Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 8 - Cilebut Seraut Kenangan

Chapter 8 - Cilebut Seraut Kenangan

Ada rasa nyaman dalam tiap obrolan bersama Dika. Begitu asyiknya Dika bercerita sampai tak sadar mobil telah sampai di depan rumahnya. Dika turun, membuka gerbang dan memintaku untuk menunggu di teras sebentar. Setelah memarkir mobil, Dika membuka pintu dan mempersilahkan diriku untuk masuk duluan.

Ruang tamu sekaligus ruang kerjanya begitu rapi. Semua tertata pada tempatnya. Aku memilih duduk di sofa sementara Dika membuka semua jendela dan pintu rumahnya.

"Dika, Sherly ngantuk... boleh numpang tidur bentar?"

"Yuuup... tapi di dalam aja ya? Tar kalau sales-sales pada datang biar tidak terganggu." sahut Dika sambil menyalakan kipas exhaust di kamarnya.

Rasa kantukku mengalahkan segalanya. Selain semalam kurang tidur, sepanjang siang ini kuhabiskan waktuku bersama Dika tanpa istirahat. Untuk sejenak kuamati kamar Dika. Tak ada apa-apa selain meja, almari dan sederet buku-buku serta novel. Kamar Dika juga terbilang sangat nyaman. Anehnya, kamar Dika terasa begitu sejuk walau tanpa AC, sementara udara di luar terbilang panas. Pada salah satu dinding terpampang foto seorang lelaki yang sudah lanjut, dibingkai dan dipajang tepat di tengah-tengah. Kuamati sekilas gambar diri itu. Kulihat ada tulisan di bagian bawahnya. Kudekati dan kubaca :

'Dialah Bapak, Bapakku, Supermanku!'

Ada-ada saja. Jadi ini adalah gambar diri Bapak Dika? Demikian aku hanya bertanya dalam hati. Dika sempat masuk untuk mengambil kaos, tersenyum dan langsung menutup pintu. Begitu rebah di tempat tidur. Bola mataku langsung terpejam.

Entah jam berapa aku terbangun. Tak ada suara selain suara kardus yang digeser dan dimasukkan ke kamar sebelah. Aku segera berdiri dan mendapati Dika yang mandi keringat memasukkan kardus-kardus berisi tissue ke kamar sebelah.

"Bisa istirahat? Kaga ganggu kan?"

"Pules..."

"Bentar ya... udah mau kelar. Kalau mau minum dingin di kulkas belakang ada."

"Dika punya cappuccino kan?"

"Ada di belakang. Sherly juga udah Dika buatin. Di meja belakang."

Segera kutinggalkan Dika untuk mengambil minuman. Rupanya Dika telah membuatkan cappuccino untukku juga. Kubawa keduanya ke depan. Dika masih berjibaku dengan tumpukan kardus yang tingginya hampir menyentuh langit-langit kamar. Kutinggalkan Dika untuk membaca lagi kelanjutan tulisan-tulisannya.

Lagi-lagi aku dibuat terkejut mendapati refleksi tulisan Dika yang terakhir. Sebuah tulisan yang lebih tepat kuanggap sebagai permenungan tentang kejadian kemarin. Dika menyusunnya dengan begitu runtut, bahasanya begitu sederhana, namun diksinya menyisakan pukau yang membuatku ternganga. Berikut sepenggal tulisannya yang kusalin apa adanya.

'Kalau selama ini aku bermimpi untuk selalu meraih kejora bintang di langit, mungkin aku salah besar. Jutaan lima gemintang di keluasan angkasa itu tak akan berpindah. Masih akan tetap di kejauhan sana, namun bintang yang satu ini beda. Bintang ini seolah membagikan secercah sinarnya hanya kepadaku. Bintang yang satu ini seolah tersenyum, namun hanya.kepadaku seorang. Bintang yang satu ini pastilah bintang utusan, yang dikirim oleh semesta sekedar untuk lebih menggerakkan laju biduk hidupku.

Ada pukau yang tertinggal, ketika mendapati bintang yang seolah tersenyum kepadaku ini. Ada bahagia ketika melihat bintang yang satu ini membagikan sinarnya,menerangi gelap-pekat kesendirianku di tempat ini. Pesonanya yang tertinggal seolah membekas, meresap di sela pori kulit tubuhku. Senyum itu menawarkan anggun yang hanya diperuntukkan bagiku. Semoga aku tak salah.

Aku hanya ingin mengingat pesan Bapak, dunia ini terlalu luas untuk kuarungi seorang diri. Harus ada satu bintang yang menjadi pedoman arah biduk hidupku. Pun bila bintang itu telah hadir dalam hidupku, aku hanya diminta untuk tidak membuat kilau-kerlipnya meredup.

'Pak, beri bungsumu ini kekuatan berlebih. Mungkin inilah saatnya bagi Bungsumu ini untuk menunjukkan kepada dunia, semua ilmu yang telah Bapak ajarkan.'

Biarkan tubuh kecil ini kembali manautkan asa, biarlah jiwa merdeka ini kembali menunjukkan kekuatannya.

Teruntuk Bapak di renta senja usianya, Bungsumu ini berujar, kemarin adalah belenggu hidup yang mesti dimaknai, hari ini adalah pekerti dan pijakan untuk hari esok yang lebih pasti.'

Kubaca dan kubaca lagi penggalan akhir tulisan itu. Kupahami sekali lagi sayap-sayap makna yang terkandung di baliknya. Benakku bertanya-tanya, siapakah seorang Dika ini sebenarnya? Lamunanku dikejutkan oleh Dika yang sudah berdiri di belakangku.

"Udah... jangan nganga seperti itu... tar cicak-cicak sahabatku pada ketawa loh!"

"Hihihi... keren... mesti mikir dua kali buat mencerna refleksimu, Dika."

"Sherly tidak akan bisa memahami semua itu saat ini. Jadi biarlah semua terjadi, mengalir seturut kehendak Sang Waktu." jelas Dika.

"Dika terlalu bersayap. Jadi agak susah memahaminya."

"Iya... itu buat Bapak. Makanya Sherly pasti kaga mudeng."

"Sherly kah bintang yang kamu tulis ini, Dika?"

"Hehe... kemarin malam Dika tidak bisa tidur, jadilah nulis-nulis sebanyak itu."

"Bagian penutupnya keren. Dika kangen dengan Bapak Dika ya?"

"Sudahlah... Sherly tidak akan bisa memahaminya saat ini. Lain waktu Dika ceritain perihal Bapak. Satu hal yang pasti, Dika tidak akan pulang dan menemui Bapak kalau belum bisa menunjukkan sesuatu pada Bapak."

"Maksudnya? Dika hanya akan pulang dan menemui Bapak kalau sudah berhasil?"

"Bukan gitu maksudnya. Dika hanya akan pulang, kalau sudah mendapatkan sesuatu, memahami satu lagi pekerti hidup yang layak untuk Dika tunjukkan pada Bapak."

"Sherly menyimak, Dika?"

"Mungkin Sherly perlu sedikit tahu, Dika bertekad merantau dan meninggalkan semuanya untuk sebuah makna kehidupan yang susah dicerna oleh kebanyakan orang pada umumnya. Dika berjuang melakukan semua ini, menjalani semua ini, demi sebuah dendam yang bernama kasih. Dika mesti belajar lagi dari nol besar perihal mengasihi sesama, menjadi damai dan menjadi diri sendiri."

"Sherly selalu merasa damai tiap kali kita bersama, Dika."

"Iya, Dika tahu itu."

"Sherly pengin jadi 'bintang' itu, Dika."

"Hehe... tak semudah itu. Sherly belum mengenal Dika yang sesungguhnya. Biarlah waktu yang bicara."

"Tapi boleh kan... Sherly lebih mengenal Dika?"

"Anytime..."

"Makasih, Dika. Anyway, kita jadi beli martabak nih?"

"Jadi dong... tapi Dika mandi dulu, terus nunggu sales-sales pada pulang, baru kita keluar. Sherly bawa baju ganti kaga?"

"Hihi... enggak. Kirain tadi cuma mau beli martabak."

"Ya udah. Mandinya tar aja kalau gitu. Kaga mandi juga Bu Dokter tetep cakep."

"Yeee... malah merayu!"

"Beneran... Liat tuh, Si Tompel aja sampai berdecak kagum liatin Sherly sejak tadi."

"Tompel siapa?"

"Tuh, sobat setia Dika di rumah ini."

"Cicak maksud Dika?"

"Iya... hahahaha... cuma Si Tompel itu yang tiap malam nemenin kesendirian Dika."

"Ada aja... udah buruan mandi geh... tar keburu ujan lagi."

"Hihi... Masak Bidadari takut ama ujan?"

"Bukan gitu maksudnya..."

"Iya...iya... Dika mandi bentar ya?"

Setelah mandi, Dika langsung mengarahkan mobil menuju pusat kota. Entah apalagi rencananya, aku hanya pasrah mengikuti. Dika mengajakku masuk ke Pusat Grosir Baju dan berhenti pada salah satu counter.

"Sherly pilih baju sendiri deh... buat ganti. Kalau daleman sebelah sana... tar pilih sendiri yah... Dika tunggu di kasir... hihi..."

"Ogah kalau mesti milih sendirian. Dika temenin Sherly dong?"

"Iya deh... tar kalau Mbaknya tanya, bilang aja Sherly istri Dika... hahahaha..."

"Norak!"

Sesungguhnya benakku bersemi ketika Dika justru menggandengku dan memilihkan kaos serta celana pendek tiga perempat. Bahkan dengan noraknya Dika turut memilihkan pakaian dalam untukku. Kusadari bahwa selera Dika terbilang fashionable. Senang sekali rasanya jalan-jalan di tempat umum bersama Dika. Tak hanya itu, Dika juga menjelaskan banyak hal yang ingin kuketahui.

"Bu Dokter pernah makan tongseng?"

"Pernah dong... Mama kan orang Jawa. Jadilah waktu kecil sering diajak kuliner masakan Jawa."

Dika menarikku dan mengajakku masuk ke lantai pujasera. Sambil menunggu pesanan, Dika memesan juga martabak untuk dibawa pulang. Aku hanya takjub melihat pola pikirnya yang praktis dan terukur.

"Martabak Air Mancurnya lain waktu aja ya? Kita beli di sini aja. Takutnya kemalaman tar sampai Depok, kecuali kalau Sherly mau nginep."

"Emang boleh nginep di rumah Dika?"

"Lain waktu aja yah? Kalau Sherly libur. Kasian kalau besok pagi-pagi mesti berangkat kerja dari Bogor."

"Yeee... kirain tidak boleh! Kalau cuma berangkat kerja kan ada mobil. Bangun juga Sherly mesti pagi."

"Hehe... iya... tapi lain waktu aja..."

"Trus... abis ni kita mau ngapain?"

"Beli sabun sama handuk. Sherly kaga bawa juga kan?"

"Hahahaha... bisa aja... ngga sekalian beliin Sherly selimut buat tar malem?"

"Kaga usah... kalau cuma selimut mah... tar Dika dekep juga anget sendiri... hihi..."

"Norak... tapi mau dong... sekali-sekali Dika dekep Sherly?"

"Sekalian nakalin Sherly aja kalau gitu... hahahaha..."

"Hihi... suka-suka Dika aja deh... Sherly akan pasrah kalau Dika yang nakalin!"

"Aduuuh... Bunda... ini Bidadari koq centilnya melebihi malaikat..."

"Hahahaha... salah sendiri tadi pake mancing-mancing."

"Hihi... buat lain waktu aja yah... bentar Dika pesen cappuccino dulu. Sherly mau?"

"Boleh."

Dika berdiri dan memesan cappuccino. Berikutnya, kami makan malam berdua sambil mendengar cerita-cerita Dika. Perihal pekerjaannya, cita-citanya hingga sedikit tentang Bapaknya.

Hari ini aku jadi tahu, dalam hidup Dika, Bapaknya benar-benar menjadi inspirasi dan kekuatannya menghadapi kerasnya persaingan hidup di jalanan. Baru aku tahu kalau Bapaknya, di mata Dika adalah benar-benar manusia super yang sangat diidolakannya.

Sepulang dari acara makan malam, kami kembali ke rumah. Dika memintaku untuk segera mandi dan langsung mengantarku pulang.

"Cocok kan baju ama bawahannya?"

"Makasih, Dika... Sherly selalu bingung kalau mau memilih pakaian. Gaul banget ini."

"Hihi... jangan dilihat harganya. Murahan belum tentu kalah ama pakaian butik kan?"

"Ini mah keren, Dika. Koq bisa-bisanya Dika paham soal fashion?"

"Hihi.... sejak dulu juga paham. Tapi kaga penting itu. Yang penting Sherly seneng."

"Pasti... tapi lain kali Sherly bayar sendiri yah?"

"Hahahaha... uang Sherly ditabung aja. Lagian kaga tiap hari kan, Dika ngajak Sherly refreshing kayak hari ini?"

"Hahahaha... hari ini mah... paket komplit... ada acara makan malamnya, shopping juga, dibeliin daleman juga. Eh, koq, Dika tau, Sherly suka warna merah?"

"Hahahaha... gampang itu. Coba Sherly liat pernak-pernik milik Sherly... dominan warna merah kan? Sekalian aja tadi bra nya Dika pilihin yang warna merah... hihihi..."

"Dika norak banget deh... ngaku-ngaku suami Sherly di depan Mbaknya tadi."

"Yeee... kalau kaga gitu, takutnya tar Dika malah digodain ama mereka. Trus Sherly cemburu buta. Dika juga yang repot... hahahaha..."

"Apaan sih? Norak banget tau?"

"Hihihi... iya, maaf... tapi Sherly seneng kan hari ini?"

"Iya sih... sekali lagi makasih ya, Dik?"

"Sama-sama... tapi tar Dika langsung pulang ya?"

"Enggak boleh. Dika turun di klinik, ambil motor, trus ke pondokan Sherly dulu."

"Yaa... tau gitu tadi nginep aja di Bogor."

"Salah sendiri Dika enggak ngijinin tadi!"

"Hihihi... iya... lain waktu aja. Trus kita mau ngapain di pondokan Sherly?"

"Temenin Sherly bentar dong... Males rasanya kalau sendirian."

"Emang biasanya kaga sendirian?"

"Dika juga sih... ngaduk-aduk benak Sherly. Jadi ngga bisa membumi kan?"

"Hihihi... iya... tapi bentar aja yah? Kaga enak ama temen-temen Sherly."

"Biarin aja. Mami santai koq ama anak-anak. Yang terpenting pada jaga sikap dan diri sendiri."

Entah apa yang kupikirkan saat itu. Rasanya enggan untuk berpisah dengan Dika. Ada rasa nyaman saat bersamanya. Dika benar-benar istimewa. Tak hanya santun, Dika betul-betul memperhatikan diriku, kondisiku, bahkan pakaian sekalipun turut menjadi kepeduliannya. Salut.

"Dika senang kan hari ini?"

"Kalau tidak senang, mestinya Dika kaga akan ada di tempat ini, berduaan ama Sherly... hihi... tapi beneran nih, kaga apa-apa Dika masuk ke pondokan Sherly?"

"Udah tenang aja. Mami orangnya enak koq. Mami percaya pada kami semua. Yang penting tidak saling mengganggu. Tanggung jawab pada diri masing-masing dan enggak ada cerita keluar. Kapan-kapan Sherly kenalin deh kalau Dika masih kurang percaya."

"Hihi... keren..."

"Siapa yang keren? Mami?"

"Mami keren, tapi yang nempati pondokan ini lebih keren."

"Hihi... Dika bisa aja."

"Terus ada jam malam kaga di sini?"

"Enggaklah... yang sampai nginep juga banyak. Dika pengin nginep juga?"

"Hahahaha... norak... mau jadi apa kita nantinya?"

"Beneran... enggak apa-apa, Dika..."

"Makasih, Sher... Dika temenin aja sampai Sherly pengin istirahat."

"Kalau tidak bisa istirahat?"

"Ya tetep Dika temenin."

"Janji loh ya?"

"He em... yang penting Sherly seneng."

"Makasih, Dika. Sherly seneng banget koq hari ini."

"Iya... sama-sama. Udah Sherly tiduran sampai mengantuk. Dika temenin."

Hening. Entah apa yang dipikirkan Dika, yang pasti kami saling terdiam untuk beberapa saat. Dika hanya duduk di lantai, bersandar di springbed sambil membaca majalah milikku. Ada damai dalam keheningannya. Kunikmati sambil tiduran.

"Dikaa..."

"Iya, Dika masih di sini."

"Dika nginep aja di sini ya? Ini udah malam. Depok-Bogor jauh loh."

"Hihi... enggak, Sherly... tar Dika pulang. Sherly istirahat aja."

"Dik..."

"Iya? Besok kita ketemuan lagi ya?"

"He em... tapi sorean ya? Dika mesti nyiapin tissue dulu di rumah."

"Maksudnya?"

"Ini kan udah awal bulan, biasanya permintaan tissue buat hotel menumpuk. Makanya Dika siapin dulu, sewaktu-waktu ada permintaan bisa langsung dikirim."

"Sherly boleh main ke Bogor kan besok?"

"Kaga usah. Dika aja yang ke sini. Sherly pulang jam berapa?"

"Besok tidak ke klinik. Ada penyuluhan di Cibinong. Paling jam 11 udah kelar acaranya."

"Ya udah, tar kalau udah mau kelar kabari, Dika jemput. Sherly kaga usah bawa mobil yah?"

"He em... Makasih, Dika... buat semuanya."

Kalimatku tersebut adalah kalimat terakhir yang kuucapkan. Selanjutnya aku sudah terlelap tanpa tahu lagi apa yang Dika lakukan. Aku terbangun pukul enam ketika alarm ponselku berderit dan tak mendapati Dika di kamarku. Dika benar-benar pulang setelah aku tertodur. Ajaib. Bahkan Dika sempat menyelimutimu dan menyelipkan secarik kertas di bawah ponselku.

'Kunci kamar Dika lempar lewat jendela, Dika taruh di dalam bungkus rokok. Makasih buat kebersamaan hari ini. Jangan kangen Dika. Sherly kaga bakalan sanggup.'

Demikian dengan noraknya Dika meninggalkan pesan. Bahkan seperti yang ditulisnya, Dika benar-benar mengunci pintu kamarku dari luar, memasukkan anak kunci tersebut ke dalam bungkus rokoknya dan melemparkannya ke dalam kamarku melalui jendela yang pasti sengaja tidak dikancingkan engselnya. Jenius. Aku bahkan tak tahu, pukul berapa terakhir berbicara dengannya.

Segera kuhubungi Dika sekedar untuk berterima kasih. Namun ponselnya tak diangkat. Kucoba sekali lagi sampai kudengar suara laki-laki lain lewat ponselnya.

"Hallo..."

"Hallo... Maaf ini Tanto. Dika-nya lagi mengganti ban. Ini dengan siapa ya?"

"Oh... Mas Tanto? Saya Sherly, temennya Dika."

"Bu Dokter ya? Dika lagi mengganti ban. Mau saya panggilkan?"

"Udah, biarin aja, Mas... biar selesai dulu... tar Sherly hubungi lagi aja."

"Okey... ada pesan lain?"

"Bilang makasih aja, udah nemenin semalam."

"Siap... segera tersampaikan."

Aku segera mandi, sarapan roti isi dan langsung berangkat ke klinik. Begitu sibuknya acara hari ini sampai aku lupa menghubungi Dika lagi. Setelah sesi bagianku selesai, aku segera minta ijin untuk pulang duluan. Begitu keluar pintu, Dika sudah berada tepat di hadapanku.

"Loh... koq tau tempat ini?"

"Hihi... kaga penting. Jadi main ke Bogor?"

"Siap... Dika anter Sherly ganti baju dulu yah?"

"Ok. Sherly nunggu di depan pintu keluar aja. Parkirnya agak jauh soalnya."

Cilebut benar-benar mengisi hari-hariku beberapa hari ini. Selalu ada damai ketika bersama Dika. Bahkan ketika aku ditinggal Dika untuk mengurusi tissue sekalipun, damai rasanya berada di sekitarnya. Aku baru tahu, Dika begitu serius ketika sedang bekerja. Semua keperluan sales-salesnya dipersiapkan seorang diri. Mulai dari pesanan yang harus segera dikirim, pesanan yang tidak perlu segera dikirim, hingga sebagian pesanan yang harus dikirim esok hari, termasuk nota-nota dan tagihan, semua dipersiapkannya dengan begitu detail. Para sales datang, langsung mengambil nota, memuat kiriman, berangkat. Seefisien itu Dika membuat sistem kerjanya. Setelah mandi keringat, barulah Dika menginput pekerjaan kemarin serta mengecek tagihan-tagihan yang sudah jatuh tempo.

Siang itu aku hanya duduk di gazebo dan mengamati pekerjaan Dika. Sesekali Dika menghampiriku, bercanda sekenanya, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Jelang senja, para salesnya kembali, juga Mas Tanto, kakak iparnya. Untuk yang terakhir ini kami sudah saling kenal karena sering bertemu kalau mengantar pesanan ke klinik tempatku bekerja. Mas Tanto orangnya enak, kocak juga dan sama-sama norak. Selalu ada tawa dan canda ketika Dika bertemu dengan Mas Tanto. Jadilah suasana ramai dan pekerjaan tak terasa begitu melelahkan.

"Dika semalam pulang jam berapa, Mas?" selidikku ketika Dika mandi lagi.

"Jam satu sampai rumah. Pada jalan-jalan kemana sampai larut gitu?"

"Cuma nemenin Sherly di pondokan."

"Berarti kemarin seharian ama Dika dong... Kenapa ngga nginep sini aja?"

"Dika enggak ngijinin. Lain waktu katanya."

"Hahahaha... norak... kalau ngga ada Sherly aja bilang kangen blablabla... kalau ada Sherly jual mahal... keterlaluan anak itu."

"Oh ya?" kejutku semakin penasaran.

"Sherly tau ngga, Anna bilang, ini saat yang tepat buat dukung Dika sepenuhnya. Anak itu terlalu ajaib untuk dilahirkan sebagai laki-laki biasa. Otaknya sebanding dengan noraknya."

"Hahahaha... iya..."

"Untung aja Dika berada di tangan yang tepat. Coba tidak ada Bapaknya, mungkin udah jadi gembel terminal."

"Gimana tuh ceritanya?"

"Sherly tanya aja sendiri. Anna, kakaknya aja kaga berani cerita masa lalunya... hehe... terlalu ngilu sekedar mendengarnya aja."

"Oh, seperti itu?"

"Makanya, Anna bilang, ini waktu yang tepat buat dukung Dika seutuhnya. Pasca insiden di Margonda, Dika kesetanan naklukin Depok. Kaga ada satu outlet pun yang terlewatkan. Hasilnya terlihat sekarang. Hanya dari Depok aja, omzetnya bisa buat nutup kekurangan rumah ini. Padahal baru lima bulan kami masuk ke Depok."

"Bentar-bentar, Mas... Insiden Margonda... maksudnya apaan tuh?"

"Awalnya salah paham aja itu, Dika dikeroyok preman-preman Margonda gara-gara dikira centeng Kampung Rambutan. Salah orang itu."

"Dikeroyok preman?"

"Iya... digebugi ama dipukuli sampai bocor pelipisnya."

"Trus?"

"Mantan preman kalo ketemu preman tau sendiri kan?"

"Sherly ngga paham?"

"Hehe... karena kalap dikeroyok, Dika murka, mengamuk, trus bertumbangan preman-preman yang mengeroyoknya, digebuki pake kursi lipat... haha... kena batunya mereka."

"Dika terluka?"

"Iyalah... lengannya kena sabetan pisau, pelipisnya kena pentungan, belum lagi lebam di kedua lengannya."

"Serem..."

"Kaga penting itu. Pastinya, setelah itu Dika jadi punya nama di Margonda. Hebatnya lagi, Dika justru menarik salah satu preman buat ikutan jualan tissue."

"Keren..."

"Tapi lebih keren lagi akhir-akhir ini. Anna bilang, Dika lagi jatuh cinta... haha... Dika itu bukan type lelaki yang mudah menambatkan hatinya. Kaga gampang naklukin anak itu. Makanya, kalau sampai Dika jatuh cinta, tentulah Bidadari itu sangat istimewa di matanya... Eh, ternyata ama Dokter Sherly... kaga nyangka..."

"Hahahaha... Mas Tanto bisa aja..."

"Tapi Dokter Sherly senang juga kan bersama Dika?"

"Iyalah... gadis mana yang ngga akan tunduk kalau diperlakukan seperti itu. Dika terlalu santun diantara kenorakannya."

"Hahahaha... seperti itulah Dika. Jangan kaget. Kapan-kapan Sherly sharing ama Anna. Kakaknya itu tau semua perihal Dika."

"Okey... makasih buat bocoran infonya."

Sungguh senja yang berharga. Tak sia-sia kuputuskan untuk kembali menghabiskan waktu di rumah Dika. Banyak informasi kudapat perihal Dika yang begitu misterius.

Jelang petang, Dika mengajakku untuk membeli martabak Air Mancur di tengah kota. Dika langsung mengantarku pulang dan menikmati martabak kesukaannya di pondokanku.

"Sher, Dika kaga lama-lama ya di sini... Besok subuh Dika berangkat ke Bekasi. Mau ambil mobil box soalnya."

"He em... Besok pulangnya jam berapa?"

"Sherly mau Dika langsung ke mari?"

"Ya... kalau Dika tidak keberatan..."

"Iya deh... tapi kaga bisa pastiin jam nya ya? Soalnya banyak urusan mesti diberesi di Bekasi besok itu."

"Dika mau ambil mobil lagi?"

"Rencananya gitu sih... Mau naklukin Jawa Barat... hehe..."

"Keren..."

"Doain Dika ya?"

"Siap... Dika juga jangan bosen ya... ama Sherly?"

"Hahahahaha... norak... hanya laki-laki bodoh yang menolak untuk nemenin Bidadari serupa Malaikat bernama Sherly Putri Titiani. Tapi tak semua laki-laki bisa tau, apa yang istimewa dari Bidadari yang satu ini."

"Tuh... kan... Dika merayu Sherly kan?"

"Hahahaha... kaga... Dika cuma bicara fakta."

"Hihi... makasih Dika... udah mau jadi temen Sherly."

"He em... sama-sama... akkk... mulutnya dibuka... ini martabak paling spesial dari Kota Hujan. Sherly mesti coba."

"Hihi... iya... Dika juga buka mulut... akkk..."

Ajaib. Dengan begitu santainya Dika menyuapiku, seolah kami pasangan yang sudah puluhan tahun hidup bersama. Damai sungguh rasanya. Tapi maaf pembaca, bagian ini sampai di sini aja ya... Dika enggak ngijinin buat menulis keseruan lanjutannya.

...Senja yang merona, senja bersama Dika.

Cilebut akan selalu menyisakan cerita,

sepenggal kisah yang kulalui dan kumaknai bersama Dika.

Senja di Cilebut adalah senja yang penuh cinta...