Sore itu, Dika mengajakku melihat senja. Ah, senja, semenjak bersama Dika, aku jadi menyukai senja. Romansa senja tak akan pernah ada habisnya sekedar untuk dijadikan cerita. Juga Dika bersama senjanya.
Di teras depan rumah, Dika mengajakku duduk menanti senja. Hanya berdua, dengan dua cangkir cappuccino menemani senja kami yang baru bermula.
"Dik, rasa-rasanya males balik ke Jakarta ya? Enakan tinggal di sini." kuawali romansa senja kami.
"Hihihi... berarti tar bisa nyicil buat anak dulu dong?"
"MAUUU... hihihi..."
"Sssttt... ada jomblo tuh... kasian... hihi..."
"Biariiiin..."
"Hihi... Sherly udah tidak takut sama Bapak kan?"
"Sedikit."
"Ya, seperti itulah Bapak. Kalau sama Bunda? Pasti Bunda banyak bocorin rahasia Dika ya?"
"Hihihi... iya... Sherly jadi merasa udah kenal Dika sejak masih TK... hahahahaha..."
"Hehe... kaga semudah melihat loncatan-loncatan peristiwa itu, Sher, kalau mengalaminya sendiri."
"Iya, Sherly ngerti koq."
"Bunda mesti ngajari Sherly macem-macem ya?"
"Ada deh... rahasia wanita... hihihi..."
"Apaan sih?"
"Yee... cuma pinjam istilah Bunda aja…"
"Sherly mesti diajari cara merayu Dika, ya? Diajari cara menerbangkan Dika ya?"
"Ih, Dika norak banget deh... hmmm..."
"Yeee... malah senyam-senyum sendiri. Dika tinggal ke dalam aja nih..."
"E-eh... jangan, Sayaaang... Dika di sini bentar... temani Sherly bentaaar aja... abis tu kalo mau nemenin Bapak lagi ngga apa-apa deh... hehe..."
"Hihihi... iya... Sherly kangen ama Dika ya?"
"Iya... baru dua hari diduakan Dika, rasanya udah kayak dua tahun Sherly ditinggal Dika."
"Hihi... iya, Dika lagi butuh Bapak, Sher... maaf ya?"
"He em... Sherly bisa ngerti koq."
"Makasih ya, Sher, udah ngertiin Dika."
"He em... peluk Sherly dulu dong?"
"Banyak orang lewat... tar aja yah?"
"Hehehe..."
"Sherly bahagia kan selama di Negeri Castle ini?"
"Iya, walau ngga selalu bersama Dika, tapi kan ada Bunda yang selalu ada buat Sherly."
"Hihi... Bunda istimewa ya, Sher? Beliau bisa mendampingi Bapak sampai saat ini."
"Tau ngga, Dik... dari Beliau, Sherly belajar banyak tentang Dika. Bunda bisa tau semuanya, Bunda bisa tau apa yang Sherly rasain saat bersama Dika."
"Bunda juga tau gimana cara bahagiain Dika kan?"
"Iya... koq bisa ya, Dik?"
"Hihi... jawabannya gampang... kan Bunda udah hidup lama bersama Senior Dika?"
"O... iya ya... Dika adalah Duplikat Bapak, demikian istilah Bunda."
"Cuma ada beberapa hal yang masih perlu Dika pahami, oleh karenanya Dika butuh Bapak saat ini."
"Hal apaan, Dik?"
"Tar malem aja yah, sambil peluk-peluk Dika boleh deh."
"Kalo peluknya sekarang... boleh enggak?"
"Tuh... tuh... liat... pada ngintipin kita."
"Siapa? Mana?"
"Tuh para jomblo... kasian... mau peluk siapa?"
"Hihihihi... ada aja."
Dika tersenyum, mencium rambutku dan langsung memelukku. Bahagia sungguh rasanya, berduaan di rumah orang tercinta.
"Sepertinya ini malam purnama deh, Sher... lihat tuh, bulan udah kelihatan jam segini."
"Indah, Dik... cantik yah?"
"Tapi lebih cantik Sherly."
"Tuh kan... harusnya Sherly tau... ujung-ujungnya cuma mau bikin Sherly terbang kan?"
"Eh, beneran... dengerin ni ya... wahai purnama ketiga, masih beranikah engkau merona, sementara di sini, di teras ini, Adinda Bidadari Manisku tersipu malu, dalam biru pelukanku?"
"Hihihi... pelukannya mana?"
"Cium aja yah, boleh?" pintanya, aku mengiyakan.
"Mmuahhh... di jidat aja..."
"Makasih Dika Sayang."
Dika tersenyum, kemudian kembali merangkulku.
"Sherly baca tulisan Dika, koq ada bagian yang ilang ya?"
"Oh, itu... Sherly mau lihat?"
"Boleh?"
"Tapi kaga boleh marah loh ya... kaga boleh cemburu juga... terutama kaga boleh nangis!"
"Serem banget, Dik?"
"Hihi... ke dalam yuk... tar abis makan, Dika liatin deh... tapi janji dulu."
"Sherly jadi takut."
"Hihi... ya udah, lain waktu aja... yuk, makan dulu... kasian Bapak udah nunggu."
Baru kusadari malam itu, jika di dalam keluarga Dika, acara makan adalah acara bersama. Tak ada yang boleh makan jika belum lengkap pesertanya. Seperti malam itu, rupanya Bapak dan Bunda Dika telah menunggu kami berdua sekedar untuk makan bersama. Aku jadi merasa tidak enak, sudah mengajak Dika berlama-lamaan di teras tadi.
"Dika, kalian jadi pulang besok pagi?" tanya Bunda.
"Rencananya gitu, Bun, tapi kalau Sherly mau tinggal di sini selamanya, ya kaga usah pulang ke Jakarta aja... hihi..."
"Apaan sih, Dik?" protesku.
"Hihi..."
"Sherly betah kan... tinggal di rumah kampung seperti ini?" tanya Bunda.
"Betah banget, Bunda... rasanya males mau balik ke Jakarta."
"Tuh, kan... apa Dika bilang... hehe..."
"Dik!!!" protesku keras.
"Ya udah, pulangnya lusa saja sekalian." sindir Bunda.
"Boleh, Dik?" pintaku setengah memohon.
"Yeee... Sherly yang ditanya Bunda... malah ganti nanya ke Dika... gimana, Pak? Boleh enggak?"
"Tidak usah pulang saja sekalian!" kali ini Bapak Dika angkat suara.
"Hahahaha..." semua tertawa.
Beberapa saat setelah gala dinner ala keluarga Dika dan membantu Bunda membereskan meja makan, aku minta ijin untuk istirahat. Dika membereskan pembicaraan dengan Bapaknya. Bunda istirahat di kamar.
Sesungguhnya, benakku bertanya, hal apalagi yang hendak Dika bicarakan dengan Bapaknya, Dika tidak mau cerita. Sudahlah, itu urusan Bapak dan anak, demikian penjelasan untuk diriku sendiri. Ternyata aku salah. Dika hanya sebentar berbincang dengan Bapaknya dan segera menyusulku di kamarnya. Lelaki Ajaibku terlihat begitu letih. Dika tersenyum. Segera kupeluk Dika ketika rebah di sampingku.
"Sher, beneran Sherly betah di sini? Kalo kita pulang lusa sekalian gimana?"
"Dika masih pengin ngobrol ama Bapak?"
"Udah cukup sih. Dika pengin jalan-jalan aja."
"Sherly mauuu… Liatin Negeri Castle Dika dong?"
"Ya udah. Besok Dika ajak keliling, liat rawa, kereta, sawah… hehe…"
"Asyik… Trus sekarang mau ngapain?"
"Dika nunggu Oding bentar yah, pinjem motor."
"Koq… Ngga diambil sendiri?"
"Hihi… Tar juga dianter… Nah, itu pasti Oding. Yuk, Dika kenalin sohib Dika sejak orok…"
Kuikuti pinta Dika. Lelaki Ajaibku mencium keningku kemudian kami keluar menemui Oding. Tak hanya Oding, beberapa saat kemudian, Dino dan Gani hadir bersamaan. Bahkan Mbak Siwi, istri Gani, ikut serta. Kami berbincang cuma sebentar kemudian langsung istirahat.
"Kenapa pada buru-buru pulang, Dika?"
"Hihi… Ngasih kita kesempatan buat anak kali?"
"MAUUU…"
"Hihi… Norak… udah yuk, kita istirahat malam ini. Besok subuh kita berangkat."
"Kemana?"
"Puncak gunung… hehe…"
Sesungguhnya aku tak begitu paham dengan maksud Dika. Tapi sudahlah. Kuikuti saja semua inginnya. Dika tak melepas hangat pelukannya dalam lelap tidurku.
Alarm pukul empat dari ponsel Dika belum juga berbunyi ketika Lelaki Ajaibku bangun. Dika mencium keningku dan segera turun.
"Masih gelap, Sayang… Dika mau kemana?"
"Puncak gunung… hehe… yuk, keburu pecah sunrise-nya. Gosok gigi trus berangkat."
Entah apa yang kupikirkan saat itu, yang jelas aku jadi turut bersemangat melihat Dika yang begitu bersemangat sepagi itu. Dika memintaku untuk memakai sweater serta jaket miliknya.
Seolah tak peduli dengan gigil dingin udara sepagi itu, Dika melarikan motor dengan cukup kencang. Jalanan terus menanjak, berkelak-kelok. Kudekap erat Lelaki Ajaibku. Benar kata Dika, tak sampai dua jam perjalanan, kami sudah sampai di puncak. Ya, puncak sebuah gunung. Aku masih tak percaya.
"Dika Sayang, ini beneran puncak gunung?"
"Hihi… iyalah… kan dulu juga Dika pernah bilang, suatu saat, Dika akan ajak Sherly naik sampai puncak gunung. Ini kita udah di puncaknya. Liat nih, ada tandanya. Walaupun cuma 1880 dpl, gunung ini tercatat di peta loh."
"Ini beneran gunung?"
"Hihi… udah yuk, liat sunrise dulu, keburu pecah."
Dika menggenggam jemari tanganku dan mengajakku berjalan menuju sisi timur. Kabut tebal menghalangi pemandangan kami. Kabut itu seolah datang dan pergi seiring hembusan angin. Di ufuk timur, mentari sudah tampak sebagian lengkung atasnya. Cahya jingganya telah menerangi bumi. Aku terperanjat ketika melihat ke bawah. Hamparan rawa yang cukup luas terlihat seperti tepat di bawah kami.
"Liat awan yang berarak itu deh, Sher. Tar kalau sampai sini, kita kayak terbang di atas awan, berdiri di atas awan, sementara jauh di atas kita, masih ada awan lagi."
"Oh ya? Bentar-bentar… Itu danau yang di ujung kota Dika kan? Luas banget ya ternyata?"
"Keren kan? Negeri Castle-ku terlihat semuanya dari puncak gunung ini. Sherly liat kerlap-kerlip lampu di sisi utara rawa itu? Itulah Negeri Castleku. Salah satu lampu itu adalah rumahku. Bunda pasti lupa belum matiin… hihi…"
"Keren… Ternyata Negeri Castle Dika dikelilingi gunung-gunung ya?"
"Itu yang di sisi utara, tingginya 2050 dpl. Kalo raksasa yang di belakang kita itu, tingginya lebih dari 3100 dpl."
"Hihi… dpl apaan sih, Dik?"
"Di atas Permukaan Laut… itu istilah buat menandai ketinggian sebuah gunung."
"Oh, gitu… Eh, Dika udah sampai di puncak gunung-gunung itu?"
"Udah semua… hehe…"
"Dik, kenapa Sayangku suka naik gunung?"
Lelaki Ajaibku tersenyum, menggenggam jemariku baru bertutur,
"Dika pernah bilang kan, setinggi-tingginya puncak sebuah gunung, pastilah lebih tinggi mata kaki apalagi lutut pendakinya. Sekarang Sherly liat deh, kita di puncak gunung ini, mata kaki bahkan lutut kita lebih tinggi dari tempat ini kan?"
"Iya juga ya…"
"Tapi jangan salah juga. Dika naik gunung biar jadi orang yang kaga sombong."
"Maksudnya?"
"Hihi… Jangan karena Sherly dokter gigi, yang cantik nan semampai, manis juga dengan potongan rambut pendek kayak gini, trus Sherly merasa udah yang paling hebat. Sekarang liat deh, diri Sherly saat ini, sehebat-hebatnya Sherly, Sayangku masihlah seujung kuku dibanding kebesaran alam ini. Liat tuh, siapa yang mengatur mentari terbit tiap paginya? Menerangi dan menghangatkan bumi? Gimana kalo 'Yang Mengatur' lupa, sehari aja, matahari kaga terbit, kira-kira apa jadinya? Dingin kan?"
"Uih… Amazing… dalem banget nih!"
"Hihi… Boleh kaga, Dika dekap Sherly?"
"Yeee… Jangankan dekep Sherly, mau cium-cium Sherly juga boleh… hehe…"
"Hihi… Dekap aja, biar anget."
Dika betul-betul hanya mendekap tubuhku dari belakang sambil menanti matahari terbit sempurna. Hangat tubuhnya kurasakan hingga menjalar ke seluruh tubuhku. Dika begitu tenang, begitu damai. Lelaki Ajaibku bahkan selalu tersenyum tiap kali kami bersitatap.
"Dik…"
"Iya?"
"Sherly sayang Dika."
"Sama… Dika sayang banget ama Sherly."
Kucium bibir Dika untuk sesaat. Dika tersenyum, kemudian mencium keningku.
"Sherly senang kan pagi ini?"
"Seneng banget, Dika Sayaaang… Rasanya damai banget didekep Dika di puncak gunung seperti ini."
"Kaga sia-sia kan, Dika bangunkan Sherly sepagi tadi trus kedinginan juga kan selama perjalanan tadi?"
"Iya, tapi sebanding ama damai yang Sherly rasakan. Makasih, Dika. Dekep Sherly yang kenceng dong, Sayang…"
Dika tersenyum dan menuruti pintaku. Masih sambil mendekapku, Dika menceritakan tentang Negeri Castlenya, kampung halamannya, jauh di bawah sana. Ada dendam kurasakan dari nada bicara Dika. Seolah kota kecil itu telah merenggut hidupnya, masa lalunya.
"Seperti itulah Negeri Castle-ku, Sher… Di jalanan sepanjang kota kecil itu, banyak yang mengenal Dika. Terutama para penghuni malamnya. Dika capek hidup dengan kesemuan semua itu. Makanya Dika putuskan untuk meninggalkan semua itu, membuka lembaran baru, memulai hidup baru."
"Setenar itukah Dika-ku?"
"Hihi… Abis turun gunung nanti, Sherly liat aja sendiri."
Dika terdiam untuk sekian detik waktu. Pandangannya seolah menerawang di kejauhan di bawah sana, di kota kelahirannya.
"Suatu saat nanti, Dika akan tunjukkan pada semua orang, betapa tanpa di Ibukota sekalipun, kita bisa berhasil. Dika akan memajukan Negeri Castle itu, Sher."
"Keren… Salut buat Dika."
Dika mencium rambutku. Setelah puas menikmati matahari terbit, Dika menepati janjinya. Dika mengajakku ke pinggiran rawa yang cukup luas itu, berjalan melewati pematang sawah, naik perahu yang cukup sempit, kemudian Dika juga mengajakku ke stasiun kereta api yang sudah berubah fungsi menjadi museum.
Hebatnya, Lelaki Ajaibku paham perihal dunia perkeretaapian, menjelaskan banyak hal yang tak kuketahui perihal kereta api. Dika juga kenal dengan pegawai-pegawai bahkan kepala museum. Ajaib. Dika mengajakku naik ke loko uap yang sedang dipanasi untuk perjalanan wisata. Bahkan Dika diijinkan menarik dan menggerakkan loko dari depo sampai stasiun yang jaraknya hanya sekitar 500 meter. Ajaib. Ternyata Dika benar-benar bisa.
"Speechless kalo ini…"
"Hihi… Bapak yang ajari Dika waktu masih SD dulu."
"Keren…"
Setelah puas di museum, Dika langsung mengajakku ke rumah Oding. Berkenalan dengan Emak terkasihnya. Terselip haru ketika mendengar cerita langsung dari perempuan paruh baya itu tentang kenakalan Dika dan Oding di kampung.
Tak lama berselang, Dino dan Gani bergabung di rumah Oding. Jadilah kami tak perlu menyambangi mereka. Siang itu, Dika menghabiskan waktu untuk bercengkrama dengan sahabat-sahabatnya. Aku turut bersuka dalam canda dan tawa mereka. Senang sekali mendengar kisah-kisah seru dari masa lalu mereka.
Terlepas dari semua itu, Lelaki Ajaibku benar-benar tenar. Hampir semua yang bertemu ataupun sekedar berpapasan, langsung memanggil namanya. Keren. Dika benar-benar tenar di kota kecil itu.
"Dika, sehebat itukah dirimu yang berani memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman, Negeri Castle-mu ini, sementara kenyamanan telah kaumiliki di sini, di tempat ini, di kota kecil ini?" tanyaku hanya dalam hati.
"Koq, melamun?"
"Hihi… Sherly ngga abis pikir aja. Kenapa Sayangku meninggalkan semua ini? Bukankah Dika udah enak, udah nyaman tinggal di sini?"
"Hahahaha… Sherly mau… tetep jadi Jomblo Selow dan kaga ketemu Dika? Tar Dika udah punya istri lima loh… kalo tetep di sini…"
"Hihi… Betul juga ya? Anaknya dua puluh lima dong?"
"Hahahaha…"
Dika tersenyum dan mencium keningku.
"Pulang yuk, Sayang?"
"So sweet, Dika… sering-sering dong bilang kayak barusan… Sherly seneng banget tau… kayak udah jadi istrinya Dika aja… hehe… Btw, jadi nih, kita buat anak sekarang?"
"Hahahaha… Bundaaa… Ada Bu Dokter norak banget ini loh… Kegenitan banget…"
"Dika apaan sih?"
"Hihi… udah ah… Eh, Sherly tau kaga, kenapa Dika mutusin untuk meninggalkan Negeri Castle Dika?"
"Kenapa?"
"Dika pengin liat dunia. Sherly yakin kaga, kalo suatu saat nanti, kita akan bisa keliling dunia?"
"Amien… Tak ada yang tak mungkin, Dika Sayang…"
"Tuh pinter… Makanya, Dika keluar dari kampung ini buat nyari pendamping yang akan selalu menyemangati Dika, biar bisa keliling dunia."
"Sherly dong itu orangnya?"
"Buat anak yuk, Sher?"
"Ayuuuk…"
"Hahahaha… Kena kau…"
"Hihihi… Dika sih… ngajak mimpi setinggi langit juga."
"Eh, emang mesti gitu… Mimpilah setinggi bintang di langit, andai jatuh sekalipun, kamu akan terjatuh diantara bintang-bintang."
"Keren…"
"Itu kata presiden pertama kita… hehe…"
"Masih sodaraan ama Dika?"
"Temen main gundu… waktu kecil dulu… hahaha…"
"Hihi… Sherly doain… Dika dapat wujudin mimpi-mimpi Sayangku."
"Dukung Dika dong… Jangan cuma didoain…"
"Iya, Dika Sayaaang… Sherly selalu dukung Dika… apapun yang Dika lakukan…"
"Makasih, Sher… Dika sayang Sherly…"
"Sherly cinta Dika."
Lelaki ajaibku mencium keningku dan segera mengajakku pulang ke rumah, tempat peraduan segala awal mimpi Dika bermula.
…Dika tak hanya menunjukkan indahnya Negeri Castle-nya,
terlebih Dika mengajarkan kepada kami,
untuk selalu menjadi diri sendiri,
memiliki mimpi, serta tak gentar untuk menggapainya…