Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 17 - Bingkisan Dari Tuhan Untukku

Chapter 17 - Bingkisan Dari Tuhan Untukku

Jarum jam merujuk pada angka empat ketika alarm ponsel milik Dika berderit. Kedua bola mataku masih terasa berat untuk dibuka. Namun alarm masih berderit, jauh dari jangkauan untuk kumatikan. Untuk sekian detik waktu pula kudapati diriku mendekap erat guling kesayanganku, dengan selimut menutupi seluruh tubuhku. Di lantai, Dika duduk dengan laptop menyala.

"Dika… tolong alarmnya."

Dika tak bergeming seolah tak mendengar protesku. Pandangannya begitu dalam tertuju pada layar laptop, jemarinya menari merangkai kata di atas keybord. Putus asa, akhirnya aku berdiri dan mematikan alarm ponsel itu.

"Dika, Sayangku nulis apaan? tanyaku tanpa jawab.

Kudekati Dika dan kupeluk dari belakang. Dika masih terdiam. Hanya jemarinya saja yang terus bergerak di atas papan keyboard. Kucium lembut daun telinganya. Dika sempat kegelian, namun tetap tak bergeming. Aku menyerah.

Akhirnya kutinggalkan Lelaki Ajaibku untuk membuat cappuccino. Masih sempat kulihat, Dika begitu serius merangkai diksi di depan laptopku. Entah apa yang sedang ditulisnya. Bahkan aku tak tahu sejak pukul berapa Lelaki Ajaibku itu menulis, membiarkan diriku tertidur seorang diri, meletakkan guling untuk kudekap dan menyelimutiku. Ada-ada saja tingkahnya. Setelah menggosok gigi dan membuatkan cappuccino, kuhampiri Dika dan duduk di sampingnya. Kuletakkan kepalaku di pundaknya.

"Dika boleh cium Sherly?"

Aku mengangguk. Dika hanya mencium kepalaku.

"Tuh kan… Dika tidak tidur lagi kan? Nulis apaan?"

"Hihi… bentar… nanti Sherly baca sendiri aja ya, biar selesai dulu, kurang dikit."

"Cappuccino Dika ada di meja ya?" lanjutku.

"Makasih ya, Sher... Bidadariku baik banget deh."

"Kan spesial… buat Pangeranku… hehe..." bisikku.

Berikutnya kupeluk Dika dan kurebahkan kepalaku di dadanya. Dika langsung menahan tubuhku. Kubelai wajahnya, Dika hanya tersenyum, mengacak-acak rambutku, kemudian kembali melanjutkan tulisannya. Ternyata seperti ini Dika kalau sedang menulis, tak terpengaruh apapun, bahkan godaanku sekalipun tak mempan. Keren.

"Done!" tuturnya setelah beberapa saat.

"E-eh, mau kemana, Sayang?"

"Kamar mandi... hihi… ikut?"

"Apaan sih?"

"Makasih yah, buat cappuccinonya." bisiknya sambil mengecup keningku, kemudian langsung ke belakang.

Penasaran, segera kubaca tulisan Dika di laptop yang masih menyala. Detik berikutnya, rasa penasaranku terjawab dengan detak jantungku yang tak beraturan membaca baris demi baris tulisan Dika yang sengaja kutulis apa adanya seperti berikut :

Teruntuk kamu yang saat ini selalu menjadi butiran rindu di setiap detik waktuku…

Hari-hari ini, adalah tentang hari-hari bahagia selama menunggu perjumpaan, hari-hari yang penuh dengan suka cita cinta manakala bersitatap, hingga selalu berujung pada kerinduan.

Andai dirimu dapat menyelami relung benakku, memahami dan melihat keelokan paras wajahmu lewat kedua bola mata ini, andai saja dirimu sudi mendengar desah lirih suaramu lewat kedua daun telingaku dan seandainya saja dirimu sanggup menyentuh gemulai ragamu melalui jemariku, pastilah dirimu akan segera tahu, betapa hadirmu menjadikan mimpi-mimpiku menjadi lebih berwarna.

Andai dirimu dapat mencium wangi aroma tubuhmu lewat hangat kecupku, andai saja dirimu sanggup meresapi mimpi-mimpimu dalam lelap tidurku dan seandainya saja dirimu mau mencoba meramu hidupmu dalam hidupku, pastilah dirimu akan segera tahu, betapa hadirmu telah memperindah hari-hari sepiku.

Sekian lama aku setia menunggu, sekian lama aku terus mencari dan mencari, hingga hadirlah diri pribadimu lengkap dengan ketulusan yang kausuguhkan dihadapanku. Kauulurkan jemari lentikmu, kaurengkuh kelana jiwa ini dan kaupersembahkan kasih terbaikmu untukku. Tolong maafkan diri ini, jika kubutuhkan sekian malam-sekian siang, sekedar untuk meyakinkan diri pribadiku, bahwa semua ini bukanlah mimpi, bahwa semua ini adalah nyata adanya.

Kausanjung dan kautinggikan jiwa ini, selayaknya pekat malam yang menjadi cerah oleh cahya gemintang, selayaknya puisi yang menjadi indah oleh rangkaian diksi. Engkaulah puisi gemintangku. Jangan jauh-jauh, tetaplah di sisiku, Adinda Bidadari Manisku. Dampingilah jiwa ini sampai maut memisahkan.

Diantara berjuta lima Kaum Adam di dunia, sungguh beruntungnya diri ini, kauperhatikan, kauingikan dan kausayang lewat lembut dan tulusnya kasihmu. Sekali lagi maafkan jiwa ini, jika membutuhkan sejenak waktu, sekedar untuk menyadari semua itu, sekedar untuk meyakinkan diri ini, agar tak mengulangi dan terkubang dalam kesalahan yang sama di masa yang telah sirna.

Semakin aku mengenal diri pribadimu, menjalani hari-hari indah bersama tawa ceriamu, semakin kusadari betapa jemari lentikmu layak untuk segera kugenggam. Tak seorangpun dari kita ingin terluka, berdua kita hiasi bersama, hari-hari pepat yang terasa begitu panjang kita lalui dalam kedamaian penuh suka.

Teduh kasih dan ceria tawamu mengingatkanku pada awal mula ketika kita memulai kisah ini. Amarah, emosi, hingga semua kelebihanmu mengingatkanku, betapa tak satupun dari kita adalah makhluk yang sempurna. Namun begitu, apa adanya kauterima diri ini, kausuguhkan kasih terbaikmu untuk kucerna, kurasa dan kumiliki.

Seperti inilah diri pribadiku. Beruntung sungguh aku memilikimu. Akan kubawa kisah ini sampai di satu titik yang tak terhingga, sekedar agar aku tak lupa, betapa dirimu selalu ada untukku, menyiangi siangku dan menerangi gelap pekat malamku, hingga aku selalu dapat mensyukuri hari-hari indah ini bersamamu.

Bersamamu aku berbagi, bersama layar hidupmu kita arungi samudera raya kehidupan. Bersamamu kita jalani hidup, bukan sekedar untuk berdiam diri. Ketahuilah, Kekasih, di keluasan samudera raya kehidupan ini, segala ombak badai cobaan bukanlah untuk dihindari, ditakuti, namun kita hadapi. Bersama kita akan bisa. Peganglah jemariku dan percayalah.

Tidak akan menjadi mudah, Kekasih, namun genggaman jemari kita akan sanggup menghadapi semuanya dan biduk kita akan terus melaju. Biduk kecil ini milik kita berdua, jangan sampai tenggelam. Jadilah layar dan aku kayuh, yang akan menggerakkan biduk ini manakala angin tenggara bertiup, manakala surut beringsut.

Biduk kecil ini milik kita berdua, Kekasih. Naiklah dan akan kukayuh. Kembangkan layarmu dan kita akan melaju, menerjang ombak, menembus badai kehidupan. Naiklah ke biduk kita ini, Kekasih, dan jangan pernah turun. Bersama kita tak perlu ragu, lihatlah di kedalaman benakku dan engkau tak perlu ragu. Tataplah kedua bola mata ini, maka engkau akan segera tahu, betapa semua akan baik-baik saja. Kembangkan layarmu dan percayalah dengan kemudi kayuhku.

Saat bola mata terbentang oleh gelapnya malam, tidur dan mimpikanlah dekap hangat pelukku. Saat Sang Pagi kembali menari, datanglah dengan ketulusan hati. Pun pabila kau ragu pada mimpi-mimpimu, percayakanlah kepadaku jalan hidup yang akan kita tempuh.

Tumbuh berkembanglah menjadi pendampingku, seiring malam yang menjemput senja. Kekasih, percayalah kepadaku, engkau nyata tercipta untuk berada di sisiku. Ketahuilah, engkau tak akan pernah tahu apa yang kau miliki, sampai suatu saat nanti kau kehilanganku. Kupersembahkan hati ini, jiwa ini, hanya untukmu.

Kekasih, ketahuilah bahwa dirimu adalah bingkisan dari Tuhan untukku. Engkaulah kado terindah dari Tuhan untukku. Terima kasih karena telah menjadi bagian dalam hidupku, menjadi layar yang akan selalu membuat biduk mimpi-mimpiku melaju.

Hening…

Kubaca sekali lagi baris demi baris kalimat itu dengan hati yang berdebar. Entah tersanjung, entah merasa bahagia, tak sanggup diri ini untuk menggambarkannya. Begitu runtut apa yang Dika tulis mewakili perasaan hatinya hingga mulutku serasa bergetar ketika membacanya sekali lagi.

Di tengah heningku mencoba memahami baris demi baris kalimat itu, Dika menghampiriku, kemudian langsung mendekapku dari belakang. Kutoleh sejenak lelaki ajaibku, Dika tersenyum dan hanya sanggup kubalas dengan senyuman.

"Dika sayang Sherly." bisiknya lalu mengecup keningku.

Sontak benakku bersorak, tak sanggup kubalas pernyataannya selain menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Makasih ya, Sayang… Sherly juga sayang Dika."

Hening…

"Jangan lepas dekapan Dika. Sherly bahagia banget."

"Iya."

"Dika beneran ngga ingin mencium Sherly?"

"Kan tadi udah."

"Lagi."

"Apaan sih?"

"Rasanya damai banget. Dika… please jangan dilepas ya, Sayang..."

"He em."

"I love you, Dika."

"Ditto." Dika mengecup keningku sekali lagi dan memelukku dengan begitu lembut.

Hari belumlah terbilang pagi. Sepagi itu, benakku berasa begitu penuh warna. Tak ada yang gelap dari semua yang kulihat. Kupandangi wajah Dika. Tak sanggup kuberkata-kata selain menabur senyum.

"Dika, terima kasih buat semuanya. Dika adalah kado terindah dari Tuhan buat Sherly seorang. Sherly pengin bersama Dika seharian ini, boleh kan, Sayang?"

"Terus kaga kerja?"

"Ini kan hari Jumat, hari pendek, nanti Sherly bisa ijin, sekaliii aja… please boleh ya, Sayang?"

"He em, tapi Dika yang ijin duluan yah, tidur bentar, abis itu Dika temani Sherly."

"Makasih ya, Sayang. Sherly boleh peluk Dika sampai tertidur?"

"He em… tapi jangan nakal lho ya?"

"Hihihi… Sumpah deh, ternyata Dika beneran cakep. Apalagi kalau rambutnya digerai kayak gini." komentarku mewakili suka gembiraku sambil membelai rambut panjang Dika.

"Emang selama ini kaga sadar apa? Itu juga alasannya kenapa Dika selalu menguncir rambut ini. Biar gadis-gadis kaga berebut... haha..."

"Hihi… maafin Sherly ya, Sayang… kemarin Sherly sempetin liat video-videonya GnR… ternyata Dika emang mirip Axl… nih, idung mancungnya… trus bibirnya… poninya juga... hihi… Sherly boleh cium Dika enggak?"

"Ssttt..."

"Ya udah… Sherly belaiin rambut Dika aja yah?"

"Enggak Sherly jangan rambut Dika ya, Sayang… tar kalo Dika terbang gimana?"

"Kalo Dika sampai terbang, Sherly ikutan dong."

"Kasian para jomblo, Sayang..."

"Kenapa?"

"Mereka… pada mau terbang ama siapaaa???"

"Hihi… udah ahh muahhhh… met istirahat Axl-ku."

"Dika aja, Sherly... bukan William Axl Rose."

"He em… muahhh… Sherly sayang Dika."

Tak ada suara Dika lagi. Nafasnya begitu teratur, begitu damai. Kupandangi lelaki ajaibku. Hanya kupandangi. Kemudian kuletakkan kepalaku di dadanya. Ingin sungguh rasanya menyentuh rambutnya, membelai rambut panjangnya, tapi Dika harus istirahat. Jangan diganggu.

Dalam lelap tidurnya, diantara keteraturan hembusan nafasnya, kurasakan kedamaian itu menjalar hingga jiwa ini turut merasa berdamai. Dalam kedamaianku pula, kucoba untuk sekali lagi menyusun ulang ungkapan terima kasihku lewat tulisan berikut :

Seorang pria datang tanpa menyebutkan nama. Dalam kesuntukan waktuku, kami kembali bersua di remang senja.

Lewat senja yang baru bermula, Ia menunjukkan kepadaku tentang indahnya cakrawala, lengkap dengan rona jingganya. Ia mengajariku betapa setiap detik waktu yang kita lalui amatlah berharga, betapa setiap nafas yang kita miliki hanyalah titipan Ilahi, oleh karenanya, puji dan syukur haruslah senantiasa kita panjatkan kepadaNya.

Lewat temaram rona senja pula, Ia mengajariku, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, bahwa waktu tak dapat diulang, oleh karenanya, kita harus melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, memberikan yang terbaik yang bisa kita berikan dan menjadi damai.

Senja adalah tentang berharganya Sang Waktu, tentang syukur atas hidup yang dinikmatkan olehNya.

Lewat kereta yang selalu melintas di temaram senja, Ia mengajarkan kepadaku perihal kesetiaan. Betapa hidup tidaklah melulu perihal cinta, namun berbagi kasih dalam setia. Betapa sekeras apapun, hidup haruslah memiliki asa, harapan yang harus dengan setia dihadapi, dijalani dan dilalui dengan kasih.

Lewat kereta yang melintas di ambang senja, Ia menunjukkan kepadaku perihal kesederhanaan. Betapa hidup ini adalah sesederhana memberi bukan meminta, mengasihi bukan menuntut cinta. Betapa kerinduan adalah hari-hari bahagia selama menunggu sebuah perjumpaan.

Lewat kereta yang selalu melintas di batas senja, Ia menunjukkan kepadaku tentang makna kesetiaan, tentang arti kerinduan, tentang orang-orang yang terkasih.

Kemudian lewat secangkir cappuccino, Ia menunjukkan kepadaku perihal rasa, bahwa putaran roda kehidupan harus dilandasi dengan kasih, sehingga hidup akan menjadi lebih berasa, lebih berwarna.

Lewat secangkir cappuccino, Ia mengajarkan kepadaku perihal hangat kebersamaan, perihal ketulusan dan pekerti kasih yang begitu agung untuk diperjuangkan, bukan dipertanyakan.

Oleh semesta raya seolah kami kembali dipertemukan. Dalam kebersamaan, kutemukan pukau indahnya kasih. Lewat keajaiban sikap, perbuatan serta tutur katanya yang begitu sederhana namun selalu menyisakan makna, aku kembali disadarkan, bahwa hidup ini begitu indah sekedar untuk dilalui, namun terlebih diberi makna, bahwa roda kehidupan haruslah tetap diputar.

Dalam sejengkal waktu, Ia mengajariku tentang hakikat dan makna kehidupan yang selama ini tak kuhiraukan, tak kupedulikan. Ada haru terselip dalam kalbuku. Ia tak pernah merayuku, namun benak ini selalu tersipu. Dalam sekejab, hari-hari suntukku berubah menjadi penuh warna, penuh suka, dipenuhi pukau oleh cinta. Dan oleh kesederhanaan sikap serta perbuatan kasihnya, hingga kebersamaan kami selalu berujung pada kerinduan.

Lelaki dengan rambut sebahu itu datang tanpa nama. Dalam kesuntukan waktuku, Ia hadir, mengisi dan mewarnai sepi hari-hariku hingga menjadi ceria dan penuh warna. Selalu ada tawa bersamanya. Benak ini bersuka. Jiwa ini bahagia bersamanya.

Siapakah sesungguhnya lelaki ajaib yang memberikan semua itu kepadaku? Hari itu baru kusadari sungguh tentang pentingnya arti sebuah nama. Tanpa nama, yang tersisa hanyalah tanya. Namun apalah artinya nama dibanding semua yang telah dilakukannya?

Pada akhirnya aku tahu, lelaki berambut sebahu itu bernama Dika, yang hadir, memberi warna, memenuhi suka gembiraku, mengajariku tentang pekerti kasih dan menunjukkan kepadaku perihal sayang serta menjadikanku bahagianya.

Dika, sosok ajaib yang mengisi dan mewarnai hari-hari sepiku. Dika membuatku kembali bisa tertawa, bersama Dika benakku selalu bersuka. Dika pula yang pada akhirnya menunjukkan kepadaku perihal kedamaian, hingga pada akhirnya aku dapat berdamai dengan diriku sendiri. Perdamaianku dengan diri sendiri berujung pada benih-benih kasih yang tak sanggup lagi untuk kusemai seorang diri. Dalam benakku, benih-benih kasih itu semakin bermekaran dalam tiap kebersamaan yang kami lalui bersama.

Seiring bergulirnya Sang Waktu, jiwa yang lemah ini tak lagi sanggup membendung curahan kasih yang dipersembahkan oleh seorang Dika. Dan jika ada satu kegilaan yang pernah kulakukan sepanjang hidupku, itu adalah saat dengan kesadaran penuh kunyatakan perasaan suka gembiraku di hadapan Dika. Saat itu menjadi saat terindah dalam hidupku. Dengan sadar semua kuputuskan, dengan sadar pula kunyatakan segala rasa yang membuncah dalam benakku. Dan pada akhirnya pula, semesta raya merestui keputusanku. Dika mempersembahkan hatinya, tanpa syarat, lewat secangkir cappuccino.

Senja, kereta dan cappuccino adalah Dika, yang memberikan tulus kasih dan sayangnya kepada jiwa rapuh yang selalu merindukan kehangatan ini. Dika adalah pribadi sederhana, apa adanya dan lelaki baik yang memberikan teduh kedamaian dengan caranya yang begitu unik tiada duanya. Dika mengecupku lembut ketika batin ini memerah, Dika menjaga jauh saat batin ini menjadi marah.

Senja, kereta dan cappuccino adalah Dika. Di setiap ambang senja, Dika selalu hadir mempersembahkan cinta. Di setiap akhir sebuah hari, Dika selalu menyisakan rindu beserta sejuta lima ceritanya. Dan pada setiap kereta yang melintas di remang senja, Dika mengajarkan satu hal penting kepadaku, betapa kerinduan adalah hari-hari bahagia selama menunggu sebuah perjumpaan. Dan pada akhirnya, lewat secangkir cappuccino pula, Dika menegaskan cintanya.

...Dika, Cappuccinoku,

sesungguhnya engkaulah yang merupakan Bingkisan dari Tuhan

yang khusus diciptakan untukku...