Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 6 - Warung Teh Mimin

Chapter 6 - Warung Teh Mimin

Cilebut benar-benar menyisakan sepenggal kisah perjalanan dalam hidupku. Terik siang di bilangan Cilebut serasa begitu damai berkat keberadaan Dika seorang di sampingku. Dika menunjukkan kepadaku tentang hal-hal kecil yang begitu berarti dan kuabaikan selama ini.

Segalanya kubiarkan terjadi mewarnai satu hari ini. Benakku masih menyisakan satu tanda tanya besar perihal lelaki berambut sebahu bernama Dika ini, namun hanya perasaan damai yang menyelimuti kalbuku hingga kubiarkan semua mengalir begitu saja. Kusadari sungguh, perasaan seperti ini telah begitu lama tak kurasakan.

"Dika pengin makan apa?"

"Hehe… kita ke warung Teh Mimin aja yuk? Mau?"

"Mau dong… asal sama Dika… hehe…"

Kubagikan senyumku dan spontan langsung menggenggam jemari tangannya. Dika hanya tersenyum kemudian membalas genggaman tanganku dengan begitu lembut. Entah spontanitas apalagi yang kulakukan siang itu, yang jelas benakku begitu penuh suka. Kurasakan pula sebuah kedamaian hati dalam genggaman tangan kami. Sesuatu yang sudah lama tak kurasakan.

"E-eh… tunggu bentar…"

"Apalagi?" protesku.

"Tuh… pintunya belum ditutup… hihi…"

Sesampainya di warung, aku lebih banyak berdiam diri, mencoba menikmati momen-momen yang terjadi. Sesekali turut tersenyum mendengar celoteh lelaki ajaib yang begitu akrab bercanda dengan wanita paruh baya pemilik warung.

"Minta karet dong, Teh Mimin?"

"Ada tuh, ambil sendiri di bawah meja!"

"Karet gelang buat iket rambut, Teteh, bukan karet ban!"

"Salah sendiri rambut segitu kaga diiket… Emang rambutnya kenapa pake diiket segala, takut kalo lari?"

"Emangnya kuda poni… bisa lari-lari?"

"Nah, tu tau…"

"Eh, omong-omong soal kuda, nih… tau kaga, Teh? Kuda… kuda apaan yang sering nongkrong di warungnya Teh Mimin?"

"Kuda apaan ya? Kuda tongkrongan kali ya?"

"Salah…"

"Emang kuda apaan, Tong?"

"Kuda…pati Teh Mimin kangen berat… ama… isi dompetku… hahaha…"

Dari cara mereka bercanda, dapat kulihat keduanya sangat akrab. Seolah separo beda usia di antara keduanya tak menjadi penghalang. Siang yang gerah itupun menjadi penuh warna oleh canda dan tawa kami bertiga.

"Hahaha… ada-ada aja. Tapi, Dik, masih dalam rangka omong-omong nih, tuh Si Eneng nyang bening kaga dikenalin ama Teteh?"

"Hihihi… sampai lupa, kenalin, Teh, ini calon ibu dari cucu-cucu Bapakku yang ada di kampung Negeri-Castleku."

"Oh… cucu… eh… ibu… menantu… gimana sih, Dik, ribet amat bahasamu?"

"Hihi… ya itu tadi… calon ibu dari anak-anak…"

"Binimu, maksudnya?"

"Kali aja… lagian kalau tahu kenapa tanya-tanya? Dah mirip pengacara aja, sejak tadi nanya mulu…"

"Gimana sih, Dik? Bini ato calon mantu Bapakmu?"

"Yee… itu mah… sama aja, Teh Mimin…"

"Oh… sama ya? Hehehe… Cakep banget… bening… pinter milih kamu, Dik!"

Aku masih saja tak kuasa menahan tawa ketika Dika bermain kata-kata dengan Teh Mimin. Perempuan paruh baya itupun semakin kocak dibuatnya.

"Hihi… kenalin, Sher, Beliau ini anaknya Haji Sodiq, namanya Teh Mimin, dulu nama bekennya Mince, Beliau ini primadonanya Kampung Bojong Soang, pada jamannya, sekitar 30 tahun yang lalu ya, Teh?"

"Hehe… kenalin, Neng, aye Mimin."

"Oh, iya… saya Sherly."

"Gimana, Teh? Lembut kan suaranya? Lembut… selembut hatinya…"

"Bisa aja kamu, Dik… dapet nyang bening-bening ginian dari mana?"

"Gerbong kereta, Teh… nyangkut di jendela kemarin…"

"Husssh… anak orang disamain ama tas plastik!"

"Hehe… kalo plastik… plastik apa yang Teteh kaga boleh lupa?"

"Plastik yang kaga boleh lupa? Plastik apaan sih, Dik… jangan ngaco lagi ah…"

"Plastik-an aja gado-gado saya kaga pedes, Teh… ama plastik-an kopi saya diaduk sampai 30 kali."

"Hahaha… ada-ada aja kamu, Dik… udah nih punyamu… tanpa cabe… nyang ni spesial buat Si Eneng, calon anak mantu dari Bapakmu, Dik…"

"Apaan sih, ada-ada aja Teh Mimin ini… makasih ya, Teh…"

Kali ini aku angkat bicara setelah capek ikut tertawa. Sebenarnya benakku turut bersuka, ketika Dika dengan santainya menjadikan diriku seolah kekasihnya.

"Sama-sama, Neng… silahkan dinikmati… kalau ada yang kurang tinggal bilang…" lanjut Teh Mimin.

"Kurang penghulunya, Teh…" potong Dika spontan.

"Apaan sih kamu, Dik… nerocos mulu… dah, selamat menikmati buat kalian berdua, sekalian titip yah… Teteh mandi dulu bentar…"

"Iya… yang lama ya, Teh…"

"Yee… kayak kurang kerjaan aja…"

"Jangan lupa, Teh… pake bedak yang tebel abis mandi!!!" teriak Dika sementara perempuan tengah baya itu segera berlalu ke belakang. Sisa tawa masih memenuhi warung kecil itu. Dika membagikan senyumannya kepadaku.

"Hihihi… lucu juga ya Teh Mimin itu, Dik?!"

"Iya… tapi sayang…"

"Kenapa?"

"Tak ajak nikah kaga mau dia-nya…"

"Hahaha…"

"Aduuh… Aduuh… sakit, Sher… cubit-cubitannya tar aja yah… sebelum malam pertama… Aduuh… Aduuuh… Aduuuh…" pekiknya.

"Dah ah, jadi makan ngga nih?"

"Hihihi… iya… kamu sih…"

"Bentar… janji dulu… selama makan, ngga boleh bikin ketawa… keselek… bahaya, tahu!" tegasku.

Entah apa yang salah dengan kalimatku, tiba-tiba Dika terdiam, seperti takut atau justru memikirkan sesuatu. Kusadari sunggguh bahwa emosinya semudah itu naik-turun. Terkadang santun, terkadang begitu lepas. Namun hanya kedamaian yang kurasa dari tiap tanya maupun jawabnya.

"Loh, koq terus diem?" protesku setelah sekian waktu.

"Takut keselek hatimu, Sher… Aduuuh… sakit tau…" spontan jawabnya ketika langsung kucubit lengannya.

"Udah ah… cukup becandanya… tar pada ngiri loh…"

"Siapa? Para pembaca? Hahahahaha…"

Kalau sampai harus lengkap menulis semua yang bikin ketawa, takutnya kepanjangan. Jadi yang bikin ketawa ama cubit-cubitannya sampai di sini aja ya?

"Dik, makasih yah, udah nemenin Sherly… juga buat makanan ini." tuturku disela menikmati makananku.

"Malahan saya yang makasih, Sher… tadi juga udah dibantu mengirim orderan…" balasnya sambil tersenyum kemudian mengeluarkan sebungkus tissue dari tas kebesarannya.

"Maaf, ada yang mau lewat…" lanjutnya sambil mengeringkan sisa minuman di bawah bibirku dengan tissue yang baru dikeluarkannya tadi.

"Hihi… makasih, Dika…"

"He em… tissuenya bawa aja… buat Sherly… jangan pake tissue gulung…"

"Hahahahaha…" tawaku lepas ketika teringat kisah Tasya dengan Tissue Gulungnya di warung karedok kemarin.

Kusadari pula saat itu, Dika selalu tersenyum tiap kali menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Senyum itu pula yang semakin menambah rasa damai yang menyelimuti benakku. Pada akhirnya, kedamaian itu berubah menjadi sekeping rasa nyaman yang kurasakan bersamanya.

"Eh, tar sore nongkrong di Kedai Mang Ujang lagi yuk… Sherly yang traktir deh…" ajakku.

"Tau kaga, Sher, makan itu, yang penting bukan dimana… ataupun habis berapa… tapi ama siapa… hehe…"

Aku sempat terkejut dengan jawaban ringkasnya. Jawaban itu lebih tepat kalau kuanggap sebagai filosofi makan ala Dika.

"Betul juga ya… tapi Dika seneng kan… makan bareng Sherly seperti ini?" tanyaku penuh sayap.

Dika tak menjawab selain mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah ia tahu sayap lain dari pertanyaanku. Sengaja ia tak menjawab selagi menunggu maksud pertanyanku yang sesungguhnya.

"Koq cuma manggut-manggut? Dika seneng kan?" protesku.

"Hehe… iya, serasa makan ama Bidadari, di Warung Sederhana Teh Mimin…" jawabnya begitu tenang.

"Loh… kan itu yang lagi kita lakuin, Dika?"

"Hihihi… iya… ya…"

Jawaban Dika begitu santai. Dika tak terpancing sama sekali dengan sayap pertanyaanku yang lain. Sengaja pertanyaanku kubuat bercabang, sekedar untuk mengetahui apa yang dirasakannya saat bersamaku. Namun Dika terlalu cerdik untuk masuk ke dalam jebakan pertanyaanku.

"Tahu ngga, Dik… Sherly udah lupa kapan terakhir kali bisa tertawa sambil makan bareng seseorang seperti ini."

"Lha ini… kamu kan lagi makan bareng seseorang?" protesnya.

"Maksudku, sama orang lain selain kamu."

"Sama mantan?"

Merah sungguh mukaku. Dika sungguh cerdas, seolah ia bisa membaca jalan pikiranku, membolak-balik diksi pertanyaanku. Tragis bagiku, justru benakku yang kini terjebak dalam kalimat bersayapnya. Tak mau menjadi semakin merah, kugunakan pesona Kaum Hawa untuk mengelak dari jebakannya.

"Dika jeleek…"

"Hihihi… ribet ya kalimatku tadi?"

"IYA!!!"

"Iya apaan? Iya makan ama mantan pacar ato iya ribet?" selorohnya. "E… eh… jangan marah dong…"

"Hehehe… becanda, Dika… jangan tegang gitu dong… jangan tatap Sherly gitu dong, serem… Sherly takut jadinya."

'Hehe… maaf-maaf, terus gimana tadi… soal terakhir kali makan bareng… seseorang?"

"Udah ah, ngga usah diomongin, bahas yang lain aja."

"Sher, perlu kamu tahu ya… Hari ini ada, itu karena kita telah melewati hari kemarin. Tidak bisa selamanya kita terkubang di satu masa yang telah berlalu. Hari ini adalah pekerti dari kemarin. Syukuri dan nikmati tiap hembusan nafas yang kita lalui dalam tiap berlalunya Sang Waktu."

Sampai pada titik ini. Aku menyerah. Dika bukanlah seorang laki-laki biasa. Dika bukanlah sales biasa, seperti kebanyakan sales yang kukenal selama ini. Dika beda. Ada yang istimewa dari tiap tutur katanya. Sederhana, namun selalu menyiratkan makna. Siapakah Dika sesungguhnya?

"Iya, Dik… kamu benar… kemarin udah berlalu dan yang penting… hari ini Sherly bahagia banget…" jujurku.

"Ingat terus itu, Sher… Jangan lupa bahagia!"

"Makasih ya, Dik… Sherly bener-bener sampai lupa dengan hal-hal sederhana seperti ini."

"Yang lebih penting, sekarang sudah tidak lupa lagi kan?"

"Lupa apaan… lupa ingatan? Hihihi…"

"Sssttt… koq tahu?"

"Kan… sehati… hahahaha…"

"Hihihi… Ya, tidak lupa bahagia lah…"

"Hehe… iya… Sherly seneng banget hari ini, bahkan sejak tragedi di gudang klinik, benak ini seperti diaduk-aduk. Dika ngga keberatan kan, kalau Sherly ingin lebih tahu tentang kamu?"

"My pleasure…"

"Dik, kita terusin di rumah yuk… ngga enak ama Teh Mimin kalau kelamaan di sini…" usulku.

Dika hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Setelah membayar, Dika lagi-lagi tak keberatan ketika kuminta untuk kembali menggandengku. Dika kembali tersenyum. Dengan begitu santun dan lembut, Dika menggenggam jemariku. Kedamaian menjalari benakku.

"Dika, sekali lagi makasih ya… buat semuanya…"

"Sama-sama…"

"Boleh ngga, Sherly terusin baca tulisan-tulisan Dika… tapi di pondokan Sherly?"

"Iya, tapi kaga boleh baper terus jatuh hati loh!"

"Hihihi…"

"Yee… malah ketawa."

Entahlah. Ingin rasanya aku jujur pada diri sendiri, betapa siang ini aku betul-betul merasa bersuka, merasa bahagia, bersama seorang Dika. Sudah lama sekali aku tak merasakan getaran-getaran seperti ini. Ingin rasanya berkata jujur, namun Dika begitu tenang, begitu damai dalam tiap tingkah perbuatan hingga diksi kata-kata yang disampaikannya kepadaku seharian ini.

"Dik, kenapa kamu dipanggil Axl?" tanyaku kemudian.

"Berarti kaga kenal Dika tuh… Hampir semua bilang kalo Dika mirip Axl… enak aja… hehe… Hanya orang-orang yang kukenal dengan baik aja yang tau namaku… Sebenernya nih ya, aku juga enggak suka dipanggil Axl…"

"Terus kenapa tulisan-tulisan itu memakai nama Axl?"

"Panjang ceritanya, Sher… lain waktu aja yah?"

"Tapi Sherly boleh kan memanggilmu Dika?" tanyaku.

Dika hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah tuturan panjang perihal cinta dalam secangkir cappuccino, kesetiaan tentang senja dan kerinduan pada tiap gerbong kereta yang melintas, Dika mengantarku pulang dengan menggunakan motor butut kesayangannya.

Petang telah menjelang ketika Dika mohon diri. Ingin sungguh rasanya segera menghubungi Tasya, sahabatku, atau bahkan Mama, sekedar untuk menceritakan segala rasa yang membuncah seharian ini. Tapi aku tak yakin apakah mereka bisa memahami semua gejolak dalam benakku. Akhirnya kuputuskan untuk menyimpan semua ini dalam benakku dan setelah kuringkas menjadi seperti ini :

Cappuccino, senja dan kereta dan adalah Dika, sosok sederhana yang memaknai kasih dalam segelas cappuccino, memberi makna lebih pada tiap potongan senja yang bermula dan menyisakan sekeping kerinduan pada tiap kereta yang melintas.

Bagi Dika, senja adalah seperti halnya akhir sebuah cerita, selalu menyisakan makna, pekerti dan nilai di dalamnya. Senja yang merona ibarat sebuah akhir dari satu babak kehidupan yang akan segera berganti dengan babak baru. Dari senja pula, Dika belajar tentang arti kesetiaan.

Tentang kereta, aku baru sadar, kalau hidup di rantau adalah sebuah perjuangan untuk menahan rindu, dengan keluarga di rumah, di kampung halaman. Bahwa perjalanan hidup ini sebaiknya kita buat lurus, seperti rel kereta yang jarang melengkung. Bahwa akan selalu ada cinta, manakala kereta melintas, membawa serta kita untuk dapat pulang ke rumah, bertemu keluarga.

Khusus bagi Dika, aku juga jadi tahu, bahwa pada tiap kereta yang melintas, akan selalu menyisakan kerinduan pada sosok Bapaknya, yang notabene dulunya adalah seorang masinis. Bagi Dika, kereta yang melintas adalah semangat tersendiri ketika seorang diri bertahan menjalani hari-hari yang sepi. Kereta yang melintas adalah juga semangat untuk suatu hari nanti dapat pulang serta bertemu Bapaknya.

Tentang cappuccino, ternyata, sedingin apapun seseorang, selalu ada setitik kasih yang tersembunyi dibalik sikapnya. Bahwa taburan coklat di atas secangkir cappuccino akan membuat rasa lebih manis, lebih berasa. Bagi Dika, 30 adukan saat membuat cappuccino mewakili 30 hari waktu dalam sebulan. Bahwa setiap hari haruslah diberi makna lebih, harus lebih baik. Bahwa putaran roda kehidupan harus dilandasi dengan kasih, sehingga hidup akan terasa lebih berasa, lebih berwarna.

Tentang Dika, siapakah sebenarnya seorang Dika? Dika mungkin hanyalah seorang sales, pribadi sederhana yang membagikan kasihnya kepada siapa saja, kepada Sherly yang notabene adalah seorang Dokter Gigi. Di mata Dika, Sherly tak ubahnya Teh Mimin, Mang Ujang atau siapa saja, manusia yang layak untuk dikasihi.

Hari-hari ini aku seperti disadarkan, bahwa aku bukanlah seorang diri hidup di dunia ini, bahwa di dunia ini ada sosok seajaib Dika, yang dalam waktu singkat mampu membuka mata hatiku. Kesederhanaan dan sikapnya yang apa adanya justru mampu mencuri perhatianku. Dika hadir dengan tuturan-tuturan sederhana yang sarat makna dan terlebih Dika menunjukkan kepadaku tentang kasih dan makna luhur di dalamnya. Seorang diri kubiarkan benakku bersemi menikmati semua ini.

…Petang belumlah menjelang.

Sisa senja masih merona.

Cakrawala masih terbuka.

Semesta raya penuh suka. Sempurna…