Seharian kami menghabiskan waktu mengelilingi Negeri Castle Dika. Sore harinya kami beristirahat. Setelah makan malam, Dika minta ijin untuk bicara dengan Bapaknya sebentar. Sementara itu, Dika memintaku untuk istirahat dan menunggunya di kamar.
Dalam keheningan di kamar Dika, yang terlintas adalah album foto-foto Dika bersama Bidadari-Bidadari dari masa lalunya. Kubuka dan kuamati lagi satu per satu foto-foto itu. Terbersit rasa cemburu, tapi tuturan Bunda Dika membesarkan hatiku. Ya, aku tidak akan merasa cemburu kalau aku tidak menyayangi Dika.
Pertanyaanku berikutnya, bagaimana Dika bisa menjalin kebersamaan seperti itu, terhadap Karin, terhadap Evelyn, terhadap Menik, kemudian Hayu. Sampai pada satu titik ini, benakku tergelitik. Tak ada satupun foto Hayu di album itu. Kemudian kubuka lagi dan lagi, kulihat sekali lagi, dan memang tak kutemukan gambar diri Hayu di sana.
Ah, Hayu, lagi-lagi tuturan Bunda mengingatkanku bahkan sekedar untuk tidak menanyakannya pada Dika. Aku tidak ingin Dika bersedih. Mungkin Dika memang butuh waktu berlebih.
Beberapa saat berselang, baru kusadari satu hal, bahwa Bidadari-Bidadari dari masa lalu Dika, semua berambut pendek. Lalu sekali lagi kulihat foto-foto itu. Ah, ini sengaja, pikirku. Foto-foto itu sudah diurutkan berdasarkan tanggal dan pada tiap awal foto, mereka sebenarnya berambut panjang. Artinya, semua Bidadari Dika sesungguhnya memotong pendek rambutnya setelah bersama Dika. Ajaib.
Kuperhatikan foto Dika yang sedang menggendong Menik. Tubuh Menik yang memang terlihat mungil seolah begitu ringannya dipegangi Dika. Kedua kakinya melingkar di pinggang Dika, sementara kedua lengan Menik melingkar di lehar Dika. Begitu mungilnya Menik dibanding Dika hingga Menik mendongakkan kepala dan hidung mereka beradu sedekat itu.
Benakku kembali tergelitik, benarkah mereka tidak pacaran? Lalu bagaimana mereka bisa sedekat itu jika hanya berteman baik? Lamunanku dikejutkan oleh Dika yang masuk ke kamar.
Segera kututup album itu, namun terlambat. Dika sudah keburu tahu. Lelaki Ajaibku tersenyum kemudian mengecup keningku.
"Jangan dibuka… tar Sherly cemburu lho… hihi..."
"Iya… pengin marah… tapi giman ya?"
"Hihihi… sini-sini… duduk deket Dika sini." potong Dika sambil merangkulku.
Dibukanya album itu, kemudian dengan seksama dilihatnya satu per satu foto-foto itu. Dika tersenyum, kemudian sekali lagi mencium keningku.
"Jangan marah ya, semua ini sudah berlalu. Sekarang tinggal membuat album baru, yang lebih keren, lebih heboh dan tentu saja bareng Sherly Putri Titiani… gimana?"
Tak pelak kata-kata Dika mampu menyulap galau-kegundahan benakku menjadi sekeping sayang.
"Makasih, Dika."
"Buat apa?"
"Makasih udah menerima Sherly dalam hidup Dika."
"Hehe... iya, sama-sama."
Setelah keheningan beberapa saat, akhirnya Dika bangkit, mengembalikan album itu di tempatnya, mengurutkan kembali letaknya yang sedikit berantakan, kemudian rebah di tempat tidur.
"Dika mau istirahat?"
"Bentar aja yah, boleh kan? Sherly temenin di deket Dika sini aja yah?"
"He em… boleh Sherly tiduran di deket Dika?"
"Iya… tapi jangan nakalin Dika ya… bahaya… hehe..."
Tanpa banyak bicara lagi, langsung kuhampiri, kupeluk dan kuciumi Dika.
"Sherly sayang Dika."
"Dika apalagi… sayang banget ama Sherly... tapi Dika istirahat bentar ya… kepala Dika mau meledak ini."
"Oh, iya… mesti abis dinasehatin macem-macem ya sama Bapak?"
"Nanti aja ya Sher... Dika istirahat bentar."
"He em."
Sekali lagi kupeluk Lelaki Ajaibku sampai kudengar hembusan nafasnya begitu teratur. Dika bisa tidur. Kubiarkan Dika dalam kedalaman lelapnya, kemudian kunyalakan laptop untuk melihat foto-foto kebersamaan kami. Sesekali aku tertawa kecil, kemudian tersenyum dan tertawa lagi saat melihat foto-foto itu. Benakku betul-betul terhibur.
Alarm ponselku berderit. Pukul sebelas. Buru-buru kumatikan. Tapi terlambat. Dika terbangun. Dika menarik lenganku hingga aku terjatuh di sampingnya. Kepeluk Lelaki Ajaibku. Dika membelai rambutku. Dika begitu tenang, bahkan hembusan nafas dan detak jantungnya sekalipun sangat teratur dapat kudengar.
"Sudah lama banget Dika kaga merasakan semua ini, Sher." tuturnya.
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti maksudnya.
"Ya damai aja. Terakhir kutinggalkan kamar ini dengan penuh amarah, penuh dendam. Hari ini aku bisa kembali merasakan tidur pules di kasur ini, ditemani Bidadari lagi." jelas Dika.
"Maafin Sherly ya, Dik, tadi lupa matiin alarmnya, Dika jadi terbangun kan?" sesalku.
"Sssttt..." bisik Dika dengan menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Temenin Dika yah jangan jauh-jauh." pintanya.
"Dika kenapa sih? Sejak tadi minta ditemenin? Sherly kan di sini sejak tadi, Sayang… Dika mau peluk Sherly?... Peluk aja… Sherly udah di sini."
"Pokoknya jangan jauh-jauh… itu aja… biar Dika bisa cium kening Sherly kalo terbangun."
"Oh, gitu, iya-iya, Sherly ngerti maksud Dika sekarang… Sherly di sini Dika… di samping Dika… mau peluk… silahkan… mau cium… silahkan… semua buat Dika."
"Tuh kan… dikasi hati langsung jadi nakal kan?"
"Biarin… khusus malam ini… Sherly akan nakalin Dika… hihihi… lagian tamunya udah pulang tuh?"
"Hihi… Emang Sherly berani?"
"Berani aja."
"Gimana coba, Dika pengin liat?"
"Pertama-tama… Sherly lepasin dulu iket rambut Dika… kenapa sih mesti Sherly yang selalu lepas ikat rambut Dika tiap kali mau tidur?"
"Hihi… koq… cuma iket rambut? Apalagi yang mau Sherly lepasin?"
"Sayangku pengin apanya dulu yang dilepasin?"
"Terserah… kan Dika yang mau dinakalin… lupa ya?"
"Hihihi..."
"Bentar… bentar… pintunya tolong ditutup dulu… tar kalo Bunda masuk gimana?"
"Ih… apaan sih… belum juga dimulai."
"Sssttt… pintunya bisik Dika lagi-lagi dengan telunjuk ditempelkan pada bibirku."
"Hihihi… iya… iya."
Sengaja aku berlama-lamaan sekedar menutup pintu sekalian membuat Dika menunggu. Sempat kutoleh Dika, Lelaki Ajaibku tersenyum. Kemudian pelan-pelan segera kuhampiri Dika yang setia menunggu kehadiranku.
"Ampun, Bapaaak… kenapa Bidadariku genit banget malam ini?"
"Dika pengin apaan?" bisikku di telinganya.
"Pengin… pengin jitak pala Sherly... hahahaha… aduh… aduh… aduh… udah-udah, Non."
"Jelek… Dika jeleeekk!" kutimpuk Dika sekenanya.
Setelah mengatur nafas, Dika kembali menarik lenganku.
"Jadi ilang kan, mood Sherly!" protesku.
"Iya… iya… maaf… maaf… abisnya… mau nakalin Dika aja pake genit-genitan segala… hihi..."
"Dika jeleeek!"
"Hihi… iya, maaf, sini-sini deket Dika... jangan jauh-jauh."
Dika memelukku. Pasrah, kurasakan hangat pelukannya. Tak pelak aku turut menjadi damai.
"Kalau emang sayang, jangan marah dong?"
"Mana bisa Sherly marah sama Dika… cuma sebel tau!_ protesku.
"Ya udah sini… Dika aja yang nakalin Sherly "
"Hihi..."
"Nah, gitu… senyum dulu dong… biar tambah semangat nakalinnya… hehe..."
"Gimana coba… Sherly pengin liat Dika nakalin Sherly!" tantangku.
"Eh?"
"Kenapa?"
"Beneran nih?"
"Siapa takut?"
"Ya udah… tutup mata deh…"
Kuturuti permintaan Dika. Kututup kedua bola mataku. Benakku menyisakan tanya, apa yang akan dilakukan Dika selanjutnya. Kubiarkan dan kuturuti saja permintaan Lelaki Ajaibku. Dika memelukku dengan lembut.
"Malam ini… Sherly bener-bener manis." bisiknya tepat di daun telingaku.
"Sekalipun para bidadari dan malaikat pada iri, cemburu apalagi sampai marah pada Dika, Dika kaga peduli… sebab Sherly emang lebih manis malam ini."
Benakku tersipu. Kurasakan hangat hembusan nafas Dika di dekat daun telingaku. Aku hanya tersenyum tanpa membuka mata, membiarkan diriku diselimuti rasa penasaran dan menunggu kalimat maupun kejutan dari Dika selanjutnya.
Detik berikutnya, Dika menyentuh keningku dengan salah satu jarinya. Kurasakan ujung jari itu menyentuh bagian atas keningku dan digariskannya ke bawah hingga tepat diantara kedua bola mataku.
"Kening ini… kelak akan menjadi pelabuhan dari bibirku setiap paginya, setiap bola mata ini terbuka dari lelap tidurku… semoga yang empunya tidak keberatan…"
Kali ini aku betul-betul tersenyum sambil menahan tawa demi mendengar kalimat Dika yang terakhir. Detik berikutnya, kurasakan jari tangan Dika digerakkan ke arah pelupuk mataku, tak pelak membuatku membuka mata, digerakkannya jari itu mengitari mata kiriku, lalu berpindah ke mata kananku. Dika tersenyum bergantian memandang bola mataku. Sambil berbisik, kali ini tepat di telingaku.
"Mata ini… lewat tatapan mata ini… aku ingin selalu menjadikannya tatapan yang sejuk manakala benakku marah, tatapan yang bengis manakala aku bersalah, tatapan yang sayu tanpa mengharap rayu kehangatanku serta tatapan yang damai manakala suka cita menyelimuti bahagia pemiliknya." tutur Dika lembut.
Aku kembali hanya tersenyum tanpa bersuara.
"Kemudian hidung ini… lewat hidung ini… ingin kurasakan selalu hembusan hangat dalam tiap pelukmu, yang akan turut menerbangkan metamorfosa ayalku bukan dalam sesaknya nafsu, namun teduh kehangatan kasih yang akan kupersembahkan setiap bangun tidur hingga mata ini kembali terpejam… itu pun kalau Sang Empunya hidung mengijinkanku." lanjut Dika sambil melanjutkan gerakan jarinya pada hidungku.
"Kuijinkan." kali ini dengan lirih aku angkat bicara.
Dika tersenyum memandang kepasrahanku.
"Dan bibir ini…" sambung Dika dengan jeda agak lama.
Jari tangannya digerakkan hingga menyentuh bibirku, mulai dari bibir atas hingga kebawah, dari sudut kiri hingga sudut kanan. Aku kembali tersenyum diperlakukan demikian.
"Bibir ini… adalah bibir yang akan selalu kurindu… setelah kecap terakhir berpagutnya bibir kita dalam kehangatan kasih… biarlah bibir ini menjadi saksi, dimana cinta tak harus melulu lewat sederet kata, tapi hangat senyumanmu yang akan selalu ranum menyambut hadirku… itu jika saja Si Empunya mau."
"Si Empunya mau, Sayaaang... kali ini secara spontan kujawab kalimat terakhir Dika."
"Makasih, Sher, Sherly-ku." bisik Dika kembali di dekat daun telingaku, membuatku merinding.
"Dan telinga ini..." lanjut Dika sambil mengecup daun telingaku. Geli, namun aku suka dibuatnya.
"Semoga daun telinga ini tak pernah bosan-bosannya mendengar tuturan kalbuku, saat aku kecapekan, saat aku bersuka, saat kubuat pemiliknya bahagia, dan terutama saat kupekikkan kerinduanku."
"Si Empunya daun telinga tak akan pernah bosan, Sayang." potongku.
Detik berikutnya, Dika membelai rambutku, dari atas hingga ke ujung, jemarinya menyentuh leher hingga tengkukku. Aku kembali merinding dibuatnya.
"Dan semoga lejang leher ini, selalu sanggup menjadi pelabuhan wajahku tiap kali kupeluk, selalu sanggup menyangga keseluruhan wajah dari makhluk manis bingkisan dari Tuhan untukku seorang ini… dan semoga leher ini selalu rela saat kucium sambil bilang : Sherly Putri Titiani, aku sayang padamu."
Benakku bergejolak saat Dika menuturkan kalimat terakhir sambil betul-betul menciumi leherku. Kurasakan detak jantungku tak beraturan. Nadi dalam aliran darahku semakin tak terkendali. Pada perasaan yang begitu entah aku hanya berpasrah. Hanya senyuman yang senantiasa kubagikan pada Dika, Dika-ku, manakala bola mata sayu kami bersitatap. Entahlah…
"Dikkk?"
"Boleh kulanjutkan?" pinta Dika tulus. Aku hanya berpasrah.
"Dika, Sherly udah enggak sanggup… tapi terserah."
Dika hanya tersenyum.
"Peluk Sherly yang erat Sayang." pintaku.
Dika memelukku erat.
"Ketahuilah, Sher..." lanjutnya.
Dika seolah ragu dan menghentikan jari telunjuknya ketika menyentuh bagian atas dari dadaku.
"Dada ini... adalah dada yang akan selalu kurindu."
Sentuhan lembut jari Dika tak pelak membuat jantungku berdetak semakin tak jelas iramanya. Darahku berdesir. Aku hanya terdiam pasrah. Dika sempat mencium dadaku dengan begitu lembut sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Dada ini… adalah dada ranum yang akan selalu menjadikan jantungku berdegup begitu keras, memompa adrenalin dalam darahku menjadi semakin cepat… juga dada yang akan dirindukan oleh anak-anak kita kelak, yang akan dihisapnya habis demi perkembangan tubuh jasmaninya."
Dika menciumnya sekali lagi dengan begitu lembut. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain memegangi pundak Dika. Benakku melayang sampai ke ujung yang tiada ujungnya.
Dan perut ini kali ini jari Dika menyentuh perutku, mengitari pusarku dan menciumnya perlahan.
"Dik..."
"Perut ini adalah istana pembaringan selama sembilan bulan lebih janin dari anak-anakku… kepadanyalah aku akan memberikan yang terbaik… demi bahagia dan sayangku pada Sherly Putri Titiani seorang." lanjutnya sambil mencium perutku hingga sedikit agak ke bawah.
"Dikaaa..." rancuku.
Dika kembali rebah di sampingku. Sambil tersenyum, digenggamnya jemariku. Tak kuasa lagi, lengannya turut kucengkeram erat. Pada satu titik yang entah, segala yang kurasa menjadi begitu tegang untuk sekian detik waktu. Benakku seperti berada pada sebuah titik yang tiada pangkalnya. Melayang. Membubung. Lalu terlepas.
Aku tak sanggup lagi menahan gejolak dalam tubuhku. Sensasi luar biasa yang kurasa membuat tubuhku sampai akhirnya benar-benar lunglai tak berdaya dalam dekapan Dika.
"Dika sayang Sherly." lanjutnya sambil mencium keningku.
"Dika… Sherly jadi lemes gini… peluk dong, Sayang… jangan lepasin pelukannya."
"He em… dah malam… Sherly tidur yah?"
Sayup-sayup masih dapat kudengar kalimat terakhir Dika. Lengannya masih juga kupegangi dengan begitu erat. Pada perasaan yang begitu entah saat itu, aku tak ingin Dika berada jauh dariku.
"Peluk Sherly, Dika… Jangan dilepas… Sherly sayang Dika…"
"He em… Dika juga sayang Sherly… Sayangku tidur ya? Dika peluk sampai pagi…"
"Makasih, Dika Sayang… I love you…"
"Ditto…"
Sisa keheningan malam segera mengantar lelap tidurku dalam hangat dekapan Dika. Lelaki Ajaibku tak henti-hentinya membelai rambutku, bahkan sisa-sisa kecupan lembut bibir Dika masih dapat kurasakan pada kening dan kedua pipiku sebelum aku benar-benar terlelap.
…Sssttt… seajaib itukah Dika
yang bisa membuatku melayang-layang
terbang tanpa sepasang sayap?...