Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 24 - Sebuah Senja Di Kota Lama

Chapter 24 - Sebuah Senja Di Kota Lama

Hari ini aku jadi sedikit mengerti, sebesar itulah cinta Dika pada Hayu, hingga Lelaki Ajaibku begitu rapuh ketika mereka berpisah. Hari ini pula aku jadi paham, sebesar itulah arti seorang Bidadari Putih bernama Mei Lan atau biasa dipanggil Meme di mata Dika.

Begitu berartinya Meme dimata Lelaki Ajaibku, hingga Dara Belia berkulit putih dengan mata sipit itu memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan seorang Andika Satria Pamungkas, mantan gurunya.

Mobil berjalan perlahan menyusuri jalan yang menjadi cukup sempit oleh mobil-mobil yang parkir di sepanjang bahu jalan. Setelah mendapat tempat untuk parkir, kami segera turun. Kupegang erat-erat lengan Dika seolah tak ingin tertinggal oleh langkah Dika yang begitu cepat.

"Pelan-pelan, Dika… Sherly pake sepatu hak tinggi ini."

"Hihihi… iya, maaf."

Entah apa yang ada dalam benak Dika, aku tak mau tahu. Aku hanya mengikuti kemana kaki Dika melangkah. Bahkan ketika beberapa pasang mata seperti sedang memperhatikan kami sekalipun, aku tak mempedulikannya. Mereka seperti ragu melihat sesuatu, seperti melihat sosok yang tak asing di mata mereka, akhirnya Dika yang mulai menyapa.

"Ko Bun? Lupa ya sama saya?" sapa Dika pada seorang tukang becak.

"Pak Dhe? Ini Pak Dhe ya? Agak ragu tadi." balas laki-laki itu sambil menjabat tangan Dika.

Berikutnya, beberapa orang ikut bersalaman, bahkan tukang parkir sampai pemilik warung turut menyalami Dika. Rupanya mereka semua kenal dengan Dika. Kubiarkan sejenak nostalgi mereka di pinggir jalan itu.

Selang beberapa waktu, kami melanjutkan langkah. Sepanjang jalan itu pula, banyak yang menyapa atau sekedar bersalaman. Aku hanya senyam-senyum memandangi Dika. Benakku turut tersenyum. Dika, setenar itukah diri pribadimu? Keren juga rasanya menggandeng orang tenar di tempat ini.

"Ini China Town-nya Kota Lama. Kalau Imlek tiba, di sini pusat keramaiannya. Ada petasan, barongsai, angpao, terus dominasi warna merah di segala penjuru tempat." terang Dika sambil terus berjalan.

"O... pantesan murid-murid Dika sipit-sipit ya... hehe..."

"Iya… susah ya bedainnya? Waktu awal mula di sini dulu, Dika juga kesulitan, tapi lama-lama jadi terbiasa."

"Hihi… Jadinya kita makan dimana, Sayang?"

"Sabar ya, sebelum pertigaan depan itu kita makan."

Akhirnya kami berhenti di depan sebuah kedai yang lebih mirip warung makan. Dika memandang sejenak bangunan tinggi di seberang jalan. Seolah takjub, Dika tersenyum dan memandangnya tanpa berkedip.

"Bangunan tiga lantai tadi adalah SMP, ini SMA nya. Cukup lama pula kuhabiskan waktuku di sini." terang Dika.

Setelah sejenak kenang, Dika kemudian mengajakku masuk ke kedai yang kami tuju dan memilih meja yang letaknya agak di luar. Udara terasa agak panas dan pengap.

"Selamat malam… Selamat dat… Pak Dhe? Ini bener Pak Dhe?" kejut wanita paruh baya yang menyapa kami.

"Malam, Cik."

"Ini bener Pak Dhe kan?"

"Iya, Cik." Dika memastikan.

"Mon... turun, ada tamu agung!!!" teriak wanita tersebut.

Begitu kerasnya teriakan wanita tersebut hingga semua mata praktis tertuju ke arah kami. Dika hanya senyam-senyum sambil mengikat rambutnya. Tak berselang lama, seorang gadis berambut lurus sebahu muncul dari tangga loteng dan menghampiri meja kami.

"Pak Dhe!!!" Sang Gadis betul-betul terkejut, seolah tak mempercayai apa yang dilihatnya.

"Hi, Mon?" balas Dika.

"Hi, Pak Dhe… is it really you?"

Masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Sang Gadis mendekat dan langsung menjabat tangan Dika tanpa melepasnya.

"Its me, Sweety." lanjut Dika.

"Am I dreaming?" begitu tak percayanya gadis itu.

"Tidak, Monic... Monic tidak sedang bermimpi."

"Hihihi… Pak Dhe, kapan datang?"

"Barusan."

"Naik apa?"

"Jalan kaki."

"Hihihihi… masih juga norak… Pak Dhe nggak berubah ya… eh, rambutnya… kereeen… Monic hubungi temen-temen dulu yah?"

"E-eh, tidak usah… Monic duduk saja di sini. Tidak perlu bilang sama yang lain, nanti warung Mamimu penuh, kan repot kami jadi tidak bisa makan nanti."

"Hihihi… iya deh… Pak Dhe mau makan apa? Seperti biasa? Eh, ini koq Pak Dhe sama Bidadari?" tanya gadis itu ketika menyadari keberadaanku.

"Bukan Bidadari… tapi Malaikat… hihihi… Oh ya, kenalin Mon Ini… kenalan sendiri aja yah" sahut Dika sambil tersenyum kepadaku.

"Hai Kak… saya Monic." tuturnya penuh ceria.

"Hai Monic... saya Sherly." kuperkenalkan diri sambil tersenyum dan menjabat tangannya.

"Ini pasti… hehehe… Monic tau... ini pasti pacarnya Pak Dhe, kan? Uihhh… cakeppp!" lanjut Sang Gadis sambil mengangkat dua jempolnya.

"Stttt… ini Dokterku, Mon."

"Aiy… beneran, Pak Dhe? Hihihi… cantik, Pak Dhe."

"Iya lah… Bu Fenti kalah cantik kan?"

"Hahahaha… iya… Pak Dhe juga tambah keren dengan rambut panjangnya. Cocok dah, Kak Sherly cantik, sama Pak Dhe keren."

"I really miss ya, Sweety." tutur Dika.

"Miss ya, too, Sir!" sahut Sang Gadis. "May I hug ya? Ups, sorry-sorry..." Sang Gadis malu menatapku.

"Its ok, Dear… You may hug your Dika." potongku memberi ijin.

"O… so sweet... thank Sist..." girangnya benak Monic dapat kembali bertemu sekaligus memeluk Dika.

"Makasih." kubaca gerak bibir Dika yang tanpa suara ditujukan ke arahku saat dipeluk Monic, aku hanya tersenyum mengiyakan.

Kubiarkan Dika bercengkrama dengan mantan muridnya. Sesekali aku turut tersenyum, sesekali pula ikut tertawa. Dika memang Ajaib. Takjub aku melihatnya. Dika yang ada di hadapanku saat ini bukanlah Dika yang kukenal, bukan pula Dika seperti biasanya, tapi Dika sebagai seorang guru. Mantan guru.

"Ada berapa karakter dapat kauperankan sih, Dik? Dari Dika yang menyayangi Sherly, Dika sebagai sales, Dika yang pernah jadi preman, Dika yang jadi penyanyi, Dika yang pernah jadi guru, masih adakah peran Dika yang Sherly tidak tahu, Sayang?" kagum benakku.

Dari hangat percakapan mereka, dapatlah kulihat bahwa dulunya, Dika pastilah guru yang cukup disegani oleh murid-muridnya. Guru yang galak, suka marah-marah, tapi baik di luar jam pelajaran. Dika pastilah guru yang hebat, mampu menciptakan pertemanan seperti itu dengan murid-muridnya. Guru yang bersahabat, namun tetap disegani.

Diakhir perjumpaan kali itu, sebuah haru terselip dalam benakku ketika kami harus mohon diri.

"Pak, yakin, tidak mau saya panggilkan Meme sekarang?" tanya Monic penuh haru.

"Dika, apa yang Monic bilang ada benarnya. Lagian tidak setiap hari kalian bisa bertemu kan?" kali ini aku angkat bicara sambil kupegang jemari tangan Dika di atas meja.

"Tidak… nanti saja, jika waktunya tepat!" sahut Dika.

"Kasihan Meme nanti kalau Pak Dhe sudah sampai di sini tapi tidak bertemu." lanjut Monic.

Aku tak mampu lagi berkata-kata jika Dika sudah mengambil sikap. Bahkan suaraku sekalipun seolah tak didengarnya tadi. Keteguhannya bahkan akan hal-hal kecil tak pernah terbantahkan. Juga kali ini. Dika begitu kukuh untuk tidak menemui murid kesayangannya, sementara aku tahu, jauh di dalam benaknya, Dika sungguh ingin menemuinya. Itulah Dika, Dika ku.

"Tidak hari ini, Mon. Meme akan baik-baik saja. Nanti tolong sampaikan saja salamku kepadanya, sama bilang agar jangan menangis lagi, ya?" suara Dika kembali berat.

"Iya, Pak nanti saya sampaikan." sahut Monic.

"Sekalian minta tolong, nanti berikan kamus ini kepadanya ya."

Dika mengeluarkan dua kamus besar yang dibawanya sejak turun dari mobil tadi.

"Ini yang edisi dua bahasa, buat Meme. Terus yang edisi English-English ini kado ulang tahun buat Monic… hehe… Happy Sweet Seventeen, Dear Monic." kejut Dika dengan begitu tenang, penuh kedamaian.

Aku terkejut. Demikian juga Monic. Begitu terkejutnya Monic sampai-sampai mulutnya ditutupi dengan kedua telapak tangannya. Untuk sekian waktu, pelupuk matanya terlihat begitu sembab. Ada butiran air mata yang menetes di pipinya yang masih begitu ranum.

Dara belia itu tak sanggup lagi menahan keharuan dalam benaknya dan langsung memeluk Dika. Haru. Aku pribadi tak tahu sama sekali dengan kejutan ini, tak tahu kapan Dika menyiapkannya. Ajaib Dika sungguh ajaib petang itu.

"Maaf ya, Mon, tidak sempat membungkus. Tadi terburu-buru, soalnya takut kelamaan ninggalin yang masih pules di mobil." lanjut Dika sambil melirik kearahku. Aku hanya tersenyum menahan haru.

"Pak..." suara Monic begitu berat.

"Yaa?" sahut Dika penuh senyum.

"Terima kasih." lanjut Monic.

"Happy Birthday, Monic!" spontanku ikut angkat bicara.

"Terima kasih, Kak." balas Monic sambil memelukku.

"Sama-sama, Monic." lanjutku.

Butiran air mata itu tak terbendung lagi. Air mata itu, bukanlah air mata biasa, namun air mata penuh suka. Sepenuhnya aku tahu, itu karena Monic kehabisan kata-kata. Sesungguhnya pula, dapat kurasakan kebahagiaan yang Monic rasakan saat itu. Dika pernah berbuat hal serupa terhadapku.

Aku jadi teringat dengan momen terindah dalam hidupku, saat Dika memberi kejutan sweater tepat di hari ulang tahunku. Tak pelak, benakku turut terasa sesak. Tanpa kusadari pula, pelupuk mataku juga turut sembab. Dika menatapku sambil tersenyum. Mengambil selembar tissue dan mengeringkan butiran air mata yang menetes di pipiku.

"Oh, maaf… ikut terharu… makasih, Sayang." tuturku sambil mengambil tissue dari tangannya.

Lelaki Ajaibku hanya tersenyum. Tak pelak membuatku turut tersenyum juga. Kugenggam jemari tangan kiri Dika di atas meja, sedang tangan kanannya mengacak-acak rambut Monic sambil bertutur,

"Pakai buat belajar yah. Sampai kuliah kelak, sampai kamu punya Nonik-Nonik juga masih bisa dipakai itu." lanjut Dika kali ini sambil menepuk pundak Monic.

"Iya… iya… iya, Pak... terima kasih."

Setelah sejenak Dika bernostalgi dengan masa lalunya, melampiaskan kerinduan dan menuntaskan apa yang belum sempat dilakukan ketika pergi meninggalkan Kota Lama dahulu, kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Dika. Kulihat keletihan yang teramat sangat pada raut mukanya.

"Dika istirahat ya, biar Sherly yang bawa mobil."

Lelaki Ajaibku hanya tersenyum dan mengangguk.

"Makasih ya, Sher... Dika sayang Sherly."

"Iya, Dika… Sherly apalagi, sayang banget ama Dika.."

Aku tidak tahu sebelumnya, bahwa sampai pada satu titik ini, Dika mengabadikan segala yang dilihat dan dikenang serta memberinya makna dalam beberapa tulisan refleksi, permenungannya akan dunia pendidikan hingga alasan mengapa meninggalkan semua itu.

Beberapa hari setelah perjalanan panjang ini, aku juga baru tahu, bahwa napak tilas masa lalu Dika di Kota Lama kali ini, termasuk hari-hari bahagia selama di Kota Hujan beberapa waktu lalu, pada akhirnya dijadikan epilog dari buku dengan judul yang sama : Sebuah Senja Di Kota Lama.

Dan setelah mendapat ijin dari Dika, berikut adalah epilog dari refleksi permenungan Dika sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah, Negeri Castle, kampung halamannya :

Malam benar-benar telah merambah. Ibarat ratusan kunang-kunang di tengah kegelapan, Kota Lama ditaburi kerlap-kerlip lampu malam. Orang-orang mulai bergegas menuju ke tempat peraduannya masing-masing, rumah!

Selamat tinggal Kota Lama dengan segala suka dan deritanya. Aku pergi untuk suatu saat akan kembali dalam damai sejuk pengharapanku. Terima kasih atas semua pekerti yang kau tunjukkan kepadaku, sebab kepadamulah aku berjanji, aku pergi untuk suatu saat kembali membangun Negeri Castle-ku.

Tunggu aku di sana!

Selamat tinggal Kebon Dalem beserta seluruh penghuni yang masih ada di sana. Aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama. Sekiranya berkenan, aku akan kembali sekali lagi, melihat dan menyaksikan yang terakhir kusertai lulus menjinjing ketamatannya. Tanpa diriku, kiranya semua tetap akan berjalan sebagaimana mestinya, seperti dahulu kala manakala aku belum hadir dan berkarya bersama.

Apakah arti diri ini selain sekeping jiwa yang memimpikan hal-hal yang besar, mencoba menjadikan hal-hal yang kecil menjadi lebih besar dan lebih berarti. Sekalipun tidak pernah bisa terwujud dan tidak lagi dapat kuteruskan, biarlah kutuliskan kembali hal-hal kecil tersebut sebelum semuanya terlupakan.

Selamat tinggal semuanya, lanjutkan semua harap dan impian dari tubuh kecil ini. Aku yakin kalian akan mampu, karena kalianlah orang-orang besar itu, yang ada dan ditakdirkan untuk menjadikan hal-hal yang kecil menjadi besar, penuh arti dan makna.

Dalam gemerlap meriahnya lampu-lampu di sepanjang Gang Pinggir, kerinduanku terobati, entah dengan kerinduanmu pada diriku, itupun jika kau miliki. Sengaja aku berlama-lamaan mengitari gang itu, melalui tempat-tempat yang biasa kuhampiri saat menapaki hari-hariku, dulu.

Dan kamu, Nik, kamu pasti sedang bercengkrama beserta keluargamu, beserta Bunda Mamamu, mengutarakan mimpi-mimpimu, meluapkan kegembiraanmu atas semua yang telah kaulalui hari itu, melarutkan canda dan tawa bersama saudara-saudaramu, dan melupakan aku! Selamat tinggal, Nik!

Sekali lagi aku berputar mengitari Padepokan itu. Kebon Dalem, terlalu banyak yang kausisakan untukku dalam kesuntukan waktuku. Seakan kau malu menatap wajahku, karena segala yang telah kau berikan kepadaku, ternyata belum lagi banyak artinya, masih banyak lagi yang belum kuketahui di luar pagar tembok palang pintumu. Aku pergi!

Bangunan itu semakin lama makin mengecil, ibarat menara di tengah kegelapan malam. Di kejauhan, di sisi selatan, bukit-bukit dan pegunungan itu seolah menenggelamkan kotaku, Kota Tua Negeri Castle-ku. Diantara sisa orang-orang yang berlalu-lalang, tak ada lagi yang kukenal. Tidak, aku tidak akan berkecil hati.

Selamat tinggal kalian semua, selamat tinggal Kota Lama, selamat tinggal semuanya!

Aku harus menafsirkan perpisahan kedua ini sebagai sesuatu yang tidak menyedihkan. Tak ada lagi yang dapat kuharapkan untuk perkembanganku di Kota Lama ini, tempat yang pernah menelan masa mudaku. Aku akan lama pergi untuk suatu saat kembali yang terakhir kalinya. Aku berangkat pergi, untuk menjadi diriku yang baru, menjadi seorang pribadi.

Sampai bertemu lagi!

Kota itu semakin surut di belakang, seakan semakin jauh meninggalkan diriku, menjauhkan diriku dari masa lalu, untuk kembali menjadi pribadi yang utuh, bukan membayangi seseorang, terlebih bukan menjadi bayang-bayang seseorang, sekalipun seseorang itu sangatlah kuhormati.

Terima kasih Adinda Bidadari Manisku, yang telah menemani dan menyertaiku selama bernostalgi di kota yang pernah sejenak merenggut masa mudaku ini…

...Selamat tinggal Kota Lama beserta semua yang ada disana,

kenangan indah dan pilu yang pernah sejenak menghampiriku…

– Cilebut, awal tahun baru –