Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 20 - Pengagum Rahasia

Chapter 20 - Pengagum Rahasia

Sesampainya di kantin, aku sempat tegang mencari-cari Dika. Rupanya Lelaki Ajaibku duduk di tengah, diantara beberapa karyawan dan staf yang sedang sarapan pagi itu. Dika terlihat begitu tenang. Namun tatapannya begitu serius pada laptop yang menyala tepat di hadapannya.

Sesekali kulihat Dika menyibakkan rambut panjang yang dibiarkannya tergerai tertiup angin. Baru aku sadar saat itu, rupanya Dika sengaja berdandan ala kembarannya untuk mengejutkan banyak orang, mengejutkan diriku. Keren.

"Hai..." kejutku.

"Hai... akhirnya datang juga, Bidadari Manisku." balasnya sambil tersenyum.

"Lama ya, nungguin Sherly? Maaf ya, Sayang?" lanjutku sambil bermanja ria dan menggenggam kedua tangan Dika.

Sengaja kubiarkan Dokter Budi berdiri. Aku lebih memilih untuk langsung duduk di depan Lelaki Ajaibku.

"Bentar bentar koq, tampil beda?"

"Sampai kaga bisa bedain kan?"

"Hihihi... iya, mirip banget... keren... Tasya bisa nganga tar kalo liat Dika... hehe... Udah pesen makanan? Eh, sampai lupa, kenalin, Dik... ini Dokter Budi." lanjutku.

"Hello... kenalin saya Dokter Budi Waseso."

"Eh, hai... saya Dika bukan Dokter, bukan pula Dokterandus... Dika aja." tutur Lelaki Ajaibku datar.

"By the way, makasih ya, Dok, buat bunganya kemarin." tuturku sambil memberi kode kepada Dika. Lelaki Ajaibku paham dengan maksudku dan hanya tersenyum.

"Oh, bunga itu... hehehe..." sahut Dokter Budi.

"O... jadi Dokter ini?" nada Dika meninggi.

Dika bangkit dari tempat duduknya. Tangannya ditepuk-tepukkan di pundak Dokter Budi. Tatapannya begitu tajam, tepat menghunus ke mata Dokter Budi.

"Jadi dokter ini yang ngasi bunga ke Sherly-ku kemarin?" lanjut Dika dengan nada masih meninggi, seolah dibiarkannya semua yang di tempat itu mendengar suaranya.

Kulihat Dokter Budi tampak tertunduk, tak lagi berani menatap mata Dika. Jujur aku betul-betul merasa tegang, ketakutan melihat amarah spontan Dika. Beberapa orang yang duduk di sekitar sampai terkejut mendengar suara Dika. Segala bentuk aktifitas seolah terhenti. Semua mata seolah tertuju pada kami.

"Dika..." tuturku lirih mencoba mencairkan suasana.

Dika tak bergeming. Tatapan matanya masih begitu tajam menatap Dokter Budi. Cengkraman tangannya di pundak itu juga masih begitu kuat. Kulihat otot-ototnya begitu tegang, bersiap meluluh-lantahkan siapapun yang dihadapinya. Dokter Budi hanya tertunduk.

"Dika... udah, Sayang... cuma bunga kemarin." suaraku masih bergetar.

"Maaf, cuma sekedar bunga doang kemarin, tidak ada maksud untuk..."

"Oh, jadi cuma sekedar bunga doang???" potong Dika masih dengan nada tinggi.

"Maaf-maaf, tidak ada maksud apa-apa..." suara Dokter Budi terbata-bata.

Belum juga ketegangan usai, muncullah Tasya bersama Dokter Ari. Mereka tampak terkejut dan kebingungan dengan situasi yang terjadi. Tasya begitu ketakutan dan langsung memegang lenganku.

"Ada apa?" tanyanya.

"Sstttt..." potongku.

"Ada apa ini ribut-ribut?" suara Dokter Ari meninggi seolah mau jadi penengah.

"Eh, ngga ada apa-apa, koq Dok... cuma salah paham." jelasku.

"Iya, Dok... cuma salah paham." sahut Dokter Budi.

"Saya dengar dari jauh, sampai ada yang teriak-teriak. Saya nggak suka ya, pada berantem di sini. Ini klinik, bukan tempat tawuran!" jelas Dokter Ari sok menggurui.

Untuk sekian detik waktu kulihat Dika menurunkan cengkramannya pada Dokter Budi, namun sorot matanya tak berubah sedikitpun. Kali ini justru tertuju pada Dokter Ari yang seolah menggurui dirinya. Dika sepertinya tersinggung dengan ucapan Dokter Ari beberapa saat tadi.

"Ini… kamu siapa lihat saya seperti itu?" bentak Dokter Ari pada Dika.

Sontak Dika mendekati Dokter Ari, begitu dekat, seolah mengukur jarak jangkauan tangannya. Keduanya saling berhadapan kini. Dika tak bergeming. Sorot matanya tajam mengarah ke tatapan Dokter Ari yang juga tak bergeming. Jantungku benar-benar mau berhenti berdetak rasanya.

"Dika… udah, Sayang..." bisikku lirih sambil memegangi lengannya yang begitu tegang.

"Ini siapa, Dok?" suara Dokter Ari membentakku.

"Oh, Dik, kenalin ini Dokter Ari." sahutku.

"Kenalin, Dokter Ari Wibisono!" tuturnya ketus sambil mengulurkan tangan.

"Dika. Dika aja, bukan Dokter, bukan pula Dokterandus, cukup panggil saya, Dika!" suara Dika tegas sambil menjabat erat tangan Dokter Ari.

"Sebentar-sebentar... kamu Dokter Ari yang mau ngajak chatting dengan Sherly-ku kemarin kan? Pukul sebelas lebih sedikit?" kali ini suara Dika kembali meninggi.

Dika masih menjabat tangan itu, erat tak dilepaskan, bahkan meremasnya. Suasana kembali tegang. Kali ini giliran Dokter Ari yang salah tingkah. Dika seperti kesetanan. Dika menjadi seperti bukan Dika yang kukenal.

"Maksudnya apaan kemarin? Ngajak chatting perempuan pukul sebelas malam?" lanjut Dika sambil menatap tajam Dokter Ari yang tampak canggung sekarang.

"E... e..." suara Dokter Ari seperti kehilangan kata-kata.

"E apaan? Mau bilang urusan kantor? Jam sebelas malam?" bentak Dika semakin meninggi.

"E... maksud saya... e..." semakin tidak jelas saja kalimat Dokter Ari.

"Dikaaa... udah, Sayang..." bisikku.

"Iya, Sayang... bentar yah... hehe..." balasnya.

Dalam sudut benakku yang terdalam, aku merasa lega. Dika bisa tertawa seperti biasanya. Ada senyum di ujung bibirnya. Senyum yang tersirat, yang seolah hanya aku seorang yang Dika ingin aku melihatnya. Entah kode, entah apa, benakku masih dipenuhi dengan ketegangan pagi itu.

"Apa? Chatting apaan?" kembali Dika membentak Dokter Ari, nadanya justru semakin tinggi kali ini.

Semua yang ada di tempat itu kembali terkejut. Tasya bahkan sampai mendekap lenganku dan bersembunyi di sampingku.

"Oh… chatting... e..." suara Dokter Ari terbata-bata.

"E lamaan! Tau!" teriak Dika.

Aku dan Tasya hampir tertawa.

"Kelamaan... eh... kelamaan..." latah Dokter Ari.

"Ya udah... duduk situ... kalian berdua!" lanjut Dika membentak keduanya untuk duduk.

"Sekarang dengarkan baik-baik... buat kalian berdua… terima kasih... kalian udah perhatian banget sama Sherly... sama Dokter Sherly Putri Titiani, maksudku... terima kasih udah perhatian sama tunanganku." kali ini nada suara Dika semakin menurun.

"Ohhh..."

Kudengar suara bersamaan dari hampir semua orang yang ada di tempat itu. Dika tersenyum memandangku. Kali ini senyum Dika yang sesungguhnya, yang seperti biasanya, bukan senyum yang seperti tadi. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Sejujurnya pula, dalam hati benakku masih agak sulit mencerna semua itu. Dika, Lelaki Ajaibku, sungguh ajaib benar diri pribadimu.

"Sekali lagi terima kasih. Udah perhatian ama Sherly... dan sebagai ucapan terima kasihku, Dokter Ari dan Dokter Budi... silahkan pesan makanan... saya traktir." lanjut Dika.

"Saya enggak, Dik?" protes Tasya.

"Hehe... tinggal minta Mpok Watik aja... silahkan, Neng Tasya yang imut..."

"Apaan sih?" protesku.

"Hehe... dilarang cemburu... inget... baper juga butuh energi... tolong pesenin cappuccino dong?" Dika tersenyum. "Anyway, Dokter mau kopi hitam sekalian?" lanjut Dika.

"Iya... iya... kopi hitam aja."

"Saya juga kopi hitam aja."

Dika mengangkat meja kosong dan menyatukannya dengan meja Dokter Ari dan Dokter Budi. Setelah itu mengambil tiga buah kursi, sehingga kami berlima dapat duduk semeja. Entah apa yang ada di benak kedua dokter di sampingku, aku tak tahu dan tak mau tahu. Pandanganku hanya tertuju pada Dika seorang yang sengaja duduk di depanku, seolah membiarkan Tasya menjadi penengah diantara kami.

"Dokter Ari... Dokter Budi... saya minta maaf... kalo kelewatan tadi." tutur Dika, kali ini benar-benar sopan.

"Oh, ngga-ngga... justru kami yang minta maaf. Maaf ya Dokter Sherly, Dika, kami tidak tahu kalau kalian sudah bertunangan."

"Hehehe... iya..."

Untuk sepersekian detik aku baru tersadar. Dari cara Dika tertawa, aku jadi paham dengan semua yang terjadi. Jadi inilah yang dimaksud skenario ala Dika? Semua ini hanya akal-akalannya Dika? Rencana Dika? Tapi kenapa ada Tasya di sini?

"Dik, Sherly mau pesen nasi uduk, Sayangku mau kaga?" tanyaku memecah kekakuan suasana.

"Cappuccino aja yah?" sahutnya.

"Dikasi gula setengah, trus diaduk sampai 30 kali kan?" lanjutku.

"Yuuup..." balas Dika sambil tersenyum.

"Dokter ngga sekalian pesen makanan?" tanyaku pada kedua Mantan Pengagum Rahasia-ku.

"Makasih, Dok, kopi aja cukup."

"Udah, kalian disini aja, biar Tasya yang pesenin, sekalian mau ke belakang bentar." kali ini Tasya angkat bicara.

"Makasih, Tas." sahutku.

Setelah beberapa saat, pesanan segera datang. Tasya juga sudah kembali setelah tadi sempat meninggalkan meja untuk ke kamar kecil. Semakin sadar dengan apa yang terjadi, kumaksimalkan kesempatan ini untuk balas dendam pada kedua dokter di sampingku.

"Silahkan dinikmati, Dok." tuturku sopan.

"Iya-iya... makasih... masih panas banget."

"Eh, Tas, jadi minta apa? Bilang sendiri ama Dika." tanyaku pada Tasya.

"Udah tadi... hehe..." sahut Tasya.

"Tadi? Kapan Tasya bilang ke Dika?" protesku.

"Ada deh... hehehe..." sahut Tasya.

Suasana jadi agak cair semenjak pesanan datang. Kulihat Dika senyam-senyum kepadaku. Butuh waktu agak lama bagiku sekedar untuk menyadari apa maksud dari senyuman Dika kali ini. Setelah sekian waktu gagal paham, akhirnya Dika menunjuk nasi uduk yang ada di depanku. Rupanya inilah petunjuk Dika kepadaku.

"Eh, Dik... mau nyobain kaga? Nasi Uduk Mpok Watik beneran istimewa loh. Semua dokter di sini pada mengakui. Ya, kan Dok?" tuturku.

"Iya, betul, istimewa…" sahut Dokter Budi.

Sesaat kemudian, tanpa menunggu jawab, tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarku, langsung kusuapi Dika yang duduk di depanku.

"Suapan nasi uduk pertama... buat Dika-ku... biar sehat selalu... akk... buka dong mulutnya?" pintaku sambil menahan tawa. "Wuz... wuz... kejauhan ini, Dika… maju dikit dong... nah gitu… akk..." tuturku.

"Apaan sih... udah nyampe ini... jelek kamu, Sher... malah main-main." balas Dika.

"Hihihi... sekarang beneran... akk... lebar dikit... wuz... wuz... wuz... nyaemm..."

"Yee... malah dimakan sendiri. Giliran Dika sekarang!"

"Hihihi... mau balas dendam nih?"

"Dika bales nih... ayo... akk... buka mulut... ngeng... ngeng... ngeng... kurang lebar nganganya... wuz... wuz... wuz... akk... nyaemmm... eit... salah... buat Sherly aja... sisa nasi uduknya Dika... hehe..."

"Tuh kan... beneran dendam... sekarang suapan nasi uduk kedua... hehe... biar Dika tambah sayang aja sama Sherly... siap-siap... eh, buat Sherly sendiri aja deh... biar Tasya kaga baper... hihihi..."

"Apaan sih?" protes Tasya.

"Tuh kan... jadi baper beneran... hihihi... maaf ya, Tas?" sahutku.

"Mesra ya mesra... tapi liat-liat juga kali... ada orang nih... emang Tasya tembus pandang?" protes Tasya.

"Hihihihi..." Dika tertawa.

"Eh, maaf, Dok... maaf, silahkan dinikmati loh kopinya... atau mau nambah?" tuturku.

"Iya, Dok, tidak makan sekalian?" sahut Dika.

"Udah ini aja, makasih, saya habiskan dulu... udah ditunggu pasien..."

"Oh ya... silahkan..." lanjutku.

"Saya juga mau permisi... terima kasih buat kopinya."

"Oh ya, Dok, silahkan, nggak dihabiskan dulu?"

"Iya... iya... ini mau saya habiskan."

"Sekali lagi maaf buat semuanya… juga terima kasih buat kopinya kami duluan ya"

"Ok, Dok... sampai ketemu minggu depan." teriakku.

Hening barang sekian detik waktu sampai kedua dokter tadi tak terlihat lagi di lobi. Saling pandang, akhirnya kami tertawa lepas. Begitu lepasnya sampai-sampai air mata ini menetes. Tasya sampai-sampai jongkok di lantai, tak kuasa menahan tawa. Dika? Lelaki Ajaibku hanya tersenyum memandang kami berdua. Ajaib Dika kamu sungguh ajaib.

"Bentar-bentar... Sherly ngga kuat... time out dulu ketawanya." protesku tak kuat lagi menahan tawa.

"Ajaib... Dika sungguh ajaib." tuturku.

"Hehe..." Dika hanya tertawa kecil, seolah apa yang baru saja terjadi tak ada apa-apanya.

"Kamu tahu kaga, Sher?" tanya Tasya masih sambil tertawa. "Dika emang brilian... idenya hebat." lanjutnya.

"Makasih, Neng Tasya... gimana aktingku?" sahut Dika.

"Akting? Maksudnya apaan?" protesku.

"Hihihihi... Dika emang hebat... empat jempol buat Dika." lanjut Tasya masih sambil terbahak.

"Koq, empat?" protes Dika.

"Iya, dua jempol tangan, ama dua jempol kaki... hahahaha..." jelas Tasya, lagi-lagi aku jadi ikut tertawa.

"Bentar... sepertinya cuma Sherly doang yang gagal paham disini, maksudnya akting apaan, Dika?" protesku.

"Iya, hebat kan aktingku tadi? Hihihi..."

"Jadi sejak awal Dika cuma pura-pura marah tadi?"

"Hihihi... iya… jadi gini... sebelumnya maaf, kemarin-kemarin Dika udah tanya-tanya ama beberapa orang, siapa pengagum rahasiamu, termasuk ama Mpok Watik... hehe... Nah, tadi waktu kelamaan nunggu, Dika minta tolong ama Tasya untuk mengusahakan agar para pengagum rahasiamu bisa ketemu denganku di sini, mau tak ajak ngopi bareng ama omong baik-baik rencananya. Tapi setelah dipikir-pikir, rugi kalo cuma ngobrol, mesti dikasi pelajaran nih. Jadilah seperti tadi... hihihihi..." jelas Dika runtut.

"Koq, sampai segitu emosinya Dika tadi?" tanyaku.

"Hihihi... gimana aktingku?"

"Hahahaha... kirain beneran marah tadi... koq bisa segitunya? Eh, tadi Sherly ama Tasya bener-bener sampai gemeteran loh, bahkan waktu Dika berdiri tadi, jantung ini rasanya bener-bener mau copot. Serem, Dik!" sadarku.

"Hihihi... iya, maaf-maaf."

"Koq Dika bisa yakin tadi? Semisal mereka bener-bener marah trus mengeroyok Dika gimana coba?" tanyaku.

"Ya kaga mungkin lah... jangankan mau mukul, natap mata Dika aja kaga berani kan tadi?" "Hihihi... itu namanya mental tanding, kalo belum-belum udah angkat bendera putih, mau diapa-apain juga mesti keok. Terbukti kan? Sampai gagap, belepotan kalimatnya? Masak Dokter yang sebelumnya tegap, keker, merasa gagah, merasa paling keren sendiri, merasa paling ok dengan gelarnya, tiba-tiba jadi gagap di depan sales yang tanpa gelar, apaan tuh?"

"Hihihi bener Dik... dah pengin ketawa aja saat kalian kenalan tadi. Bahkan sampai latahnya keluar tadi... hihihi... Ada-ada aja." kali ini Tasya angkat bicara.

"Bentar, koq Tasya sampai angkat empat jempol, emang Tasya tau kalo Dika cuma pura-pura tadi?" tanyaku.

"Yee... kalo itu beneran kaga tau... serem, takut, rasanya gemeteran banget, nafas jadi ngap-ngapan... soalnya jadi inget waktu Dika kesetanan mukulin dua satpam klinik pake gagang sapu dulu... takut tragedi berdarah-darah terulang beneran. Rasanya sampai dah mau ngompol di tempat tadi."

"Hihihi... maaf-maaf, kemarin udah janji koq, kaga boleh ada yang berdarah-darah." potong Dika.

"Terus jempolnya buat apaan, Tas?" tanyaku masih gagal paham.

"Oh, itu pesen Dika sebelumnya tadi. Kalo berhasil bawa dokter-dokter itu ke kantin, besok dikasi oleh-oleh... hehe... ama disuruh pesenin kopi tanpa gula alias kopi pahit seandainya Dika minta cappuccino. Nah, yang terakhir itu kodenya, Tasya dah tau sampai disitu, dokter-dokter ini pasti pada mau dikerjain... hehe..." jelas Tasya.

"Kopi pahit? Hahahaha..." sadarku terlambat. "Ada-ada aja kamu, Dik."

"Pada liat ekspresi mereka kaga tadi, sewaktu minum kopi pahit? Sampai kaga berani minta gula kan?" lanjut Dika.

"Hahahaha..." kami ikut ketawa.

"Ternyata kaga cuma imut, tapi Neng Tasya cerdas juga. Makasih ya, udah mesenin kopi pahit tadi." potong Dika.

"Hihihi... lagian Mpok Watik juga dah tau koq, Dika dah antisipasi itu semua kan? Dah pesen ama Mpok Watik juga kan seandainya Tasya lupa? Hehe... hebat kamu, Dik... makanya, empat jempol… dua dari Tasya, dua dari Mpok Watik, gitu..." lanjut Tasya.

"Emang Mpok Watik lihat juga tadi?" tanyaku.

"Semua yang di kantin juga pada liat. Satpamnya juga cuma berhenti di pintu tadi, kaga berani mendekat kan? Keren kamu, Dik" jelas Tasya.

"Hihihi... gimana skenario ala Dika yang bisa buat orang berdarah-darah tanpa pake tangan? Eh, tapi beneran, mereka sekarang pasti lagi pada nangis-nangis, malu, ama terluka hatinya… mesti perih banget rasanya kayak dikucurin pake limau luka di hatinya... hehehe..."

"Satu kata buat Dika : Ajaib." komentarku.

"Itu tadi namanya tendangan tanpa bayangan, memukul tanpa pake tangan, cukup nada dan kata-kata, musuh dah keok sebelum bersitatap, sekarang beneran pada terluka hatinya mesti, meratapi nasib kesendiriannya... hihihi..."

"Dik?" protesku memberi kode.

"Eh, iya, maaf lupa... ada jomblo disini... hihi..."

"Apaan sih?" kali ini Tasya yang protes.

"Nah, kalau untuk adegan penutup tadi udah Dika latih tadi pagi." lanjut Dika.

"Hahahahaha..." kali ini aku tak kuat lagi menahan tawa.

"Yeee... emang Tasya tembus pandang tadi?"

"Hihihi... maaf-maaf... sengaja tadi..."

"Jujur tadi Tasya jadi baper tau?"

"Hihihi... maaf-maaf, Neng Tasya yang imut... maaf..."

"Dika jahaaat! Kamu juga, Sher! Kenapa jadi ikut-ikutan akting tadi?" Tasya protes keras.

"Eh, untuk adegan terakhir, ngga tau juga. Udah dikode-kode juga, enggak sadar tadi. Beneran, Tas... semua ulah Dika tadi." jelasku.

"Jadi sedih kan... kapan juga Tasya digituin?" lanjut Tasya.

"Hihihi... ya udah... besok Dika bawain oleh-oleh wingko babat deh."

"Beneran loh ya?"

"Iya… kalo perlu... besok Dika suapin pake wingko di lobi deh... hehehe..."

"Mauuu..." girang Tasya.

"Tuh kan... Dika mulai kan... ada Sherly nih di sini... emang Sherly tembus pandang?"

"Hihihi... maaf-maaf... kasian Tasya tuh."

"Hey! Koq jadi bengong gitu, Tas?" kejutku.

"Nganga juga tuh... hihihi..." sambung Dika.

"Ngapain sih... lagi asyik disuapin Axl juga..." protes Tasya.

"Mimpiin tuh... Axl-mu!!!" bentakku.

"Hihihihihi..." Dika tak kuasa juga menahan tawa pada akhirnya.

"Udah, Tas, udah... tar sakit loh... kalo sadar..." lanjutku.

"Kalian ngapain sih... ganggu aja!" sahut Tasya masih belum juga sadar.

"Ini juga! Dika seneng ya, bikin orang melayang! Kasian Tasya tau... abis ni jatuh, trus tersadar kalau masih jomblo... hihihi… berdarah-darah juga kan?" lanjutku.

"Hahahaha..."

"Udah ah, ketawanya. Tasya lanjutin sendiri yah, terbanglah yang tinggi, bareng Axl-mu. Udah siang nih, kami berangkat dulu ya, Tas. Sampai ketemu minggu depan." lanjutku.

"Ok, see you and bye, Axl."

Segera kami tinggakan Tasya yang masih bengong menikmati alam mimpinya untuk segera melanjutkan hari. Dika hanya senyam-senyum kemudian menggenggam jemariku dengan lembut.

"Makasih ya, Sayang?" tuturku sambil mencium genggaman jemarinya.

"He em..."

"Awas... jangan genit lagi di depan para perawat tuh, pada penasaran liatin Dika... hehehe..."

Dika hanya tersenyum dan segera merangkulku menuju mobil. Senyumnya tak berhenti dibagikan kepada siapa saja yang menatapnya. Ada rasa bangga, bahagia dan damai bersama Dika pagi itu.

…Dika, Dika-ku, Cappuccinoku,

terima kasih untuk kasih dan sayangmu,

terutama untuk cintamu kepadaku…