Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 15 - Backstreet

Chapter 15 - Backstreet

Saat ini, sudah hampir tiga bulan berselang dan hubungan kami tetap terjaga tanpa cela. Tak pernah ada masalah yang cukup berarti. Sesungguhnya, aku kurang begitu setuju ketika Dika memintaku untuk menyimpan rapat hubungan kami pada khalayak. Semua orang di sini tahu, Dika hanyalah seorang sales, sementara diriku adalah seorang dokter gigi yang sedang magang di klinik. Aku tak pernah merasa malu jalan bareng Dika. Namun sampai hari ini, hanya Tasya, sahabatku dan Mang Ujang yang tahu hubungan kami.

"Tidak enak jadi bahan pembicaraan orang. Jadi biarlah kita saja yang tahu, kita saja yang merasakannya. Lagian, mereka tidak akan peduli dengan hubungan kita ini." demikian ringkas penjelasan Dika kala itu.

Dan benar saja, dengan tanpa orang lain tahu perihal hubungan kami, hari-hari menjadi mengalir begitu saja, seperti biasa, namun tetap dalam kebersamaan yang selalu menyisakan rindu di tiap akhir dari perjumpaan kami.

Terkadang aku merasa kesal juga, kalau melihat di depan mataku sendiri, bagaimana Dika digoda perawat-perawat bahkan dokter-dokter muda yang kecentilan. Ironi dari kesalku, Dika justru selalu melayani mereka, lewat candaan ataupun sikap noraknya.

"Kaga ada yang salah kan, bahagiain orang lain? Kecuali Dika direbut oleh mereka baru Sherly berhak marah."

Demikian dalil pembelaannya setelah perdebatan panjang yang menguras energi dan pikiranku waktu itu. Jauh hari setelah itu aku baru sadar, ternyata Dika melatih dan mengajariku agar tidak lagi cemburu dengan gadis-gadis yang Dika kenal. Bahkan pada akhirnya pula aku jadi tahu, Dika telah mempersiapkan mentalku sekedar untuk menjadi kekasihnya, pendamping hidupnya, bahwa aku harus kebal, tidak boleh cemburu, apalagi sampai cemburu buta pada semua perempuan yang mengenal Dika.

Seajaib itukah Dika mempersiapkan diriku? Dika tahu dan sadar betul, hidupnya selalu dikelilingi oleh yang namanya wanita. Aku, seorang Sherly Putri Tiatiani saja yang belum mengenal Dika seutuhnya waktu itu.

Kulanjutkan saja ya... Bagian di atas belum saatnya dibahas saat ini. Nanti ada bagiannya sendiri.

Dika tak pernah alpha membangunkan lelap tidurku tiap pukul enam pagi. Terkadang hanya mengirim beberapa pesan pendek yang membuatku benar-benar terbangun dan biasanya langsung kuhubungi. Terkadang pula Dika yang langsung menghubungiku, membagikan kalimat-kalimat ajaibnya untukku seorang dan membuatku bersemangat menghadapi hariku.

Kemudian tengah hari, Dika juga selalu mengingatkan diriku untuk makan siang. Bahkan terkadang, tanpa kuduga, pukul sepuluh atau sebelas, Dika sudah berada di klinik, bercanda dengan Tasya maupun orang-orang yang dikenalnya dan menungguiku sampai jam makan siang tiba.

Selepas pukul delapan malam, setelah istirahat petangnya, Dika selalu menemaniku melalui percakapan-percakapan kami lewat telepon seluler. Rasa-rasanya, kebersamaan kami sudah seperti berbulan-bulan, tahunan bahkan.

Kebersamaan kami terus terjaga. Dika semakin istimewa. Sampai pada awal bulan kemarin, beberapa orang di klinik mulai usil menggodaku. Ajaibnya, Dika tidak menunjukkan amarahnya, bahkan lebih memilih untuk diam, seolah tanpa emosi, seolah tanpa peduli.

"Ini yang Sherly takutkan sejak dulu kalo kita backstreet seperti ini, Dika. Sherly ngga pernah malu pacaran sama Dika. Tapi kalo diem-diem gini, capek juga diusilin orang-orang itu, seolah Sherly bahan taruhan." protesku ketika beberapa pesan masuk ke ponselku tepat saat Dika mengunjungiku.

Dika hanya tersenyum. Aku tak mampu menerjemahkan senyumannya, tak mampu membaca jalan pikirannya. Aku memprotes sungguh, namun Dika begitu tenang seolah tak ada masalah besar menghadang.

"Kita tidak bisa melarang orang lain untuk suka terhadap kita, begitu pula kita tak bisa memaksa orang lain untuk tidak menyukai kita kan? Dika percaya sungguh dengan Sherly. Dika yakin sungguh kalau Bidadariku tak akan berpaling."

"Iyalah... Sherly sayang Dika... Sherly cinta Dika..."

"Iya, Dika selalu tau itu... Jadi selagi orang-orang itu masih dalam batas wajar, tak jadi soal kan kalau mereka tertarik atau bahkan mengagumi Sherly? Wajar kurasa, mengingat Bidadariku emang layak untuk dikagumi. Tak ada yang salah dengan itu. Tapi kalau sampai Sherly merasa terganggu, apalagi tersakiti... Dika yang pertama maju!" demikian hiburnya di tengah suntukku.

Sampai pada suatu waktu, aku betul- betul merasa terganggu. Ajaibnya, Dika memberi solusi sederhana yang begitu jenius dan tak pernah kupikirkan sebelumnya.

"Pakai dua nomor. Yang satu nomor untuk kerja, itu artinya aktif hanya selama jam kerja. Kemudian satu nomor lagi yang hanya dibagikan khusus bagi orang-orang tercinta." usulnya.

Sungguh jenius ide Dika. Pada sebuah senja yang masihlah samar, ponselku bergetar. Selalu ada senyum di sudut hati ini tiap kali benda sekecil itu berbunyi. Hanya Dika, yang begitu sering membuat ponselku yang satu itu bersuara. Idenya untuk menggunakan dua nomor ponsel sungguh jenius. Tak ada lagi gangguan dari nomor lama yang lebih sering mengganggu ketenanganku akhir-akhir ini. Jujur aku terganggu dengan pesan-pesan dari beberapa orang yang menghubungiku selepas jam kerja. 'Pengagum Rahasia', demikian Dika memberi istilah bagi mereka.

Demikian ide itu sukses mengatasi masalahku. Namun lagi-lagi hadir masalah baru. Akhir-akhir ini dua orang dokter baru seolah berlomba dan berusaha untuk mengejarku, mencoba mendekatiku. Sampai pada titik ini, Dika masih saja berdiam diri. Entah apa yang dipikirkannya, aku tak sanggup mengerti.

"Dika, Sherly gerah dengan kondisi ini. Apa perlu Sherly bilang pada mereka kalo Sherly milik Dika?"

"Hehe… tenang aja… seperti Tasya biasa bilang, jangan lari dari kenyataan… bahwa faktanya, kenyataannya, Bidadariku emang manis, mau bilang apa coba? Wajar kalo kumbang-kumbang bermuka belalang itu mengagumi Sherly. Bersyukurlah dengan anugerah yang dititipkan oleh Yang Kuasa atas diri Sherly-ku."

"Apaan sih… keadaan udah genting juga masih sempat becanda… Sherly capek Dika!"

"Ok… jadi Sherly minta Dika turun tangan nih?"

"Eh, Dik… tapi ngga boleh ada yang terluka

"Ya gimana kaga akan ada yang terluka? Pastinya mereka akan perih batinnya, terlebih setelah tahu kalo Sherly udah ada yang punya? Ada-ada aja kamu ini, Sher

"Bukan begitu maksudnya, Dika Sayang... Kalau sampai perih hatinya, apalagi ancur berkeping, biarin aja, biar pada tau rasa!" jelasku.

"Yeee… kaga boleh gitu… itu namanya sengaja menyakiti sesama dosa kali!" protesnya keras. "Terus, kaga boleh ada yang terluka, maksudnya gimana?" lanjutnya.

"Maksudnya, ngga boleh ada yang sampai berdarah-darah, Sherly takut kalau ada yang berkelahi."

"Oh, gitu maksudnya… hihihi..."

"Dik, maaf, apa bener, kata Tasya, dulu Dika pernah berantem ama satpam klinik ya?"

"Wah, udah lama itu…"

"Tasya bilang kalau satpam yang babak belur waktu itu sampai dikeluarin jadi security, trus satunya lagi yang mau melerai ikut terkena imbasnya, dimutasi ke Pluit… Serem, Dik… jangan gitu ahh… Sherly ngga suka!"

"Abisnya, dikeroyok dua orang waktu itu, mana gede-gede juga, mau gimana lagi?"

"Hihi… untung Sherly belum ada ya waktu itu. Emang bener, satpam yang satu sampai berdarah-darah?"

"Iya, kepalanya bocor… kena gagang sapu… hihihi..."

"Koq bisa sih, Dik?"

"Udahlah, Sher... Jangan bahas itu ya, kaga enak kalo inget yang gitu-gituan. Dika udah tobat, udah janji juga ama Bapak, Dika kaga akan berkelahi lagi… kecuali terpaksa… hihihi..."

"Tuh, kan… Ogah ahh, kalau sampai Dika luka gimana?"

"Kan… Dokternya manis..."

"Apaan sih… Lagi serius juga masih bisa becanda!"

"Ya emang Bu Dokter milik Dika seorang ini kan manis? Buktinya, sampai dikejar-kejar dua dokter keker… hehe..."

"Ya, tapi Sherly yang ogah… Kekar badannya… Dungu otaknya!!!"

"Eh, jangan dungu-dunguin orang juga!"

"Biarin Lebih dungu dari onta... keledai kaliii!!!"

"Hihihi jangan emosi gitu… tar manisnya luntur loh?"

"Biarin!!!"

"Oh… ya udah… kalau manisnya luntur, biar buat rebutan onta-onta eh, keledai-keledai dungu itu aja… Dika pulang aja kalau gitu!"

"E-eh… jangan, Sayaaang... Sherly buat Dika ajaa..." rengekku sambil memegangi lengannya dengan kencang.

"Hehe… iya... tapi jangan kenceng-kenceng juga pegangi lengan kiriku."

"Eh, maaf-maaf… masih sakit ya, belum sembuh juga? Dika juga sih, naik motor ngga pernah pelan, kalau udah jatuh gini kan repot."

"Hihihi... iya, maaf... ini udah mendingan koq… cuma masih agak nyeri kalau angkat beban berat."

"Terus gimana?"

"Ya udah… biarin aja… nanti juga sembuh sendiri."

"Beneran ngga apa-apa?"

"Udah biarin aja… kemarin langsung diurut ama Mas Tanto. Nanti juga sembuh sendiri."

"Beneran ngga apa-apa?"

"Iya... udah biarin aja... trus gimana urusan ama para 'Pengagum Rahasia' tadi?"

"Ya itu tadi… Sherly ngga mau kalau Dika sampai berkelahi. Titik."

"Hihi… iya… iya… anti, Non, berkelahi koq gara-gara perempuan... cemen tu namanya..."

"Pokoknya, Sherly ngga mau lihat Dika sampai terluka!"

"Iya… Sherly tenang aja… yang terluka itu hati Dika, Sherly... udah Sherly lumat abis-abisan pake cinta Sherly... sampai-sampai hati kita melebur jadi satu..."

"Apaan sih… becanda mulu..."

"Hihihi… pipi Sherly jadi pink tuh... ranum... jadi pengin menciumnya..."

"Dika jelek… jeleek… jeleeek..." kutimpuk sekenanya.

"E-eh, jangan lengan yang kiri dong, masih sakit ini!"

"Maaf-maaf..."

"Kalau emang sayang jangan marah dong... jangan ditahan-tahan juga… sampai pink gitu pipinya… senyum dong… hehe…"

"Mana bisa Sherly marah ama Dika..."

"Nah, senyum gitu dong… biar penjual martabaknya tambah minder..."

"Kenapa?"

"Kata penjual martabak yang di depan itu, martabaknya kalah manis ama Dokter Sherly, makanya jadi minder dia..."

"Hihihi… apaan sih?"

"Sherly tau kaga, abis bilang gitu, Dika tambahin aja sekalian, biar semakin minder plus kaga berani lagi sekedar godain Sherly."

"Emang beneran bilang gitu, Mamangnya? Trus Dika tambahin apa, koq sampai ngga berani lagi godain Sherly?"

"Dika bilang, jangankan martabak yang paling spesial di Jakarta ini, bintang-bintang di angkasa raya aja pada minder kalau lihat drg. Sherly Putri Titiani tersenyum… hahaha..."

"Jelek… Dika jeleeek..."

"Eh, beneran… tanya aja ama Tasya… ada saksinya tuh!"

"Iya… iya… Sherly udah diceritain koq kemarin."

"Hehe… kaga perlu kekerasan kan, sekedar untuk membuat orang kaga berani lagi godain Sherly-ku?"

"Iya, Dika Sayaaang… Makasih yah?"

"Dah, besok Dika temuin dua orang itu. Sherly-ku tenang aja. Sekarang kita makan nasi goreng aja yuk?"

"Mauuu... Sherly yang traktir yah?"

"Eh… kaga boleh... kan Dika yang ngajak... dah Sherly ngikut aja."

"Yuuk..."

Bersama Dika, segalanya akan selalu menjadi ceria. Sesuntuk apapun, akan segera sirna ketika bersama Dika. Seolah jadi lupa dengan masalah-masalah sebelumnya, Dika selalu punya solusi dan menjadikan hari bersamanya menjadi penuh suka.

Jelang petang, di Kedai Nasi Goreng, Dika lebih banyak menyimpan kata, seolah begitu banyak hal dipikir sendiri olehnya. Ingin rasanya turut meringankan beban pikirnya, namun aku tak sanggup bahkan sekedar untuk bertanya. Tapi pada akhirnya, kuberanikan juga untuk bertanya.

"Dika..." bisikku.

Lelaki ajaibku ini tak merespon, seolah tak mendengar sapaanku. Bahkan ketika jemarinya kugenggam sekalipun, Dika masih terdiam. Ada rasa takut bercampur ngeri manakala melihat Dika seperti itu.

"Dik... Dika kenapa?"

"Oh… maaf, Sher... udah pesen nasi goreng belum? Punya Dika kaga pedes lho..."

"Dika… Sayangku kenapa?"

"Kenapa? Emang aku kenapa, Sher? Enggak kenapa-kenapa juga tuh?"

"Dika… Sayangku mikirin apaan tadi? Sampai dipanggil diem aja."

"Masak diem aja?"

"Nih… sampai Sherly genggam tangan Dika ngga sadar kan? Dika kenapa sih? Jangan buat Sherly takut, Dika?"

"Takut? Sherlyku takut apaan?"

"Dika… Dika-ku Sayaaang… Jangan sedih ya… Sherly takut kalo Dika sedih..."

"Iya… maaf-maaf..."

"Nah, gitu dong… sambil senyum… yang lebar lagi senyumnya..."

"Apa-apaan sih kamu, Sher... kaga enak tau... diliatin orang-orang..."

"Biariiin… biar cowok-cowok itu pada minder sekalian… ama Dika… yang lagi disayang-sayang Bidadari serupa Malaikat… hehehe..."

"Udah Sher... udah..."

"Senyum dulu dong… tar baru kulepas nih… yang lebar… lebih lebar lagi..."

"Sher... udah Sherly..."

"E-eh… ngga boleh marah, Dika-ku Sayaaang..."

"Kamu… kaga lagi puber… kedua… kan, Sher?"

"Apaan sih? Mau balas dendam nih ceritanya? Biarin… mau dibilang puber kedua, ketiga, keseratus… biarin… ato perlu nih… Sherly cium Dika sekarang... di sini… di tempat umum seperti ini?"

"Hiii… serem juga ya… perempuan kalo lagi dapet..."

"Dapet apaan?"

"Dapetin hatiku... hihihi..."

"Hehe… gitu dong, Sherly berhasil kan, bisa bikin Dika ketawa?"

"Hehe… iya..."

Hening sejenak.

"Dika… tadi mikirin apaan?"

"Mikir apa? Kapan?"

"Dika… cerita deh ama Sherly walau belum tentu bisa bantu, minimal Sherly akan mendengarkan."

"Hehe… enggak koq, enggak apa-apa..."

"Tuh, kan… boong kan?"

"Hehe… kaga, Sherly Dika kaga pernah boong… apalagi boongin Sherly... Bidadari serupa Malaikat milikku yang manis ini."

"Malah mulai lagi… apa ngga capek sih Dik… bikin terbang terus-terusan?"

"Hihi… Emang Sherly cantik, mau bilang apalagi coba?"

"Ya kan ngga segitunya kali?"

"Ya udah Dika ganti… udah manis, cantik pula… Bidadariku yang serupa Malaikat, yang khusus diturunkan ke bumi ini buat Dika seorang."

"Tuh… kan… malah semakin menjadi-jadi… udahan, Dika… tar kalo Sherly lepas kontrol gimana? Kalo sampai ngga kuat gimana coba?"

"Hihihi… iya… maaf..."

Percakapan terhenti ketika pesanan nasi goreng kami datang. Ingin sungguh rasanya untuk minta suap ke Dika, atau Sherly yang menyuapi Dika juga iklas, tapi tidak berani.

"Dik… beneran, ngga mau nyoba yang pedes?"

"Makasih... ini aja..."

"Bentar… bentar… ingat… selagi makan, ngga bole becanda!!!" tegasku.

"Iya, Tuan Putri..."

"Dika!!!"

"Dika di sini, Tuan Putri..."

"Apaan sih… ngga gitu juga kalii!"

"Hihihi… takut..."

"Takut apaan?"

"Takut buat Sherly ketawa… hahahaha..."

"Udah ahh… serius nih… inget… ngga ketawa lagi!"

"Kalau kaga ketawa, tar Dika jadi sedih?"

"Kalau Dika sedih, tar Sherly yang menghibur… kalo perlu sambil Sherly peluk-peluk sekalian!"

"Iya… iya… iya… jangan galak-galak gitu juga kali..."

"Hihihi..."

"Tuh… kan… malah ketawa sendiri… Sherly curang!"

"Abisnya, Dika sih… udah-udah… sekarang serius."

"Ok… serius!"

"Tapi ngga tegang-tegang gitu juga kali?"

"Hihihi iya… maaf-maaf..."

Dika tersenyum kemudian melanjanjutkan makan. Dika sempat mengambil sendokku dan menyuapiku. Ingin rasanya turut menyuapi Dika, tapi nasi gorengnya sudah habis duluan. Dika tetap tersenyum. Ingin sungguh rasanya tinggal bersama Dika agar bisa seperti ini tiap hari, namun aku tak berani bilang. Bahagia sungguh rasanya hati ini disayang dan terlebih dimiliki oleh Dika seperti ini.

"Dik…" kucoba memberanikan diri untuk mengatakan.

"Iya, Dika selalu di hati Sherly kan?"

"Boleh kaga?"

"Boleh!"

"Yeee… main serobot aja…"

"Hihi… apa yang kaga bakalan Dika turutin dari pinta Sherly-ku?"

"Hihi…"

"Yeee… malah ketawa!"

"Boleh kaga… kalo Sherly… ikutan Dika tinggal di rumah Bogor?"

"Boleh sekali!"

"Beneran, Dik?" girangku.

"Iya… tapi mau tidur di mana? Jadi satu ama kardus-kardus mau?"

"Ya sama Dika lah!"

"Hihihi… bed-nya kekecilan… Dika ganti yang besar dulu yah? Biar cukup buat berdua."

"Beneran, Sayang?"

"Hihi… emang Dika pernah narik ucapan sendiri?"

"Hihi… makasih Dika, Sayang… kalo gitu pake uang Sherly aja buat beli bed baru?"

"Enak aja… itu rumah, punya siapa?"

"Punya Dika!"

"Berarti biar Dika yang beli bed baru!"

"Ya tapi kan…"

"Sssttt… udah… Dika ogah berantem gara-gara kayak ginian. Males tau. Sherly nurut aja kalo soal ginian ya? Uang Sherly ditabung, buat beli bedak ato parfum aja… hahaha…"

"Yeee… parfum juga Dika yang bayarin kan kemarin?"

"Hihihi… iya, ya… itu karena Dika sayang Sherly."

"Hihihi… iya deh… Sherly nurut aja ama Dika."

"Nah, gitu dong… Jangan pernah ganggu kebersamaan kita dengan hal-hal seperti ini. Dika kaga mau berantem ama Sherly. Titik."

"Iya… maafin Sherly ya, Dik?"

"He em…"

"Eh, Dik, Sherly perhatiin sejak duduk tadi, Dika kusut banget, mikirin apaan sih? Kerjaan?"

"Oh… tadi? Kecapekan aja, Sher..."

"Kalau boleh usul nih… Dika istirahat geh, libur barang sehari ato dua hari ini... tar Sherly temenin deh... Ada kalanya, otak juga butuh istirahat, Dika?"

"Iya, Dika tahu… Rencana emang gitu."

"Baguslah kalau gitu... sekali-sekali liburan keluar... emang Dika pengin refreshing kemana?"

"Pulang!"

"Pulang kampung???"

"Iya… pulang kampung!" jawabnya datar tanpa emosi sedikitpun.

Seperti ada yang kurang, sesuatu yang hilang, dalam pendek-pendek jawaban Dika. Tapi aku tak tahu.

"Dik… Dika..." bisikku, lagi-lagi Dika terdiam, pandangannya jauh menerawang.

"Dika… kita pulang yuk… ceritanya di rumah aja yah?"

...Setegar dan sekokoh apapun seorang laki-laki,

tetap saja memiliki satu titik

yang terkadang sampai membuatnya tak sanggup

sekedar untuk mengucapkan sepatah kata...