Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 21 - Dika & Sejuta Lima Kisah Hidupnya

Chapter 21 - Dika & Sejuta Lima Kisah Hidupnya

Hari yang istimewa. Hari yang sempurna. Setelah semua yang Dika lakukan untukku semenjak dini hari tadi, inilah saatnya bagiku untuk membalas semua kebahagiaan yang telah dipersembahkan olehnya. Mobil langsung memasuki jalan tol, perjalanan panjang hari itu pun dimulai.

Aku sadar sepenuhnya, perjalanan kali ini akan menjadi sebuah perjalanan yang melelahkan, perjalanan tergila yang akan kutempuh. Namun ada Dika di sampingku. Semua menjadi begitu mudah bersamanya.

"Dika… makasih buat semuanya yah... Sherly ngga tahu harus omong apalagi."

"Iya… sama-sama."

"Kenapa Dika begitu baik sama Sherly?"

"Hihihi… kebalik tuh, harusnya Dika yang tanya demikian. Kenapa Sherly mau potong pendek? Kenapa Sherly mau menemani Dika menengok Bidadari Putihku?"

"Satu-satu dong pertanyaannya… jangan diborong gitu!" protesku.

"Hihi… iya, maaf."

"Mulai dari mana tadi? Potong rambut ya? Tahu ngga, Dik? Hampir semua yang ketemu Sherly di klinik tadi pada kaget. Ngga tau, entah karena tadi kali pertama Sherly pake baju casual ato karena potongan rambut Sherly, yang jelas tadi pagi Sherly sukses buat kejutan bagi semuanya. Semua yang ketemu tadi pada bilang : tambah cantik, tambah manis, tambah imut, tambah cakep… pokoknya gitu deh."

"Hihi… kan dulu Dika udah pernah bilang… Sherly aja yang kaga sadar kali."

"Hihihi… iya."

"Terus kenapa mesti hari ini? Kenapa juga mau potong pendek? Kan Dika udah pernah bilang juga, mau panjang, mau gundul sekalipun, tak jadi soal… hehe..."

"Iya, ya… dulu pernah bilang gitu ya… ngga tau tadi pagi terlalu happy aja. Dika sih… baru juga bangun, udah bikin Sherly terbang terus-terusan… mana tampil ala Axl juga... keren tau... sexy juga... hihihi…"

"Hihi… kan dulu Dika juga pernah bilang, tugasku adalah membuat Sherly bahagia, kaga ada yang lain, ato yang lain boleh nyusul asalkan Sherly bahagia dulu… hehehe..."

"Tuh… kan… mulai lagi!"

"Hihi… maaf… maaf… trus kenapa tiba-tiba mau potong pendek tadi pagi?"

"Spontan aja… ngga tau, tiba-tiba pengin bales kebaikan Dika, pengin buat Dika bahagia juga, yang terlintas cuma potong rambut. Eh, kenapa sih, Dika suka gadis berambut pendek? Hihi… cewek-cewek Dika pasti dulu juga berambut pendek ya?"

"Tau aja… hehe..."

"Emang kenapa, Dik?" desakku.

"Yaa... sexy aja."

"Hahahaha… cuma sexy? Cuma itu alasannya?"

"Iya… emang kenapa?"

"Hihihi… ada-ada aja kamu, Dik!"

"Makasih ya, Sher, udah buat Dika tambah bahagia kalo liat Sherly sekarang."

"Iya, Dika… sama-sama… Sherly lebih bahagia lagi… karena punya Dika… hehe..."

"Trus berikutnya, kenapa Sherly mau nemenin Dika nengok Bidadari Putihku?"

"Oh iya… ceritain dong, Dik?"

"Yee... ditanya malah ganti nanya."

"Hihihi… Sherly pengin seharian ama Dika… ogah kalo ditinggal trus mesti jauh-jauhan ama Dika… mana bakalan lama juga... jadi ya ikut aja sekalian… gitu."

"Hihi… segitunya ya?"

"Sherly pengin sama Dika. Mudik kan mesti ninggalin Sherly agak lama tuh, pokoknya enggak mau jauh-jauhan… itu aja alesannya."

"Iya, iya… Makasih ya, Sher… jadi ada yang bisa diajak ngobrol sepanjang perjalanan."

"Sama-sama, Sherly juga makasih, boleh ikutan Dika, disayang, dimanjain, diterbangin terus-terusan… hihihi… ayo dong, Dik. ceritain romansa Dika waktu itu."

Dika hanya tersenyum. Helaan nafasnya begitu panjang, seolah melepas semua beban yang ada dalam benaknya. Kulihat ada haru terselip disana. Aku tak mau membuat Dika bersedih. Oleh karenanya kubiarkan Dika mengalir bercerita sekehendaknya.

"Tau kaga, Sher… dulu, sewaktu SMA, Dika kaga peduli dengan yang namanya perempuan. Bapak tidak ingin Dika jadi seperti beliau, oleh karenanya, Dika sama sekali kaga diajari perihal dunia perempuan. Ironisnya, sewaktu SMA, Dika dekat banget dengan seorang gadis."

"Bentar-bentar… yang namaya Karin kah?"

"Hihihi… iya."

"Terus gimana?"

"Ya itu tadi… Dika tahu kalo Oding, Sobatku, menyukai Karin, sedang Karin sendiri sangat menyukaiku, trus Dika juga suka ama Karin hahahaha… ribet ya… akhirnya Dika memilih bersahabat aja ama keduanya. Sampai lulus SMA juga masih seperti itu. Baru waktu kuliah di Djogdja, Karin kuliah di Semarang waktu itu, Dika ditinggal nikah… nyesel deh waktu itu… hehe..."

"Ikutan prihatin, Dik… atas nasibmu… hihihi..."

"Apaan sih?"

"Abis Karin nikah terus gimana?"

"Oh… waktu Karin nikah Dika udah di Djogdja, udah ganti cerita."

"Dika & Cinta Pertamanya… hehe… Kira-kira demikian ya judulnya?"

"Hihi… bisa aja kamu, Sher"

"Trus gimana tadi?"

"Waktu itu undangan dianter sendiri oleh Karin ke rumah, tapi kaga ketemu Dika karena masih di Djogdja. Kemudian Bapak menyuruhku pulang, ngasi wejangan semaleman, intinya Dika mesti iklas melepas Karin, asalkan yakin kalo Karin bisa bahagia dengan pasangannya."

"Hebat ya Bapak... bisa ngademin Dika?"

"Anak Bapakku yang laki-laki lebih hebat lagi… hihi..."

"Iya… iya… iya… Sherly akui deh… Dika lebih hebat daripada Bapak Dika… hehe..."

"Seminggu sebelum nikah, Dika pulang lagi, mau memastikan apakah Karin bahagia dengan keputusannya. Cuma ya itu tadi, ilmu Bapak belum diturunkan semuanya selain ilmu iklas tadi. Dika kaga tau dan kaga berani untuk mencegah pernikahan mereka, sementara Dika yakin, Karin kaga bahagia dengan pilihannya waktu itu. Kalo boleh Dika simpulkan, Karin menikah karena terpaksa waktu itu. Tapi ya, mau gimana lagi, Dika mesti bisa menerima tanpa banyak tanya lagi, harus bisa mengiklaskan."

"Sakit dong, Dik?"

"Perih… kayak kena pisau trus dikucuri air jeruk."

"Idiih… sampai segitunya, Dik?"

"Ya mau gimana lagi, ditinggal nikah? Kaga bisa ngarep lagi kan?"

"Betul juga ya."

"Setidaknya, Dika belajar ilmu iklas ala Bapak kala itu. Pedih, namun harus Dika terima tanpa banyak tanya juga pada akhirnya."

Hening sejenak ketika Dika membayar tol.

"Berikutnya, waktu Dika habis buat kuliah di Djogdja. Pagi kuliah, sore terkadang sampai tengah malam, Dika sering diajak oleh anaknya Bapak Kosan untuk ikut parkir di deket kampus. Mungkin karena Dika lahir dan dibesarkan di dunia terminal, makanya tak begitu asing dengan dunia malam di Djogdja kala itu."

"Ikut geng-geng an gitu, Dik?"

"Yee… enggak lah… geng-geng an tu cuma buat orang-orang yang kaga percaya diri. Cuma kalo diajak berantem tapi ada bayarannya ya berangkat… hahaha..."

"Kayak tukang pukul gitu ya, Dik?"

"Ya kaga. Kalo tukang pukul kan badannya keker… lha Dika kan sejak dulu segini-gini aja, lebih kecil malahan… haha… Tapi kaga tau juga ya, seringkali pada mundur sebelum baku hantam terjadi, pada takut ama muka Dika kali ya? Ato rambut Dika? Waktu itu udah sepinggang, sampai nyentuh ikat pinggang kalo kaga Dika iket."

"Wuihhh..."

"Kenapa?"

"Hehehe… ngga bisa bayangin aja rambut Dika sepanjang itu… keren aja."

"Sebetulnya Dika dapat uang dari honor tulisan, kalo di parkiran buat makan ama naik gunung aja. Waktu itu Dika bertekad menaklukkan tujuh puncak tertinggi di Jawa. Tinggal satu yaitu Gunung Semeru, tapi gagal waktu itu. Bagian yang ini lain waktu aja yah, sedih banget kalo inget masa-masa itu."

Hening.

"Pasti banyak kisah-kisah seru selama di jalanan ya, Dik?"

"Jalanan itu adalah tentang kebersamaan, tentang kesetiakawanan dan terutama tentang hidup, tentang bagaimana harus bertahan dalam hidup. Cuma yang baik-baik aja ya, soalnya terlalu keras. Sherly kaga bakalan sanggup deh, sekedar mendengarnya."

"Bayangin aja udah serem, apalagi kalo sampai denger ceritanya, enggak deh, Dika simpen sendiri aja yah?"

"Asal tau aja, dari jalanan pulalah Dika belajar banyak untuk tak gentar apalagi takut menghadapi orang."

"Seperti waktu ngadepin Duo Dokter tadi pagi kan?"

"Jangankan cuma dua pecundang Pengagum Rahasia-mu, ama preman Margonda aja pernah ribut dulu, trus sama satpam klinik juga, padahal mereka keker semua."

"Koq bisa sih, Dik?"

"Ya seperti Dika bilang abis dari salon tadi pagi. Jangan mundur sejengkalpun ketika disudutkan pada situasi seperti di kantin tadi. Berpikiran untuk mundur sesenti sekalipun jangan sampai. Tatap mata musuhmu, tunjukkan keteguhan hatimu. Tunjukkan bahwa kamu tidak akan mundur. Sampai di titik ini aja kaga mudah. Butuh mental, jam terbang ama keberuntungan… hehe..."

"Dik, di dunia ini, ada ngga, orang yang Dika takuti?"

"Bapak! Dika cuma tunduk sama Bapak dan Dika udah janji ama Beliau untuk tidak berkelahi lagi. Masa-masa itu udah lewat. Lagian cemen kalo ngadepin duo pecundang seperti itu pake kekerasan. Sukses kan perang psikologi ala Dika tadi pagi? Hehehe..."

"Iya ya… O… pantesan Dika sengaja ya, milih tempat di tengah, sengaja biar orang-orang pada liat kan?"

"Hihi… kaga cuma itu, tapi sukses bikin mereka malu dengan sendirinya kan? Tanpa kekerasan juga?"

"Dika jelek… Sherly takut beneran tau!!! Jantung ini bener-bener kayak berhenti tadi."

"Hihihi… maaf-maaf."

"Anyway, makasih ya, Dik… Sherly jadi lega di klinik sekarang. Berkat Dika tersayang."

Dika tersenyum, membuatku tersenyum pula. Ada rasa aman dan terlebih nyaman bersamanya.

"Terus kelanjutannya gimana?"

"Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun terberat dalam hidup Dika. Perih kalo mesti cerita bagian ini, kaga usah aja ya? Dika janji, suatu saat Sherly akan Dika tunjukin semuanya, juga tempat-tempatnya, saksi-saksi hidupnya masih ada. Tar dikiranya Dika cuma boong doang… hehe… tapi tidak sekarang."

"Siap… Sherly siap menemani nostalgi Dika… kapanpun Dika mau."

"Makasih Sherly-ku yang manis."

"Tumben pake iklan segala… terus gimana tadi?"

"Hihi… emang Sherly jadi tambah manis dengan potongan rambut pendek segitu… lagian biar kaga tegang aja."

"Ssstttt… tar kalo udah sampai rumah aja… Sherly buat Dika tegang!"

"Wuihhh… super norak kalo ini…"

"Hahaha... Katanya biar sekarang enggak tegang? Ya udah, tegangnya tar malem aja, lagian tamunya udah pulang."

"Hihihi… Dika yang terbang nih… Sampai mana tadi?"

Hening untuk sesaat. Tak satupun dari kami bersuara.

"Asal Sherly tau aja, tahun itu adalah tahun awal hidup Dika goncang. Dika bisa perlahan meninggalkan dunia hitam dan ikut anak-anak band. Dika yang dulunya preman, alih profesi jadi anak band. Hampir tiap hari ikutan nyanyi di café-café buat makan sehari-hari waktu itu… hehe..."

"Keren."

"Iya… emang gitu awalnya… eh, ama dapat Jeannie waktu itu… haha… Sherly udah baca kan bagian yang itu?"

"Jeannie tu Menik maksud Dika? Baca dikit sih, tapi susah… banyak Bahasa Inggrisnya."

"Hihihi… iya… yang udah pake Bahasa Indonesia dibawa Menik ke Singapura malahan."

"Namanya bagus kenapa dipanggil Menik?"

"Ya karena postur tubuhnya yang menik-menik, mungil, terus kocak juga anaknya."

"Kalian pacaran waktu itu?"

"Wah, ini lebih rumit lagi. Susah jelasinnya. Yang pasti, setelah bujuk rayu hingga pemahaman yang begitu melelahkan, akhirnya Menik bisa menerima dan menyetujui permintaan Papanya untuk menikah kala itu."

"Oh… gitu?"

"Tau kaga, Sher, Menik akhirnya punya anak, lalu bener-bener diberi nama Ian Wicaksono… hihi… itu nama beken dalam tulisan-tulisan Dika selama kuliah di Djogdja dulu. Ironisnya, wajahnya juga lebih mirip Dika daripada Garry, suaminya… hahaha..."

"Tapi beneran anaknya Menik kan?"

"Ya iyalah. Mereka menikah di Singapura dan baru kembali sekali, nengok Dika waktu sakit setelah memutuskan untuk tak lagi di Djogdja kala itu. Lucunya, waktu Dika tanya, kenapa diberi nama Ian? Jawabnya simple banget, biar Mama-nya inget ama Om-nya terus katanya… hahaha..."

"Sekarang?"

"Sekarang masih di Singapura. Garry yang sering main ke Bogor, konsultasi cinta istilahnya… hahaha..."

"Ada-ada aja… kasian juga Si Menik ya, Dik?"

"O... udah tegar sekarang… tiap hari Dika kasi vitamin tegar sampai tiga bulan setelah nikah waktu itu… hihi..."

"Sherly mau dong, vitamin tambah sayang... punya kaga?"

"Dika juga minta resepnya dong, Dok… resep vitamin anti rindu… hahaha…"

"Adaa ajaaa!"

"Setidaknya, Dika belajar banyak dari kebersamaan dengan Menik, tentang persahabatan, tentang ketulusan, tentang kejujuran dan terutama tentang menjadi diri sendiri."

Untuk sekian detik waktu Dika terdiam. Kulihat ada sedikit kelegaan dalam benaknya.

"Dik… koq diem? Dika ngga boleh sedih loh ya… Sherly jadi ikutan sedih kalo Dika sedih gitu!"

"Hehe... enggak sedih koq, makasih ya, udah nemenin."

"Gimana ceritanya waktu jadi anak band? Eh, beneran deh, Dika keren waktu nyanyi tadi pagi."

"Hihihi… Sherly kaga akan percaya kalo Dika cerita."

"Tapi Dika beneran keren koq… tampil kayak biasanya aja Sherly suka, apalagi kayak tadi."

"Hihi… Sherly, Sherly-ku… ini Dika, Sayang… Dika aja ya… bukan Axl… biar Dika jadi Dika aja."

"Iya… Maafin Sherly ya, Dik… ngga ada maksud tadi."

"He em… Dika bisa ngerti koq… Semua juga pada bilang gitu. Belum lagi cewek-cewek, Sherly juga jadi histeris kayak tadi… bisa bayangin kan? Dika capek, Sher, ngadepin histeria gadis-gadis kayak Sherly tadi. Kaga tau lagi anugerah yang satu ini mau Dika apakan. Makanya sekarang Dika selalu menguncir rambut biar kaga ada yang manggil Axl lagi. Sherly bisa ngertiin Dika kan?"

"O, jadi itu tujuannya selalu ngiket rambut? Sherly jadi ngerti sekarang. Dika, sekali lagi maafin Sherly yah?"

"He em… suatu saat nanti, Sherly pasti akan bangga dengan anugerah Dika yang satu ini. Percaya deh ama Dika."

"Hihi… Dika ngga lagi merayu Sherly kan?"

"Makanya… jangan ketinggian kalo mengkhayal."

"Hehe... sedih juga andai Dika dikerubutin cewek-cewek cakep… mau dikemanain Sherly tar?"

"Tuh… Sherly tau... hehe..."

"Dika jahat… selama ini Dika sengaja kan berarti?"

"Maksudnya?"

"Selama ini Dika tampil ala Dika, sengaja biar ngga dipanggil Axl kan? Biar para cewek ngga pada berebut kan?"

"Hihihi… iya… masa itu udah lewat, Sherly biarlah sekarang Dika jadi Dika aja yah?"

"He em… eh, Dik, terus dulu Dika ngatasinya gimana? Beneran loh, cewek mana yang ngga akan nganga liat Dika kayak tadi, belum lagi kalo Dika nyanyi pake gaya seperti tadi, uih, ampun deh… pada meleleh pastinya... sexy abis."

"Tumben diksi Sherly norak banget?"

"Hihi… biarin… emang Dika jadi sexy kalo menyanyi sambil meliuk-liuk seperti tadi pagi?"

"Hihihi… Dika cerita tapi Sherly kaga boleh cemburu apalagi marah loh ya? Janji?"

"Sherly jadi takut, Dik… tapi penasaran."

"Hihi… ini juga kelanjutannya yang tadi. Jadi abis jadi tukang parkir, jadi tukang berantem, Dika ikut anak-anak band di kampus. Awalnya gara-gara ikut ngamen amal, Dika nyanyiin lagu-lagunya GnR waktu itu, jadilah Dika dipanggil Axl untuk pertama kalinya. Terus sering diajak manggung, jadi semakin terkenal, dikerubutin cewek-cewek… hehe..."

"Asyik dong?"

"Hihi… Enggak semudah yang terdengar, Sher. Godaannya terlalu berat. Kadang kaga masuk akal. Otak Dika yang kecil ini terkadang sulit mencerna, semudah itukah mereka melakukan segalanya biar bisa deket Dika, biar bisa gandeng Dika, peluk Dika, cium Dika, bahkan nembak Dika, minta tidur bareng Dika… serem lah pokoknya."

"Segitunya ya, Dik?"

"Coba Sherly liat foto Dika di dompet… di dalam tas item tuh."

"Yang mana?"

"Di dalam, keluarkan aja semua… Sherly liat deh, Dika muda sewaktu jaya seperti itu."

"Uihhh… kalo ini mah… Sherly juga pasrah, Sayang… keren… pantes aja pada rela nglakuin segalanya buat dapetin Dika… ternyata Dika emang keren sejak dulu yah? Dika muda manis banget ternyata… cakep."

"Gulali kali... Itu belum kalo Dika nyanyi, Sher."

"Oh iya… pake gayanya Axl juga, Sayang?"

"Hihi… liat foto yang kecil paling bawah tuh."

"Uih… mirip banget. O, jadi Dika suka pake celana pendek udah sejak dulu? Ini mah, sexy banget, Sayang."

"Hihihi… udah ah udah masukin lagi… ato buang aja tuh… selagi di tol… biar ditemu kambing sekalian!"

"Yee jangan… buat Sherly aja ya, Sayang?"

"Hihi… norak kamu, Sher!"

"Biarin!"

"Hihi… Sherly, dengerin Dika ya… fotonya tolong dimasukin lagi… itu udah lewat, Sherly Dika kaga mau jadi Axl, Dika capek, Sherly. Dika cuma pengin jadi Dika… Dika aja… bukan Axl."

"Iya, Sayang… maafin Sherly yah?"

"Hehe... kan Dika udah bilang tadi… Dika bisa ngertiin rasanya kalo jadi Sherly tadi pagi… meleleh abis kan? terus pasrah kan? Mau Dika apa-apain juga pasti Sherly rela tadi."

"Hihihi… iya, Sayang… rasanya mau Dika tidurin juga Sherly akan pasrah aja tadi."

"Tuh kan… jadi norak beneran kan? Bayangin deh, kalo Dika mesti ngadepin cewek-cewek yang cakep-cakep trus semua berharap seperti Sherly tadi."

"Serem, Dik!"

"Kan tadi Dika udah bilang… serem… mau jadi apa coba, Dika bisa jadi apa coba, kalo nurutin semua itu?"

"Itu tadi cuma nafsu ya, Dik? Kosong… ngga berasa… ngga ada cinta di situ ya?"

"Pinterrrr… bisa bayangin kan?"

"Serem, Dik!"

"Bayangin deh, pagi hari Dika disayang-sayang ama Si A... tar kelar kuliah ketemu Si B, sama juga... terus pulang ketemu Si C, kaga jauh beda… tar di parkiran, ganti gadis-gadis sexy kampus depan, uihh… lebih serem lagi… kadang nih ya, ada juga yang sampai nekad ciumi abis Dika di lorong ato pojokan kampus kalo sepi… rasa-rasanya Dika kayak diperkosa aja… capek, Sher hampa rasanya… Dika mau marah punya wajah kayak gini, tapi gimana? Bahkan sejak SMA juga Dika udah digodain cewek-cewek cantik… kakak kelas juga ikutan."

"Coba ada Sherly waktu itu."

"Hihi… Dika kaga yakin sekalipun ada Sherly waktu itu. Dika kaga bisa lagi bedain, mana yang tulus dan mana yang cuma nafsu. Ironisnya, di tengah gegap gempita dunia wanita waktu itu, Dika kehilangan satu per satu perempuan yang Dika kasihi. Karin menikah, Menik dijodohin, Evelyn cuti satu semester dan pulang ke Singapura."

"Sedih dong?"

"Kaga cuma sedih lagi… hehe… bentar… nafas dulu."

"Dika ngga apa-apa kan?"

"Iya, Sherly... Dika kaga kenapa-kenapa. Abis ni Sherly pasti mau nanya tentang para penggemar Dika kan? Udah berapa gadis yang Dika tiduri kan?"

"Hihihi… iya… ketahuan ya?"

"Hihi… Dika masih waras koq waktu itu. Dika pulang waktu Karin mau nikah terus diwejangi Bapak banyak hal. Salah satunya, perihal perempuan… hehe..."

"Kalo… ama Sherly? Dika mau kaga?"

"Yeee... itu mah... lain."

"Maksudnya?"

"Kan yang kita bicarakan tadi cewek-cewek yang Dika kaga kenal, tanpa rasa istilahnya… hehe..."

"Makanya, kalo ama Sherly? Dika mau kan?"

"Hihi… biar waktu yang jawab ya, Sayang?"

"Tuh kan… Dika malu kan? Sebenarnya Dika pengin kan? Ngga apa-apa, Sayang… Sherly ngerti koq, its ok, Dika… anytime you want to…"

"Hihi… keren… Whatta sweet surrender… Dika juga tau, Sherly juga pengin banget kan? Sherly-ku tersayang tenang aja. Jika waktunya tiba, Sherly kaga akan bisa berkata-kata lagi deh… Lagian Sherly belum tau Dika seutuhnya. Masih banyak ujian yang mesti kita tempuh, Sherly."

"Sherly beneran ngga keberatan, Dika. Sherly sayang Dika. Sherly cinta Dika…"

"Iya… Dika tau itu."

"Dika, sekalipun Sherly ngga punya banyak kisah romansa, Sherly ngerti koq, kebutuhan manusia, kebutuhan Dika, kebutuhan Sherly juga, Sherly percaya ama Dika. Sayangku cukup liberal buat semua itu."

"He em… tapi Dika juga tau, Sherly-ku terkasih cukup cerdas buat ngertiin Dika yang seutuhnya."

"Bersama kita harus bahagia. Dika kaga boleh sedih lagi… Dika punya Sherly sekarang… Dika pengin apapun, tinggal minta, Sherly ada buat Dika."

"Hihi… rasanya pengin peluk Sherly sekarang juga... udah sesek banget tadi…"

"Kalo gitu Sherly aja yang peluk Dika-ku tercinta…"

Dika benar-benar kupeluk dengan segenap cintaku. Semakin mengenal kedalaman diri seorang Andika Satria Pamungkas, rasa-rasanya semakin enggan untuk jauh-jauhan dengannya. Kucium Dika. Lelaki Ajaibku tersenyum.

"Makasih, Sayaaang…"

"Sama-sama, Dika Sayaaang… Dika bahagia kan ama Sherly sekarang?"

"Kalo Dika sedih, udah nabrak pembatas jalan sejak tadi… hihihi..."

Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Dika mencium rambut dan kepalaku.

"Dika sayang Sherly…"

"Sherly cinta Dika…"

Hening. Kupeluk Dika sekali lagi sebelum kembali memasang seatbelt. Dika tersenyum. Kupandangi wajah Dika dalam kedamaian cintaku.

"Hihi… Anyway, seru juga ya, Dik, masa-masa kuliah Dika dulu?"

"Iyalah, sejarah itu diciptakan, bukan didatangkan. Kita sendiri yang bikin sejarah, jangan nebeng sejarah orang lain, kaga bakalan seru jadinya."

"Seperti sejarah kita ini ya, Dik?"

"Tuh Sherly tahu."

"Suatu saat nanti pasti jadi buku yang tebel ya, Dik?"

"Iya, suatu saat nanti."

…Dika, terima kasih telah menjadi bagian dalam hidup Sherly,

terima kasih telah hadir sebagai Dika yang baru,

Dika yang Sherly kenal seperti saat ini,

Lelaki Ajaib yang tak selalu membuat Sherly terharu,

bahagia dan selalu merasa damai dalam peluk kasihmu…