Malam beranjak pagi ketika alarm ponsel Dika berderit membangunkan lelap tidurku. Alarm wajib ala Dika, itu artinya, pukul empat, saatnya memulai sebuah hari. Belum juga kesadaranku kembali, justru kudapati Dika memeluk dan menggenggam jemari tanganku dalam lelap tidurnya. Genggaman Dika begitu erat hingga aku tak dapat bergerak. Begitu lelapnya hingga derit alarm itupun seolah tak didengarnya. Dika masih terlelap.
"Dika tolong alarmnya dong, Sayang… Sherly ngga bisa gerak ini." protesku.
"Ini... tolong dimatikan yah?" balas Dika masih dengan mata tertutup dan menyerahkan ponsel miliknya kepadaku.
Segera kumatikan alarm dari ponsel itu saat Dika melepaskan pelukannya. Kulihat Dika masih tertidur. Kali ini rebah di sisiku. Perlahan kulepas kuncir rambutnya.
Dika masih terlihat lelap dalam tidurnya. Ingin sungguh rasanya mencium Lelaki Ajaibku, namun urung kulakukan. Aku teringat pesan Bunda semalam,
"Jangan ganggu Dika kalau tertidur. Kasihan, Dika punya penyakit susah tidur. Dan jangan pernah mengganggu singa yang tertidur, bahaya!"
Sesungguhnya aku tak begitu paham dengan maksud Bunda Dika atas kalimat terakhir, apakah kalimat itu murni peribahasa atau kalimat bersayap. Sudahlah, biarlah Dika tertidur. Aku sudah berusaha sepelan mungkin untuk turun dari tempat tidur saat Dika menarik lenganku.
"Pagi Cahayaku..." tuturnya lirih.
"Apaan sih... pagi-pagi juga udah mulai... pagi juga Cappuccinoku?" bisikku lembut sambil mencium daun telinganya.
"Hehe... Jangan pernah sekalipun mengganggu singa yang lagi tidur... bahaya!!!" lanjut Dika.
Aku terkejut dengan kalimat Dika. Kemudian kembali rebah di sisinya. Kali ini kuberanikan diri untuk menyibakkan rambut di wajahnya.
"Kenapa semua selalu bilang seperti itu, Dika? Semalam Bunda juga bilang seperti itu."
"Hehe... suatu saat nanti Sherly pasti tau." sahut Dika sambil tertawa, tawa khas ala Dika.
Sesaat kemudian Dika mencium keningku, mengusap wajahku dengan jemarinya, kemudian memelukku.
"Makasih, Dika Sayang." lanjutku tanpa mendapat penjelasan yang kuinginkan.
"He em... sama-sama… masih pagi, matahari bahkan masih minder liat kecantikan Adinda Bidadari Manisku saat bangun tidur... hehe..."
"Bisa ngga sih, Dik... sekali aja ngga bikin Sherly terus-terusan terbang?" sengaja kugoda Dika demi menutupi rasa bahagiaku.
"Hihihi... pagi-pagi jangan goda Dika... bahaya, Tuan Putri" balasnya mengena.
"Hihi... koq tahu kalo Sherly godain Dika?"
"Kan sehati... hehe... bahkan aku tahu, abis ni Sherly mau bilang apa lanjutnya."
"Apa coba?" tantangku.
"Sherly mesti mau bilang : Sherly sayang Dika, ya kan?"
"Hehehe... iya."
"Udah tidur lagi aja, masih pagi."
"He em... Sherly boleh peluk Dika?"
Tak ada jawaban. Dika sudah kembali terlelap. Ternyata Dika belum sepenuhnya terbangun tadi. Kupeluk Dika-ku setelah kucium keningnya.
Hari itu tidak ada agenda khusus selain membiarkan Dika menghabiskan waktu bersama Bapak, Bapak Dika. Sementara di dapur belakang, Bunda Dika tampak sibuk memasak. Pada kesempatan itu pulalah aku memberanikan diri untuk bertanya pada Bunda, Bunda Dika, perempuan tangguh yang melahirkan dan membesarkan Dika.
"Bunda, Sherly boleh bantu ya?" pintaku.
"Iya... Bisa tidur nyenyak semalam?" tanya Bunda.
"Pules, Bunda. Kurang tahu kalau Dika, tidur jam berapa semalam, tahu-tahu tadi pagi sudah di samping Sherly."
"Iya, Dika ngobrol sama Bapaknya semalaman."
"Bunda, Sherly boleh bertanya?"
"Ya... mau tanya apa? Pasti soal Dika."
"Hihihi... iya, Bunda. Terus terang banyak hal yang tidak Sherly ketahui tentang Dika, tentang masa lalunya, Sherly hanya kenal Dika yang sekarang, Dika yang ajaib."
Bunda tersenyum. Begitu anggun. Bunda seolah tahu semua yang hendak kutanyakan, yang ingin kumengerti.
"Sherly beruntung sungguh, mengenal Dika ketika roda hidupnya sudah berada di atas. Tidaklah mudah bagi Dika untuk melalui masa-masa kelabu saat itu. Jadi kalau Dika bisa menjadi seperti saat ini... apa istilahnya tadi?"
"Ajaib, Bunda."
"Ya, kalau Dika bisa menjadi seajaib saat ini, Bunda tidak terkejut. Bunda mengenal Dika seumur hidupnya. Bahkan Bunda tahu dan bisa merasakan seajaib apa Dika terhadap kamu, Sherly."
"Iya, Bunda... setiap hari, setiap saat, Dika selalu membuat hari-hari Sherly jadi berwarna, jadi indah adanya."
"Norak juga kan?"
"Hihihi... iya, Bunda, terkadang ada saja tingkahnya."
"Yang terpenting Sherly bahagia kan dengan Dika?"
"Iya, Bunda. Segalanya jadi begitu mudah bersama Dika."
"Itulah Dika... Sherly sungguh beruntung dipilihnya. Tak mudah menaklukkan hati Dika. Tak mudah sekedar untuk memahami Dika."
"Iya, Bunda. Sherly lebih sering kehabisan kata-kata saat bersama Dika. Sepertinya Dika tak pernah bosan membuat Sherly terbang, demikian istilah Dika, Bunda."
"Terus mesti kamu pasrah kan sama Dika?"
"Loh, koq Bunda tahu?"
"Iya... Dika itu 99% duplikat Bapaknya. Bunda bisa tahu karena Bunda mengalami dan merasakan apa yang Sherly alami dan rasakan. Dika sungguh mirip Bapaknya dalam hal memperlakukan perempuan. Bersyukurlah Sherly sudah dipilih Dika."
"Kenapa bisa mirip ya, Bunda?"
"Pertanyaan yang tepat bukan 'kenapa', tapi 'bagaimana' Dika bisa menjadi seperti itu, maksudmu seperti itu kan?"
"Hihihi... iya, Bunda."
Bunda menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Dulu, Dika meninggalkan Jogja dengan kondisi yang betul-betul rapuh. Bunda sendiri sampai tidak tega sekedar untuk mengingatnya. Bapaknya sadar dan langsung turun tangan waktu itu."
"Maksudnya, Bunda?"
"Jadi begini, sejak kecil Dika dididik dan diajari segala yang Bapaknya tahu kecuali satu hal, yaitu dunia perempuan. Singkat cerita, karena rapuhnya Dika saat itu, akhirnya Bapaknya membagikan semua ilmunya tentang dunia perempuan kepada Dika. Bapaknya menunjukkan rahasia-rahasia wanita yang harus dimengerti dan dipahami oleh laki-laki, tentang bagaimana memperlakukan perempuan, menghormati perempuan dan terutama mengasihinya."
"Seperti itu ya, Bunda?"
"Dika pernah cerita ketika masih jadi anak nakal?"
"Sedikit Bunda."
"Kalau waktu jadi anak band?"
"Juga sedikit Bunda."
"Sherly pernah mendengar Dika menyanyi? Pernah lihat gayanya menyanyi?"
"Sekali Bunda. Keren. Bikin meleleh. Sherly sampai tak percaya kalo itu bener-bener Dika. Suara, gaya ama wajahnya mirip Axl, Bunda."
"Jangan salah. Saat Dika dipanggil Axl itulah saat-saat terberat dalam hidupnya. Dunianya dikelilingi gadis-gadis cantik yang rela melakukan apa saja demi Dika. Dika tak sanggup menghadapinya, kemudian pulang dan mengadu pada Bapaknya."
"Dika bilang, saat berjaya itu justru saat ditinggal orang-orang tercintanya, apa betul juga itu, Bunda?"
Bunda tersenyum sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
"Bukan orang tercinta, tapi gadis-gadis terkasihnya. Dika tak pernah bilang cinta pada gadis manapun, sama Sherly juga kan?"
"Iya, Bunda. Sherly pengin sekaliii aja dengar Dika bilang cinta pada Sherly... tapi belum pernah sekalipun."
"Sherly tenang saja ya? Suatu saat pasti Dika akan bilang dengan caranya sendiri. Sherly percaya kan sama Dika?"
"Sepenuhnya, Bunda."
"Iya... Sherly tenang aja. Dika sayang sama Sherly. Kalau tidak, pasti tidak akan diajak menemui Bapaknya. Terus kalau soal ditinggal gadis-gadis terkasihnya... betul itu. Saat itulah awal kerapuhan Dika bermula. Karin menikah, Menik juga menikah, Evelyn balik ke Singapura, terus Dika diputus oleh Hayu. Lengkap sudah deritanya waktu itu. Sedih lihat Dika waktu itu. Tapi setelah diwejangi Bapaknya, perlahan Dika bisa bangkit. Sejak saat itu Dika mencoba berdamai dengan dirinya, dengan masa lalunya, kemudian sempat juga mengajar di Kota Lama. Setelah itu Dika memutuskan untuk bangkit seutuhnya. Dika minta ijin Bapaknya untuk merantau dan memperbaiki hidup yang digariskannya sendiri."
"O... jadi karena hal itu Dika cuma takut dengan Bapak ya, Bunda?"
"Bukan, bukan hanya karena itu. Dika hanya tunduk pada Bapaknya sebagai bentuk bakti dirinya, bentuk dari penyesalannya karena telah mengecewakan Bapaknya, karena merasa telah gagal membuat Bapaknya bangga setelah memutuskan untuk berhenti kuliah, sementara Bapaknya ingin Dika mengenakan toga. Sejak saat itu Dika berjanji hanya akan menuruti apa yang Bapaknya katakan, apa yang Bapaknya pinta. Jadi bukan takut, tapi tunduk, hanya nurut sama Bapaknya, sebagai bakti dan bentuk permintaan maafnya."
"Gitu ya, Bunda?"
"Iya, makanya begitu Sherly bilang perihal bagaimana Dika memperlakukan Sherly, Bunda langsung tahu. Berarti Dika betul-betul melaksanakan apa yang Bapaknya pinta. Jangan salah, Dika memiliki gen dari Bapaknya. Tak heran jika Dika bisa persis seperti Bapaknya dalam memperlakukan perempuan. Bunda bisa tahu dan merasakan apa yang Sherly rasakan karena Bunda juga merasakan dan mengalaminya, tapi bersama Bapaknya."
"Hihihi... iya, pantesan aja Bunda seolah tahu segala yang Sherly rasakan bersama Dika."
Percakapan panjang kami harus diakhiri ketika waktu makan siang tiba. Berempat kami duduk semeja. Dika duduk di depanku bersebelahan dengan Bapaknya, sedangkan aku bersebelahan dengan Bundanya. Tak terlalu banyak cerita selain kekagumanku pada dua sosok laki-laki yang duduk di hadapanku. Dika dan Bapaknya, bagai pinang dibelah dua. Sedang aku dan Bunda adalah sama-sama dua perempuan beruntung yang dibahagiakan oleh mereka.
"Kamu lihat, Sher? Bentuk wajah mereka berdua sama kan? Tatapan matanya juga mirip kan? Sifat dan perangainya bahkan juga sama." tutur Bunda.
"Hihihi… iya, Bunda... seperti duplikat." sahutku.
"Bahkan kopi mereka juga sama" lanjut Bunda.
"Cappuccino dengan gula setengah dan diaduk 30 kali kan?" potongku merasa tahu.
"Hihihi... iya, Sherly sudah tahu tho?"
"Iya, Bunda."
Lelaki Ajaibku hanya senyam-senyum di hadapan Bunda dan Bapaknya. Tak banyak kata keluar dari keduanya, seolah meja makan adalah dominasi Kaum Hawa.
"Hari ini rencana kalian apa?" kembali Bunda bertanya.
"Di rumah aja, Bun, Dika mau istirahat, sekalian menemani Bapak." balas Dika.
Siang itu Dika tidak mengajakku kemana-mana selain di rumah menemani Bapaknya. Dika betul-betul melampiaskan segala kerinduan pada Bapaknya. Hampir bisa dikata, sejak kami datang semalam, Dika selalu di dekat Bapaknya.
Entah apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka bahas, aku lebih memilih bercengkrama dengan Bunda, Bunda Dika yang penuh kasih. Bunda Dika yang dipenuhi kedamaian, hingga benak ini turut menjadi nyaman dan damai dibuatnya. Bunda, Bunda Dika, terima kasih.
Pada sebuah kesempatan selepas senja, kembali kuberanikan diri untuk bertanya dan bertanya pada Bunda Dika. Semakin aku mengenal Dika, ternyata kusadari semakin banyak pula yang harus kuketahui perihal Dika dengan seluruh keajaibannya.
"Bunda, bagaimanakah caranya untuk membuat Dika lebih bahagia?" tanyaku.
"Sherly sadar kan, kalau tidaklah mudah sekedar untuk memenangkan hati Dika?"
"Iya, Bunda. Dika betul-betul istimewa. Butuh waktu lama sekedar untuk mendapatkan hatinya. Sampai-sampai Sherly rela menjadi yang pertama sekedar untuk mengakui perasaan suka ini. Sherly tidak malu, Bunda, sebab Sherly yakin kalau Dika juga mengasihi Sherly sungguh dengan caranya yang begitu ajaib."
"Baguslah... Sherly berani jujur dengan kata hatimu, dengan keyakinanmu. Ketahuilah, hanya ada satu Dika di dunia ini, tiada duanya. Tidak akan mudah bagi para perempuan sekedar untuk dapat berbagi cinta dengannya. Sampai pada titik ini, Sherly sudah berhasil membuka dan merebut hatinya, bukan?"
"Iya, Bunda. Dika selalu membuat Sherly bahagia. Makanya, Sherly juga ingin membuat Dika bahagia."
"Masa lalunya begitu pilu. Dendam dan tekadnya tak terbantahkan. Itulah yang telah menjadikan seorang Dika menjadi istimewa, menjadi seperti Dika saat ini. Kenalilah Dika yang dulu, maka Sherly akan lebih tahu, lebih dapat memahami keinginannya."
"Iya, Bunda, Sherly juga baru mengetahui sebagian dari Dika yang dulu, yang menjadikan Dika begitu istimewa seperti saat ini."
"Masa lalu Dika terlalu biru. Sebagian ditorehkannya sendiri dengan penuh kesadaran, kecuali perihal cinta. Bapaknya sungguh tidak ingin Dika menjadi duplikat pribadinya. Sejarah panjang kehidupan pribadinya dilalui dengan penuh duka. Ditinggal menikah oleh Karin, kemudian harus meyakinkan Menik untuk menikah dengan orang lain, itu tidaklah mudah untuk dilaluinya begitu saja."
"Belum lagi perpisahan dengan Hayu, Dika tentu betul-betul terpukul saat itu ya, Bunda?"
"Iya, mungkin Sherly perlu sekedar tahu, bahwa Hayu adalah tonggak sejarah perubahan hidup Dika. Oleh karenanya, jangan buat Dika bersedih dengan menanyakannya. Dika butuh waktu lebih barangkali."
"Iya, Bunda, Sherly bisa mengerti. Dika juga bilang seperti itu. Bunda, ajari Sherly untuk lebih mencintai Dika seperti Bunda mencintai Bapak Dika."
"Jagalah Dika dengan penuh kasih, maka Sherly akan mendapatkan cintanya. Cintailah Dika dengan kepenuhan tulus hatimu, maka Sherly akan dibahagiakannya. Buatlah Dika merasa tak akan dapat sanggup hidup tanpa Sherly, dan bukan merasa dapat hidup dengan Sherly.."
"Seperti itu ya, Bunda? Terkadang Sherly jadi bingung jika Dika sedih. Sherly tidak tahu harus bagaimana, Bunda?"
Bunda kembali tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.
"Sherly tidak akan pernah bisa menyelami kepribadian Dika yang unik selagi tidak mengenalnya dengan baik. Emosinya yang naik turun, energi hidupnya yang meletup-letup hanyalah salah satu dari keunikan Dika. Sherly pernah mendapat kejutan dari Dika, kan?"
"Iya, Bunda, sering malahan. Dika penuh dengan kejutan. Semua direncanakannya dengan rapi dan penuh perhitungan."
"Tapi Dika tak pernah bilang cinta kan?"
"Iya, Bunda... kadang Sherly juga ingin sekedar mendengar, sekaliii saja tapi belum pernah, Bunda. Justru Sherly yang selalu bilang tiap kali tak sanggup lagi diterbangkan terus-terusan oleh Dika."
"Iya, tidak apa-apa. Dika pasti senang mendengar itu. Jangan takut, Dika punya cara tersendiri untuk mengasihi Sherly. Kelak Sherly akan tahu itu, dan jika sudah tahu, Sherly akan menyerah pasrah dengan Dika."
"Iya, Bunda... sampai hari ini saja, Sherly sering merasa pasrah, tapi tak tahu kenapa atau apa penyebabnya."
"Seperti itulah cara Dika bilang cinta ke Sherly. Dika bisa dan sanggup merangkai sejuta lima kata tentang cinta yang akan membuat Sherly serasa tak ingin jauh darinya. Ingat Sherly, mulut Dika itu bagai bius dosis tinggi."
"Lebih tinggi dari bius buat cabut gigi, Bunda... hehehe.." potongku.
"Itu Sherly tahu Tapi ketiga kata itu tak pernah diucapkannya kan? Seperti itulah cara Dika mencintai Sherly. Dika tidak ingin berkata-kata lagi, tapi bertindak."
"Iya, Bunda... sebelum berangkat kemarin, Dika membuat tulisan yang mewakili perasaannya pada Sherly. Meleleh habis Bunda. Sherly betul-betul sampai tak bisa berkata-kata lagi. Diksi dan urutan kalimatnya begitu sederhana, tapi mengena semua. Sherly benar-benar pasrah kemarin sama Dika. Sherly sampai minta dipeluk, enggan untuk Dika lepas. Sherly sampai tak mau jauh-jauhan sama Dika dan akhirnya minta ijin buat ikut pulang sekarang ini. Sekarang Sherly jadi lebih paham dan lebih tenang, Bunda."
"Sherly pernah dimarahi atau dibentak oleh Dika?"
"Tak pernah sekalipun, Bunda."'
"Pernah dimanja?"
"Sering banget, Bunda... bahkan selalu."
"Dika selalu tahu jalan pikiran Sherly, apa yang mau Sherly lakukan, bahkan apa yang akan Sherly katakan, bukan?"
"Iya, Bunda... Koq Bunda bisa tahu, padahal baru sekali ini kita bertemu?"
"Dika benar-benar mirip dengan Bapaknya, benar-benar duplikat Bapaknya."
"O iya pantas saja Bunda bisa tahu perihal semuanya, ya?"
Kami tertawa bersama.
"Tidak cuma tahu, tapi sudah merasakannya. Bapak Dika tak pernah membentak Bunda. Tutur katanya tak banyak, namun selalu mengena."
"Dika juga demikian Bunda, Sherly selalu dibuatnya 'terbang' hanya dengan kata-kata. Dika tak pernah sekalipun bilang cinta sama Sherly. Tapi Sherly yakin, Dika menyayangi Sherly sungguh."
"Sherly percaya sama Dika, kan? Jika tiba waktunya, Dika akan mengatakannya. Percayalah sama Bunda."
"Iya, Bunda... sekarang apa yang harus Sherly lakukan Bunda, agar Dika lebih bahagia?"
Bunda tampak menarik nafas panjang, lalu tersenyum.
"Jadilah diri Sherly sendiri. Dika akan cepat belajar. Dika pasti akan menemukan cara terbaik untuk membuat Sherly bahagia. Dika pasti akan merasa bahagia saat melihat Sherly bahagia."
"Iya Bunda, Dika tidak marah ketika Sherly tetap memanjangkan rambut, Dika tidak pernah menolak ketika Sherly minta ditemani. Bahkan Dika selalu minta ijin dengan begitu santun tiap kali ingin memeluk atau mencium Sherly.""
"Iya, Bunda tahu… Jangan pernah Sherly tertawakan jika Dika minta ijin sekedar mau mencium Sherly. Seperti itulah cara Dika menghargai dan menghormati Sherly.
"Iya Bunda, Sherly jadi paham sekarang. Belum pernah seumur-umur Sherly mengenal lelaki yang sesantun Dika, ternyata itu maksudnya. Tapi kenapa Bunda bisa tahu semua ya?"
"Kan... Bunda juga diperlakukan serupa oleh Bapaknya? Mereka benar-benar mirip, walau tak sama. Sherly bahagia kan diperlakukan seperti itu?"
"Hihihi... Kelewat bahagia, Bunda."
"Dika juga selalu mencium keningmu kan?"
"Selalu Bunda. Kadang Sherly suka marah, bangun tidur tidak gosok gigi dulu tapi malah mencium Sherly."
"Itu tandanya Dika membutuhkan Sherly, mengasihi Sherly. Dika tidak bisa hidup sendirian, seolah harus ada Sherly bersamanya."
"Beruntungnya Sherly yang mengenal Dika pada saat ini ya, Bunda?"
"Iya… Bersyukurlah untuk itu. Jangan pernah membuat Dika marah. Dika punya sisi gelap yang Sherly tidak ingin tahu pastinya. Kalau sampai Dika marah, tidak ada yang bisa meredamnya di sana. Dika hanya tunduk dengan Bapaknya."
"Seperti itu ya, Bunda? Terus bagaimana kalau sampai Dika marah, Bunda?"
"Setiap laki-laki punya kelemahan di hadapan perempuan, terutama perempuan yang sangat dikasihinya, dicintainya. Temukanlah kelemahan Dika, gunakan itu untuk meredam emosinya."
"Dika tak pernah memperbolehkan Sherly membelai rambut panjangnya. Apakah itu berarti sesuatu, Bunda?"
"Iya, jangan pernah membangunkan singa yang tertidur. Pandangilah saja maka kamu akan merasa damai di sekitarnya. Ingat, Dika memiliki gen dari Bapaknya, yang terpuaskan bahkan sampai tiga perempuan."
"Sherly kurang paham maksudnya, Bunda."
"Sekarang Sherly belum paham. Kelak Sherly akan tahu sendiri, merasakan sendiri. Temukanlah kelemahan Dika. Gunakan untuk meredam emosinya. Maka Sherly akan lebih bahagia nantinya."
"Iya Bunda, terima kasih buat nasihatnya."
"Apakah Dika masih susah tidur?"
"Iya Bunda, Sherly sampai tidak pernah tahu kapan Dika tidur terlelap lebih dari dua jam."
"Energi Dika terlalu berlebih. Dika memanfaatkannya dengan baik."
"Apakah tiap bangun tidur Dika masih selalu bersujud?"
"Hihihi.... iya, Bunda... katanya sujud syukur dan terima kasih karena bisa istirahat."
"Iya... kan Dika susah tidur? Makanya selalu bersyukur kalau sampai bisa tidur dan istirahat."
"Hihihi… betul juga ya... Sherly kurang peka."
"Pernahkah Dika ribut dengan orang lain?"
"Dulu katanya pernah berkelahi dengan satpam klinik, tapi waktu itu Sherly belum di situ. Justru kemarin sebelum berangkat Dika sempat melancarkan Perang Psikologis, istilah Dika, dengan beberapa pengagum Sherly, hasilnya sukses besar, Bunda. Sherly sampai terheran-heran, bisa-bisanya Dika merencakanan semua itu."
"Perhitungannya selalu maksimal. Tapi pernahkah Dika melarang-larang Sherly?"
"Sherly cuma tidak boleh membelai rambutnya, Bunda."
"Berarti disitulah kelemahan Dika… Belailah rambut panjangnya selagi terlelap, maka kamu akan melihat pancaran kedamaian dalam wajahnya."
"Koq, Bunda bisa tahu? Pernah suatu kali, Sherly memberanikan diri untuk membelai rambut panjangnya ketika Dika tertidur pulas. Dika seperti tersenyum dalam lelapnya, wajahnya begitu damai."
"Kan Bunda hidup dengan duplikatnya, jadi tahu semua tentang Dika. Mau tanya apa lagi?"
Kali ini Bunda tertawa begitu lepas. Itulah kali pertama kulihat Bunda Dika tertawa. Tak pelak rasa bahagia menyelimuti kami berdua. Kupeluk Bunda Dika, Bunda juga mendekapku dengan erat. Damai rasanya.
"Sekarang hampirilah Cappuccinomu, ajaklah Dika makan, Bunda siapkan dulu semuanya."
"Loh... koq Bunda juga tahu julukan Sherly buat Dika?"
"Apa yang Bunda tidak tahu tentang Dika, Sherly... sudah sana, ajak Dika makan."
"Terima kasih Bunda. Terima kasih buat semuanya "
Hari-hari bersama Dika di Kampung Negeri Castle-nya adalah hari-hari bahagia, hari-hari yang penuh dengan suka cita bersama Bapak dan Bunda Dika. Bersama Bapak Dika aku banyak belajar dari nasihat-nasihat Beliau. Bersama Bunda Dika aku dibuat nyaman, diterima, dan terlebih aku belajar banyak tentang masa lalu dan diri pribadi Dika.
Lelaki Ajaibku?
Tak bosan-bosannya kata demi kata, kalimat demi kalimat, yang terlontar darinya, membuatku tak ingin jauh-jauh darinya.
Tapi Dika harus bersama Bapaknya. Inilah waktu penebusan baginya, atas rindu sekaligus ucapan terima kasih atas semua yang telah Bapak Dika berikan kepadanya.
Kubiarkan Dika menghabiskan waktu bersama Bapaknya, sedang Bunda Dika begitu paham dan menemaniku selalu.
…Terima kasih, Dika, Cappuccinoku,
untukmu aku akan selalu ada,
mendukung dan mengasihimu…