Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 19 - Bidadari Serupa Malaikat

Chapter 19 - Bidadari Serupa Malaikat

Jarum jam belum juga genap menunjuk pada angka delapan ketika kami keluar dari salon langgananku tepat di sebelah pondokanku. Seolah diperiksanya helai demi helai potongan rambut baruku, Dika terus-terusan membelai rambutku. Kemudian Dika tersenyum sambil tak bosan-bosannya memandangi model baru potongan rambutku.

Ada bahagia terpancar dari raut wajahnya. Berlebih bahkan menurutku. Dika betul-betul terlihat penuh suka. Jemariku digenggamnya bahkan semenjak kami keluar dari salon. Wajahnya betul-betul berbinar penuh keceriaan. Dika terus-terusan tersenyum dan tak melepas sedetikpun genggamannya pada jemari tanganku.

"Kita pulang dulu bentar ya, Sayang?" pinta Dika begitu santun namun terdengar begitu mesra, berbeda dengan pinta Dika seperti biasanya.

"Iya Dika Sayang. Sherly juga kan ganti baju dulu, ke klinik bentar, trus kita langsung berangkat. Jadi mudik kan?"

Dika hanya mengangguk sambil terus-terusan membagikan senyumannya kepadaku seorang. Begitu sampai di pondokan, Dika langsung menutup pintu kamar. Sambil bersandar pada daun pintu, Dika menarik kedua lenganku, sambil berbisik,

"Sherly manis banget. Boleh Dika peluk Sherly-ku?"

"Boleh dong… dengan senang hati, Dika Sayang."

Lelaki ajaibku mencium keningku dengan begitu lembut, kemudian memelukku untuk sesaat. Dika betul-betul memelukku dengan penuh kasih. Ada hangat penuh kedamaian kurasakan.

"Sherly beneran cantik dengan potongan rambut model seperti ini. Boleh Dika cium Sherly?"

Aku hanya mengangguk dan mengiyakan tulus pintanya. Dengan sedikit menunduk, Dika menempelkan ujung hidungnya pada hidungku, keningnya pada keningku, Dika mencium sekejap bibirku.

Aku sudah pasrah hendak mendongak. Namun Dika justru menciumi leherku, telinga, pipi hingga bibir kami kembali berpagut untuk sekian waktu yang membuat nafasku kian menderu.

Sepagi itu Dika telah mengejutkan diriku. Entah apa yang merasukinya, kurasakan ciuman Dika lain dari biasanya. Terkesan liar, namun tetap santun. Bahkan tanganku sempat diturunkannya ketika kupegangi lehernya. Dika melepas pagutan bibirnya ketika tahu kalau diriku terengah liar.

"Maaf… maaf, Sher… Dika kelewatan…"

"Hihi… It's ok, Dika. Sherly seneng koq, diberi kejutan seperti barusan."

Dika mencium sekejap lagi bibirku kemudian memelukku dengan begitu lembut.

"Dika sayang Sherly."

"Sherly cinta Dika."

Lelaki Ajaibku kembali memelukku untuk sesaat kemudian minta ijin untuk menunggu di luar. Entah apa maksudnya, kuiyakan seluruh pintanya.

Setelah selesai memasukkan beberapa baju yang hendak kubawa, segera kususul Dika di teras luar.

"Udah siap, Sayang?"

"Hihi…"

"Koq, ketawa?"

"Hihi… Dika lain banget pagi ini… mana manggilnya mesra juga… udah kayak suami Sherly beneran…"

"Hehe…"

"Yee, malah gantian ketawa, gimana penampilan Sherly?"

"Kalaupun saat ini, sepagi ini, ada bidadari dari khayangan yang melihat Sherly, tentulah mereka akan iri, kalah manis soalnya. Pun kalau sampai ada malaikat yang turun ke bumi dan juga melihat Sherly saat ini, mereka juga pastilah akan minder, kalah cantik soalnya. Tapi kalau Dika boleh komentar, pagi ini Sherly seperti bidadari serupa malaikat yang khusus diciptakan buat Dika seorang."

"So sweet, Dika… Sherly terbang beneran nih…"

"Hihi… Beneran… Sherly cantik banget… Tambah manis dengan rambut sependek itu… dan sexy…" bisik Dika tepat di depan daun telingaku.

"Oh… Jadi karena Sherly tambah sexy trus Sayangku mencium penuh semangat barusan?"

"Hihihi… iya… Dika kaga kuat… Maaf ya, Sayang?" bisik Dika tepat di depan telingaku.

"Hihihi… Dika nakal… Sherly udah ngarep tadi…."

"Hihi… Maaf ya, Sayang… Dika lepas kontrol tadi… Dika nyerah liat Sherly sexy banget…"

"Dika bisa aja… Sherly seneng banget tau…"

"He em… Buat Bidadariku yang serupa Malaikat, Dika akan melakukan segalanya. Sherly itu cahaya penyemangat hidup Dika. Kalo sampai redup cahaya hidup Sherly, Dika juga akan turut redup. Tapi selagi ada senyum di bibir Sherly, Dika akan langsung semangat."

"Yeee… Dika tuh yang jadi cahaya hidup Sherly. Sekarang jadi lebih benderang kan hidup Sherly? Lebih berwarna, lebih merona, itu semua berkat Dika."

"Dika cuma melakukan yang seharusnya, Sherly. Udah kewajiban Dika itu, bahagiain Sherly tiap hari, tiap saat."

"Rasa-rasanya Dika udah kayak suami Sherly beneran. Sumpah deh… Sherly bahagia banget, Dika."

"Hihi… Udah kayak lebaran aja. Sherly tau kaga, mungkin nih ya, seandainya diadakan kontes kecantikan dan Dika jurinya, antara seorang bidadari yang asli dan bidadari serupa malaikat yang bernama Sherly Putri Titiani, Dika akan memilih bidadari yang asli sebagai juara umumnya."

"Loh… Koq?"

"Iya… Biar bidadari yang sesungguhnya kaga minder lagi, kaga iri lagi. Soalnya Dika akan memilih Sherly sebagai pemenang hatiku."

"Tuh kan, mestinya Sherly tau… lagi dong?" rengekku.

"Sherly tau kaga, yang bikin iri para bidadari itu apaan?"

"Karena Sherly lebih cantik dibanding mereka?"

"Bukan. Yang lebih cantik ataupun lebih manis banyak banget. Para bidadari sampai malaikat sekalipun pada iri sama Sherly karena hati Sherly cuma separo."

"Maksudnya?"

"Yang separo udah Dika simpen, biar kita tetap sehati."

"Hihihi… Gimana ya? Mau omong apalagi ya?"

"Beneran Sherly… Di dunia ini, kalo saja kiamat bener-bener udah tinggal menunggu detik, Dika akan lari duluan sambil gendong Sherly… biar sampai di dunia lainnya kita bisa tetap sama-sama… selamanya…"

"Dika… Udah dong… Sherly nyerah."

"Hihihi… Jangan pernah bilang lagi kalo Dika kaga bisa bilang 'sayang' apalagi 'cinta' ya? Sherly pengin mendengar sampai sejuta lima kata sekalipun Dika bisa, tapi bukan itu poinnya, Sayang… Buat apa Dika bilang sayang apalagi cinta kalo cuma modus, kaga tulus, mendingan langsung bertindak aja. Lebih berasa kan bahagianya?"

"Hihihi… iya, Dika Sayang. Baru beberapa kalimat aja Sherly udah nyerah. Kalo sampai genap sepuluh kalimat, mungkin Dika udah Sherly perkosa habis-habisan."

"Hahahaha… Bu Dokter norak beneran ya?"

"Hihihi… Abisnya Dika juga sih."

"Hihi… iya… Sherly beneran bahagia kan pagi ini?"

"Uih, bahagia banget. Apalagi abis dibekali ciuman tadi… hihi… Makasih ya, Sayang… udah bahagiain Sherly sepagi ini… Sherly seneng banget, Dika Sayang."

"Yeee… Dika lebih seneng lagi. Kelewat banget ini. Sampai kaga sanggup nahan lagi tadi… hehehe… udah yuk, nanti lagi."

"Dika nakal… Sherly tadi kaget beneran tau… hihihi… yuk, Dika gandeng Sherly dong… biar tambah pede nih."

Hari ini aku jadi tahu. Dika betul-betul menyayangiku. Rasanya sungguh bahagia, diterima, disayangi dan dikasihi oleh seorang Andika Satria Pamungkas dengan begitu ajaibnya.

Aku betul-betul merasa bahagia, melihat Dika yang begitu bergairah, memanjakan dan menuruti semua pintaku. Terima kasih, Dika.

"Dik, boleh tanya kaga?"

"Yuup… Tanya apaan?"

"Koq bisa-bisanya Dika punya mental baja seperti itu, kaga minder, kaga mundur waktu awal-awal kita kenalan?"

"Maksud Sherly, kenapa Dika yang cuma sales kaga minder ama Sherly yang seorang dokter? Yang dikejar-kejar banyak dokter kaya juga? Gitu kan maksudnya?"

"Hihihi… iya…"

"Bilang aja langsung Sherly, kenapa Dika yang cuma sales berani deketin Sherly yang notabene seorang dokter, jangan muter-muter."

"Maaf, Sayang… takut Dika tersinggung…"

"Hihi… Terus kalo Dika beneran tersinggung, apa kira-kira Sherly mau Dika marahin, Dika pukilin sampai babak belur? Kaga kan, Sayang?"

"Hihi… emang Dika enggak berani marahin Sherly?"

"Sher, niat buat marahin Sherly aja kaga pernah terlintas, apalagi sampai mukuli, Dika lemah kalo ama Sherly, nyerah."

"Dika bisa aja…"

"Beneran. Kan Dika selalu bilang, tugas utama Dika, bahagiain Sherly. Kaga mungkin kan, Dika buat Sherly sedih? Kaga mungkin kan, Dika marah ama Sherly, apalagi mukulin Sherly. Kaga bakalan pernah. Sherly pegang kata-kata Dika ini."

"Hihi… iya, makasih Dika Sayang."

"Trus kalo Dika kaga minder, kaga mundur, itu gampang aja rumusnya."

"Gimana? Ajarin Sherly dong? Sherly masih sering ngga pede kalo ngga ada Dika."

"Hihi… Tanamkan dalam benak Sherly, semua manusia itu sama-sederajat, kaga perlu kita nunduk-nunduk apalagi sampai hormat berlebihan. Kalaupun seseorang itu lebih hebat, lebih baik maupun lebih dalam segalanya dibanding kita, ingatlah selalu bahwa mereka juga manusia biasa, punya kelemahan dan bisa salah."

"Trus gimana biar enggak minder?"

"Nah, kalo ini dibalik, Sherly mesti mengenal diri sendiri dengan baik. Mengerti dan memahami talenta maupun kelebihan diri sendiri. Gunakan itu sebagai modal awal buat menghargai dan menghormati orang lain. Sejauh mana kita menghargai dan menghormati orang lain, sejauh itu pula kita akan diterima, dihargai dan dihormati. Tapi tetap jangan tinggi hati, jangan sombong. Tar malah jadi bumerang itu."

"Keren… Keren filosofinya…"

"Dika bukan filsuf, Sherly. Dika jadi Dika aja ya?"

"Iya, maaf… Maksud Sherly tadi, teori Dika keren… ngga muluk-muluk diksinya, mudah dicerna dan langsung dapat diterapkan."

"Hihihi… udah, sekarang Sherly ingat-ingat aja, apapun komentar orang-orang nanti, Sayangku tenang aja. Bahkan seandainya semua orang di klinik nanti mengejek, menghina apalagi menertawakan potongan rambut Sherly, Sayangku tetap tenang aja. Kaga perlu panik, apalagi minder. Mereka kaga tau kan, apa yang Dika butuhkan? Oh ya, jangan lupa, diinget-inget terus, mereka boleh kaga peduli ama Sherly, tapi Dika sangat peduli, karena Sherly milik Dika, sebaliknya, Dika milik Sherly seorang."

"Uihhh… Kalo ini bener-bener keren. Dika bisa tau masalah Sherly. Makasih atas pencerahannya, Dika Sayang."

"Hihihi… iya, sama-sama. Satu lagi, hanya orang buta yang akan bilang kalo Sherly tidak manis dan tambah cakep dengan potongan rambut baru ini."

"He em… Sekali lagi makasih, Dika. Abis ni kita langsung berangkat pulang ato mampir ke Bogor dulu?"

"Langsung aja, Dika udah telepon Mas Seno barusan."

"Okey… Dika menunggu di kantin aja ya, bentar koq, cuma minta tanda tangan ama ngasihkan berkas."

"He em… Jangan kecentilan juga kalo jalan sendiri."

"Apaan sih? Tumben Dika possesive banget ini?"

"Biarin… tar Dika tunjukin sekalian pada orang-orang, Sherly milik siapa, trus Dika itu sebenarnya siapa… hehe…"

"O, Dika mau nunjukin ama Pengagum Rahasia Sherly?"

"Iyalah… Musti dikasi pelajaran tuh…"

"Dika, Sherly ngga mau kalo sampai Dika luka!"

"Liat aja tar, kaga bakalan ada setetes darah pun menetes… tapi kaga tau kalo air mata mereka… hehehe…"

"Dika jangan buat Sherly khawatir gitu dong?"

"Hihihi… Udah, itu bagian Dika. Sherly tenang aja. Fokus ama rencana hari ini. Kalo sampai gagal fokus, inget selalu, nanti Sherly akan segera ketemu Bunda…"

"Oh iya… Bener-bener… Sherly sampai lupa."

Dika sungguh ajaib. Dalam pepatnya waktu sepanjang perjalanan menuju klinik, Dika masih sempat memberi pencerahan sekaligus solusi buat masalah yang kusimpan selama ini. Dengan santai dan diksi kata-kata yang begitu sederhana, Dika mampu menjawab persoalan ketidakyakinan pada diriku sebagai dokter magang di klinik. Ajaib.

Mobil memasuki area parkiran. Benakku masih berkutat pada kalimat-kalimat ajaib Dika tadi. Kuhayati dan kuresapi semua maknanya dan ternyata benar adanya.

Saat itu aku merasa hadir sebagai Sherly yang baru, yang tidak takut, minder dan terlebih percaya diri menghadapi siapapun yang akan kuhadapi di klinik nantinya.

Begitu hanyutnya benakku dalam permenunganku hingga tidak sadar ketika mobil sudah sampai di parkiran. Aku benar-benar baru tersadar ketika seorang satpam menghampiri dan menegur kami,

"Maaf, parkir mobil dokter khusus di ujung selatan, ini khusus buat mobil box. Lho… Bos? Koq, pake mobil dokter?"

"Hihi… Biasanya juga parkir di sini. Biar lebih deket. Lagian jam segini belum ada bongkar muat barang kan?"

"Bisa aja, Bos?"

"Bentar, koq tau ini mobilnya dokter?" tanya Dika.

"Kan ada stikernya di kaca depan, Bos…"

"Hahahaha… pantesan. Udah biar di sini aja. Biasanya juga parkir di sini kan?"

"Iya, Pak… Kami cuma sebentar koq…" sahutku menyela ketika Dika kebingungan.

"Lho, ini Dokter Sherly kan, Bos? Waaaah…"

"Hihi… Makanya, sering-sering makan bayam, jangan keseringan di luar kalo malam, tar tambah kelam loh nasibnya… Jangan keseringan juga makan bohlam!"

"Iya… bayam, malam, kelam… makan bohlam…"

"Nah, gitu… Jangan nganga…"

"Hihi… Tapi ini beneran Dokter Sherly kan? Keren… Koq barengan Bos?"

"Mau… kenalan ama artis Ibukota?"

"Dika!!!" protesku.

"Hihihi… Iya, maaf…"

"Cuma sebentar koq, Pak… biar di sini aja." lanjutku.

Dika menarik dan menggenggam jemariku, meninggalkan Satpam yang masih ternganga melihat kebersamaan kami.

"E-eh… Lewat sini aja… Lebih deket." kejut Dika.

"Emang bisa?"

"Hehe… Bisa dong… Lebih deket, kaga perlu muter lewat pintu depan."

Lagi-lagi benar kata Dika. Jalan yang ditunjukkannya memang lebih dekat, langsung menuju lobi, sekalipun harus melewati dapur dan dilihat oleh banyak orang.

Dika hanya senyam-senyum sambil menyapa semua yang mengenalnya. Hampir semua pula turut ternganga, sama seperti satpam di parkiran tadi.

Dika benar-benar menunjukkan kepada semua yang dikenalnya. Jemari tanganku bahkan tak sedetikpun dilepasnya. Sampai akhirnya kami tiba di lobi lewat pintu samping, Dika baru melepas genggaman tangannya.

"Dika menunggu di kantin aja ya, Sher?"

"Iya, Dika Sayang… Bentar koq."

"He em… Jangan kangen Dika ya?"

"Yeee… Dika jelek… Love you…"

"Ditto…"

Setelah membereskan berkas-berkas, segera kususul Dika yang sudah terlalu lama menunggu di kantin. Sepanjang lobi, beberapa perawat tampak terkejut memandangiku. Takjub mungkin, melihat potongan rambut baruku, mungkin juga terkesima karena aku tidak berseragam. Baru sekali ini aku ke klinik memakai baju casual.

Aku jadi teringat kata-kata Dika selesai potong rambut tadi, Ada-ada saja diksi ucapan Dika yang penuh kejutan, yang ternyata selalu kutunggu akhir-akhir ini.

Ah, sudahlah, Dika sudah kelamaan menunggu. Di lobi, kuhampiri Tasya yang sedang sibuk merapikan berkas-berkas.

"Uihhh... uihhh... uihhh... bidadari dari mana ini sampai nyasar kemari? Eh, cakep loh, dipotong model gitu tambah manis aja."

"Makasih, Tas... ngga punya recehan nih!"

"Tumben pake baju casual... mau kemana?"

"Hehe... ada deh minta oleh-oleh apaan?"

Belum juga pertanyaanku selesai dijawab, seorang laki-laki muncul mendekati kami.

"Hello... tumben pagi-pagi pada ngerumpi di sini? Eh, Dokter Sherly... wah, tambah cakep aja dipotong pendek gitu." tutur laki-laki itu yang tak lain adalah Dokter Budi.

"Makasih." balasku ketus.

"Ada niatan apa nih, sampai potong rambut segala? Tapi bener deh, Dokter Sherly tambah cakep dengan model rambut pendek gini." lanjutnya.

"Hehe..."

Belum juga selesai satu gangguan, muncul lagi gangguan berikutnya. Kali ini Pengagum Rahasia ku yang lain.

"Lagi pada ngegosipin apaan nih? Eih... ada Dokter Sherly juga rupanya, tambah manis aja dipotong pendek gitu rambutnya." tutur Dokter Ari.

"Makasih... eh, Tas, ke kantin yuk?" tuturku ketus.

"Tar nyusul aja... ini belum kelar." sahut Tasya.

"Ya udah, duluan ya?" lanjutku.

"Ahaa... boleh kuanter?" usul dokter Budi.

"Gimana ya?" balasku.

"Udah sana, nanti kususul ama Dokter Ari." sahut Tasya.

"Beneran loh, Tas... tar nyusul!" sahutku.

"Iya, Tasya nyusul bareng aku aja." sahut Dokter Ari.

...Bukannya tidak senang

menjadi Bidadari serupa Malaikat seperti yang Dika bilang,

namun segala sesuatunya menjadi lebih gampang,

berkat Dika seorang...