Kalimat Dika tadi adalah kalimat terakhir yang kudengar selagi masih di jalan tol. Rupanya aku terlelap dalam buaian 'suatu saat' ala Dika tadi. Kalimat terakhir Dika tadi yang melambungkan ayalku, bahwa suatu saat nanti aku akan menikah dengan Dika, hidup bahagia bersamanya, memiliki sebuah Kedai Kopi dan aku bisa buka praktek di sebelahnya. Tak pelak ayali 'suatu saat' tadi terbawa hingga kedalaman lelap tidurku. Terbawa dalam alam mimpiku.
Mimpi indahku buyar oleh pengap udara yang masuk ke dalam mobil ketika pintu dibuka. Rupanya mobil berhenti di depan rumah makan. Dika tersenyum memandangku. Antara sadar dan tidak, aku masih terbuai dengan mimpiku.
"Eh, kenapa senyam-senyum gitu?" tanya Dika.
"Jadi buyar kan... mimpi Sherly?" protesku.
"Mimpi apaan?" lanjutnya.
"Mimpi lagi ama Dika."
"Ih… mimpi jorok ya?"
"Apaan sih?"
"Mimpi apaan? Lagi ngapain ama Dika?"
"Hihi… cuma mimpi, Sayang?"
"Ada-ada aja."
"Dik… peluk Sherly dong?" pintaku masih antara sadar dan tidak di antara alam mimpi dan nyata.
"Hey... bangun dulu, buka mata dulu, trus kita makan."
"Dik… cium dong?"
"Hushhh..."
"Dika sih… buyarin mimpi Sherly aja… peluk Sherly dulu dong... bentaaar aja..."
"Hihi… kebanyakan micin ya tadi? Udah yuk turun."
Dika segera turun dan membukakan pintu untukku ketika aku masih malas-malasan untuk turun.
"Makasih ya, Sayang?"
"Iya… makan dulu yuk?"
"Enggak mauuu… Peluk Sherly dulu… Bentaaar aja… Cium juga boleh." rengekku.
"Iya… iya… iya… nanti."
"Dik… gendong aja?" rengekku tak mau menyerah.
Dika menyerah. Lelaki Ajaibku mendekatiku, kemudian segera memeluk dan mencium keningku.
"Pipinya belum dicium!" pintaku, Dika menuruti.
"Atunya belum?" pintaku lagi. Dika kembali menuruti keinginanku.
"Makasih Dika, Sayang… I love you." lanjutku. Kali ini Dika tersenyum.
"He em… yuk... silahkan turun, Putri Titiani… kita makan dulu ya… udah diprotes ama perutku nih?" sambungnya.
Masih butuh beberapa saat bagiku sekedar untuk menyadari bahwa aku sudah tidak di alam mimpi lagi. Dika tersenyum kemudian menggenggam jemariku ketika kuturunkan kakiku. Dika membiarkan jemarinya kugenggam erat sambil berjalan. Baru beberapa langkah ke depan, Lelaki Ajaibku berhenti.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku.
"Sherly takut jatuh ya?" balasnya.
"Kenapa?"
"Nih… erat banget genggam tanganku… hihi..." sahut Dika sambil mengangkat genggaman jemari kami.
"Hihi… udah keburu jatuh."
"Jatuh dimana?"
"Jatuh di hati Dika!"
"Hihi… mau gimana ya?"
"Tangkap dong, Sayang?"
"Iya… iya… yuk?"
Setelah menyegarkan diri dan makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Beruntung jalanan tidak begitu padat sehingga perjalanan menjadi lancar. Dika telah memperkirakan dan memperhitungkan waktu serta kondisi jalanan dengan sempurna hingga perjalanan tak menemui banyak hambatan.
"Ini kita sampai mana, Dik?" tanyaku selepas mobil bergerak dari rumah makan tadi.
"Bentar lagi udah Cirebon, udah separo perjalanan. Kalau tak ada halangan, sebelum petang kita udah sampai Kota Lama nanti." jelas Dika.
"Dika ngga mau gentian? Ngga capek, Sayang?"
"Perjalanan masih lumayan panjang, Sherly istirahat aja."
"Cerita lagi dong, Sayang?"
"Pengin diceritain apalagi?"
"Terserah Dika…"
Lelaki ajaibku tampak berpikir untuk sekian detik waktu sampai akhirnya angkat bicara.
"Menurut Sherly, keinginan Dika buat naklukin Jakarta itu ketinggian kaga?"
"Dika, tidak ada yang salah dengan cita-cita Dika itu. Sherly salut malahan. Ketika orang-orang pada umumnya lebih memilih untuk hidup di Ibukota, Dika malah ingin mengepung Jakarta. Tidak ada yang mustahil dengan satu keinginan besar dan mungkin untuk diwujudkan tersebut. Sherly yakin, Dika akan mampu. Seperti Dika bilang, semua hanya masalah waktu kan, Sayang?"
"Iya… sebetulnya, dengan menguasai pasar Jawa Barat sekalipun, keinginan Dika tersebut udah tercapai. Dika kaga harus merangsek hingga pinggiran Ibukota."
"Betul itu… dan ada satu hal yang harus Dika ingat, dengan sukses tanpa masuk pasar Jakarta, itu artinya Dika telah berhasil mengangkangi Ibukota, ya kan? Artinya lagi, tanpa hidup di Jakarta sekalipun, Dika tetap mampu menjadi pribadi yang Dika inginkan."
"Iya… Dika cuma ingin agar orang-orang tak berebut atau minimal berpikiran bahwa kalau mau sukses mesti ke Ibukota. Itu aja alasan yang sesungguhnya."
"Setuju, setiap orang bisa sukses tanpa harus ke Jakarta. Menurut Sherly, orang yang sukses di Ibukota itu udah biasa, ngga terlalu istimewa, tapi kalo sukses di daerah, itu baru keren."
"Seperti cita-citaku ya, Sher?"
"Seperti yang punya cita-cita… hihihi..."
Dika tak bergeming sedikitpun, senyum sekalipun tidak. Benaknya dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran yang terkadang tak sanggup kujangkau.
"Dika… jangan tegang gitu dong, Sayang?"
"Hehe... enggak koq… cuma kepikiran aja tadi."
"Dika mikirin apalagi?"
"Kelak jika sudah bisa produksi sendiri, mungkin Dika akan sering ke luar kota. Menggarap pasar demi pasar sepanjang Cirebon sini hingga ujung Carita sana. Dari ujung timur hingga ujung barat. Dari utara sampai selatan."
"Baguslah itu."
"Itu artinya, Dika akan sering berada di luar, mungkin beberapa hari baru pulang. Itu artinya lagi, kita akan jarang bertemu, sedikit berjauhan."
Kalimat Dika yang terakhir sungguh mengusik benakku. Aku jadi turut berpikir, kira-kira apakah aku akan sanggup jauh-jauhan dengan Dika, sedang mau ditinggal mudik beberapa hari ini saja aku tak sanggup.
Seegois inikah diriku, sampai-sampai seolah tak ingin Dika berjauhan denganku? Jika aku tak sanggup berjauhan dan Dika tahu, mugkin Dika akan mengurungkan niatnya, itu artinya, aku turut menghambat cita-citanya.
"Koq malah diem? Dika salah omong ya tadi? Maaf ya, Sher… kalau Dika salah omong?"
"Tidak Dika… justru Sherly yang salah."
"Maksudnya?"
"Dika, tidak ada yang salah dengan kalimat Dika tadi, dengan cita-cita Dika, Sherly dukung dan akan senantiasa di samping Dika."
"Makasih ya, Sher."
"Dika yakin ngga mau gentian?" kucoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Hihihi… kaga usah dialihkan gitu topiknya, Dika tahu koq, apa yang Sherly pikirin."
"Apaan?"
"Sherly takut kan kalo kita sampai jauh-jauhan?"
"Koq bisa tau, Dik? Ajaib!"
"Abis ini Sherly mau omong apa juga Dika udah tau…"
"Apa coba?"
"Sherly pasti mau bilang, lakukan yang terbaik yang Dika inginkan, iya kan?"
"Koq… bisa tau??? Ajaib!"
"Hihihi… udah kaga usah dibahas lagi… Dika udah mikirin semuanya koq… bahkan abis ni Sherly mau bilang : 'Dika Sayaaaang… Sherly cinta Dika'… hihi… itu juga udah Dika terka?"
"Ajaib koq bisa sih, Dik?"
"Kan sehati… hihihi..."
"Tuh… kan… di mobil juga ngga capek-capeknya bikin terbang… Dik, Sherly boleh cium Dika, kaga?"
"Kan tadi udah… hehe..."
"Lagiii… tadi belum puas… hehe…"
"Kalo Dika sampai terbang, pengin yang lebih lagi, terus mobil jadi oleng gimana?"
"Hihihi… iya ya?"
Hening untuk sekian waktu. Dika tampak serius kini.
"Abis keluar dari batas Kota Cirebon ini Sherly tidur ya… biar bisa ngebut." tutur Dika.
"Enggak mauuuu..." protesku.
"Hihi… Sherly mesti istirahat, simpen energi buat nanti… Dika enggak yakin bisa sendiri."
"Maksudnya?"
"Mungkin Dika kaga akan sanggup, bahkan ketika kita memasuki Kota Lama nanti."
"Kan ada Sherly di sini, Sayang?"
"Iya, maksudnya, Dika sendiri nanti butuh energi ekstra untuk menghadapi semua yang telah Dika rencanakan ini."
"Nanti kalau Dika pengin istirahat, tinggal bilang yah?"
"Bukan itu maksudku… Dika cuma enggak yakin aja, apa nanti akan sanggup menemui mantan murid-muridku, bernostalgi di tempat-tempat yang pernah memasung masa laluku, sekaligus tempat-tempat yang menjadi pijakan waktu dan hidupku untuk menjadi lebih baik. Dika kaga begitu yakin dengan gejolak batin jiwa ini nanti."
"Dika, jauh-jauh kita dari Depok, Dika harus mampu, harus sanggup, biar jadi lega. Sherly yakin Dika pasti bisa. Lagian kan Sherly temenin. Dika tenang aja. Sherly ngga akan ganggu nostalgi Dika deh, tar."
"Makasih, Sherly."
"Sama-sama, Dika… Sherly pengin Dika juga bahagia… ngga cuma bahagiain Sherly mulu."
"Hehe... iya."
Dika terdiam untuk sekian detik waktu.
"Dik, boleh tanya kaga?"
"Boleh dong."
"Janji kaga marah loh ya?"
"Iya."
Kubutuhkan sekian detik waktu sekedar untuk menyusun satu pertanyaan yang kusadari sungguh hanya akan menjadi sebuah retorika.
"Ceritain tentang Hayu dong?"
Seperti dikejutkan oleh sengatan listrik, Dika sempat melepas pedal gas. Sontak mobil berjalan sedikit melambat. Detik berikutnya, seperti langsung tersadar, Dika kembali menambah kecepatan. Aku sendiri sempat terkejut.
"E-eh Dik…" teriakku ketika mobil sedikit melambat.
"Maaf… maaf..." potong Dika.
"Maafin Sherly ya, Dik… Sherly cuma tanya tadi… jangan marah ya, Sayang?"
Dika tak bereaksi. Jangankan tawa khas milik Dika, tersenyum pun tidak. Kali ini aku betul-betul merasa bersalah sekali. Aku tak tahu harus berkata apalagi.
"Dika, maafin Sherly ya?" sesalku.
"Iya, Sayaaang… Tapi maafin Dika ya, untuk cerita bagian itu, lain waktu aja."
"Iya… Dika jangan marah ya, Sayaaang?"
"He em… Dika enggak marah Sherly… Tapi cerita yang lain aja yah?" kali ini Dika tersenyum.
"Sekali lagi maafin Sherly ya, Dik?"
"Iya, Sherly kaga salah koq… Dika aja yang terkejut tadi… maaf ya, Sher?"
"He em… Sherly sayang Dika, jangan sedih ya, Sayang?"
"Iya."
Untuk sejenak waktu, tak satupun dari kami berbicara. Aku tahu, Dika bersedih. Aku juga menyesal telah menanyakan satu hal tadi. Dika pernah mengatakan sekali perihal Hayu dan itu artinya Dika tidak akan mengulang sekedar untuk menjelaskan.
Sepanjang yang aku tahu, Dika telah mengubur satu momen bersama Hayu saat itu dan tidak akan menceritakan kepada siapapun. Baginya, masa itu telah usai. Sampai pada satu titik ini, seharusnya cukuplah buatku untuk tidak menanyakannya lagi.
Setahuku pula, Dika yang kukenal saat ini bukanlah Dika yang dulu, yang ada dalam tulisan-tulisan penuh elegi dan ironi mewakili perjalanan hidupnya.
"Sher, Sherly cemburu ya?"
Pertanyaan Dika sungguh mengejutkan diriku. Seolah Dika benar-benar bisa membaca isi otakku. Pertanyaan Dika sesungguhnya adalah yang benar-benar kurasakan tiap kali teringat dengan Hayu dan kisah yang tak mau Dika ceritakan. Antara terkejut dan bingung mau menjawab apa, Dika sudah menjawab pertanyaan yang bahkan belum kusampaikan. Ajaib.
"Its ok kalo Sherly cemburu. Hanya saja kaga baik cemburu untuk sesuatu yang tak beralasan, bahkan untuk sesuatu yang tak lagi terjadi saat ini."
"Iya, Dika… maafin Sherly ya, Sayang?"
"He em… Dika ngerti koq… Sherly jangan sedih gitu dong... kan Dika di sini bersama Sherly sekarang. Dika ada buat Sherly juga kan saat ini?"
"I love you, Dika." bisikku sambil spontan memeluk Dika saat tak kuasa lagi kudengar penjelasan-pernyataan Lelaki Ajaibku yang terakhir tadi.
Kusandarkan kepalaku di pundak Dika. Lelaki Ajaibku tersenyum dan mencium rambutku. Dika memegang jemariku.
"Dika sayang Sherly." bisiknya.
Kalimat Dika bagai mantra. Benakku begitu dipenuhi suka tiap kali Dika mengucapkan kalimat ajaib tersebut. Jarang sekali Dika mengucapkannya selain membalas ucapan yang sama dariku.
"Sher…" bisik Dika.
"Iya, Sayang?"
"Liat Dika bentar deh…" pinta Dika. Aku mendogak.
"Ada apa, Sa…" Dika mencium bibirku dalam sekedipan mata. "Yaaa… Dika… nakal!!! Lagi dong…" Dika menuruti pintaku.
"Hihi… makasih, Dika Sayang…"
"He em… udah, jangan godain Dika mulu… tar mobilnya oleng loh…"
"Hihihi… Iya… Maafin Sherly ya, Sayang?"
Aku kembali duduk dan memasang seatbelt. Dika memegang jemari tanganku, kucium punggung tangannya. Dika tersenyum.
"Eh, Dik, certain tentang Kota Lama dong?"
"Panas, pengap, kaga bersahabat. Kira-kira seperti itu. Kayak di Sunter ataupun Kapuk di ujung utara Ibukota."
"Koq, Dika mau tinggal di tempat gituan?"
"Itu tantangannya. Kalo Dika sanggup, berarti Dika bisa hidup di kota besar kan? Sebelumnya Dika lebih suka tinggal di tempat yang kaga rame, yang tenang, yang kaga banyak gadis-gadis cantiknya… hehe…"
"Hihi… aneh. Biasanya cowok-cowok pada nyari gadis-gadis cantik, lah Dika malah kebalikannya."
"Udah bosen… hahaha… pengin nyari yang beda aja…"
"Hihi… trus, kenapa milih jadi guru?"
"Dulu abis dari Djogdja, Dika pengin nunjukin ama orang-orang, ama Bapak terutama, kalo Dika sebenarnya bisa jadi guru. Kebetulan aja ada yang lagi butuh guru Bahasa Inggris, jadilah Dika ngajar di sana."
"Terus ketemu Bidadari Putih Dika?"
"Hahahaha… Kaga usah muter-muter. Bu Dokter cemburu ama Bidadari Putihku?"
"Apaan sih?"
"Hihi… mestinya langsung aja tadi, 'Dika Sayaang, ceritain tentang Bidadari Putihmu dong?' gitu mestinya…"
"Norak!!! Dika jeleek!!!"
"Hahahaha… Sherly tau kaga, Bidadari Putihku itu, beneran kayak Bidadari dari kayangan. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam lurus, dipotong pendek juga, uihhh… sampai lehernya keliatan menantang… trus senyumnya, wuihhh… Bidadari banget deh… cakep pisan pokoknya… hahahaha…"
"Pak Guru bener-bener senorak itu ya?"
"Hihi… udah gitu, kalo sore sering nungguin Dika lewat abis ngelesi di deket warungnya. Trus pura-pura nanya pelajaran, duduknya juga mepet-mepet Dika. Trus Dika dibuatin soda gembira juga."
"O… pantesan… Dika suka soda gembira gara-gara dulu sering dibuatin ama Bidadari itu?"
"Hihihi… iyalah… mana gratis lagi… udah gitu, satu gelas buat berdua… hehe…"
"Pak Guru Dika bener-bener norak ya? Mesti Bidadari Putih itu suka banget ama Dika ya?"
"Iyalah… suka banget, sayang banget ama Dika. Sampai kadang cerita tentang keluh kesahnya, inginnya, pintanya… haru deh kalau dengar selengkapnya."
"Kalo Dika? Suka juga?"
"Tentu!!! Cuma Bidadari Putih yang satu ini yang bisa menghibur Dika, bisa buat Dika ketawa, bahagia… hehe…"
"Terus?"
"Trus drg. Sherly Putri Titiani-ku cemburu buta kan? Udah mau gelap mata lagi kan?"
"Apaan sih?"
"Hihi… tuh, Sherly boong kan? Kaga baik booingin diri sendiri, Sayang."
"Ya, abisnya… Dika sih… mana nanti sengaja mau nemuin juga?"
"Hahahahaha… Bu Dokter beneran cemburu nih, ceritanya?"
"Dika jeleeek!!!"
"Hihi… Me, ini loh… ada yang cemburu buta… baiknya diapain ya, Me? Kalo Dika cium, kira-kira bisa luluh kaga ya? Boleh kaga ya, Dika cium pipinya yang pink sejak tadi?"
"Dikaaa!!! Norak tau!"
"Hihi… Sherly beneran cemburu? Sherly-ku mau, saingan ama anak SMP, masih pake seragam biru putih? Usia juga belum genap tujuh belas tahun?"
"Hihi…"
"Tuh kan… beneran kan… tadi cemburu beneran kan?"
"Hihi… Sherly lupa… Dika ngajar di SMP ya? Kirain udah SMA?"
"Hahahahaha…"
"Maafin Sherly ya Dik?"
"Hihihi… Sher… Sherly-ku yang cantik, Sherly-ku yang manis… buat apa Dika nyari-nyari pendamping hidup lagi, kalo di sebelah Dika saat ini aja ada Bidadari yang paras dan terutama hatinya serupa Malaikat?"
"Tuh kan… Dika jelek beneran deh!!!"
"Hihi… beneran… kecuali Sherly iklasin Dika buat anak SMP… ya udah, Dika biar buat Mei Lan aja tar."
"Enggak boleh… Dika buat Sherly!!!"
"Hihi… senyum dulu dong… kalo Dika buat Sherly."
"Hihi…"
"Nah… gitu kan… cakep…"
"Apaan sih, Dika?"
"Hihi… Dika seneng deh, kalo Sherly sampai cemburu kayak tadi."
"Sherly malu tau!!!"
"Hihi… itu artinya, Putri Titiani-ku kaga cuma cemburu, tapi udah gelap mata, cemburu buta…"
"Dika jeleeek!!!"
"Hihi… beneran, Dika makin seneng banget kalo Sherly sampai cemburu buta. Itu artinya, Sherly sayang banget ama Dika. Sherly kaga ingin Dika direbut perempuan lain, gadis lain, ya kan?"
"Iyalah… Sherly cinta Dika."
"Hehe… Iya, Dika selalu tau itu. Makanya, Dika selalu ceritain semua gadis-gadis yang Dika kenal, terutama yang pernah dekat ama Dika, ya kan? Seperti itulah mestinya komunikasi dan kepercayaan dibangun dalam sebuah hubungan kebersamaan. Sherly mesti percaya ama Dika, saat kita bersama, terlebih saat kita jauhan. Gimana mau membangun komunikasi kalau rasa percaya aja kaga terbangun dengan baik. Ini belum ngomongin soal kesetiaan. Lebih panjang lagi tar… hehe…"
"Iya… maafin Sherly ya, Dik…"
"Sherly, dengerin Dika baik-baik ya, Sayang… kaga mudah bagi Dika sekedar untuk memutuskan akan menjalin hubungan dengan Sherly. Dika butuh waktu selama ini sekedar buat meyakinkan diri sendiri, betapa Dika juga sayang ama Sherly. Perlu Sayangku ketahui, kaga mudah bagi Dika sekedar untuk berbagi cinta, nanti tanyalah ama Bunda. Ini ada hubungannya dengan masa lalu Dika soalnya. Yang jelas nih, sekali Dika udah nentuin pasangan hidup, Dika kaga akan berpaling. Dika cuma akan nikah sekali. Dika kaga pengin kayak Bapak, yang sampai punya tiga Bidadari. Faktanya sekarang, Dika udah memilih Sherly, dan itu berlaku buat selamanya. Dika kaga akan berpaling, sebanyak apapun gadis-gadis di sekeliling Dika, godain Dika juga. Hanya rasa saling percaya dan setia yang Dika pinta. Sherly mesti percaya ama Dika. Sherly pegang kata-kata Dika yang satu ini. Dika akan selalu bahagiain Sherly, sebab Dika sayang Sherly."
"Iya, Dika… sekali lagi maafin Sherly ya, Sayang? Sherly juga sayang Dika. Sherly cinta Dika."
"He em… udah, jangan sedih gitu."
Kucoba semampuku untuk tersenyum. Benakku betul-betul merasa bersalah. Lebih malu lagi karena Dika bisa tahu semua isi pikiranku. Ajaib.
Lebih ajaib lagi, Dika mampu memberi makna dan pekerti kasih dalam pepatnya waktu seiring perjalanan panjang kami siang itu.
Dika betul-betul ajaib. Di tengah perjalanan yang begitu panjang ini sekalipun, Dika masih juga membekali diriku dengan pekerti kasih yang baru kusadari akhir-akhir ini, betapa Dika sangat mengasihiku.
Dika menggenggam jemari tanganku. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Hanya senyum kedamaian yang mengiringi kebersamaan kami siang itu.
…Pada pekatnya aspal jalanan sepanjang Pantura,
sampaikan beribu maafku pada Bidadari Putih milik Dika.
Tak selayaknya aku cemburu buta,
pada sosok yang begitu berarti di mata Dika…