Bagai butiran air hujan yang seolah berkejaran membasahi kota ini, hari demi hari berlalu begitu cepat. Kota ini seolah tak butuh Sang Waktu. Pagi bermula ketika bola mata baru terbuka, siang menjelang ketika pekerjaan menumpuk segudang, petang merambah ketika tubuh terasa begitu lelah, begitu rapuh, kemudian nyanyian malam membelah kesunyian di kota ini, mengiringi kebersamaanku dengan Adinda Bidadari Manisku di kota sebelah.
Seolah tanpa lelah, Adinda Bidadari Manisku selalu menunggu setiap diksi yang mengisi percakapan kami. Kemanjaan dalam dirinya menghadirkan suka gembira. Keceriaan dan suara manjanya menjadi semangat tersendiri. Segalanya tampak begitu mudah. Inilah benih-benih kasih yang kami petik dari kebersamaan selama ini.
"Dika, tar langsung jemput Sherly di klinik ya... trus besok pagi Sayangku langsung berangkat dari pondokan Sherly aja. Sherly ikut ke Bogor deh."
"Iya, tapi naik motor... ogah kalo bawa mobil Sherly... kaga ada tempat parkirnya di rumah."
"Hihihi... iya, Dika Sayang... naik motor juga lebih seru… Sherly tunggu ya"
"Ok... see ya."
Demikian rutinitas kami tiap Jumat sore. Terkadang kami hanya di pondokan, berdua berbagi cerita maupun canda, terkadang rame-rame bersama Tasya dan teman-teman Sherly lainnya, bahkan terkadang pula Mami ikut serta. Sesekali Sherly minta jalan-jalan di Depok maupun Jakarta, kuturuti semua demi suka gembiranya.
Sabtu pagi aku harus bekerja. Sherly selalu ikut serta. Terkadang ikut keliling, terkadang pula menungguku di rumah Mbak Anna, kakakku, bercengkrama dengan Vania, ponakanku dan pada akhirnya menghabiskan akhir pekan bersamaku di rumah Bogor.
"Loh, koq, kita jalan kaki, motor Dika diparkir dimana?"
"Hihi... tuh, dah jadi box... katanya gini, 'Dika aku udah capek nemenin kamu selama ini, dituker mobil box aja ya, biar Sherly kaga kehujanan ato kepanasan kalo maen ke Cilebut?'... gitu katanya... hehehe..."
"Tuh, kan... ngga bilang Sherly kan... sayang juga kalo mesti jual motor penuh kenangan, lagian kurangnya kan cuma dikit... pake uang Sherly dulu ngga apa-apa kan mestinya?"
"Udah, kaga usah dibahas... besok Dika bisa bilang Koh Lee, biar dibayarin dulu uang mukanya kalo butuh motor lagi. Tapi ni kita langsung ke Bogor ya... hihihi... mau diparkir dimana kalo di pondokan Sherly? Penuh kan?"
"Hihihi... Ayuuk... Minggu kemarin springbed, lha ni malah mobil. Dika bener-bener memeras keringat ya?"
"Hehe... yang penting Sherly bahagia."
"Berarti mesti bawa pakaian ekstra nih."
"He em... punya Sherly yang di Bogor juga udah Dika cuciin semua."
"O... pantesan... Sherly cari ngga ketemu... hahaha... kan ada dalemannya juga, Sayang? Mesti waktu nyuci sambil dihayati ya?"
"Iyalah... sayang kalo kaga dibayangin… isinya... hahahahahaha..."
"Tuh norak banget kan... hehe... makasih ya, Sayang?"
"He em…"
"Emang Mas Tanto jadi pulang ke Surabaya hari ini?"
"Tadi pagi berangkatnya. Istrinya udah kaga tahan katanya... hahahahaha..."
"Hihihi... bener-bener bocah tua nakal ya? Sherly boleh cobain bawa mobilnya ngga, Sayang?"
"Dengan senang hati... jadi Dika bisa tidur... hahaha..."
"Hihihi... udah lama Sherly pengin nyobain bawa mobil box. Sulit ngga, Sayang?"
"Sama aja, tar lewat jalan tikus aja, biar terbiasa dulu."
"Siap."
Ada tawa yang berlebih ketika melihat Adinda Bidadari Manisku berada di belakang kemudi mobil box. Sesuatu yang janggal, aneh mungkin, di mata banyak orang, sampai-sampai banyak pasang mata tak berkedip melihat kami. Kuturuti semua maunya demi memuaskan pintanya.
"Dika, gimana parkirnya? Sherly belum terbiasa... sempit itu pintunya, Sayang."
"Hahahahaha... udah biar di jalan aja dulu, yang penting mepet, biar yang lain bisa lewat."
"E-eh, tunggu bentar... belum biasa ini. Dika mau kemana?"
"Mandi... udah gerah banget ini."
"Ikuuut..."
Kubiarkan Adindaku dengan segala kebingungannya memarkir mobil box. Aku yakin, pasti bisa. Benar saja, setelah selesai mandi, Sherly-ku sudah menungguku di tempat tidur.
"Hihi... bisa kan?"
"Jelek tau... masak Sherly ditinggalin gitu aja?"
"Hehe… Kalo kaga dipaksa gitu, tar kaga belajar namanya."
"Bener juga ya? Capek ternyata nyetir mobil manual."
"Belum biasa aja itu. Tapi bisa kan?"
"He em sini, Sayang... pijitin Sherly dong?"
"Hahahaha... modus... ada maunya nih... ketagihan beneran kan?"
"Iyalah... siapa juga yang ngga ingin lagi... dan lagi..."
"Hihi... iya, tapi tar nurut ama Dika."
"Iya, Dika Sayang... Sherly pasrah aja deh tar..."
"Ama besok Senin jangan bolos kerja lagi."
"Hihihi... siapa juga yang sanggup coba... sampai segitunya juga… Dika bener-bener top deh."
"Hahahaha... makanya, jangan bangunin singa yang kaga ngantuk!"
"Hihihihi... Sherly kena batunya ya? Cappuccinoku emang istimewa… peluk Sherly dong, Sayang?"
Kuturuti semua pinta Adindaku. Sherly membenamkan wajah manisnya di dadaku. Damai sekali rasanya. Setelah sekian waktu, kulepas pelukanku. Sherly sudah mendongak pasrah. Kutempelkan jari telunjukku pada bibirnya. Sherly tersenyum.
"Liat purnama dulu yuk, Sayang?" bisikku.
"Tuh, kan… Sherly tambah meleleh abis nih…"
"Hihihi… yuk…"
"Dari mana liatnya?"
"Atas genteng…. hahahaha…"
"Dika norak banget deh… masak di atas genteng sih?"
Segera kutarik lengan Sherly. Adindaku tersenyum dan menurut ketika kuajak naik ke bagian lantai dua yang baru kemarin selesai di cor.
"Oh, jadi ini kamar Dika nantinya? Keren… Koq cuma separo, Dik? Kenapa ngga sekalian sampai depan?"
"Hihi… kalau langsung total sampai depan, kan mesti ada tiang-tiang penyangganya tuh, trus Dika tidur dimana? Barang-barang mau ditaruh dimana?"
"Hihi… ya tidur di pondokan Sherly lah…"
"Hahahaha… tar temen-temen Sherly pada iri…"
"Biarin…"
"Yeee… Bu Dokter norak beneran ya?"
"Hihihi… Dik, boleh Sherly omong ngga? Tapi serius… Dika jangan becanda dulu…"
"Ya tapi sambil duduk. Bentar, Dika ambil tikar dulu."
Kutinggalkan sejenak Adindaku untuk mengambil tikar dan cappuccinoku. Selang beberapa saat, aku kembali dan segera duduk di atas tikar. Sherly memilih duduk di depanku sambil minta didekap. Kuturuti.
"Sherly mau bilang apaan tadi?"
"Dik… rasa-rasanya, Sherly bener-bener jatuh hati deh ama Dika."
"Yeee… kirain mau bilang apaan…"
"Bukan gitu maksudnya, Dika Sayang… Sherly cuma ngerasa, hari demi hari yang Sherly lewati, ngga di pondokan, ngga juga di klinik, cuma Dika seorang isi di pikiran dan benak Sherly. Rasa-rasanya Sherly ngga bakalan sanggup kalo mesti jauhan ama Dika."
"Hihihi… sama… makanya Dika kerja keras buat nyiapin masa depan."
"Tuh kan… Sayangku bener-bener duplikat Bapak ya? Bicara cuma sedikit, langsung mengena…"
"Hahahaha… mau gimana lagi, emang Dika kerja kan cuma buat bahagiain Sherly?"
"Hihihi… Sherly nyerah deh, Sayang… ngga sanggup lagi jauhan ama Dika."
"He em…"
"Dik, Sherly boleh beneran kan, tinggal ama Dika?"
"Boleh…"
Adindaku terperanjat dan langsung memelukku.
"Beneran, Dik?"
"Tapi… setelah kamar Dika jadi… hehe… Sherly mau tidur dimana? Di bawah? Jadi satu ama barang-barang dagangan? Belum lagi kalo Mas Tanto tidur sini. Kasian kan kalo liat kita berduaan? Hahahahaha…"
"Hihi… betul juga ya? Eh, Dik, gimana kalau tabungan Sherly dipake buat nyelesein rumah ini?"
"Yeee… ini rumah Dika. Jadi ya biar Dika yang nyelesein. Lagian Dika juga punya tabungan sendiri. Jadi tabungan Sherly ya buat Sherly aja."
"Hihihi… keren… salut ama Dika deh…"
"Lagian Sherly tau kaga? Dika kaga yakin Sherly mau tinggal di tempat seperti ini."
"Yeee… Dika yang norak sekarang. Jelek tau! Sherly kan pernah bilang, mau tinggal dimanapun, Sherly ngga bakalan keberatan… asal sama Dika. Biar Sherly bisa sekalian latian, jadi Nyonya Andika Satria Pamungkas… hahaha…"
"Hihihi… Dika nih yang terbang?"
"Hahahaha… I love you, Dika…"
"Ditto…"
Spontan kupeluk dan kucium kepala Sherly.
"Dik… ini Sherly serius loh… Dika beneran ngijinin Sherly buat tinggal di sini kan?"
"He em… asal udah jadi."
"Makasih Dika Sayang… Dekep Sherly dong, Sayang… bulannya udah keliatan tuh… kayak Dika… menyala-nyala semangat hidupnya…"
"Hihihi… itu karena Dika punya Sherly. Coba kalo Dika masih sendiri… Sepi deh hidup Dika."
"Kebalik kali… Dika mah, udah keren sejak dari orok, tinggal tebar-tebar pesona dikit aja, gadis-gadis pasti pada klepek-klepek, pasrah."
"Hihi… udah lewat masa itu, Sherly… jangan pernah bilang seperti itu lagi yah? Dika udah memilih Sherly, itu artinya, hati Dika, hidup Dika, cuma buat Sherly seorang."
"Dik… Sherly takut…"
"Takut apaan?"
"Sherly takut ditinggal Dika. Sayangku janji ya… ngga bakalan ninggalin Sherly?"
"Yeee… super norak kalo ini. Dika tanya deh… pernah kaga, Sherly nunggu lama sekedar buat mendapat balasan atau panggilan Dika tiap kali kirim pesan ataupun menelepon? Kaga pernah sekalipun kan? Itu karena dalam hidup Dika cuma Sherly seorang yang Dika pikirkan."
"Iya, tapi Dika tetep janji… Sherly ngga bakalan sanggup Dika…"
"Hihihi… masih kurang? Mesti pake kata-kata juga?"
"Dika… sekaliiii aja… Sherly pengin denger…"
"Hahahaha… Dika tanya sekali lagi nih, kalo Dika kaga sayang ama Sherly, kaga serius maupun sungguh-sungguh ama Sherly, Dika pasti udah mewujudkan keinginan Dika buat perluasan hingga Jawa Barat. Sherly tau sendiri kan, Dika menunda semua itu karena Dika lebih memilih Sherly, karena Dika sayang Sherly. Dika akan lakuin apapun asalkan Sherly bahagia. Kerjaan dan yang lain-lainnya boleh jadi nomor dua, bahagia Sherly adalah yang utama."
"Maafin Sherly ya, Sayang? Ngga ada maksud apa-apa tadi, Sherly cuma pengin dengar aja tadi."
"Hihi… kaga perlu minta maaf, Sherly-ku terkasih… Dika janji, sampai maut memisahkan, Dika akan bahagiain Sherly."
"Dika… Sherly bener-bener terbang kalo ini…"
"Hihihi… makanya, jangan pernah lagi Sherly tanyain kesungguhan hati Dika."
"Iya, Sayang… sekali lagi maafin Sherly."
"He em… liat tuh, bulan bener-bener minder liat kita pelukan kayak gini…"
"Hihihi… Dika bisa aja… Sherly seneng banget tau… ngga nyangka, Cilebut bener-bener akan menjadi bagian dari sejarah hidup Sherly. Tau ngga, Dik, waktu pertama kali dengar kata Cilebut dari Tasya, Sherly mengira kalo daerah ini kayak Depok. Ternyata adem daerahnya, mana tenang juga. Pantesan Dika betah tinggal di sini."
"Akan lebih betah lagi kalo ditemani Bidadari tiap harinya…"
"Sherly dong itu orangnya."
"Hahahaha…"
"Trus tiap pagi Sherly akan buatin Dika roti isi ama segelas susu coklat… hehe…"
"Yeee… bangunnya juga selalu duluan Dika… lagian nih ya, Dika pasti udah kebanyakan susu… dua malahan… cappuccino aja yah?"
"Hahahaha… norak… norak… norak… Dika jelek!!!"
"Hihihi… boleh kan… buat Dika?"
"Boleh dong… semua buat Dika, Dikaku tercinta… Sherly akan pasrah aja…"
"Hahahaha… Bu Dokter norak beneran ya?"
"Biarin!!!"
"Hihi… rasa-rasanya kita udah kayak suami-istri beneran ya, Sher?"
"Iya… terserah apa kata orang… mulai sekarang Sherly nganggep Dika adalah suami Sherly… seutuhnya…"
"Siap… Nyonya Andika… sampai maut memisahkan kita kan, Sayang?"
"Selamanya Dika Sayaaaang… udahan yuk… kita lanjut di kamar…"
"Wuihhhh… kalo ini… lemes deh Dika…"
Sherly menarik lenganku perlahan. Adindaku menciumku. Kami segera turun. Malam pun menjadi milik kami berdua. Ada damai kurasakan dari kepasrahan seorang Sherly Putri Titiani dalam dekap hangat pelukanku.
"Sherly sayang Dika."
"Dika juga sayang Sherly."
Benar kata Adindaku, Cilebut mungkin tak dikenal banyak orang. Namun Cilebut menyisakan seraut kenang yang tak akan begitu mudah kami lupakan. Kebersamaan kami di Cilebut, fajar pagi di Cilebut, senja di Cilebut, purnama di Cilebut, adalah hari-hari bahagia yang mewakili kebersamaanku bersama Sherly Putri Titiani, Adinda Bidadari Manisku.
Petang telah berselang ketika Adindaku memintaku untuk menerbangkannya menuju ke bulan. Kuturuti semua pintanya demi suka cita bahagianya.
Bagai sepasang camar yang terbang di keluasan samudera raya, menikuk, lalu terbang lagi, berkejaran, terhempas oleh hembusan angin tenggara, lalu terbang lagi. Bagai sepasang rusa jantan dan betina yang berlari dan meloncat di keluasan savanna, hamparan rerumputan hijau yang menjadi teduh tempatnya bercengkrama, saling mengejar, berlari dan berloncatan lagi.
Seperti membajak tanah hangat yang sisakan peluh, menetes dan membasahi seluruh tubuh. Seperti berdansa di tengah hamparan sutera kelabu, terkoyak, terhempas dan dengan begitu lembut mulai menarikan tarian senja, ada hangat yang menyergap di seluruh permukaan kulit tubuh, seiring hembusan nafas yang semakin tak berima, seiring kicauan surgawi yang bergema di dinding telinga.
Langit malam seolah terbelah jauh sebelum cakrawala hadir mengiringi sejuknya pagi, memagutkan jiwa kami dalam alunan malam sunyi. Surga serasa menjadi milik kami berdua, seakan melayang ke negeri antah-berantah, serasa melayang di awang-awang, di keluasan angkasa, di antara awan yang berarak, ada yang tertahan, lalu terlepas, bahagia tak terkira.
Seperti berada pada satu titik batas yang tiada batasnya, membubung tinggi, segalanya terasa begitu ringan. Seperti berada pada sebuah akhir yang tiada mengenal akhirnya. Seperti terbebas, terlepas dari puncak ketegangan, terpekik dan akhirnya lunglai tak berdaya. Indahnya malam menyambut pagi.
Dan malam pun beranjak pagi, ketika cangkang kerang mengerang, terdampar di pantai bahagia, setelah endap terakhir hempasan ombak penuh suka. Buih putih meniti kaki, sisakan asin seperti sisa garam laut. Dan ombak pasang pun menghempas pantai.
Selalu tentang Sherly dan hangat pintanya, tak akan pernah ada habisnya. Kalian mungkin tidak akan sanggup sekedar membaca terusannya. Jadi biarlah momen-momen seperti ini menjadi milik kami berdua saja.
Bahkan cicak di dinding yang biasa menemani kesendirianku sekalipun, kumohon dengan sangat untuk pindah ke kamar sebelah dulu. Kasihan juga kalau sampai keselek kekehannya sendiri.
Juga jengkerik yang biasa berderik di halaman luar, sengaja kuminta untuk jalan-jalan dulu, kasian kalau suaranya jadi parau setelah mendengar kicauan ranjang kami. Chao
…Sherly Putri Titiani,
akulah garam,
yang tak mau pisah dari laut birumu.
Damai...