Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 18 - Dika Dan Setangkup Roti Isi

Chapter 18 - Dika Dan Setangkup Roti Isi

Fajar baru bermula. Mentari belumlah seperanggah ketika Dika membuka bola matanya. Untuk sekian detik waktu, lelaki ajaibku itu bersujud, melakukan ritualnya. Detik berikutnya, Dika segera bangkit berdiri, mendekati dan mendekapku dari belakang. Kusandarkan kepalaku di dadanya sambil berbagi senyum mendapati kebiasaannya.

"Pagi Cahayaku..." bisiknya sambil mencium kening dan mengusap wajahku, kali ini hanya dengan jari telunjuknya.

"Apaan sih, silau kaliii... baru juga bangun, udah mulai."

"Hihihi..."

"Pagi juga, Sayangku… Gosok gigi dulu geh, sekalian mandi, banyak yang mesti kita kerjakan pagi ini."

"Bentar… bentar… kayaknya… ada yang memperkosa Dika deh sebelum tidur tadi."

"Hihihi… Dika jelek… abisnya, Sherly udah ngga tahan juga … maafin Sherly ya, Sayang?"

"Hihihi… maafin Dika juga yah… mata Dika udah bener-bener berat tadi."

"Sherly yang salah, selalu aja Dika yang minta maaf."

"Ya, kan Dika juga salah, kaga bahagiain Sherly tadi."

"Tuh… kan… Sherly jadi meleleh kan… buat tar lagi aja yah... sekarang mandi dulu… banyak kerjaan hari ini."

"Bukannya tadi bilang mau seharian ama Dika?"

"Ya tapi kan tetep aja ke klinik dulu, nganter muka dulu."

"Emang muka Bu Dokter kaga bisa dianter ke klinik pake ojek aja?"

"Abang ojeknya minder walo cuma nganter wajah Sherly doang!"

"Hihihihi..."

"Dik..."

"Iya, Dika kaga kemana-mana, masih di hati Sherly kan?"

"Hehe... iya, Sayang… selalu disini." sahutku sambil meletakkan jemarinya di dadaku.

"Hihihi… katanya sehati… ini koq ada dua, Sher?"

"Dikaaa!!! Nakalll!!!"

"Hihihi… ya udah, Dika nakalin sekalian… bibirnya mana... eh, boleh kan?"

"Hihi..."

Selalu, tentang ciuman-ciuman Dika, menyisakan kenang yang tak terbayang. Lembut, tapi penuh kehangatan. Santun, tapi tetap melayang… dan kalian, para jomblo… sstttt… jangan pada iri!!! Makanya… jangan kebanyakan minum kopi kalo belum makan… kata Dika : perih!!!

"Makasih, Dika-ku tersayang..."

"He em… sama-sama."

"Dika jadi pulang kampung hari ini? Boleh kaga… kalo Sherly ikutan?" pintaku.

"Kenapa?"

"Sherly ogah jauh-jauhan ama Dika!"

"Hihi… iya, deh, sekalian kalo mau belajar ama Bunda."

"Makasih, Dika. Kemarin rencana emang mau ambil cuti beberapa hari, tapi Sherly bingung, kalo libur mau kemana?"

"Hehe..."

"Bahagia banget rasanya, pagi-pagi juga udah dibikin terbang, terus dicium, dipeluk, dicium lagi, terus bisa ketawa bareng juga, terus diijinin ikut mudik... hehe..."

"Bentar… bentar… udah ada yang pernah bilang ama Adinda Bidadari Manisku belum?"

"Bilang apaan?"

"Bilang… kalau bangun tidur aja, cantiknya udah kayak mau bangun rumah tangga."

"Apaan sih… lama-lama Sherly ngga ketulungan beneran nih… udah buruan mandi geh."

Selalu tentang Dika, bahagia ini serasa tak ada habisnya. Dika tahu betul bagaimana cara membuat hati ini bersuka. Lewat tutur katanya, Dika selalu berhasil membuatku tertawa. Lewat sikap dan perbuatannya, Dika bisa membahagiakanku selalu. Ajaib.

"Wuihhh… bangun pagi-pagi udah dibikinin roti isi, kalo seperti ini, rasa-rasanya udah seperti mau bangun masa depan nih, bener-bener dimanjain ama Bidadariku yang serupa Malaikat, mana manis pula." tutur Lelaki Ajaibku seusai mandi.

"Apaan sih… gulali kali?"

"Coba deh, tadi dipeluk-peluk, dicium dua kali kan? Trus pagi ini dibuatin sarapan pake roti isi, kurang apa coba?"

"Ya kan Bidadari yang satu ini sayang banget ama Dika?"

"Aduuuuh..."

"Kenapa, Dik?"

"Giliran Dika nih… yang terbang..."

"Yeee… salah sendiri..."

"Hihi… boleh dekap Sherly sekali lagi kaga? Sambil Dika suapin yah?"

"Aduuuh… gimana ya… kalo ditolak… sayang deh… mau bilang apalagi ya… Sherly beneran terbang ini Dika?"

Dika mendekapku dari belakang, melingkarkan tangan kirinya sambil menggenggam jemari kananku. Terpaksa piring yang berisi roti yang sudah kupotong-potong itu kuletakkan dan dengan jemarinya, diambilnya sepotong roti itu lalu disuapkannya ke mulutku.

"Nih, potongan roti isi pertama, khusus buat Sherly-ku, biar sehat selalu dan tambah sayang… wuz… wuz… wuz… akk… buka dong mulutnya." pintanya sementara aku hanya bisa tertawa menurutinya.

"Wuz… wuz… wuz… yang lebar dikit dong... kaga bisa masuk kalo nganganya kurang lebar gitu… akk..."

"Apaan sih… udah lebar ini… Dika jahat… main-main mulu… kena hidung Sherly juga ini, Dika!"

"Hihihi… sekarang beneran deh… akk… lebar dikit mulutnya… ngeng… wuz… wuz… wuz… nyaemm..."

"Yee... Dika jahat… malah dimakan sendiri!"

"Giliran Sherly sini!"

"Mau balas dendam nih, ceritanya?"

"Dika jahat… Sherly balas nih… ayo… akk… buka mulut… ngeng… ngeng… kurang lebar nganganya..."

"Ikut-ikutan… kurang kreatif!"

"Mulutnya nganga dikit, Sayang… wuz… wuz… wuz… akk… nyaemmm… eit… salah wuz… buat Dika ajah… sisa gigitan Sherly... hehehe..."

"Tuh kan… beneran dendam… sekarang… potongan roti isi kedua… hehe… biar Sayangku tambah manis aja… siap-siap… eh, buat Dika sendiri aja deh… biar para pemuja kesendirian kaga baper terus."

"Hihi… Eh, beneran tuh, pada senyam-senyum sendiri… kasihan tuh… tambah berat bebannya kalo baca ginian, lebih berat dibanding beban kesendiriannya… hahahaha..."

"Dika… ngga boleh gitu!"

"Hihi… iya, maaf-maaf..."

"Udah becandanya… sekarang serius!"

"Eh, bentar… belum juga jam enam… masih ada waktu buat seru-seruan lagi."

"Iya tapi kan ngga pake becanda juga!"

"Hihi… iya deh… makasih buat semuanya ya, Sher… buat sarapan bapernya, buat vitaminnya, terus buat celana pendek ama kaos birunya juga. Anyway, koq tahu, Dika suka warna biru, Sher?"

"Hehe... iya, Dika Sayang… sama-sama… Sherly juga makasih, udah disayang-sayang, dipeluk ama dicium Dika, terus disuapin roti isi tadi… diterbangkan terus-terusan..."

"Hihihi… seneng banget rasanya ya, Sher?"

"Iya… kayak udah lebaran aja… bahagianya kelewat… udahan yuk banyak yang mesti disiapin pagi ini. Jadi pulang kan? Sherly beneran boleh ikutan kan, Dika Sayang?"

"Iya."

"Eh, Dik, bentar… gimana kalo pulangnya bawa mobil aja? Tar bisa gantian yang nyetir kalo capek?"

"Ide bagus juga tuh…"

Tak ada suara untuk sekian waktu. Dika melepas kuncirnya, mengibaskan rambut panjangnya dan membetulkan poninya. Berikutnya Dika menggulung sedikit lengan kaosnya agak tinggi dan mengambil topiku yang tergantung di pintu, memakainya terbalik, kemudian mengambil kacamata hitam miliku juga di meja dan hanya disangkutkan pada bagian lingkar leher kaosnya. Dika tersenyum.

"Gimana? Udah kayak Axl beneran belum?" tuturnya sambil meliukkan tubuhnya dengan begitu gemulai meniru gerakan Sang Penyanyi yang dimaksud.

"Ajaib... mirip beneran, Sayang… Eh, beneran… koq, Dika bisa sih? Ajaib!"

"Hihi… boleh sambil nyanyi?"

"Boleh dong."

Dika memutar kaset CD video klip tembang Patience-nya GnR, memutarnya dengan volume sangat rendah, kemudian sengaja membelakanginya agar aku bisa membandingkan dirinya dengan penyanyi aslinya.

Ajaib. Dimulai dengan siulan panjang, Dika melantunkan lagu itu dengan begitu sempurna. Dika menggerakkan kakinya dengan begitu lincah, tubuhnya juga begitu gemulai meliuk ke kanan dan ke kiri. Baru kutahu pagi itu, ternyata Dika bisa bernyanyi. Bahkan suara tingginya sampai sanggup menyentuh nada tertinggi lagu aslinya. Aku hanya bisa ternganga. Betul-betul Ajaib. Sepagi itu Dika telah mengejutkan benakku. Usai lagu, Dika terengah-engah dan rebah di springbed. Kususul dan langsung kupeluk Dika-ku.

"Amazing koq, Dika ngga pernah bilang sih?"

"Hihihi… masa itu udah lewat, Sherly. Dika jadi Dika ajah… yah?" balasnya masih sambil terengah-engah.

"He em… Dika ajah… Dika-ku, Cappuccinoku."

Bak penggemar berat Axl Rose, spontan kupeluk dan kuciumi Axl-ku… eh, Dika-ku… Lelaki Ajaibku hanya pasrah kemudian memelukku.

"Hihi… makasih… makasih… tapi ini Dika, Sherly… Dika-mu... Cappuccino-mu..."

"Terserah… pokoknya Sherly mau ciumi Dika!"

"Hihihi… udah… udah… udah Sherly..."

"Biarin… dikit lagi!"

Dika mendekap tubuhku yang masih terengah-engah sambil tersenyum dan berbisik lembut di telingaku,

"Udahan Sherly... Sherly-ku tersayang… buat nanti lagi ya… kasian tuh… pada baper kan?"

"Hihihi… iya… spontan aja… abis pagi-pagi juga Dika udah ngejutin Sherly sih… keren… koq, Dika bisa?"

"Hihihi… sejak dulu juga Dika bisa… tapi dah lewat masa itu."

"Dika jahat… ternyata ngga cuma mirip… ternyata bisa nyanyi beneran… pake gaya lagi… sstttt… sexy tau!"

"Hihihi… masa itu udah lewat, Sherly... sekarang Dika jadi Dika aja ya?"

"He em… Dika aja… Dika-ku… Cappuccinoku… boleh cium Dika lagi?"

"Sherly... udahan dulu ya… buat nanti lagi…"

"Hihihi… iya… eh, Dik… Sherly boleh omong kaga?"

"Iya, Dika masih di sini?"

"Sebelum ke klinik, Sherly boleh..."

"Boleh apaan?"

"Boleh mendekin rambut?"

"HAAAA???"

"Eh, maaf… maaf… maaf ya, Dik… Sherly cuma pengin Dika bahagia aja… maafin Sherly ya, Dik?"

"Sherly beneran mau potong rambut???"

"Ya… kalo Dika ijinin? Loh… koq… malah diem?"

"Ini Dika kaga lagi mimpi kan? Aduuuh… sakit, Non ini beneran?" Dika masih tak percaya sampai kucubit.

"Iya, Dika, ini beneran, boleh kan, Sayang?"

"Jantungku jadi deg-degan, Sher... dengar Sherly mau mendekin rambut?"

"Iya, Dika. Sherly pengin Dika bahagia juga, boleh kan?"

"Boleh-boleh… Dika bakal seneng banget kalo ini..."

"Nah, gitu dong... gentian... jangan nganga… hihihi… udah yuk... berangkat sekarang."

…Jika setangkup roti isi di pagi hari bisa membuat Dika tersenyum,

apa yang kiranya akan terjadi

jika setiap hari kupersembahkan sekeping hati ini…

tak bersyarat… buat Dika seorang…