Sampai pada titik manakah Sang Waktu akan berbaik kepadaku? Mengiringi dan menjadi saksi atas suka cita keberasamaanku bersama Adinda Bidadari Manisku sepanjang hari demi hari yang kami lalui?
Kebersamaan ini, sudah hampir menginjak bulan keduabelas. Biarlah kelak Adindaku yang merangkai diksi untuk mengabadikannya, itulah caraku membesarkan hatinya, sebab aku tahu, kelak, kami pasti akan sampai pada satu titik dimana jarak berbicara.
Saat itu adalah saat kuwujudkan cita-citaku, saat aku harus lebih banyak berada di luar, jauh dari Adindaku. Aku harus mengajari Adindaku untuk tetap dapat tersenyum dengan atau tanpa kehadiranku. Adindaku harus terbiasa.
Hari ini adalah tepat sebulan kamarku di lantai dua selesai kubangun dan esok pagi Sherly berencana untuk pindah ke rumahku. Kuturuti semua inginnya, semua pintanya, demi suka cita bahagianya.
Senja belumlah bermula, ponselku berderit. Siapa lagi kalau bukan Adinda Bidadari Manisku?
"Hallo? Udah sampai mana?"
"Hai... sejak tadi juga udah di Kedai Mang Ujang, jemput sekarang?"
Adindaku mengiyakan. Ponsel kututup kemudian segera menjemputnya di klinik. Setelah basa-basi dengan penjual martabak di depan, Adindaku muncul dengan membawa dua kardus yang cukup besar. Segera kuhampiri dan membawakan kedua kardus itu.
"Tas yang itu kaga sekalian? Masih bisa taruh di depan, biar nyaman aja boncengnya... hehe..."
"Ini buat Dika, Sherly yang bawain aja bisa koq."
"Isinya apaan?"
"Ada deh... Yuk pulang dulu. Abis mandi, temenin Sherly jalan-jalan ya, Sayang? Tapi pake mobil aja tar."
Lagi-lagi kuiyakan semua pintanya. Tak banyak kata selama dalam perjalanan pulang. Sampai di depan gang pondokannya, Adindaku baru bersuara,
"Kita makan di luar yuk, Sayang? Tapi Dika harus nurut ama Sherly kali ini."
"Hihihi... Sherly pengin makan dimana? Di teras?"
"Yee... ngga di teras juga kali... pokoknya Dika nurut aja... abis tu temenin Sherly jalan-jalan bentar yah, ada yang mau Sherly beli."
"Lama juga kaga jadi soal... hehe..."
"Bentar koq, abis tu baru temenin Sherly yang lamaaaaa banget... sampai Sherly tertidur, sampai mulut Dika kering bercerita... hahaha..."
"Hihihi... iya deh, tapi kaga bawa baju ganti loh, ini tadi langsung dari pasar soalnya."
"Udah tar gampang. Kaos Dika juga udah Sherly cuciin."
"Wuihhh... kayaknya ada yang udah siap diajak bangun rumah tangga nih!"
"MAUUU..."
"Hehe... sabar ya, Sayang?"
"Iya, Dika Sayang... sampai kapanpun Sherly akan setia menunggu. Ini buat Dika... dipake ya, Sayang?"
Sungguh damai rasanya mendengar tuturan Adinda Bidadari Manisku.
"Wuih... Dika dikasi jaket nih... makasih Sherly tersayang... Dika pake sekarang yah?"
"He em... tambah keren kan?"
"Hehe... Bidadarinya juga cantik... udah pas!"
Jelang petang, kami sudah berada di sebuah café di bilangan Margonda. Entah kenapa, tak seperti biasanya, sejak turun dari mobil, Sherly menggelayut di lenganku. Enggan sebenarnya, tapi biarlah, yang penting Sherly bahagia.
Sesungguhnya pula, aku tak asing lagi dengan tempat itu, mengingat café-café sampai kedai kaki lima di sepanjang jalanan ini adalah para customerku.
"Eh, tumben nih Bos, ngga bawa mobil box?" sapa seorang wanita cantik.
"Hihihi... lagi off ini... lagi jadi bodyguard ceritanya... meja belakang ada yang kosong?" sahutku.
"Langsung aja, lewat samping biar ngga kejauhan." lanjutnya.
"Siip... kuangkat dua jempolku dan segera berlalu."
"Siapa, Dik?" tanya Adindaku.
"Itu tadi manajernya... cantik kan? Abis cerai tuh... kasian..." jelasku.
"Emang kasian kenapa?" tanya Adindaku ingin tahu.
"Dika madu kaga mau dianya... aduh... aduh..." spontan Adindaku menimpuk lenganku ketika kujelaskan.
"Norak tau!" protesnya.
"Hihihi... maaf." sahutku.
"Uey... keren... tumben-tumbenan nih, Bos?" tanya seorang lali-laki.
"Iya nih, lagi disandra..." sahutku sekenanya.
"Disandra siapa, Bos?"
"Nih... hatiku lagi disandra... olehnya..." balasku sekenanya sambil mengangkat genggaman jari Sherly.
"Hahahaha bisa aja, Bos... silahkan... silahkan..." lanjut laki-laki itu.
"Mimpi apa semalam, Bos? Dapet durian runtuh ya?" kali ini seorang pramusaji yang melintas.
"Iya ini, Teh, durinya menusuk hatiku... hihi..." balasku.
"Busyet dah... cakep pisan, Bos?" ganti laki-laki bagian dapur yang komentar kali ini.
"Mau? Bagi dua ya... hihi..." jelasku.
Segera kupilih meja di sudut agar tak lagi banyak gangguan. Sherly hanya tersenyum sejak tadi. Setelah memilih pesanan, barulah Adindaku angkat bicara,
"Ada ngga, Dik? Orang yang ngga kenal Dika di sini?"
"Hihihi... dari tukang parkir di depan sampai tukang cuci di belakang juga kenal Dika semua. Kenapa emang? Enggak nyaman ya?"
"Ngga juga sih, koq bisa-bisanya Dika kenal semua?"
"Mereka kan Bos ku... jangan salah... yang jadi Bos itu sebenarnya mereka, bukan Dika. Mereka adalah pelangganku, merekalah raja sesungguhnya, Dika cuma melayani mereka kan?"
"Betul juga ya, maksudku, kenapa semua kenal Dika?"
"Hihi... itulah seninya berjualan, bisa kenal banyak orang... hehe... udah kayak artis kan tadi?"
"Hihihi... iya... pantesan aja ngga pernah mau kalo Sherly ajak makan disini."
"Kaga cuma di café ini, Sherly. Semua café di sepanjang jalan ini, bahkan sampai warung-warung kaki lima, tukang parkir, satpam juga, pada kenal Dika semua. Inget, kaga ada salesman yang berambut panjang selain Dika… hehe jadi mudah dikenal kan?"
"Hihihi... Dika bisa aja."
"Sherly lihat sendiri kan tadi, pada baper kan? Coba mereka tau kalo Sherly itu dokter, bisa langsung pada terjun ke sumur mestinya... hehe..."
"Iya juga ya, inget ngga, Dik, ama pengagum rahasiaku dulu? Tasya bilang, mereka berdua bener-bener terpukul loh, sakit hati, perih banget katanya, waktu tau kalo Dika... maaf, cuma sales."
"Hahahaha... ya emang cuma sales, kenapa mesti minta maaf? Kalo Sherly tadi bilang, cuma anak menteri, baru Dika marah...hehe..."
"Hihi... iya."
"Anyway, kenapa Sherly ngajak makan di luar? Sekarang jadi tahu kan, kenapa Dika kaga suka makan di tempat ginian... hihi... takut Sherly jadi sedih karena kalah tenar."
"Hihihi... iya, Dik, Sherly baru tau ini loh, beneran!"
"Tu dia... dah gitu mesti nanti dapet potongan yang kaga wajar, buktiin aja tar!"
"Kan Sherly yang bayar?"
"Kan Sherly gandeng Dika tadi?"
"Hubungannya apaan?"
"Hihihi... udah tar buktiin aja sendiri."
Percakapan terhenti ketika makanan tersaji.
Silahkan dinikmati, Bos tutur pramusaji itu.
"Makasih, Mang Asep." balasku.
"Tuh, kan... sampai Mamangnya aja bilang kalo Dika Bos nya!" sahut Adindaku.
"Hihihi... iya kali... suka-suka merekalah... yuk... makan..." lanjutku.
"Dik, bagian yang gala dinner di café ini diloncatin aja yah, malu tau, tar dikiranya Sherly artis beneran. Dika norak banget sih, pake acara salam-salaman, foto-foto segala." "Kasian kan kalo tau siapa Sherly sebenarnya." protes Adindaku.
"Hihihi... iya... iya... maaf."
"Kenapa juga sih tadi pake dikenalin segala?"
"Yee mereka yang kepo, Dika yang disalahin. Emang kaga liat tadi, pada bisik-bisik sampai Sherly denger sendiri, trus yang kebetulan lewat juga pada berhenti sejenak sekedar untuk nganga. Kasian kan, para jomblo tadi? Ya udah, Dika minta aja kenalan sendiri. Llagian salah mereka sendiri, nganggep Sherly artis sinetron... hahaha..."
"Hihihi... iya juga ya... emang Dika beneran, kenal artis yang disebutin tadi?"
"Kaga cuma kenal, dulu pernah satu sanggar waktu mereka belum terkenal. Terus mereka juga sering pada ngumpul di sini, jadilah Dika sering diajak gabung, nyanyi-nyanyi bareng. Gitu ceritanya."
"O... pantesan... Sherly tadi pasti dikiranya artis... hahahaha... norak kamu, Dik!"
"Hihi... yang penting Sherly bahagia. Beneran, kaga ditulis nih, bagian yang dinner tadi?"
"Enggak, Dika... malu tau... ama kasian mereka juga."
"Hihihi... iya deh... abis ni, mau kemana?"
"Mampir ke DS bentar ya? Sherly mau beli kosmetik."
"Ok... Dika ngikut Tuan Putri aja kali ini."
"Makasih, Dika Sayang?"
"Hushhh... sayang-sayangnya tar aja... belum juga tengah malam... hihihi..."
"Hihihi... iya, ya..."
Betul kata Adindaku, acara belanja cuma tak lebih dari limabelas menit. Seperlunya. Acara jalan-jalan juga dibatalkan. Rintik hujan mulai turun. Aku sempat resah dengan kardus-kardus yang kujemur dan belum sempat kumasukkan tadi siang. Setelah menelepon sana-sini, akhirnya beres. Kami segera meluncur pulang.
"Koq, tegang gitu, Dik?" tanya Adindaku.
"Tadi lupa, jemuran ama kardus-kardus yang abis disablon belum kumasukkan, masih di luar. Ini di Depok aja kayak gini hujannya, apalagi di Bogor?"
"Terus gimana? Udah beres?"
"Udah sih, cuma enggak tau juga, mesti berantakan masukinnya, padahal itu kardus sablonan baru."
"Terus gimana? Apa perlu pulang ke Bogor dulu?"
"Udah biarin, tar Sherly kecapekan, Dika juga yang repot."
"Hihihi… ngga juga kali... sini Sherly peluk aja. Sherly kangen ama Dika."
"Baru dua hari ditinggal ke luar kota... udah kangen... gimana kalo seminggu?"
Tak ada suara sampai mobil tiba di pondokan Sherly. Ingin rasanya segera istirahat sejenak. Bola mata ini terlalu lelah setelah seharian memandang aspal jalanan. Tapi Adindaku memintaku untuk menunggu sebentar. Entah apa yang mau dibicarakan.
"Ini cappuccinonya, Tuan Besar." tuturnya.
"Koq, cuma satu, buat Sherly mana?" protesku.
"Ssstttt... satu buat berdua... hihi..." godanya.
"Mulai nih..."
"Sini deh, Sayangku minum bagian depan ini. Sherly bagian belakang ini. Secangkir diminum berdua, barengan... hehe... Ayolah, Dik?" ajak Adindaku.
"Hihi... ada-ada aja idemu, Sher."
"Kan, Sherly belajar seru-seruan dari Dika... hihihi..."
"Iya... iya… sini Dika sebelah mana... depan ini?"
"Hihi... iya, Sayang... Sherly bagian ini... atu... dua..."
"Gimana... susah ya... kekecilan cangkirnya?"
"Sengaja, Sayang... ada tuh yang lebar, tapi sengaja pake ini, biar bisa deket-deketan ama Dika."
"Ya tapi susah ini... kena hidung Sherly mulu."
"Hihihi... sengaja!"
"Mulai nih... mau nakalin Dika ya?"
"Hehehe..."
"Bentar-bentar... ijin dulu."
"Ijin siapa? Dika mau ijin sama siapa?"
"Sama... para jomblo!"
"Hahahaha..."
"Hihihi... lumayan... lumayan..."
"Apanya yang lumayan?"
"Ide Sherly lumayan seru… hehe..."
"Hihi... kan Dika yang ajari Sherly seru-seruan gini?"
"Hehe... iya, ya... dah ah, tar disambung lagi yah? Sher, boleh kaga, Dika tidur bentaaaar aja?"
"Enggak!"
"Koq?"
"Enggak boleh… kalo ngga tidur di pangkuan Sherly... hihihi..."
"Aduuuuh... kena nih..."
"Apanya yang kena, Dika?"
"Hati Dika yang kena nih... belum-belum udah terbang... gombalin Dika lagi dong?"
"Hihihi..."
"Sherly... Putri Titiani-ku..."
"Iya... Sherly di sini, Dika?"
"Dika tidur bentar yah? Janji deh, tar disambung lagi."
"Iyah... tapi disini... Sherly pangku kepala Dika aja... biar puas liatin Dika."
"Iya-iya... Gimana? Gini? Tar kaki Sherly kram loh!"
"Biarin... yang penting Sherly bisa liatin wajah Dika."
"Hihi... pintunya?"
"Oh, iya bentar, kasian Tasya kalo liat kita... hihihi..."
Kurebahkan tubuh lelahku di atas karpet. Tak ada suara lagi kudengar setelah itu. Aku hanya tahu, Sherly mengangkat kepalaku dan meletakkannya di pangkuannya. Juga masih dapat kurasakan Sherly melepas ikatan rambutku, pelan-pelan sekali menyibakkan rambutku, mencium keningku dan akupun terlelap.
-oOo-
Alarm berbunyi. Pukul sebelas. Perlahan kubuka mataku. Kulihat wajah Sherly tersenyum memandangku. Ternyata kepalaku masih dalam pangkuannya. Aku segera duduk dan mendapati Sherly yang kram kakinya.
"Maaf-maaf... jadi kram beneran kan, lama ya Dika ketiduran?"
Sherly hanya senyam-senyum sambil menahan kram pada kakinya. Segera kuangkat Adindaku dan membaringkannya di tempat tidur. Sherly tambah tersenyum.
"Makasih, Dika Sayang?"
"Diluruskan kakinya, ambil nafas yang panjang, keluarin lewat mulut… yang panjang... nafas lagi..."
"Aow... sakit, Dika… pelan-pelan..."
"Ini juga udah pelan... tahan bentar... nafas lagi..."
Kupijit perlahan kaki Adindaku, mulai dari ujung kaki sampai bagian atas lututnya. Adindaku hanya cengar-cengir menahan sakit. Sesekali mengambil nafas panjang.
"Naik lagi, Dik, aow, terus aw, pelan-pelan."
"Iya.. masak sampai atas, Sher?"
"Biarin... naik terus, Dik... sampai... aaw... sakit..."
"Hihi... maaf... maaf..."
"Bentar, Dik... ambil nafas dulu."
"Coba telapaknya digerak-gerakan."
"Iya... makasih ya, Sayang?"
"He em, siapa juga minta dipangku, kram beneran kan?"
"Hihi... iya, maaf."
"Sherly kenapa sih hari ini?"
"Pengin deket Dika aja... sini, Dik, peluk Sherly."
"Ada maunya nih?"
"Biarin... biar para jomlo pada ngiri ama kita... biar para bidadari sampai malaikat sekalipun minder ama kita... Sherly ngga peduli... Sherly pengin peluk Dika!"
"Iya... iya... kaga usah ngegas juga kali?"
Kuturuti semua pinta Adidaku. Disibakkannya rambutku yang menutupi wajahku. Sherly tersenyum. Tatapannya pasrah. Aku berusaha keras menahan diri.
"Awas… jangan nakal!"
"Biarin... Dika mau nakalin Sherly juga boleh... sini Dika peluk Sherly?"
Untuk beberapa saat masih kudiamkan Adindaku membenamkan wajahnya di dadaku. Dari raut wajahnya aku tahu, Sherly begitu menginginkan diriku. Kucoba untuk mengatur nafasku, menenangkan benakku, mencoba mengatur irama detak jantungku. Kemudian Sherly melepas pelukannya dan rebah di sampingku. Pandangannya lurus menghadap ke langit-langit. Tanpa senyum kali ini. Benakku menyisakan tanya.
"Sher Sherly kenapa?"
"Dika jahat…"
"Hihihi..."
"Dik..."
"Iya?"
"Sherly sayang Dika." lanjutnya sambil kembali membenamkan wajahnya di dadaku.
"Iya, Dika tahu."
Pelukannya semakin erat. Sherly masih juga membenamkan wajahnya di dadaku. Sesaat kemudian kudengar sesegukan dari isak tangisnya. Sherly menangis.
"Eh, kenapa ini? Sherly menangis? Kenapa, Sher?"
"Sherly ngga nemuin kata-kata yang pas buat ngejelasin, Sayang... Sherly bingung..."
"Iya, tapi kenapa tiba-tiba nangis?"
Kupeluk Adindaku. Justru isak tangisnya semakin menjadi-jadi. Kulihat butiran air mata itu sampai membasahi pipinya. Aku jadi kebingungan sendiri.
"Sherly ngga tau ini bahagia ato sedih, Dika... Bahagia sekaligus sedih... Tapi sedih juga, walau merasa bahagia..." tutur Adindaku diantara sesegukan isak tangisnya.
"Sherly ambil nafas dulu... terus cerita, ada apa... nangisnya udahan dulu ya?" hiburku.
"Dik, tolong ambilkan tas Sherly yang di meja."
Aku segera berdiri dan mengambil tas merah milik Sherly dari atas meja. Adindaku duduk di sampingku, mengambil sebuah amplop dan segera menyerahkannya kepadaku.
"Dika baca aja sendiri ya, Sayang?" lanjutnya.
Kubuka amplop itu dan kudapati sebuah surat dinas. Perlahan kubaca dan kupahami maksud dari isi surat yang lumayan panjang itu.
"Dika, sejak tadi siang Sherly berpikir, bagaimana caranya untuk menyampaikan hal ini kepada Dika. Hal ini harus segera Sherly sampaikan, makanya Sherly menunggu sampai Dika terbangun tadi dan tetap saja tak menemukan kata-kata yang tepat sekedar buat nyampein isi dari surat dinas itu." jelas Adindaku panjang.
Sesungguhnya, dari bagian judul surat itu aku sudah tahu, bahwa itu adalah surat penugasan. Bibirku terasa kelu, bergetar membaca baris demi baris dari surat dinas tersebut. Untuk sekian detik waktu, jantungku seolah berhenti berdetak. Aliran darah dalam nadiku seolah terhenti. Kerongkonganku seperti tercekat. Lidahku seperti kelu dan mulutku hanya bergetar tanpa sepatah kata pun keluar. Di otakku yang kecil ini, seolah tak kutemukan diksi yang paling tepat selain kata : selamat.
"Selamat ya, Sayang?" tuturku datar.
"Koq, selamat, Dik?" protes Adindaku.
"Iya, selamat. Akhirnya cita-cita Sayangku tercapai. Selamat datang di Palembang, drg. Sherly Putri Titiani." tuturku sambil mencoba sekuatku untuk tetap tersenyum.
Sherly tahu, benakku memekikkan sesuatu. Sherly juga pasti tahu, sekali itu aku menyebutnya dengan kata sayang adalah untuk membesarkan hatinya. Jarang sekali aku menyebutnya demikian. Sherly memelukku erat.
"Dika..."
"Iya, Sayang... Dika di sini."
"Dika... Sherly bingung harus gimana?"
"Ambil nafas dulu yang dalam... lepaskan... ambil lagi... lepaskan..." kucoba menenangkan gejolak benaknya.
Benakku? Gejolak dalam benakku? Jangan tanya. Membayangkan sekalipun jangan. Benakku tersedu. Dadaku terasa begitu kelu. Tapi tidak boleh kalian semua dan terutama Adindaku tahu.
Bapak dimana Bapakku? Kenapa dulu tak pernah kau ajari Bungsumu ini untuk berbohong? Saat ini, detik ini juga, aku harus berbohong, Pak, membohongi nuraniku, membohongi Adindaku, bahwa sebetulnya air mataku menetes. Aku harus berbohong besar untuk tidak bersedih saat ini, detik ini pula.
...Maaf, tak bisa kutulis lebih banyak,
Kedua bola mataku sudah bengkak,
semalaman kugoresi langit dengan namamu...