngga? Mau ke apotik depan beli vitamin."

"Siap… eh, nitip roti bakar atuh dong?"

"Ok... makasih ya, Tas... bentar koq..."

Malam semakin larut ketika kusatukan baris demi baris kalimat ini. Sunyi. Hanya hembusan nafas Dika yang teratur dapat kudengar. Kulihat sekali lagi wajah lelaki ajaibku. Damai. Begitu damai, bahkan diantara gurat keletihan yang terpancar, masih dapat kulihat kedamaian disana. Dika, terima kasih telah mengisi hari-hariku, hingga semua menjadi berwarna adanya.

Pukul sebelas tepat, keheninganku terpecah oleh suara alarm pengingat tidur dari ponselku. Segera aku berdiri untuk mematikannya, namun terlambat, Dika terbangun oleh karenanya.

"Maaf-maaf... lupa mematikan tadi." sesalku.

Di ambang lelap dan keterjagaannya, Dika langsung duduk dan melihat sekeliling.

"Pagi Cahayaku?" bisiknya tepat di dekat daun telingaku.

"Pagi juga, Pangeranku... hehe... tapi ini belumlah pagi... baru pukul sebelas malam, Sayang." balasku.

"Ini kita lagi di savanna keabadian ya?" tanya Dika disela kebingungannya.

"Hihihi... iya, Sayang... savanna abadi tempat kita biasa memadu kasih." sahutku.

"Ini kita ada dimana, Sher? Udah jam berapa ini?" bingungnya.

"Ambil nafas yang panjang dulu... trus diminum cappuccinonya... tapi maaf, udah dingin sejak tadi."

"Hehe... ini kamarmu ya, Sher?"

"Iya... Dika ngga apa-apa kan? Ngga sakit kan?"

"Masih sakit dikit... lenganku."

"Bukan itu, Sayang... badan Dika ngga sakit kan? Ngga ngerasa demam ato kedinginan kan?"

"Oh, enggak… kaga apa-apa, Sherly… Dika sehat. Cuma, badan ini capek banget rasanya."

"Sayangku tidur lagi aja geh, pindah atas, ngga apa-apa."

"Bentar, Sher... lima menit..." sambung Dika kemudian langsung bersujud tanpa gerak.

Selalu seperti itu tiap kali hendak bangun dari tidur. Sebuah ritual yang katanya sekedar untuk berterima kasih atas mimpi selama tidurnya. Ada-ada saja Lelaki Ajaibku ini.

"Kebiasaan!!!" tuturku.

"Hehe... sekedar bersyukur atas mimpi-mimpiku selama tidur tadi... rasanya kurang lengkap kalau bangun tidur tapi tidak berterima kasih dulu."

"Udah buat tidur lagi aja... kecapekan berat tuh… Dika kurang istirahat ya?"

"Hihi... gimana mau istirahat kalau tiap kali mata terpejam, selalu muncul senyum Sherly disitu."

"Apaan sih... baru juga bangun... udah mulai."

"Hihi... ini jam berapa, Sher? Aduh masih ada kereta kaga ya jam segini?"

"Sssttt... dengerin ya Sayang... malam ini Dika tidur di sini. Tuh, di tempat tidur, jangan di lantai... besok pagi-pagi kalo udah sehat baru boleh pulang!"

"Iya, baik Dok... trus saya mesti minum obat apa ya, Dok?" selorohnya bak seorang pasien.

"Dika malem ni nurut ama Dokter ya... Sayangku tu kecapekan berat... mesti istirahat!"

"O"

"Koq cuma 'O'???"

"O gitu ya, Dok? Diperiksa lagi dong... jangan-jangan Dokter salah... please… dicek lagi dong... jantung ini koq... rasa-rasanya deg-degan kaga karuan?"

"Apaan sih?" kutimpuk lengan kiri Dika.

"Aduuuh... dibilang masih agak sakit juga..."

"Maaf-maaf... Sherly kompres aja ya... lengan Dika?"

"Makasih Dokter Sherly Putri Titiani yang manis... yang penting lenganku jangan ditimpuk dulu lagi yah?"

"Maaf ya, Sayang, lupa terus. Dika beneran ngga sakit?"

"Dika sehat, Sherly… cuma lemes, kecapekan aja kali."

"Ya udah, dipake buat istirahat lagi aja."

"Ini udah mendingan... boleh numpang mandi?"

"Apaan sih... jam segini mau mandi."

"Sssttt... boleh kaga?"

"Beneran... mau mandi?"

"Yuuup..."

"Ya udah, itu udah Sherly siapin semua… baju gantinya sekalian, tuh pake yang di plastik hitam."

"Wuihhh... wuihhh... wuihhh... baik banget Bidadariku... mimpi apa barusan... udah manis, baik lagi. Eh, ini kaos siapa?"

"Udah pake aja, tadi beli di supermarket depan sekalian beliin Dika vitamin. Tar abis mandi jangan lupa kran airnya tolong ditutup, trus jangan lama-lama tar..."

"Kenapa? Tar Sherly kangen? Aduuuh... iya-iya..." sahutnya sambil kucubit sekenanya.

Ajaib. Dika sungguh ajaib. Energi yang dibawanya sungguh ajaib. Baru beberapa jam yang lalu tubuhnya limbung bak pohon bambu yang tertiup angin, setelah beberapa saat langsung pulih. Kekuatan dan semangat seperti apa yang kau miliki masih kausimpan dan belum kuketahui, Dika?

"Makasih banyak ya, Sher... buat semuanya..." bisik Dika setelah mandi.

"Sama-sama... udah merasa baikan?"

"Langsung pulih tenaga dan semangatku... berkat senyum Dokterku yang manis... hehe..."

"Hihi... cuma senyum Sherly obatnya? Dika bisa aja."

"Iya... Eh, lagi ngetik apaan tuh? Wuihhh... Bu Dokter bisa nulis juga ya... liatin dong?"

"Ngga ah, jelek tulisanku, malu Sherly kalo dibaca Dika."

"Hihi... enggak ketawa... enggak komen deh... janji..."

"Bener? Jangan diketawain loh ya, Sherly lagi belajar."

"Hihi… tar kalo ada yang kurang, Dika tambahin deh."

"Asyiiik..."

Sungguh, benak ini rasanya memerah demi melihat Dika yang senyam-senyum membaca tulisanku di laptop. Sesekali tertawa, sesekali pula mengernyitkan dahi, lalu tersenyum dan seterusnya.

"Marvelous..."

"Makasih, Dika… Sherly belajar dari tulisan Dika juga."

"Iya... sini duduk deketan Dika sini..."

Entah semangat apa yang menggerakkan diriku untuk beranjak dan segera duduk di sampingnya.

"Tentang paragraf ini..." terang Dika sambil menunjuk pada bagian tulisan yang dimaksudnya. "Udah bagus dan benar adanya... hehe..."

Aku hanya menyimak dan terpukau oleh penjelasan panjangnya. Mulai dari tanda baca, susunan kalimat, paragraf dan terutama tentang tambahan diksi dari Dika yang mengubah nuansa tulisanku. Ajaib.

"Koq malah diem? Hihi... udah kayak Pak Guru ya?"

"Hihihi... iya... Sherly terpukau oleh penjelasannya... lupa kalo Dika pernah jadi guru ya... hehe..."

Setelah saling terbahak bersama, Dika meminum cappuccinonya, tersenyum kepadaku lalu duduk di sampingku.

"Dika, Sherly mau omong, tapi jangan becanda dulu ya?"

"Yuuup..."

"Sayangku ada masalah apa sih? Tadi sore koq sampai bisa kayak gitu. Sherly jadi takut tau!"

"Oh, soal tadi sore... hihi... kaga ada apa-apa, Sherly."

"Boong!!! Sherly tau kalo Dika boong tadi... sekarang mau boong lagi?" kubenamkan wajahku di dada Dika, Lelaki Ajaibku langsung memelukku dengan begitu lembut.

"Beneran... kaga boong... E-eh, koq nangis? Kenapa?"

"Dika boong kan... ama Sherly? Dika ngga mau jujur kan ama Sherly?"

"Dika kaga boong, Sherly... Jangan nangis dong"

"Dik, Sherly ada di sini buat Dika juga. Dika boleh cerita ama Sherly kalo ada masalah."

"Beneran, Sherly... kaga ada masalah."

"Bener? Ngga ada masalah?"

"Iya, Sherly... Sherly-ku... semua baik-baik aja... makasih yah... udah perhatiin Dika segitunya?"

"Iya... tapi janji loh ya... kalo ada apa-apa cerita!"

"Iya... iya... iya... kalo ada apa-apa Dika mesti bilang deh... mesti Sherly-ku yang pertama tau... udah jangan nangis gitu..." jelasnya sambil mengusap air mata di pipiku.

"Janji loh ya?"

"He em, pindah ke atas yuk, Sher? Dika tu cuma kecapekan, butuh istirahat aja. Sherly temenin Dika yah?"

"Dika jangan buat Sherly khawatir lagi loh ya... janji?"

"Iya Sherly, Sherly-ku yang manis. Maafin Dika ya, udah buat Sherly-ku khawatir. Semua baik-baik aja koq. Senyum dulu dong. Nah, gitu kan cakep."

"Dik... Gendoooong..."

"Coba kuat kaga... aduuuh... lenganku masih sakit. Besok kalo udah sembuh aja ya, gendong-gendongannya?"

"Kan yang sakit lengan kiri Dika... tangan kanan kan bisa, Sayang?"

"Gimana coba... tetep kaga kuat... besok kalo udah sembuh aja ya?"

"Jelek... Dika jelek..."

Malam semakin larut. Damai rasanya di samping Dika. Lelaki Ajaibku memelukku. Dika juga membelai rambutku.

"Sher..."

"Dik..."

"Hihi… udah Dika duluan."

"Enggak… Sherly yang duluan."

"Ya udah, Sherly yang dulu memulai, Sherly juga yang memulai lagi sekarang…"

"He em…"

Kuambil nafas panjang sebelum mulai bicara. Dika menatapku. Jemarinya mengusap pipi hingga bibirku. Kucium telapak tangannya. Dika tersenyum.

"Sherly cantik banget…"

"Hihi… Dika tuh yang cakep…"

"Sherly manis."

"Dika keren."

"Hihi… Sherly mau bilang apaan tadi?"

"Hihi… iya, sampai lupa, Dika sih, malah merayu Sherly. Eh, tumben, Dika peluk-peluk Sherly sejak tadi? Trus merayu Sherly abis-abisan? Pake pegang-pegang bibir juga? Jadi pengin… tau!"

"Hihi… biar Sherly bahagia aja. Lagian Sherly lagi dapet kan? Makanya, Dika berani pegang-pegang Sherly…"

"Hahahahaha… ajaib… koq Dika tau, Sherly lagi dapet? Ajaib! Oh, Sherly tau, karena Sherly lagi dapet, makanya Dika jadi berani pegang-pegang Sherly kan? Jadi kaga mungkin akan nakalin Sherly kan?"

"Hihihi… iya… cerdas kamu, Sher…"

"Ya udah, Dika pegang semuanya boleh deh kalo gitu… Sherly akan seneng banget Dika…"

"Centil!!! Tadi mau bilang apaan?"

"Hihi… Dika Sayaaang… tadi beneran tuh… Sherly boleh tinggal ama Dika?"

"Kan tadi udah Dika jawab."

"Hehe… sekedar mastiin aja. Sherly pengin deketan terus ama Dika. Jadi bisa nemenin tiap malam, cium-cium Dika, peluk-peluk Dika, trus dipeluk Dika sampai tertidur…"

"Nakalin Dika… menyiksa Dika… apalagi?"

"Hahahaha… enggak, Dika Sayaaang… Sherly ngga keberatan koq, kalo Dika mau nakalin Sherly."

"Hihi… Sherly kaga bakalan sanggup deh."

"Emang Dika beneran mau?"

"Sher, dengerin Dika ya… Sherly boleh tinggal ama Dika. Titik. Sementara akhir pekan dulu aja sampai Dika beli springbed yang besar. Abis tu terserah Sherly."

"He em… makasih Dika…"

"Iya… Dika seneng banget, Sherly selalu komunikasikan segala sesuatunya, tapi jangan jadiin hal-hal kayak gini jadi perdebatan yang berlarut yah? Dika bener-bener kaga mau berantem ama Sherly. Dika akan buat kebersamaan kita ini indah adanya."

"Iya, maafin Sherly ya, Sayang?"

"He em… udah itu aja?"

"Udah… Dika mau omong apaan tadi?"

"Jadi lupa kan? Bentar, Dika inget-inget dulu."

Dika mencium kepalaku. Kupeluk Dika dengan kepenuhan hatiku. Setelah sekian waktu, Dika mulai bicara,

"Sherly dengerin Dika tapi kaga boleh ketawa ya?"

"Apaan sih? Jadi deg-degan gini..."

"Sher, maaf ya, kalau selama ini Dika kaga pernah bilang sayang apalagi cinta ke Sherly, itu ada alasannya."

Jantungku serasa berhenti berdetak untuk sekian detik waktu, menunggu dan menunggu kelanjutan kalimat Dika yang terhenti. Beragam rasa bercampur hingga berasa sebagai entah. Akhirnya aku hanya bisa pasrah sambil mendengarkan.

"Selama ini Dika butuh waktu yang mungkin cukup lama sekedar untuk meyakinkan diriku sendiri, betapa Sherly betul-betul tulus dan sungguh-sungguh menyayangi Dika. Baru tadi sore Dika tersadar, ternyata Dika merasa tak terima ketika Sherly digoda laki-laki lain. Ternyata butuh waktu selama itu sekedar untuk menyadari sesungguh-sungguhnya, betapa ternyata Dika juga menyayangi Sherly. Entah kenapa tiba-tiba Dika merasa takut kehilangan Sherly tadi."

Dika mengambil nafas. Kupeluk Dika. Lelakiku membalas pelukanku dengan begitu lembut. Bola mataku berkaca-kaca, haru, mendengar ungkapan perasaan Dika.

"Setiap hari Dika selalu belajar dan belajar bagaimana memperlakukan perempuan, memperlakukan Sherly dengan baik. Hanya saja… ada sisi gelap dalam diriku yang membuatku semakin takut untuk sekedar bertindak, bersikap maupun berusaha agar Sherly tidak direbut lelaki lain. Dika takut kalo sampai salah langkah, emosi, apalagi kembali jadi Dika yang dulu. Kalo itu yang terjadi, mungkin selesai sudah semuanya. Maafin Dika ya, Sher?"

Aku hanya mengangguk sambil menyeka air mataku yang tak kuasa lagi kutahan.

"Jangan menangis ya, Sayang?"

Kuseka air mataku dan mencoba untuk tersenyum.

"Ternyata Dika juga menyayangi Sherly dengan sungguh. Maafin Dika ya, Sher, kalau butuh waktu selama ini?'

"Udah, Dika... sampai disini dulu ya... jangan diteruskan dulu untuk saat ini... dada Sherly sesek rasanya... Sherly boleh peluk Dika ya, Sayang?

"He em... besok kujelaskan... sekarang kita istirahat dulu ya?"

"Dik, Sherly sayang Dika."

"Iya, Dika selalu tahu itu."

"Dika ngga ingin mencium Sherly?"

"Enggak... tapi mau dekap Sherly... sampai tertidur."

Sungguh bahagianya benak ini. Ingin rasanya segera mencium Dika, memperkosanya bila perlu. Namun ketenangan Dika, hembusan nafasnya yang begitu teratur membuatku merasa begitu damai dalam dekapnya.

"Selamat istirahat ya, Sayang? Sherly sayang Dika."

"Dika juga sayang Sherly ."

Akhirnya kudengar juga kata sayang dari Dika-ku seorang. Tak ada lagi kata-kata selain damai

…Dika, my truely cappuccino,

my lovely cappuccino…