Pada akhirnya, sebelum Dika berpamitan setelah mengantar diriku sampai di pondokanku, Dika mencium bibirku untuk yang pertama kalinya. Pintanya begitu tulus, terlalu sopan bahkan menurutku.
"Sebelum pulang… boleh Dika peluk Sherly sekali lagi?"
"Hihi… sini deh… Sherly bisikin… seumur-umur, baru kali ini Sherly kenal cowok yang sesantun Dika… kenapa juga mesti ijin sih, Sayang?"
"Hihi… tar dikiranya mau nakalin Sherly. Dika boleh cium Sherly?"
"Iya, Dika Sayang… dengan senang hati… tubuh ini… hati ini… milik Dika seorang."
Sambil menggenggam jemari tanganku, Dika mencium keningku, begitu lembut, hangat bibirnya kurasakan meresap hingga ke dasar kedalaman benakku. Kemudian dengan begitu lembut pula, Dika memelukku, tulus, penuh kasih. Sampai pada satu titik ini saja, kurasakan kedamaian yang begitu berlebih.
Enggan rasanya untuk melepaskan pelukan Dika, apalagi berpisah. Dika membelai lembut rambutku, kemudian mencium kepalaku. Kudongakkan kepalaku, Dika tersenyum, aku sudah berpasrah ketika Dika berbisik,
"Boleh cium bibir Sherly?"
Aku hanya mengangguk, mengiyakan semua tulus pintanya. Dika menempelkan ujung hidungnya tepat pada ujung hidungku, keningnya pada keningku, untuk waktu yang cukup lama.
Dika sengaja membenamkan gejolak rasa yang berkecamuk dalam benakku, sampai akhirnya aku mendongak pasrah. Dika mencium bibirku dalam suka cita penuh kedamaian.
"Dika yakin mau pulang? bisikku penuh sayap setelah Dika melepas pagutan bibir kami.
Lelaki Ajaibku tak menjawab. Dika seperti memikirkan sesuatu. Kucium bibir Dika sekali lagi, agak lama, sampai ketika nafasku hampir tak lagi beraturan, Dika memintaku untuk melepaskannya.
"Sherly malam ini Dika pulang dulu ya?"
"He em." balasku singkat sambil mengatur nafasku.
"Sherly Putri Titiani… makasih buat semuanya ya… jangan mimpiin Dika… jangan kangen… cukup Dika aja."
"Iya, Sayang… Sherly juga makasih buat semuanya… Sherly sayang Dika."
"Ditto." bisiknya seraya mengusap lembut wajahku dengan jemarinya.
Kalau saja ada mesin fotocopy Sang Waktu, ingin rasanya mengcopy momen saat pertama kali Dika mencium bibirku dengan begitu lembut tadi dan mengabadikannya di langit-langit kamarku, agar setiap saat, setiap waktu, dapat kulihat dan kukenang selamanya.
Segala yang kulihat tampak baik adanya. Tampak indah adanya. Satu hal kutahu, semua ini berkat Dika, Dika-ku. Damai…
Ingin rasanya segera menghubungi Tasya. Ingin rasanya segera berbagi cerita. Apalagi setelah tahu kalau malam itu Tasya telah selesai pindahannya, jadi satu dengan pondokanku, tepat di depan kamarku.
Petang barulah menjelang ketika kusambangi kamarnya. Tasya tampak sedang merapikan beberapa barang miliknya.
"Hai... hehehe..."
"Eh, hai… dari mana aja Tuan Putri, seharian dihubungi sampai kaga bisa?"
"Ada deh… hehehe… udah beres semua nih? Maaf banget ya, Tas, Sherly ngga bisa bantu-bantu tadi."
"Its okey… bawa apaan tuh?"
"Ini… Roti Unyil… buat Tasya seorang… hehehe… "
"Tumben nih… eh, ini kan oleh-oleh khas Bogor."
"Hihihi..."
"Yee, ditanya juga, malah senyam-senyum sendiri, emang abis dari Bogor?"
"Iya… hehehehe..."
"Bentar, dari nada-nadanya, ada yang ngga beres nih?"
"Hihihihi..."
"Ada yang lagi jatuh hati nih kayaknya?"
"Kayaknya iya sih… hihi..."
"Oh, gitu, nggak mau cerita? Tasya tinggal mandi nih?"
"Hihihi… udah mandi dulu sana, ceritanya tar aja."
"Jangan kemana-mana loh ya… Jangan lari dari kenyataan… Tasya mandi bentar."
"Iyaaaa… dah sana mandi geh… hehehe..."
Belum juga Tasya beranjak mandi, telepon selulerku bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Dika, pasti Dika." tebakku.
Pesannya singkat banget :
"Jangan sampai pagi kalo mau berbagi cerita sama Tasya, tar nggak sempat mimpiin Dika lho!"
"Koq tahu sih?" langsung kubalas.
"Kan sehati… "
"Hihihi… "
"Jangan lupa ucapin terima kasih ama Tasya atas infonya."
"Iya… iya… iya… nanti Sherly sampein."
"Jangan lupa istirahat lho ya… tidur, biar bisa ketemu dalam mimpi."
"Dika juga istirahat ya, biar kita ketemu dalam mimpi… love u."
"Ditto."
Ada sedikit rasa kesal ketika membaca satu kata terakhir. Tapi sudahlah, seperti itulah Dika, mau bagaimana lagi?
"Wuih… wuih… wuih… yang lagi jatuh hati… senyum terussss..."
"Apaan sih… Oh ya, Tas, itu Roti Unyil sebagai ucapan terima kasih katanya..."
"Katanya… kata siapa?"
"Dika." spontanku.
"Dika? Siapa Dika? Oh Axl… Si Tukang Tissue?"
"Namanya Dika, Tas... D-I-K-A... Dika."
"Uihhhh… "
"Kenapa?"
"Uihhh… uihhh… uihhh… bentar-bentar..."
"Apaan sih, Tas?"
"Koq bisa… dari Axl… eh, dari Dika… kalian?"
"Hehehe..."
"Oh jadi gitu… gimana ceritanya?"
"Panjang ceritanya, tar jadi novel kalau ditulis... hehe..."
"Ya udah, cerita geh, tar Tasya yang nulis... hahahaha..."
"Apaan sih? Ada-ada aja kamu… oh ya, itu Roti Unyil, katanya khusus buat kamu, karena dah bocorin info pribadiku kepada Dika kemarin."
"Oh, iya… Tasya sampai lupa… Sherly ulang tahun ya hari ini? Selamat ulang tahun, Sherly." Tasya memelukku.
"Makasih, Tasya… Anyway, gimana ceritanya kemarin, kamu disuap pake apaan, sampai-sampai bocorin tanggal lahirku ke Dika?"
"Oh, itu… maaf ya, Sher... ceritanya panjang… tar jadi cerpen kalau ditulis… hehe..."
"Hihihi… ada-ada aja Dika itu ya… Anyway, thanks ya, berkat info dari Tasya kemarin, Sherly diberi kado istimewa… hehehe..."
"Bentar-bentar… Tasya masih gagal paham nih."
"Iya… gara-gara Tasya ngasi info tanggal lahirku kemarin, Dika ngasi kado istimewa buatku… hehe..."
"Oh, gitu… apaan kadonya?"
"Coba tebak?"
"Coklat… Bunga... Tas... Cincin?" tebaknya, sementara aku hanya menggelengkan kepala.
"Apaan sih? Jadi kepo gini?"
"Cappuccino... hahahaha..."
"Apaan tuh, masak ulang tahun cuma dikasi cappuccino?"
"Secangkir cappuccino dengan topping hati di atasnya… hehehe..."
"Maksudnya?"
"Iya, Tasya yang imut… cuma secangkir cappuccino, dengan topping hati di atasnya, ama bilang gini : 'Hati ini… cappuccino ini… boleh buat Sherly... tak bersyarat...' gitu doang… hahaha..."
"Bentar… bentar..."
"Dika emang unik, tau nggak, Tas, Sherly butuh sekian waktu sekedar untuk memahami kalimat bersayapnya itu."
"Lah, emang seorang Dokter Gigi Sherly Putri Titiani nembak duluan?"
"Iya… hehehehe… cerdas kamu, Tas."
"Tasya masih gagal paham ini?"
"Tar kalo tahu selengkapnya jadi iri loh!"
"Ada-ada aja… dunia betul-betul udah kebolak-balik ya sekarang?"
"Ya, begitulah… sekali lagi makasih ya, Tas, udah ngasih tanggal lahirku ke Dika."
"Tapi kenapa Dika?"
"Tasya… rasa sayang terhadap seseorang itu tidak perlu pake menjawab pertanyaan 'kenapa', tapi kalau iri terhadap seseorang, baru itu mesti ditanyain 'kenapa' koq mesti iri?"
"Ya, Tasya ngga habis pikir aja… kenapa Dika?"
"Tau ngga, Tas? Dika itu orangnya baik, apa adanya, lelaki paling santun sedunia… hehe… lelaki ajaib yang pernah kutemuin trus..."
Percakapan terpotong oleh dering nada pesan pendek yang masuk ke ponsel Tasya.
"Bentar… bentar..." potongnya. "Sstttt… dari Dika!"
"Haaa? Apa katanya, Tas?" kejutku.
"Oh, ini… Dika bilang gini : Terima kasih atas informasinya kemarin… Tanpa Tasya, yang dua tak mungkin jadi satu."
"Hihihi… tuh kan, ada aja diksinya."
"Maksudnya apaan sih ini, Sher?"
"Ya gitu itu, unik kan, kadang kita mesti harus mikir dulu maksud perkataannya."
"Bentar… bentar… ada lanjutan pesannya nih."
"Apa katanya, Tas?"
"Katanya : Maaf, jangan bingung, pesan tadi bukan buat yang masih… jomblo!"
"Hahahaha... tuh kan? Ajaib kan… Dika bisa tahu kalo Tasya masih… jomblo!"
"Apaaan sih, Sher koq kamu bisa paham maksudnya?"
"Kan satu hati… hehehe..."
"Koq, Tasya jadi bingung gini?"
"Hihihi… bayangin, Tas itu yang Sherly alami kemarin-kemarin… mesti muter otak kan?"
"Nih ada lagi pesannya : Tolong beritahu yang lagi ketawa di depanmu agar istirahatnya tidak kemaleman, takut nggak lengkap mimpinya."
"Hihihi… tuh ajaib lagi kan… bisa tau Sherly lagi ama Tasya?"
"Bentar… bentar… Tasya bingung beneran ini."
"Hihihi… pesan pertama tadi maksudnya… terima kasih karena udah ngasi info tanggal lahir Sherly kemarin, tanpa bantuan Tasya, kami berdua, Sherly ama Dika maksudnya, ngga mungkin bersatu."
"Oh gitu… trus pesan kedua… maksudnya gimana tuh?"
"Hihihi… Tasya bingung kan?"
"Iya."
"Itu karena Tasya masih… jomblo! Hahahaha..."
"Apaan sih?"
"Iya… kalo Tasya yang imut udah tidak jomblo lagi, pasti langsung paham maksud pesan pertama tadi, yang dua kini menjadi satu… hehehe..."
"Iya… ya… apa karena kelamaan jomblo itu tadi ya… trus, yang ketiga, koq bisa tahu, Sherly ada di sini?"
"Ajaib kan Dika itu? Hehehe… Bukan tahu kalo Sherly ada di sini, tapi Dika tahu kalo Sherly lagi ama Tasya, kita lagi berdua, jadi bisa dimana aja… Hebat kan, bisa tahu Sherly lagi ama Tasya? Hehehe..."
"Koq bisa ya?"
"Hehe... Dika tau karena emang Sherly diminta nganter Roti Unyil ini, sekalian untuk menyampaikan terima kasih buat Tasya seorang. Gitu pintanya tadi… Bayangin Tas, Sherly juga selalu ngga habis pikir kemarin-kemarin itu. Dika seolah tahu apa yang Sherly pikirkan, bahkan seolah tahu apa yang akan Sherly ucapkan. Penuh kejutan kan?"
"Iya, ya… jenius juga Si Axl itu ya?"
"Dika, Tas... namanya Dika!"
"Iya… iya… iya… maaf."
"Ngga cuma jenius, pilihan kata-katanya juga hebat kan? Awas jangan sampai salah loh… jangan sampai Tasya malu… Dika juga jago bahasa Inggris loh!"
"Oh ya?"
"Yeee... dibilangin juga... coba aja kamu bales pesannya pake Bahasa Inggris, kan pasti dibalas pake Inggris juga."
"Coba ahh : Message sent completely. Thx for the gift n congrats for both of u... dah kirim!"
"Eh, beneran, langsung dibales nih : Ur welcome. Pray 4 us n say nothin' to evry1 so that no1 gets hurts."
"Tuh, kan? Apa katanya?"
"Makasih kembali, doakan kami dan jangan bilang siapa-siapa agar tak seorangpun terluka."
"Hihihi… maksudnya, biar kaga ada yang iri tuh!"
"Hehe iya, koq kamu tahu, Sher?"
"Itu mah bahasanya Dika aja… dah hafal sekarang… lagian kan, tadi udah dibilang kalo kami satu hati… hahahaha..."
"Cie… akhirnya… Bu Dokter kaga jomblo lagi."
"Hihihi… ngga nyangka ya, Tas?"
"Iya… kayak Axl pernah bilang, misteri adalah hidup itu sendiri… kalian berdua keren… two thumbs up, deh."
"Hihihi… namanya Dika, Tasya yang imut."
"Hihihi… iya, maaf… udah kebiasaan… susah."
"Kayak hidup Tasya ya… susah… hahaha..."
"Apaan sih?"
"Maaf… maaf… bener kata Tasya, hidup emang penuh misteri… makasih buat semuanya yah?"
"Makanya… kalau udah tau bahwa hidup adalah misteri, maka jadikan 'hidup yang penuh misteri' itu sebagai hidup. Jadi berwarna kan?"
"Eh, tumben dalem banget filosofi Tasya?"
"Tuh kan… kaga nyimak kan… maklum deh… lagi jatuh hati… jadi lemot gitu telinga ama otaknya."
"Maksudnya?"
"Yang bilang kalau misteri adalah hidup itu sendiri, tuh Dika, Dika-mu... dulu, sebelum Sherly di klinik… tadi Tasya juga bilang gitu."
"O... jadi itu maksudnya… paham… paham… Dika kemarin juga bilang gitu… hihi… gagal paham juga kemarin."
"Iya… seperti Tasya pernah bilang juga kan, inget kaga, sebelum ketemu Dika sewaktu jalan-jalan di kebun Raya, keren kan Si Dika… apalagi kalo udah kenal."
"Hihihi… iya… Tasya bener lagi."
"Kaga cuma cakep kan… jagoan berantem, baik hati, kaga sombong, suka menolong, kocak, mana keren pisan kata-katanya."
"Dan norak juga kan?"
"Hahahahaha… iya… kadang super norak tuh… masak ke klinik cuma pake celana pensil super ketat?"
"Udah ciri khasnya tuh… mau gimana lagi?"
"Hihihi… iya… eh, gimana? Udah dicium belum? Tasya yang pengin banget malah Sherly yang mesti udah dapet."
"Dapet apaan?"
"Dapet bibirnya Dika… hihihi… sexy abis tuh!"
"Hahahaha… tar Tasya ngga bisa tidur loh kalo Sherly ceritain rasanya bibir Dika."
"Uihhhh… ampun deh… hmmmmm..."
"Tasya apaan sih… itu Dika-ku, Tasya!"
"Hihihi… iya, maaf… abis emang keren… dan sexy hihihi… salah sendiri milih Dika… ati-ati… banyak yang cemburu loh tar!"
"Hehe... tu dia, Tas... Dika ngga ingin hubungan kami diketahui orang-orang... enggak enak jadi bahan pembicaraan orang, katanya… makanya cukup kami aja yang tau, kami aja yang rasain… gitu pesennya… eh, ama cukup Tasya dan Mang Ujang aja yang tau, karena udah berjasa bagi kami. Sekali lagi makasih ya, Tas, buat semuanya?"
"Ok... kalo itu inginnya Dika, Tasya ngerti koq… trus gimana tadi rasanya?"
"Hihi… udah ah... ngga akan ada habisnya bahas tentang Dika… disambung besok lagi yah... dah malem… istirahat."
"Okey… Okey… see you tomorrow."
Malam telah larut. Kedua bola mata ini belum juga sanggup untuk kupejamkan. Akhirnya kuputuskan untuk mensyukuri semua yang terjadi.
...Dan pada setiap kereta yang melintas di ambang senja,
Dika mengajarkan satu hal penting kepadaku,
betapa kerinduan adalah hari-hari bahagia
selama menunggu sebuah perjumpaan…