Hari telah beranjak senja ketika kami memasuki Kota Lama. Di depan bangunan tiga lantai, tepatnya di seberang sungai yang membelah jalan itu, Dika menepikan mobil. Bangunan-bangunan kuno banyak berjajar sepanjang jalan itu. Tembok-tembok kokohnya seolah memakan bahu jalan.
Dika terdiam cukup lama. Pandangannya begitu tajam menatap bagunan tiga lantai di sebrang sungai itu. Kucoba menghibur gundah benaknya. Dika sempat tersenyum ketika jemarinya kugenggam. Akhirnya Dika memulai penuturan sepenggal kisahnya di Kota Lama ini.
"Dari salah satu ruangan di kantor yayasan di sebelah kiri kita inilah penggalan sejarah hidup Dika di tempat ini dimulai." tutur Dika dengan suara berat.
Untuk sesaat kulihat raut wajah Dika tampak begitu kosong. Ada guratan peristiwa yang begitu tajam tergores dari berat suaranya. Aku lebih banyak berdiam sambil menyimak, tanpa banyak turut berucap, takut mengganggu nostalginya.
"Ironi dari semua ini, yang pertama kali Dika temui ketika mendapat panggilan kala itu, juga telah terlebih dahulu meninggalkan institusi ini, mendahului Dika." lanjutnya.
Aku masih terdiam, menyimak dengan penuh seksama, membiarkan Dika bergelut dengan segala kenang dan sekeping sejarah yang pernah ditorehkannya di tempat itu. Kuberanikan diri untuk menggenggam jemari Dika. Lelaki Ajaibku tersenyum, seolah berterima kasih. Aku hanya membalas dengan senyuman mengiyakannya.
"Sherly lihat papan nama yang tergantung di tembok sekolah itu? Di balik ketiga papan itu, nama dan tanda diri Dika tertera di sana. Ketiganya Dika buat ketika akan ada akreditasi waktu itu. Semalaman Dika buat bersama seorang rekan asrama dan ternyata sampai saat ini masih dipakai." lanjut Dika merasa bangga.
"Cakep papan namanya… secakep yang buat." kucoba mengusir kegalauannya.
Dika tak bergeming, hanya tersenyum simpul.
"Sherly lihat lantai dua dari bangunan itu?" lanjutnya sambil menunjuk lantai ke dua dari bangunan tiga lantai di seberang sungai itu.
"Di bagian ujung sisi selatan bangunan itulah Dika pernah tinggal selama dua tahun, menghabiskan petang hingga malam menjelang. Ruangan tak terpakai di sudut lantai dua itu dijadikan asrama bagi kami, guru-guru perantau yang mencoba mengabdikan diri di institusi ini. Ironi dari semua itu, tak satupun dari kami masih tinggal di sini. Semua telah pergi meninggalkan institusi ini beserta segala nostalgi yang pernah terjadi."
Suara Dika terdengar semakin berat. Gemetar jari-jari tangannya dalam genggamanku tak dapat menipuku, Dika begitu bersedih. Tak ada tawa ala Dika sejak mobil berhenti tadi. Bahkan sejak memasuki Kota Lama, Dika lebih banyak berdiam diri.
Rupanya Dika mempersiapkan hati dan semua kecamuk dalam benaknya untuk semua nostalgi ini. Tentu tidak akan mudah baginya sekedar untuk memutuskan dan melihat kembali apa yang pernah dilakukannya di tempat ini. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Dika tersenyum.
Lamat senja masih menyisakan cahyanya. Dika mengarahkan pandangannya dengan seksama ke gerbang utama dari bangunan tiga lantai itu. Dari kejauhan, tampak beberapa anak keluar dari gerbang besar itu. Untuk sesaat sempat kuperhatikan, Dika begitu tegang memperhatikan satu per satu dari anak-anak yang keluar dari gerbang tersebut. Dan ketika seorang dara belia muncul dari balik gerbang, Dika membuka pintu mobil, hendak segera keluar, namun urung dilanjutkannya.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku.
"Sherly lihat gadis itu?" balas Dika sambil menunjuk pada dara belia di depan gerbang.
"Gadis yang menuntun sepeda?" lanjutku.
"Namanya Mei Lan, biasa dipanggil Meme." sahut Dika.
Kalimatnya tertahan, tak dilanjutkan. Sengaja tak kutanyakan lebih lanjut dan memilih berdiam sambil menunggu kelanjutan diksinya.
Untuk sejenak, kubiarkan Dika hanyut dalam aneka nostalgi yang melumuri benaknya. Tentang tempat-tempat yang berarti bagi keberadaannya, tentang mereka yang pernah bersamanya, terlebih tentang dara belia yang seorang diri menuntun sepedanya. Pandangannya bahkan tak berkedip, mengikuti sejauh mana dara belia itu melangkah, mengejar teman-temannya yang berjalan di depannya.
Ketika hendak melintas di samping mobil kami, Sang Dara sempat memandang ke arah kami, namun segera melanjutkan langkahnya. Dara belia dengan sepeda itu tak tahu kalau Dika, mantan gurunya, ada di dalam mobil, tepat di sebelahnya, memperhatikan dirinya.
"Manis bukan?" bisiknya ketika Dara belia dan beberapa rekannya melintas tepat di samping kami.
"Agak susah membedakannya. Wajahnya hampir mirip semua." sahutku. Dika tersenyum.
Berikutnya, yang tersisa hanyalah keheningan. Dika masih juga melihat Dara belia itu hingga berbelok di gang sampai tak lagi kelihatan. Sekali lagi kuberanikan diri untuk mencium jemarinya. Lagi-lagi Dika hanya tersenyum.
Saat itu senja telah bergulir, Sang Kala telah tenggelam di ufuk barat cakrawala. Dari gelapnya riak-riak air sungai yang kehitaman itu, air terus berlalu menuju ke muara. Juga benak Dika saat itu. Aku yakin, kecamuk-gejolak batinnya bergemuruh menahan keruhnya rasa. Sebuah rasa yang hilang, tentang kebersamaan, tentang pengajaran, juga tentang sepenggal usia yang pernah mereka lalui dalam kebersamaan guru dan murid pada masa itu.
"Kenapa tidak jadi turun, Sayang?" bisikku melihat raut kekecewaan di wajahnya.
"Bukan waktu yang tepat, sekedar untuk menyapanya, mungkin lain waktu." tuturnya begitu datar tanpa intonasi.
"Iya, Sherly bisa ngerti, Dika."
"Meme adalah murid kesayangan Dika… kepadanyalah Dika selalu berbagi rindu… tiap kali teringat Hayu… wajah mereka berdua sungguh mirip… itulah sebenarnya yang membuat Dika tak pernah sanggup bersitatap lama-lama dengan Meme. Kepadanyalah Dika tebus segala salah Dika pada Hayu… Dika mengasihi Meme seperti Hayu mengasihi Dika… dan Meme tak pernah tau akan hal itu… mestinya Dika berterima kasih kepadanya… yang selalu menjadi obat kerinduan Dika akan Hayu… tapi tak pernah Dika ucapkan sampai Dika pergi meninggalkan mereka… seharusnya Dika betul-betul berterima kasih pada Meme." suara Dika begitu berat terbata, dengan kedua bola mata terpejam menahan butiran air mata.
Dari berat nada bicaranya, juga dari intonasi kalimatnya yang sepatah-patah, kurasakan bahwa Dika yang ada di sampingku bukanlah Dika yang biasa kukenal. Dika seperti menjadi sosok lain, jauh dari Dika yang kukenal dan kutahu sehari-hari. Dika terlalu bersedih. Demikian penjelasan yang dapat kutangkap saat itu.
"Apa yang terbaik menurut Dika… Sherly ada di sini, Dika Sayang." lanjutku.
"Makasih, Sher… Dika tak tahu lagi kalo saat ni tak ada Sherly… sekali lagi makasih udah nemenin Dika." balasnya dengan nada yang bergetar.
Dadaku turut merasa sesak mendengar getar tuturannya. Mulutku juga seolah terkunci melihat kesenduan di wajah Dika. Aku kehilangan kata-kata sekedar untuk menghiburnya selain kembali mencium jemarinya yang kugenggam sejak tadi. Lagi-lagi Dika hanya tersenyum.
"Sherly di sini buat Dika, Sayang." tuturku mencoba menenangkan.
Dika tak sanggup lagi menjawab selain memelukku dengan begitu lembut. Dika mencium kepalaku.
"Thanks." bisiknya lirih hampir tak kudengar.
Setelah keheningan untuk yang kesekian kalinya, akhirnya Dika mulai berbicara. Nada suaranya sudah kembali normal. Namun segurat kesedihan masih terpancar dari raut wajahnya. Sekali lagi kucoba untuk tersenyum sambil setia menunggu tuturan berikutnya.
"Banyak yang telah berubah di tempat ini. Kiranya hanya kenang yang akan senantiasa abadi tersimpan di hati. Juga Bidadari Putihku tadi, tampaknya sudah banyak berubah. Rambutnya sudah tak lagi dibiarkan pendek. Bahkan bisa jadi sudah tidak mengenali Dika lagi, apalagi dengan rambut panjang yang menutupi wajah ini sejak tadi." tuturnya.
"Roda kehidupan harus terus diputar, Dika… seperti yang pernah Dika bilang dulu… simpanlah segala emosi dan kenangan hari ini sebagai penyemangat esok pagi, agar dapat lebih baik lagi menatap hari esok. Mungkin suatu saat kelak, kalian masih diperkenankan untuk kembali bersua, dengan cerita, kisah dan keberhasilan masing-masing." kucoba menenangkan benaknya.
"Iya… cuma merasa tidak adil aja. Dika pergi tanpa mengucap sepatah kata perpisahan waktu itu, bahkan tak berterima kasih. Hari ini Dika kembali sekedar ingin bernostalgi, seharusnya Dika meminta maaf kepadanya, kepada semuanya."
"Masih ada waktu, Dika… Sayangku masih ingin di sini?"
"Bentar ya, Sher."
"Iya, Sayang… tapi Dika ngga boleh sedih lagi yah?"
"He em… Sherly lihat Bidadari Putihku tadi? Gimana?"
"Genit… tapi sayu banget."
"Nah, kan… Sherly aja sampai langsung bisa tahu… Setiap manusia memang haruslah berubah. Sekiranya ada yang tidak berubah dalam diri Bidadari Putihku tadi, kuperhatikan Nonikku tadi masih tetap kemayu, masih tetap genit. Dulu Dika selalu berpesan agar berhati-hati dengan sikap seperti itu. Jika waktunya telah tiba, serigala-serigala akan mengerubunginya, bahkan cicak di dinding kamar Dika sekalipun akan turut mengaguminya sekiranya berkesempatan… hehe..."
Ada sedikit rasa lega. Dika sudah bisa tertawa.
"Koq jauh banget, Dik, analoginya?"
"Suka-suka Dika dong... ingat… ini berlaku juga buat Sherly. Terbukti kan, tadi pagi di klinik?"
"Hihihi… iya."
"Emang Dika tembus pandang… kaga liat apa… gara-gara potongan rambut model baru, terus Sherly-ku bener-bener deh, jadi kemayu, kegenitan, kecentilan di depan semua orang... trus cicak-cicak berdecak, para serigala ternganga… hehehe..."
"Apaan sih? Tapi betul juga, Dik… pada nganga tadi liatin rambut baru Sherly… hihihi..."
"Makanya, jangan kemayu!"
"Hihihi… iya, Sayang, maaf... tadi sengaja… terus, kalo yang sayu tadi gimana?"
"Sherly lihat kan, tadi? Tatapannya begitu sayu. Ada beban di situ. Beban yang semestinya tak di tanggung olehnya. Beban masa depan, kalau Dika istilahkan. Dika tahu, Bidadari Putihku ingin sekolah setinggi-tingginya, namun apa daya, biaya dan adat kurang bersahabat. Sebelia itu sudah harus membantu di warung makan milik keluarganya. Waktunya banyak tersita di sana. Juga adat, dimana anak perempuan seolah tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Dulu Dika cuma selalu berpesan agar talenta yang satu itu, yaitu kemayu tadi, tidak digunakan untuk menundukkan Kaum Adam. Dika juga selalu berpesan agar Meme selalu menjadi dirinya sendiri, apa adanya, bukan bayang-bayang orang lain."
"Dika, kenapa tidak jadi keluar dan segera menemuinya?"
"Ingin sungguh rasanya segera turun dari mobil tadi, menyambangi dan melepas kerinduan ini, namun mungkin bukan waktu yang tepat. Semua ada saatnya, kelak. Dika hanya tidak ingin mereka melihat Dika dalam kondisi seperti saat ini. Jiwa ini masih terlalu lelah menjalani hari-hari ini, semoga saja mereka dapat memahaminya jika saja tahu."
Dika menghela nafas cukup panjang.
"Sekali waktu, dulu, Dika pernah berpesan, bahwa 'menjadi seseorang', sekalipun hanya sesaat diundangkan, tetaplah sangat penting arti dan maknanya. Saat ini Dika merasa baru menjadi 'sebagian dari seseorang' itu. Oleh karenanya, biarlah Dika tahan semua keinginan, semua harapan, semua kerinduan sekedar untuk menyapa dan berbagi cerita ini, untuk suatu hari nanti Dika kembali hadir telah menjadi 'seseorang' yang lebih berarti." terangnya panjang lebar.
"Dika, kurasa Dika sudah menjadi seseorang saat ini. Bagi Sherly, menjadi seseorang itu tidak diukur oleh keberhasilan atau kesuksesan secara materi. Bagi Sherly, menjadi seseorang itu adalah ketika kita berhasil menjadi diri sendiri. Dika yang Sherly kenal saat ini bukanlah Dika yang dulu. Dika yang Sherly kenal saat ini adalah Dika dengan kehidupan yang Dika inginkan, bukan di bawah bayang-bayang orang lain."
"Belum seutuhnya, Sher, Dika masih harus belajar."
"Seperti yang Dika pernah bilang, tidak ada makhluk yang sempurna, Sayang."
"Iya, Dika tahu itu. Tapi rasanya Dika belum layak."
"Dika, masih adakah pesan atau keinginan yang ingin Dika sampaikan kepada mantan murid-murid Dika?"
"Masih banyak, Sher, selain permintaan maaf Dika karena tidak berpamitan pada waktu itu. Dika pergi begitu saja meninggalkan semuanya."
"Apa aja, Sayang… Dika bilang deh, cerita ama Sherly, barangkali aja bisa membuat Dika sedikit lega."
"Dika sungguh ingin agar Bidadari Putihku melepaskan bebannya, ia berhak untuk hidup lebih bahagia, sebab masa muda, masa sekolah, adalah masa yang paling indah. Masa sekolah adalah masa yang mahal tak ternilai, sebab semua tak dapat diulang sekedar untuk melampiaskan kerinduan."
"Setuju untuk itu."
"Dika juga ingin, Bidadari Putihku mengingat, bahwa jauh di Bumi Tanah Pasundan sana, sekalipun Dika bukan lagi gurunya, namun Dika akan selalu ada untuknya, menjadi teman dan sahabatnya, yang akan selalu siap untuk menuntun, membimbing dan mengarahkannya, demi mewujudkan cita impiannya."
"Salut buat Dika."
"Tanpa kehadiran Dika sekalipun, Dika ingin Bidadari Putihku tetap dapat menunjukkan pada semua yang masih tersisa di sana, betapa suatu hari nanti, dukanya akan ditebus dengan suka cita kelulusannya. Saat ini sekalipun, Dika mungkin hanyalah sebuah cerita yang pernah ada, Dika hanyalah akan tinggal sebagai sebuah kenangan. Kenangan dalam sebuah kebersamaan. Dika ingin mereka mengenang hal-hal yang baik saja ketika bersama Dika, yang terbaik yang pernah Dika berikan." lanjutnya.
"Amin."
Dika terdiam sambil tertunduk. Kugenggam kemudian kucium jemarinya.
Sedikit bocoran kisah dan sebagai catatan, jauh hari sejak sekilas perjumpaan Dika dengan Meme, murid kesayangannya pada sebuah senja di Kota Lama ini, Dika benar-benar menebus kesalahannya pada Bidadari Putihnya. Dika benar-benar mewujudkan inginnya, menggenapi kata-katanya. Dika menyekolahkan Meme hingga setinggi yang Meme bisa. Meme bahkan dikuliahkan di Singapura dan tinggal di apartemen mewah Dika.
Sabar ya Pembaca… masih jauh plus banyak kisah sebelum-sebelumnya. Kulanjutkan saja dulu.
"Masih ada hari esok, Dika… sekarang kita lanjutkan perjalanan dulu yuk? Bukannya Bapak dan Bunda Dika sudah menunggu di rumah?"
"Sebentar, Sher… Bapak dan Bunda udah biasa menunggu Dika pulang tiap malam... dulu... tapi tidak dengan semua ini. Harus Dika selesaikan agar tak ada lagi yang mengganjal dalam benak ini."
"Dika masih ingin di sini?"
"Bukan di sini. Tak ada apa-apa lagi di sini, selain kenang."
"Iya… Sherly ngikut aja… yang penting Dika bahagia… jangan sedih ya, Sayang?"
"He em… Dika enggak apa-apa koq, kita makan dulu yuk?"
"Yuk..."
"Tapi tar jalan aja ya, Sayang… Sekalian Dika tunjukin tempat-tempat yang keren di sekitar sini."
"Boleh."
…Dika adalah Dika,
mantan guru yang begitu mengasihi murid-muridnya.
Demikian juga kasih Dika kepada Bidadari Putihnya,
Dika mengasihinya sungguh dimanapun ia berada…