Dika hadir dari suramnya masa silam, dari kelabu masa lalu, dari getir pilu masa terdahulu, dari pekatnya perjalanan kisah hidupnya. Hingga pada satu titik waktu, Dika bangkit membawa serta dendamnya, membawa serta impiannya yang tertunda dan belajar untuk berdamai. Dalam kedamaian benaknya, Dika membagikan kasih kepada semuanya saja. Lewat sebuah takdir perjumpaan, Dika hadir, menyapa, mengukir kisah bersama yang selalu berujung pada kerinduan.
Bagai pelita, Dika hadir menerangi hari-hariku, mengurai jenuh rutinitasku, mengisi sepi hari-hariku, menunjukkan kepadaku arti sebuah hari, mengajariku untuk mensyukuri setiap detik waktu, membuatku mengerti pentingya arti bahagia dan tak bosan-bosannya memanjakanku dengan damai suka cita cinta. Aku tak pernah ragu dengan ketulusan kasihnya. Dika sungguh mengasihiku dengan begitu tulus, dengan cara yang tak biasa. Baginya, cinta hanyalah slogan tak bermakna tanpa perwujudan kasih.
Lewat kasihnya, Dika selalu membuatku tersipu tanpa pernah merayu. Lewat kasihnya, Dika selalu membuatku bahagia penuh suka tanpa pernah kupinta. Dika selalu ada, mengubah hari-hari sepiku menjadi penuh warna, penuh pukau, hingga segalanya menjadi begitu indah adanya. Pada akhirnya, lewat teduh kasih dan sayangnya pula, Dika mempersembahkan kepadaku sekeping cinta. Dialah Dika, Dika-ku, Cappuccinoku, Lelaki Ajaib-ku.
Dika datang terkadang tanpa diundang, kemudian berujung pada perpisahan yang selalu menyisakan rindu. Hadirnya selalu membawa tawa, cerianya selalu menghadirkan suka, bersama Dika kuresapi rasa bahagia. Hari-hari bersamanya adalah saat-saat indah yang berujung pada damai suka cita.
Semakin mengenal kedalaman diri Dika, mengerti masa lalu yang membentuk hidupnya, memahami masa-masa kelabu yang menjadi tonggak perubahan liku sejarah panjang diri pribadinya, semakin aku menyadari, bahwa Dika berusaha keras menebus segala dendam masa lalunya, berusaha keras mewujudkan impiannya yang sempat tertunda dan membagi kasihnya untukku.
Dan ketika tiba saatnya bagi kami untuk berpisah dengan Bapak dan Bunda Dika, ini menjadi bagian terberat yang harus kutulis, dan justru bukanlah apa yang terjadi pada malam terakhir kami di Negeri Castle Dika, bagian yang membuat para jomblo di seluruh dunia ini sekalipun mungkin tak akan sanggup sekedar memahami ataupun membayangkan apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang kurasakan malam itu.
Bagian terberat yang sulit sekedar untuk kugambarkan justru ketika kulihat Dika menitikkan air mata saat kami berpamitan, saat Dika memeluk erat Bapaknya. Tak banyak kata dapat kususun selain pesan Bapak Dika kepadaku,
"Tolong jaga Dika seperti aku menjaganya. Dunia ini terlalu keras untuk dilaluinya seorang diri."
Saat itu juga, entah apa yang dimaksud dengan Bapak Dika, sesungguhnya aku tak sanggup memahaminya. Dika terlalu sedih sampai-sampai tak sanggup menyetir mobil dan memberikan kunci mobil itu kepadaku.
Bunda tampak begitu tabah, hanya satu kalimat pendek yang disampaikannya kepadaku,
"Temani Dika, sayangilah Dika seperti Dika mengasihimu."
Mobil pun meluncur meninggalkan Bapak dan Bunda Dika, meninggalkan mereka berdua, membawa kami semakin jauh dari Negeri Castle kampung halaman Dika. Dalam diamnya, aku tahu Dika menahan butiran air mata yang sudah tak sanggup lagi dibendungnya. Matanya begitu sembab. Ingin rasanya memeluk Lelaki Ajaibku, namun aku harus fokus melihat ke jalan.
Saat itu barulah aku tahu, sebegitu besarnya cinta Dika terhadap Bapaknya, terhadap Bundanya. Barulah aku sadar, bahwa di dunia ini, hanya mereka berdua, Bapak dan Bunda Dika yang betul-betul bisa mengerti dan memahami jalan pikir seorang Dika. Baru kusadari pula, bahwa diriku masihlah begitu kecil di hadapan Dika, belum dapat menjadi sosok seperti Bapak dan Bunda Dika. Sekalipun aku yakin, Dika begitu mengasihiku, menyayangiku, namun belum sepenuhnya aku dapat menjadi sandaran luapan emosinya, pemikiran dan keinginannya. Dika, Dika-ku, maafkan diri ini jika belum dapat menjadi seperti yang kau inginkan.
Bapak bagi Dika adalah segalanya. Seorang pemimpin, seorang pendidik, seorang pelindung, seorang sahabat dan satu-satunya manusia yang kepadanyalah Dika tunduk. Adalah Bapak Dika yang mengajarkan segala sesuatu yang beliau kuasai, yang menunjukkan kebajikan dan mengajarkan kebijaksanaan bagi satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, yang selalu melindungi dan menjaga Dika selama berada di sisinya, yang mengajarkan bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan, yang mengajarinya untuk tidak lagi menangis, yang mengajarinya untuk menjadi seorang lelaki, yang mengajarinya berbagi kasih serta berdamai dengan dirinya dan semesta.
Begitu besar cinta dan kasih yang Bapak Dika berikan untuk semata wayang anak lelakinya dalam keluarga. Beliau juga yang mengajarkan Dika bagaimana untuk menjadi seorang lelaki sejati, lelaki yang bisa mengerti, memahami, menghormati, mengasihi dan mencintai perempuan, hingga Dika menjadi Lelaki Ajaib seperti yang kukenal saat ini.
Demikian pula Bunda Dika. Bunda adalah sosok di belakang layar kehidupan Bapak Dika. Bunda adalah perempuan tangguh yang setia mendampingi Bapak Dika. Bunda pula adalah sosok yang paling mengerti dan memahami Dika, dalam sedih dan tawa Dika. Sampai saat ini, beliaulah satu-satunya perempuan yang betul-betul mengenal Dika, duplikat Bapaknya yang merupakan suami sekaligus kekasih pendamping hidupnya. Bunda tahu segalanya tentang Dika, Bunda tahu apa yang menjadikan Dika menangis, membuat Dika bisa tertawa, membuat Dika bahagia, Bunda tahu segala sesuatunya tentang Dika, mengingat beliau hidup berdampingan dengan Duplikat Dika, Senior Dika.
Sekalipun Dika jarang menyebut Bunda dalam kisah maupun cerita-ceritanya, Dika mengasihi sungguh Bunda tercintanya. Kepada Bunda, Dika selalu mengadu manakala benaknya begitu sesak, kepada Bunda pula Dika sanggup menceritakan segalanya tentang hidup yang dijalaninya, sebab hanya Bunda Dika lah satu-satunya sosok yang paling mengerti dan memahami Dika, Duplikat Bapaknya, sekaligus suami yang didampingi seumur hidupnya.
Dan sekarang aku baru mengerti, bahwa bagi Dika, perpisahan dengan Bapak dan Bunda Dika adalah saat-saat terberat untuk bersiap menyambut rindu. Rindu pada Bapak dan Bunda terkasihnya. Kiranya hanya kesadaran bahwa hidup haruslah dilanjutkan, yang menjadikan Dika sanggup bertahan melalui detik-detik terberat dalam perpisahan mereka. Ya, perpisahan bagi Dika adalah saat-saat terberat untuk menyambut rindu.
Sebelum kuakhiri dan kulanjutkan sisa hari ini, benakku masih terpaku pada kalimat Bapak Dika tadi. Beliau memintaku untuk menjaga Dika, apakah sesungguhnya makna dari kalimat bersayap itu? Apakah beliau memintaku sekedar untuk menjaganya? Menjaga yang seperti apa? Bagaimana? Dika tak perlu dijaga. Dika bisa menjaga diri. Justru Dika yang selalu menjaga dan melindungiku. Atau sesungguhnya menjaga emosi Dika? Meminta Dika untuk mendengar suaraku?
Entahlah.
Kemudian lanjutan dari kalimat Beliau, bahwa dunia ini terlalu keras untuk dilalui Dika seorang diri. Apakah maksud dari kalimat itu? Apakah ini berarti beliau memintaku untuk sekedar mendampingi Dika dalam menjalani hidupnya? Apakah ini lebih berarti bahwa Beliau merestui kebersamaan kami berdua, menerima diriku sebagai pendamping Dika?
Lagi-lagi entahlah.
Berikutnya adalah tuturan Bunda yang begitu singkat namun sesungguhnya tak akan mudah untuk kulaksanakan. Bunda hanya memintaku untuk menemani dan menyayangi Dika seperti Bunda mengasihi Dika.
Bagiku, sekedar untuk menemani Dika tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dika terlalu ajaib bagiku. Aku harus bisa memahami Dika sekedar untuk menemani Dika. Bagi Bunda, memahami Dika adalah semudah memahami Bapak Dika, suaminya, sekaligus duplikat Dika. Adalah mudah kiranya bagi Beliau untuk memahami segalanya tentang Dika, mengingat Beliau sangat paham dengan segala sesuatunya tentang Bapak Dika. Bagiku, ini tidak akan mudah. Aku harus belajar banyak untuk satu hal itu.
Tapi menemani juga bisa berarti mendampingi. Mudahnya, apakah hal ini lebih berarti bahwa Bunda juga setuju agar aku menjadi pendamping Dika? Sungguh bersayap kalimat ini dan lagi-lagi entahlah.
Bunda memintaku untuk menyayangi Dika seperti Bunda mengasihi Dika. Ini adalah bagian terberat bagiku. Konsep cinta menurut diri pribadiku selama ini menjadi tak ada apa-apanya dibanding konsep kasih dalam keluarga Dika.
Bagaimana aku akan menyayangi Dika jika aku belum memahami Dika seutuhnya? Belum dapat mengerti keinginan Dika seutuhnya?
Entahlah, aku hanya tak ingin menyerah untuk semua itu.
Aku yakin, Dika, Dika-ku, Cappuccinoku, Lelaki Ajaibku, akan dapat membantuku menjawab semua itu. Aku hanya harus bersyukur dan berterima kasih, memiliki seorang Dika, yang mengasihi dan menyayangiku sungguh dengan caranya yang begitu ajaib.
Tak ada suara sampai hampir satu jam perjalanan. Aku larut dalam permenunganku sendiri dan Dika dalam permenungannya sendiri yang entah aku tak mengerti. Yang aku tahu, pelupuk matanya masih begitu berat untuk dibuka. Bola matanya masih begitu sembab menahan butiran air mata. Aku tahu, Dika betul-betul tak sanggup lagi membendungnya, namun masih berusaha keras menahannya di hadapanku. Perlahan kupegang jemarinya, kugenggam erat dan Dika pun tersenyum kepadaku.
"Makasih." bisiknya dengan suara berat tertahan.
"I love you, Dika." sengaja kulirihkan suaraku.
"Ditto." balasnya sambil mencium tanganku.
Dika memintaku untuk menepikan mobil sebelum memasuki tol Kota Lama. Kami berhenti di sebuah minimarket.
"Sher, tolong beliin cappuccino dong... Dika haus. Dika tunggu di mobil ya?"
"He em... adalagi?"
"Cappuccino aja."
"Siap... cappuccino buat Cappuccinoku segera tersedia."
Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Dika sudah tampak stabil emosinya. Mobil diarahkannya meluncur memasuki tol Kota Lama.
"Dika udah baikan?"
"Dikit lagi."
"Mau Sherly yang nyetir?"
"Hehe... Adindaku duduk aja yang manis, biar para bidadari sekalipun pada ngiri."
"Tuh kan... baru juga dikit lagi sedihnya ilang... udah mulai deh... tapi mau gimana lagi yah?"
"Hehe..."
"Ini kita langsung pulang? Dika ngga pengin nyambangi Bidadari Putihmu dulu?"
"Langsung aja ya, Sher... tapi ngga usah buru-buru kayak waktu berangkat kemarin... tar kalo ada spot-spot yang menarik kita berhenti dulu ya?"
"Ok... buat Dika, apa sih yang kaga Sherly turuti?"
Kugenggam dan kucium jemari Dika. Lelaki ajaibku hanya tersenyum. Dalam benakku aku hanya bisa berbisik,
"Dika, Sherly akan berusaha menjadi seperti yang Bapak dan Bunda Dika pinta. Untuk Dika, Sherly akan selalu ada."
Setelah membeli oleh-oleh, kami melanjutkan perjalanan meninggalkan Kota Lama, kota dimana Dika pernah tinggal selama beberapa waktu, menganyam sekaligus mengubur asa harapanya akan dunia pendidikan. Dika meninggalkan semua itu dan menatap jauh ke depan untuk kembali menjadi pribadi yang utuh, seorang yang memiliki arti lebih.
Selamat tinggal Kota Lama, Selamat tinggal Mei Lan, Bidadari Putih terkasih Dika, Selamat tinggal Monic, Sakura tersayang Dika, kami pergi untuk sebuah masa depan yang lebih pasti. Semoga kelak dapat kembali bertemu dalam kondisi dan situasi yang jauh lebih baik.
"Dik, gentian dong, Dika yang lanjutin, Sherly ngantuk. Lagian udah lama banget Dika ngga buat narasi kan?"
"Mengantuk ama sedikit lemes ya... hahahaha… Sherly curang, giliran bagian yang berat-berat dikasi ke Dika buat nulisnya."
"Hihi... kaga lemes koq, cuma ngantuk."
"Iya... iya deh, Dika lanjutin... mau gimana lagi ya kalo Bidadari yang minta... ok deh."
"Hihi... I love you, Dika."
"Ditto."
-oOo-
Mobil bergerak serasa terbang meninggalkan Gerbang Selamat Jalan Kota Lama. Satu lagi kenangan kusimpan rapi dalam kepingan 'Book of Dream' milikku yang kian usang. Mungkin aku perlu membeli buku baru, membuka lembaran baru, mengisinya dengan judul baru dan memasuki dunia baru bersama Adinda Bidadari Manisku, yang beberapa hari ini menemani dan menyertai hari-hari bahagiaku bersama Bapak dan Bundaku terkasih.
Perpisahan ini, hanya akan menyisakan kepingan rindu, yang menghadang hari-hari sepi di hadapanku. Beruntunglah diriku, Yang Kuasa mengirimiku seorang Bidadari serupa Malaikat bernama Sherly Putri Titiani, yang mengasihi dan menyayangiku sungguh, hingga hari-hari beratku sekalipun menjadi begitu ringan dan ceria adanya.
Selepas Gerbang Kota Lama, kubiarkan Adinda Bidadari Manisku menikmati lelap istirahatnya. Terlalu lelah barangkali. Mobil kularikan dengan cukup kencang mengingat tak ada lagi yang bisa kuajak bercakap selain fokus pada hitamnya aspal jalanan sepanjang Pantura.
Kota Batik, tengah hari. Panas, tapi berasa sejuk di hati. Itu karena Adinda Bidadari Manisku tak mau melepas pegangan tangannya pada lenganku. Tanpa peduli dengan beberapa pedagang batik yang tak berkedip melihat kami, Sherly terus saja tersenyum dan menggelayut di lenganku, sesekali minta dirangkul, sesekali pula minta digenggam jemarinya. Biarlah Sherly bahagia, kuturuti semua pintanya.
"Dik, Sherly boleh kasi Dika hadiah ngga?"
"Hadiah apaan?"
"Bukan 'apa', Dika Sayang… tapi 'buat apa'?"
"Hihihi... iya buat apa?"
"Traalaaaa... batik couple... biar sehati, Sayang."
"Hihihi… norak bin alay."
"Dika, please?"
"Iya... iya... tapi buat apa dulu?"
"Buat ketemu Papa dan Mama Sherly!"
"HAAA…"
"Dika mau kan? Ketemuan ama Papa dan Mama?"
"Hihihi... iyalah… tapi kaga sekarang lho ya... belum waktunya... hahahaha..."
"Hihihi… buat kondangan, Dika Sayang… Dika mau kan nemenin Sherly kondangan di nikahan teman?"
"Hihihi… ya maulah…"
"Sippp... berarti Dika yang pilih batiknya deh?"
"Udah Sherly aja. Dika ngga pinter milih baju batik. Tasya sekalian dibeliin, jangan lupa."
"Ok."
Setelah sekian waktu, kami melanjutkan perjalanan. Kubiarkan Bidadari Manisku tertidur ketika kami memasuki Kota Bahari. Shely baru terbangun ketika mobil kuhentikan di rest area di daerah Subang untuk istirahat sebentar sekaligus menghirup udara segar.
Dari lantai dua tempat itu, kami memilih duduk di bangku panjang yang menghadap langsung ke sisi barat. Senja belumlah sempurna. Tak henti-hentinya Sherly menebar senyum. Bahagianya Sherly terlihat seperti itu. Aku turut bersuka.
"Foto dulu yuk, Dik... buat kenangan... hihi... Tidak setiap hari kita bisa seperti ini, di sini" tutur Adindaku sementara aku hanya tersenyum menuruti.
"Cappuccino, senja, berdua, bersama Dika... sempurna. Bahagia banget rasanya, Dik... udah kayak lebaran."
"Hihihi... iya, bahagianya kelewat."
"Sherly pengin seperti ini tiap hari, setidaknya tiap hari bersama Dika."
"Sherly sabar ya... tapi Dika bisa koq, menunda rencana perluasan ke Jawa Barat… kalo Sherly mau?"
"Eh, jangan... itu udah cita-cita Dika kan? Mengepung Ibukota tanpa masuk ke Jakarta?"
"Itu artinya... Dika akan lebih sering berada di luar kota... artinya lagi, kita ngga bisa sering-sering seperti ini... tar Sherly sedih, Dika juga yang repot kan?"
"Hihihi... iya ya, Sherly egois ya, Dik? Dika sedih ya?"
"Ya enggak lah... kalo Sherly direbut ama Mamangnya penjual kopi tadi... baru Dika sedih... marah..."
"Hihihi... peluk Sherly dong, Sayang?"
Senja berlalu dalam rentang sekian waktu. Setelah puas menikmati senja, kami melanjutkan perjalanan. Sherly kembali tertidur. Dalam keteraturan hembusan nafasnya, kulihat wajah itu begitu berbinar. Ada senyum dalam lelapnya. Senyum bahagia kurasa. Pada akhirnya, kurasakan pula damai bahagia itu memenuhi benakku sepanjang perjalanan menuju Ibukota.
Adalah salah besar jika menganggap wanita adalah makhluk yang lemah. Bagiku saat ini, wanita adalah makhluk tertangguh di dunia. Lewat senyumannya, ia akan mampu meluluhlantahkan laki-laki tertangguh di semesta raya sekalipun. Lewat kasihnya, jangan lagi bertanya, Kawan, ia akan mampu melumerkan hati laki-laki bahkan yang sebeku es di Antartika sekalipun. Percayalah.
Demikian juga dengan Sherly, Sherly-ku, Adinda Bidadari Manisku. Sherly Putri Titiani, siapakah sesungguhnya dirimu, yang berhasil meruntuhkan tembok egoku, melumerkan kebekuan masa laluku hingga memenangkan hatiku?
Kauhiasi kerasnya hari-hari beratku lewat manis senyummu, kauwarnai sepi hari-hariku dengan kemanjaan diri pribadimu, kaubangkitkan kembali mimpi-mimpi usangku yang sempat tertunda dengan keteduhan kasihmu.
Sungguh beruntung diri ini, memiliki dirimu yang ibarat Bidadari serupa Malaikat, yang memiliki paras secantik hatimu. Kauajak aku kembali bermimpi, tentang terang dan indahnya pagi terjanji. Kau menjadi penyemangat hidupku. Kaulah bingkisan terindah dari Tuhan untukku.
Dan jika memang Sherly adalah seseorang yang kepadanyalah aku merasa tak sanggup menjalani sepi hari-hariku, akan kuperjuangkan dengan sungguh kebersamaan yang begitu indah ini sampai maut memisahkan kami.
Sherly, untukmu aku akan selalu ada. janjiku.
Senja datang dan pergi, seperti halnya perjumpaan dan perpisahan. Terima kasih Adinda Bidadari Manisku, yang menemani dan mendampingi sejenak perjumpaan dengan masa laluku, dengan Bapak dan Bundaku, dengan Kampung Negeri Castle-ku, hingga kerinduanku terobati.
Perjumpaan Adinda Bidadari Manisku dengan Bapak dan Bunda banyak mengubah pandangannya, terutama pemahaman Sherly tentang kasih, sayang dan cinta. Sherly semakin memahami ketiga hal tersebut hingga memudahkan kebersamaan kami selanjutnya, tanpa mengubah jati dirinya.
Sherly tetaplah Sherly dan Dika adalah Dika. Adinda Bidadari Manisku semakin mudah menerima serta memahami pekerti kasih dan sayang yang kupersembahkan hari demi hari dalam kebersamaan kami.
…Teruntuk kamu,
yang saat ini selalu menjadi kepingan rindu di setiap langkahku,
terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku,
menjadi cahaya yang setia menerangi hari-hariku…