Sungguh sebuah kebohongan besar kalau aku tidak bersedih. Hanya naluri laki-lakiku saja yang menegaskan diriku untuk tidak menitikkan air mata, untuk tegar menghadapi situasi saat ini. Kulihat Adindaku begitu rapuh. Aku harus sanggup menguatkan dirinya, bukan turut menenggelamkannya bersama kerapuhanku. Aku harus membohongi diriku sendiri bahwa sesungguhnya jiwaku juga rapuh saat itu juga. Aku harus terlihat tegar. Inilah saat bagiku untuk menunjukkan kemampuan aktingku, berpura-pura tegar, sementara batinku sesungguhnya rapuh. Aku harus kuat sebelum menguatkan Adindaku.
"Sherly, menjadi dokter gigi adalah pilihan Sayangku dengan penuh kesadaran bukan? Sama halnya Dika memilih untuk tidak menjadi guru namun justru menjadi sales. Inilah saatnya semesta raya merestui cita asa hidupmu, cita-citamu, harapanmu, keinginanmu untuk menjadi dokter gigi yang sesungguhnya."
"Iya, tapi kenapa saat ini, Dika? Kenapa justru disaat Sherly sedang bahagia bersama Dika, tiba-tiba kebersamaan ini harus terenggut, Sayang?"
"Sher, kalo Dika memutuskan menunda waktu untuk mewujudkan cita-citaku, itu sekedar demi Sherly. Dika kaga menyesal apalagi rugi, karena keputusan ada di tangan Dika seorang. Justru Dika akan rugi besar jika melepas kebahagiaan kita saat itu demi sebuah ego yang bisa ditunda. Lain dengan Sayangku, keputusan untuk dinas di Palembang bukan mutlak keputusan Sherly, namun ada pihak lain yang membuat kebijakan tersebut harus dilaksanakan. Tidak bisa tidak. Tanpa mematuhi keputusan itu, Sherly tidak akan dapat menjadi dokter gigi bukan?"
"Tapi kenapa sekarang, Dika? Sherly ngga bakalan sanggup jauh-jauhan ama Dika."
"Ingat Sherly, sekarang atau nanti, itu hanyalah soal waktu. Jadi bukan 'kenapa koq sekarang'? Andai keputusan itu turun bulan depan atau tahun depan sekalipun, kita tidak akan pernah tahu, apa dan bagaimana kondisi kita saat keputusan itu turun, bukan?"
"Dika, Sherly bingung. Ini adalah hari bahagia buat Sherly karena cita-cita Sherly terwujud, namun sekaligus sedih, karena Sherly akan berjauhan dengan Dika, justru disaat kebersamaan ini begitu sempurna di mata Sherly."
"Sher, kesempurnaan itu milik Yang Ilahi. Kita bebas merencanakan, menentukan dan menggariskan nasib hidup kita, namun hanya Yang Kuasa yang menggariskan takdir masing-masing hidup kita. Tidak bisa kita mengelaknya. Dika pernah menggariskan nasib hidup Dika sendiri, namun siapa sangka, takdir Dika mempertemukan kita di sini. Andai Dika ngotot mengejar toga dan tetap jadi guru, mungkin kita tak akan pernah bertemu. Nasib Dika kugariskan sendiri, namun takdir Dika ternyata seperti ini. Siapa sangka coba?"
"Terus Sherly mesti gimana sekarang, Sayang?"
"Sher, perjalanan waktumu untuk mewujudkan cita-citamu ini adalah sesuatu yang mutlak, tak terelakkan, entah itu sekarang atau kelak, Sherly harus melalui satu fase wajib itu bukan? Berangkat dan hadapilah satu fase ini dan Sayangku akan baik-baik saja."
"Tapi itu berarti kita akan jauh-jauhan, Dika?"
"Dika pasti nemuin cara biar Sherly tetep merasa deket Sesempurna apapun sebuah rencana, semua adalah masalah waktu. Kalau kemarin adalah waktu bagi kita untuk bertemu, pastilah ada saatnya kita berpisah. Tidak ada yang salah dengan waktu, namun menjadi salah besar ketika kita menantang Sang Waktu. Apa jadinya jika Sherly menentang Sang Waktu? Apa jadinya jika Sherly tidak berangkat menunaikan tugas?"
"Ya, tapi dua tahun kan lama, Sayang? Sedang dua hari terakhir ini aja Sherly tak sanggup pisah dengan Dika, apalagi dua tahun?"
Hening. Tak satupun dari kami berucap. Kurangkul Adindaku. Kucium kepalanya. Sherly masih sesegukan. Kugenggam jemari tangannya dan sekali lagi kucium genggaman itu.
"Sherly pasti mampu. Sherly percaya sama Dika, kan? Sherly sayang Dika, kan? Kita pasti akan mampu melewati fase ini, Sayang."
"Jadi Dika ngijinin Sherly untuk berangkat ke Palembang?" tanya Adindaku diantara sesegukannya.
"Itu adalah cita-cita Sherly, jangan jadikan Dika sebagai penghalang. Hubungan jarak jauh tak jadi soal buat Dika. Dika pasti akan nemuin cara agar Sherly-ku tersayang tetap bahagia, tetap akan merasa di sisiku. Percaya ama Dika."
"Ya tapi dua tahun, Sayang... berat buat Sherly."
"Dika akan dengan setia menunggu, Sayang. Dika pasti nemuin cara agar Sayangku tetap bahagia."
"Dika, Sayangku janji ya? Ngga akan ninggalin Sherly?"
"Iya, Sayang... hati ini, cappuccino ini, buat Sherly seorang... Dika pasti nemuin cara bahagiain Sayangku tiap hari. Percaya ama Dika."
"Makasih Dika. Sherly sayang Dika. Sherly cinta Dika."
"He em... Ditto... Dika juga sayang Sherly… sekarang jangan nangis lagi ya?"
"Dik, temenin Sherly dua hari ini ya?"
"Iya."
Dua hari? Dua hari bersama untuk selang dua tahun berpisah? Bohong besar kalau aku tidak bersedih. Sedih membayangkan hari-hari pilu selama menunggu bertemu kembali bersama Adinda Bidadari Manisku, sedih kalau tahu bahwa malam-malamku akan kembali seorang diri, ditertawakan cicak di langit-langit kamar kesendirianku, diejek jengkerik yang bersuka tiap malam di halaman depan rumahku. Tapi aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh menunda cita asa Adinda Bidadari Manisku. Aku harus kuat menghadapi kenyataan ini.
Pada akhirnya kusadari, betapa perjumpaan, kebersamaan, tawa, canda, air mata dan perpisahan hanyalah bagian dari Sang Waktu. Apa yang telah kami lakukan, apa yang akan kami hadapi selang dua tahun ke depan, hanyalah bagian dari Sang Waktu atas hidup kami. Nasib telah kami goreskan, namun takdir atas nama Sang Waktu menguji kami.
Sanggupkah kami? Mampukah kami? Inilah ujian sesungguhnya atas kebersamaan kami.
Ketika jarak bersua, cinta juga yang akan berbicara. Inilah saatnya kubuktikan betapa aku mencintai Adinda Bidadari Manisku. Betapa kebersamaan ini bukanlah tentang tertawa dalam pelukan-pelukan dan ciuman-ciuman manja, namun terlebih kesetiaan dalam rentang ratusan kilo jarak di antara dua pulau yang akan memisahkan kami.
Ya, inilah saatnya kami menunjukkan kepada kalian semua, bagaimana seharusnya kebersamaan itu dilalui, disyukuri dan diberi nilai lebih.
Akan kami tunjukkan, bagaimana seharusnya kebersamaan hati ini harus kami lalui. Akan kami buktikan, bahwa kebersamaan yang terentang jarak antara dua kota bukanlah hal yang mustahil.
Ya, cintaku tersekat oleh selat di antara dua kota, cinta dua kota.
Aku sudah berjanji untuk membahagiakan Sherly. Akan kupegang janjiku. Untuk saat ini, aku harus menguatkan Sherly, mendukung Sherly, dengan semua kebohongan benakku, bahwa sesungguhnya batin ini meradang, sekedar membayangkan kesepian di hari-hari esokku.
Sudahlah Biarlah di sisa waktu ini, kuturuti semua permintaan Adindaku. Dan malam ini, aku akan tetap terjaga, sekedar untuk membuat Sherly bahagia.
"Dika, apapun yang terjadi nantinya, kita harus saling mendukung ya? Dika janji ya, akan setia menunggu Sherly?"
"Iya, Sherly-ku Sayang... Dika pasti nemuin cara agar Sherly tetap merasa berada di sampingku. Dika pasti bisa bahagiain Sherly, sekalipun jarak membentang di antara dua kota, memisahkan kita. Jarak dua kota tak masalah bagi Dika. Pasti ada cara. Dika akan setia menunggu."
"Makasih Dika Sayang... Sherly cinta Dika."
"Ditto."
Langit kelabu seolah mengiringi sedu isak tangis Adinda Bidadari Manisku kala kami benar-benar hendak berpisah. Tak ada pilihan dan tak ada lagi kompromi bagiku, aku harus menguatkannya sebelum meratapi kesendirianku nantinya.
Perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Perpisahan ini hanyalah sementara. Perpisahan ini barulah awal mula dari segalanya.
Tidak akan mudah bagi kami berdua sekedar untuk menjalani kebersamaan di rentang jarak sejauh ini. Terutama bagi Adinda Bidadari Manisku, tak akan mudah untuk melalui semua ini seorang diri.
Sungguh malang nasibku. Untuk kesekian kalinya aku harus menghadapi perpisahan, sedang luka lama akibat trauma perpisahan terakhir masih juga membekas.
Tidak. Aku tidak ingin lagi menjadikan semua ini sebagai sebuah perpisahan abadi. Aku harus bisa menjaga kebersamaan di rentang jarak sejauh ini. Tak boleh lagi ada air mata sedih. Bagaimanapun, dengan cara apapun, akan kuusahakan yang terbaik untuk mempertahankan kebersamaan ini.
"Dika, sekali lagi maafin Sherly. Kita harus menjalani kebersamaan dengan cara seperti ini."
"Sssttt… udah. Jangan bilang seperti itu, seolah salah satu dari kita akan raib dari muka bumi ini. Bogor-Palembang hanya masalah jarak dan waktu. Sejauh apapun jarak yang membentang, kita berdua masih menginjak bumi yang sama. Selama apapun waktu yang menghadang, jadikanlah hari-hari sendu penuh penantian nantinya sebagai kepingan rindu."
"Dika janji ya… akan setia sama Sherly?"
"Dika bukan lelaki yang gampang mengobral cinta. Sherly tau betul itu. Dika akan selalu setia dan percaya ama Sherly. Sayangku juga harus percaya sama Dika."
"Iya… makasih Dika Sayang… Sherly cinta Dika."
"Ditto."
Kupeluk Adindaku dengan kepenuhan hatiku. Sherly tersenyum. Setidaknya senyum itu turut menguatkan benakku. Aku harus tetap tegar menghadapi detik-detik ini.
"Dika akan mengunjungi Sherly?"
"Pastilah itu… buat nganter mobil Sayangku, buku-buku kuliah juga kan? Trus ketemu ama calon mertua Dika… hehe… dan terbang ke bulan bareng Adindaku tentunya… hehe…"
"Iya… Sherly akan senang sekali nantinya. Papa, Mama dan Kak Nissa juga pasti pengin ketemu Pangeranku."
"Andika Satria Pamungkas… Pangeran dari Negeri Sebrang… hehe… bilang aja seperti itu kalo ditanya Papa ato Mama Sherly."
"Hihihi… keren…"
"Tiga bulan lagi ya, Sayang?"
"He em… tiga bulan lagi."
"Jangan sedih dong… Dika tak punya apa-apa buat Sherly. Dika cuma punya sekeping hati buat Sherly bawa kemanapun kaki Sayangku melangkah. Senyum… Jangan sedih gitu dong…"
Adindaku tersenyum. Begitu manis. Senyum seperti inilah yang akan kugunakan untuk menguatkan diriku selama menjalani hari-hari sepi penuh penantian ke depan nantinya.
"Dika, seperti dulu Sayangku pernah bilang kan… perpisahan ini… hanyalah kerinduan selagi menanti sebuah perjumpaan kembali… kebersamaan abadi."
"Dan Dika akan datang buat menebus kerinduan itu."
"Sampai bertemu tiga bulan lagi, Dika-ku tercinta."
"Yuup… tiga bulan lagi Dika akan datang… Dika sayang Sherly."
"Sherly cinta Dika."
Perlahan-lahan pesawat itu bergerak dan bergerak semakin cepat.
Roda depannya mulai terangkat meninggalkan bumi, kemudian sepenuhnya terbang membubung tinggi.
Makin lama makin terlihat kecil, terbang menuju angkasa raya, terbang membawa Adinda Bidadari Manisku, terbang membawa serta cita cinta hidupku, memisahkan kami, diantara dua pulau persada bumi ini.
Terbang tinggi untuk kembali memaksaku merajut asa, diantara dua kota.
Selamat jalan Adinda, kutunggu hadirmu di kota ini, di tempat ini, di kota dimana segala sesuatunya bermula.
Aku akan dengan setia menantimu, menanti untuk sebuah kebersamaan yang lebih indah, untuk sebuah hidup yang lebih jelas.
Jakarta, kepadamu suatu kali aku mendendam, kepadamu pulalah sekali lagi aku menuntut.
Mengapa kau terbangkan Adindaku dari bandaramu?
Mengapa kaupersatukan kami dan harus berpisah di kotamu?
Jakarta, aku akan kembali untuk Adindaku, aku akan kembali menjemput suka cita cintaku, di sini, di bandara ini.
Jakarta, tunggulah aku…
…End of Book One...
...Sampai bertemu dalam buku kedua
Diary Sherly : FAREWELL
untuk kelanjutan dari kisah ini...