Benar kata orang, bahwa hidup ini adalah sebuah misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi bagi seorang Dika, misteri adalah hidup itu sendiri. Kita bisa bebas menggariskan nasib hidup kita sendiri, walau terkadang takdir berkata lain.
Sudahlah. Itu hanya masalah diksi. Tak perlu diperdebatkan lebih lanjut. Biarkan setiap orang memaknai hidup sesuai keinginan masing-masing, kehendak masing-masing, juga kehendak Dika, yang beberapa hari terakhir ini sosoknya berputar-putar memenuhi isi kepalaku.
Kalau diruntut lagi, ada saja tingkah kelakuannya, baik lewat ponsel, tak jarang dan tak sungkan terkadang ketika sedang bersua. Terkadang haru mendengar dongeng ceritanya, terkadang sampai lepas tawa ini dibuatnya.
Sepertinya, hidup Dika dihiasinya sendiri dengan aneka lampu kehidupan yang berwarna-warni, yang selalu siap menyala, menerangi siapa saja yang ada di sekitarnya. Penuh pukau dan tak jarang pula membuat benak ini merona.
Di dunia ini, koq masih ada ya, manusia seperti Dika? Ajaib sekali rasanya kami dapat bersuka seperti akhir-akhir ini. Terkadang aku sampai lupa, Dika itu siapa. Teman? Dika lebih dari sekedar teman yang nyaman untuk diajak bicara. Pacar? Tak pernah sekalipun Dika menyebut kata sayang maupun suka.
Lalu siapakah Dika yang telah sanggup membolak-balik maupun mengaduk-aduk benakku? Dika adalah Dika, seorang sales tissue yang baru kukenal baik selama delapan hari ini, yang selalu menemaniku, mewarnai hari-hariku dan menjadikan segala yang kulihat begitu indah adanya. Ya, kalau dihitung-hitung lagi, hari ini barulah hari kedelapan aku mengenal lelaki ajaib bernama Dika.
Akankah ada kejutan lagi dari Dika hari ini?
Aku lebih memilih untuk berdiam diri, menanti dan menikmati setiap guliran detik yang terjadi dan terlewati. Ironi dari hari ini, belum juga sampai tengah hari, benakku seperti diaduk-aduk. Tak ada kabar, tak ada pesan pendek, apalagi dering telepon sekedar untuk mendengar suaranya.
Ada apa dengan Dika hari ini?
Semakin siang semakin terasa sepi benak ini. Ponselku masih di atas meja. Tak ada suara derit maupun getar seperti biasanya akhir-akhir ini. Begitu sunyi. Entah kenapa tiba-tiba detak jantung ini begitu berdebar, seperti terdengar hingga ke gendang telingaku, hentakannya melebihi detak suara jam dinding di ruang praktekku.
"Jantung… diem dong… malu tau, kalo sampai Dika denger segitunya detakmu! Eh, kalo jantung Sherly sampai diem, tak berdetak… selesai deh semuanya… Aduuuh, kenapa sih…" protesku pada apa yang kurasa siang itu.
"Ah, kenapa pula tiba-tiba aku diselimuti… rindu?"
Ingin rasanya segera menghubungi Dika, namun kutahan inginku. Bukannya beres-beres dan segera menuju kantin untuk makan siang, namun justru telepon selulerku yang mengusik benakku.
Sesungguhnya pula, kuharap Dika akan menghubungiku saat itu. Ternyata sama sekali tidak, bahkan sekeping pesan darinya sekalipun tak ada. Akhirnya kubuka juga pesan terakhir darinya semalam. Lalu kubaca dan kubaca lagi percakapan kami. Tanpa kusadari, percakapan itu menyisakan senyum di ujung bibirku. Sesekali aku bisa tertawa sendiri membaca kalimat-kalimat noraknya, lalu tersenyum dan tertawa lagi. Sesekali lepas sampai terbahak, lalu tersenyum lagi.
"Sudahlah, nanti juga pasti telpon. Eh, ini kan hari Jumat, Dika libur dong… koq, nggak ada kabar sama sekali? Atau kutelpon aja ya?" gumamku.
Belum juga jemari ini membuka nomornya, daun pintu diketuk dari luar. Hanya ketukan. Tanpa suara, tanpa sapaan. Segera kumasukkan telepon selulerku, baru kusapa.
"Ya… masuk aja…" teriakku.
"Bu Dokternya ada?" suara di balik pintu.
"Ya… silahkan masuk." kuulangi.
Tak ada seorangpun yang muncul. Aku hendak segera berdiri tepat ketika seorang lelaki berambut sebahu muncul dari balik pintu.
"Dika jeleeek!" bentakku seraya berdiri, menghampiri serta menimpuki lengannya.
"Permisi, Dok… mau cabut gigi apakah masih bisa?" selorohnya tanpa dosa.
"Maaf banget, Mas, dokternya lagi sakit." sahutku.
"Ohhhh… jadi dokter bisa sakit juga ya?"
"Iyaaaa… sakit hati nih… seharian ngga ditelpon!"
"Hahahaha… kangen ya?" Dika tertawa lepas.
"Iyaaaa… udah mau nyerah barusan… mau menelpon kamu… eh, malah udah nyampe sini…"
"Sesekali ngasih kejutan… biar Dokter Sherly kaga stress…"
"Hihihi… iya, makasih ya, Sayang…" spontanku mewakili suka bahagiaku.
"Enak aja… kalo emang sayang jangan timpukin Dika mulu dong…" protesnya.
"Beneran… lima menit lagi udah meleduk kepala ini…"
"Kompor kali… meleduk… hahaha…"
Kegalauan siangku segera sirna. Selalu tentang Dika adalah kejutan demi kejutan, yang menjadikan hari-hariku menjadi terasa lebih ringan, lebih sederhana, lebih berwarna.
"Udah ah, makan siang yuk. Sherly yang traktir deh."
"Makasih, Dok. Nih, Dika bawakan makanan spesial dari Bogor. Karedok pedesnya sedang, cabenya lima setengah."
"Hihihi… koq ada setengahnya, Dik?"
"Kalau utuh kan pedes banget. Jadi biar pedesnya bener-bener terasa sedang, Dika pesenin pakai setengah tadi."
Tawaku benar-benar lepas mendapati jawaban Dika yang mewakili kenorakannya. Selalu seperti itu. Entah tadi pesannya betul-betul pakai setengah atau tidak, yang jelas ringan jawabannya betul-betul membuatku tak habis pikir, betapa di dunia ini masih ada seorang Dika yang selalu bisa menghibur dan membuat hari-hariku menjadi penuh warna.
"Hahahaha… Bisa aja… yuk…"
"Kemana? Pelaminan?"
"Mau atuh…."
"Hihihi… mau makan dimana kita? di KUA? Penghulunya lagi pada sholat Jumat!"
"Udah ah, yuk, numpang makan di kantin ngga apa-apa. Banyak koq, yang bawa bekal dari rumah terus pada makan rame-rame di kantin."
"Beneran? Tar kalau pada berebut gimana? Kan sayang?"
"Iya… Sherly juga sayang ama Dika… hehehehe…" kujawab sekenanya.
Lagi-lagi ucapan spontanku tak membuat Dika bergeming. Candaan noraknya justru semakin menjadi-jadi.
"Ini beneran sangat spesial buat Sherly lho. Tar kalau pada berebut gimana?"
"Lihat aja kalau sampai pada berani!"
"Kalau Dika yang diperebutkan gimana?"
"Oh, kalau itu mah… panjang urusannya… ayo… siapa berani, maju sini?"
"Galak banget kamu, Sher, meledak-ledak kayak Molotov. Jaga dikit emosimu kenapa, minimal sampai…"
"Sampai apa?"
"Sampai foto kita bersanding di buku nikah…."
"Jeleeek… jeleeek… Dika jeleeek…" kutimpuk Dika.
"Aduh… Aduuh… udah, Sher… sakit…"
"Hihihi… makanya… nurut aja…"
"Iya deh, ini kan daerah kekuasaanmu ya?"
"Bukan gitu, anggep aja penebusan atas kesalahanmu…"
"Salahku?"
"Iya… salah Dika! Kesalahan Dika hari ini!"
"Salahku apa, Sher?"
"Kesalahan Dika cuma atu hari ini… tapi fatal…"
"Apaan?"
"Dika salah besar hari ini karena…"
"Karena apaan sih?"
"Karena sengaja tidak menghubungi Sherly seharian, tapi justru ngasih kejutan siang ini… hehe…"
"Ini ceritanya… Dika lagi digombalin ya, Sher? Lagi dong, Bu Dokter?"
"Hehehe… udah ah… yuk… makasih buat kejutan makan siangnya yah…"
"Sama-sama… kita jadi nih… ke KUA sekarang?"
"Sssttt… jangan teriak-teriak… tar abis makan, kita langsung ke penghulu aja deh… yuk…"
"Gitu dong, jadi semangat makan siangnya… hehe…"
Dengan spontan kugelayuti lengan Dika. Tapi belum juga kaki ini melangkah, aku teringat dengan hadiah yang sudah kusiapkan buat Dika semalam.
"Eh, bentar-bentar, Dik… Sherly punya sesuatu buat Dika… traalaaa…"
"Apaan ini, Sher?"
"Udah buka aja…"
"Bukan bom kan? Koq ada suaranya?"
"Sssttt… isinya bom cinta, biar yang menerima tambah sayang… hehe…"
"Ada-ada saja kamu, Sher… untung ini di teritorimu… kalau kaga…"
"Kalau kaga apa?"
"Kalau kaga… Sherly udah Dika peluk abis-abisan deh."
"MAUUU…"
"Kaga jadi aja ahh… besok aja… ke pelaminan dulu!"
"Yakin, ngga jadi sekarang… ngadep penghulunya?"
"Oh… iya… ya…"
"Kena kan? Hehe… Udah yuk… buka aja sambil jalan."
Selalu tentang Dika seolah tak akan pernah habis ceritanya. Belum juga sepuluh menit kami bersua, semua galau semua cemas langsung sirna. Terima kasih, Dika, untuk semuanya, untuk setiap detik yang penuh warna bersamamu.
"Makasih buat hadiahnya. Tapi kenapa jam weker, Sher?"
"Iya, biar bisa membangunkan Dika tiap jam delapan malam. Jadi ponselmu ngga perlu dimatiin… hehehe…"
"Modus kamu, Sher…"
"Biarin!!! Emang enak, selalu disuruh nunggu sampai jam delapan?"
"Hihi… iya deh… sekali lagi makasih ya, Sher."
"Sama-sama, Dika, beneran ngga peluk Sherly nih?"
"Hushh… besok abis dari KUA!"
"Hihihi… iya deh…"
Ingin rasanya berlama-lamaan dengan Dika seorang siang itu. Namun waktu jua yang membatasi kami. Ah, kenapa mesti ada rentang jarak dan waktu? Sesekali harus kupangkas sendiri rentang penghalang ini. Harus ada tekad untuk mengubah hari ini, agar menjadi lebih memiliki arti.
"Dik, besok kan hari Sabtu, Sherly libur, Dika banyak kiriman ngga?" tanyaku penuh sayap.
"Kenapa? Mau ikut lagi?" tebak Dika begitu mengena.
"Kalau Dika ngijinin. Eh, boleh kan ikut bantuin?"
"Hihi… Bentar-bentar, besok hari Sabtu ya?" sahut Dika tampak sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Emang kenapa kalau hari Sabtu?"
"Aduh, kenapa sampai lupa hari. Ingetnya Sherly mulu!"
"Tuh kan… Dika kangen ama Sherly kan?"
"Ya gimana kaga kangen? Udah baik hati, kaga beda-bedain, mana cantik pula. Beneran, yang ada di otak Dika itu cuma Sherly seorang. Tiap pagi, bangun tidur, inget senyum Sherly. Siang mau makan, inget tawa Sherly. Apalagi kalo malem, abis chatingan nih ya, kadang mata ini sampai bener-bener sulit dipejamkan. Ada Sherly mulu, dimana-mana… hahaha…"
Ajaib! Inikah pertanda dari Dika? Ternyata Dika juga merasakan seperti yang kurasakan. Sekalipun diakhiri dengan tawa, aku yakin, semua yang diucapkan Dika adalah yang dirasakannya akhir-akhir ini, sama dengan yang kurasakan. Selalu ada Dika dalam segala yang kulihat.
"Hihi… Dika bisa aja… emang kenapa kalo hari Sabtu?" kukembalikan topik pembicaraan kami.
"Jalur ke Puncak-Cipanas kan diberlakukan satu jalur tiap akhir pekan. Hari Sabtu satu arah menuju Puncak, hari Minggu kebalikannya."
"Kirim ke Puncak?"
"Cipanas, Sherly… tapi melewati Puncak juga sih…"
"Wah, asyik tuh… Sherly belum pernah ke Puncak…"
"Udah bosen… tiap senin lewat jalur Puncak-Cipanas!"
"Mau dong, Dik… Sherly ikuuut…" rengekku.
"Bukan itu masalahnya, Sherly. Dika selalu seneng tiap kali ditemani Sherly. Bahagianya selalu berlebih, kayak udah lebaran aja. Masalahnya, besok itu hari Sabtu, kalaupun bisa naik, kaga bisa turun. Pukul 12 siang, udah diberlakukan satu arah dari Gadog sampai Puncak Pass."
"Oh, gitu… terus gimana dong? Sherly ikut ya, Dik… Please, sekaliii aja… tar Dika mau peluk-peluk ato cium-cium Sherly boleh deh… bebassss…"
"Hihihi… norak kamu, Sher!"
"Ayolah, Dika… please… ato Sherly yang peluk-peluk atau ciumi Dika juga rela deh… please, Dika… sekaliii aja… Sherly belum pernah ke Puncak…"
"Apaan sih, Sherly norak banget ya. Bentar, atur strategi dulu, biar bisa dapat semuanya!"
Dika tampak serius memikirkan sesuatu. Benakku berharap sungguh, lelaki ajaib di depanku ini akan mengabulkan pintaku. Sampai tiba-tiba muncul ide gila dari benakku,
"Atau… gimana kalau kita berangkat hari ini aja? Terus besok pagi sebelum jam 12 baru pulang. Ngga kena pemberlakuan satu jalur kan?"
"Tumben idemu cemerlang, Non?"
"Hehe… siapa dulu dong?"
"Masalahnya, hari ini mobil lagi muat barang di Bekasi. Kelamaan kalau mesti nunggu mobil pulang dari Bekasi."
"Traalaaa… nih, solusinya… pake mobil Sherly aja…" spontanku sambil memberikan kunci mobilku kepada Dika.
"Semangat banget kamu, Sher?"
"Iya dong… mau kan?"
"Bentar ya, biar kulihat dulu orderannya. Kira-kira muat kaga kalau pakai mobil Sherly…"
"Ayolah, Dika… dimuat-muatin deh… Dika mesti bisa mengaturnya…"
"Yee… sabar dikit kenapa sih?"
"Ya udah… pokoknya, jadi ngga jadi, kita pulang sekarang. Soal kiriman, pikir nanti aja. Sherly ijin dulu sekalian ambil tas… yuuk…"
Setelah membereskan segala sesuatunya, mobil langsung meluncur menuju Puncak. Lagi-lagi aku tak mau memikirkan apa yang akan terjadi. Ada rasa aman ketika berada di samping Dika. Segala sesuatunya begitu nyaman. Canda, tawa, serius, lalu tertawa lagi, terkadang haru, rasanya betul-betul ingin memeluknya, tapi sesaat kemudian langsung tertawa lagi.
"Ini namanya pertigaan Gadog. Dari sini kita tinggal lurus saja ke atas, kalau ke kanan nanti sampai Sukabumi." terangnya ketika kami keluar dari jalur tol.
"Masih jauh ya?"
"Abis ni Mega Mendung, Cisarua, trus tanjakan dan kelokan sepanjang perkebunan teh. Capek ya atau mengantuk?"
"Hihi… gimana mau tidur kalo dibuat ketawa mulu sejak tadi?" protesku dalam suka.
"Ya udah, nikmati aja perjalanannya. Anggap aja Dika pemandu wisatamu yah?"
"Koq, Dika bisa tahu semua?" potongku.
"Hihi… gimana kaga tahu… tiap senin kan lewat sini…" jelasnya begitu santai.
"Oh, iya ya…" sadarku.
Ketika mobil memasuki perkebunan teh dengan jalanan yang penuh dengan tanjakan dan kelokan tajam, Dika memintaku untuk menurunkan kaca mobil. Udara dingin langsung dapat kurasakan.
"Dika ngga pengin foto-foto dulu di sini? Spotnya bagus-bagus tuh!"
"Hihi… Sherly sabar ya… buat Putri Titiani-ku, Dika cariin spot yang terbaik abis ni… sambil istirahat sekalian makan dulu yah?"
"So sweet, Dika… Sherly meleleh abis nih…"
"Hihi… jangan lebar-lebar dong sayapnya… jadi pink tuh… pipi Sherly…"
"Biarin… Sherly lagi seneng aja…"
"Pasti karena Dika kan?"
"He em… karena Dika…"
Untuk sepersekian detik waktu, suasana sempat hening. Tak ada suara yang keluar dari masing-masing mulut kami.
Dika tampak begitu tenang. Sesekali membagikan senyum manakala bola mata kami bersitatap. Ada damai dalam tiap senyumnya, ada rasa nyaman lewat teduh tatapannya.
…Benar kata Dika,
bahwa yang lain akan membuatku serasa terbang.
Semoga Dika akan senantiasa ada
dan menangkapku pabila aku terjatuh…