Malam semakin kelam. Gigil dinginnya terasa menusuk hingga kedalaman belulang. Fajar pagi masih jauh dari kata terjanji. Kabut tipis datang dan pergi. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas. Sisanya hening. Begitu tenangnya hingga hembusan nafas masing-masing kami begitu jelas terdengar.
"Sher... Sherly tidur ya… selagi bisa istirahat… tar Dika tunjukin satu lagi keajaiban alam deh… Sherly pasti suka."
"Dika mau ngapain?"
"Jagain Sherly."
"So sweet... tapi Dika tetep peluk Sherly sampai terbangun loh ya? Jangan dilepas!"
"He em… bentar… nih, pake jaket Dika biar Sherly kaga kedinginan."
"Trus Dika pake apaan?"
"Ssttt… udah, pake aja… Dika udah cukup anget… diselimuti cinta Sherly."
"Tuh kan… beneran nih?"
"Iya, Sherly pake jaket Dika… lagian Sherly belum pernah kan, bermalam di tempat yang dingin kayak gini? Dika mah, udah biasa kedinginan di puncak gunung… lebih dingin dari tempat ini malahan."
"Iya deh… makasih Dika…"
"He em."
Dika duduk bersandar pada salah satu sudut ruangan, kemudian memintaku untuk duduk membelakangi tepat di depannya. Kusandarkan tabuhku, Dika mendekapku dengan penuh kasih, penuh kedamaian.
"Dika… Dika ngga ingin mencium Sherly?"
"Enggak… Dika dekap Sherly aja selagi tidur."
"Hihi… iya… makasih ya, Sayang?"
"Udah, Sherly tenang aja. Dika jagain Sherly selagi tidur."
"Dika, jangan lepasin dekapannya selagi Sherly tidur ya?"
"He em…"
Kurasakan ketenangan dan kedamaian diri Dika membuatku begitu nyaman dalam hangat dekapannya. Pada akhirnya, akupun tertidur.
Lelap tidurku dalam dekapan Dika dikejutkan oleh getar suara ponselku, sebuah panggilan masuk. Dengan susah payah, diantara tiga jaket yang kupakai, segera kuambil ponselku dari saku jaketku yang pertama.
Belum juga sempat kuangkat, ganti ponsel Dika yang berderit cukup keras. Dika buru-buru mematikan. Ternyata hanya alarm pukul empat pagi, alarm penanda bahwa Dika harus bangun dan segera menyiapkan harinya, demikian Dika biasa bercerita perihal alarm kejutnya.
Dika tersenyum dan mempersilahkanku untuk mengangkat panggilan masuk itu. Enggan rasanya untuk mengangkat panggilan masuk sepagi itu sampai kulihat tulisan di layar ponselku : MAMA.
"Buruan diangkat… siapa tau penting."
Aku hanya tersenyum. Kutarik lengan Dika agar kembali mendekapku lebih erat. Kemudian kusandarkan kepalaku didadanya, baru kuangkat panggilan dari Mama. Kulihat Dika sempat tersenyum sambil terus-terusan membelai rambut dan kepalaku.
"Hallo? pagi Mama
Pagi, Sayang… selamat ulang tahun ya
"Makasih, Mama hehe…"
"Tumben sudah bangun jam segini?"
"Iya, Ma... hihihihihi..."
"Nada-nadanya ceria banget pagi ini. Ada apa, Sayang?"
"Ada kejutan kado terindah buat Sherly pagi ini… hehe..."
"Kado dari siapa?"
"Dika!" spontanku. "Upz..."
"Dika? Siapa Dika, Sayangku?"
"Oh... ada deh..." kejutku.
Dika sempat hampir tertawa, namun ditahannya. Setelah haha-hihi panjang antara Anak dan Mama, obrolan segera kututup. Dika tak kuasa lagi menahan tawanya.
"Mama Sherly perhatian banget ya… ama calon menantunya… hahahahaha..."
"Apaan sih?"
"Anaknya yang ulang tahun… eh, calon menantunya yang ditanyain… hahahahaha…"
"Dika jelek… jeleek… jeleeek…" timpukku.
"Aduuh… sakit, Non kalau sayang jangan timpuk Dika dong." protesnya.
"Abisnya… Dika nakal..."
"Hihi… senyum dong tar manisnya luntur loh..."
"Apaan sih… baru juga bangun… udah mulai..." luluh juga benak ini.
"Nah, gitu… senyum… kan jadi semangat."
"Mau, Sherly timpuk lagi? Biar lebih semangat?"
"Hihihi… udah, Sher, udah timpuk-timpukannya… cium aja boleh deh… daripada ditimpukin mulu?'
"Yeee… tar bintang-bintangnya tambah minder tau!"
"Hihihi… iya deh..."
Untuk sekian detik waktu tak satupun dari kami bersuara. Aku sudah sepenuhnya terbangun. Dika tersenyum ketika kami berrsitatap. Dika begitu tenang mendekapku sejak semalaman. Dika tidak tidur dan hanya mendekapku. Entah kalau laki-laki lain. Dika betul-betul ajaib.
"Sher, udah pernah liat bagaimana sebuah hari dimulai? Melihat bagaimana matahari terbit? Melihat mentari perlahan muncul di ufuk timur?"
"Belum, emang kenapa?"
"Kalau kemarin Sherly liat bagaimana matahari terbenam. Nanti lihatlah sendiri, bagaimana mentari akan hadir menerangi bumi."
"Emang kelihatan dari sini?"
"Semoga saja tidak ada kabut nanti. Masih cukup waktu. Tapi Dika harus istirahat bentar. Tolong bangunkan Dika satu jam lagi ya?"
"Yeee… bangun rumah tangga ama Dika aja Sherly iklas, apalagi cuma bangunin satu jam lagi… hihihi..."
"Apaan sih?"
"Udah, Dika tidur geh… tapi tetep sambil dekap Sherly."
"Makasih ya, Sayang"
"Apa Dik? Barusan bilang apa? kejutku.
"Makasih."
"Yaaa… langsung tidur… Dik… bilang sayang lagi dong?"
Tak ada lagi suara terdengar, bahkan sampai pundaknya kugoncang juga Dika langsung terlelap.
"Hihi… aneh… tidur juga ngga melepas kuncir?" pikirku.
Tanpa perlawanan, kulepas ikatan rambut itu perlahan-lahan. Keletihan berat rupanya. Perlahan pula kusibakkan helaian poni rambut yang menutupi mukanya. Begitu pulasnya hingga tak terganggu oleh belaian jemariku pada rambut panjangnya. Inilah kali pertama aku sedekat ini dengan Dika. Ingin sungguh rasanya mencium wajah di kedalaman lelapnya. Kecupan rasa terima kasihku. Tapi takut kalau membangunkannya. Dika harus istirahat.
Kupandangi lelaki ajaib yang pulas tertidur dengan masih tetap mendekapku seperti pintaku. Sekali lagi kusibakkan rambut di dahinya. Wajahnya jadi semakin jelas dapat kulihat. Dika seperti tersenyum dalam tidurnya. Ada damai terpancar dalam lelapnya. Pada akhirnya kurasakan pula kedamaian itu menjalar sampai benakku.
"Terima kasih, Dika… terima kasih buat semuanya." bisikku.
Dalam hening dan hangat dekapan Dika, terlintas satu per satu peristiwa yang kami alami. Bahagia ini kurasakan begitu berlebih. Ada tawa, suka gembira, lalu haru, lalu gembira lagi, bahagia, sempurna.
Lamunan panjangku terhenti ketika Dika menggeliat dan sontak melepaskan pelukannya kepadaku. Tak terasa hari sudah beranjak pagi. Kulihat di luar sudah agak terang. Semakin jelas terlihat hamparan hijau perkebunan teh di bawah kami. Dika mematikan alarm dari ponselnya kemudian berbagi senyum denganku.
"Oh, pantes aja bilang mau tidur sejam, rupanya alarm udah disetel buat nyala sejam lagi tadi, Dik?"
"Iyalah… kalo sampai terlewat liat matahari terbit, sayang kan?"
"Ngga apa-apa kali, yang penting Sherly sayang ama Dika."
"Hehe..."
Semburat jingga keunguan mulai tampak menggantung, menghiasi ufuk timur cakrawala. Kabut tipis yang menyelimuti permukaan bumi sejak semalaman mulai memudar, dihembus oleh tiupan angin lembah. Perlahan namun pasti, Sang Surya mulai menampakkan lengkung atasnya. Benakku terpaku. Seperti inikah sebuah hari dimulai?
"Jadi seperti itu proses matahari terbit ya, Dik? Keren"
"Sssttt… tunggu dan lihatlah sampai mentari muncul bulat sempurna."
Aku hanya terdiam menuruti kata-kata Dika. Lelaki ajaibku itu segera berdiri mendekati jendela.
"Lihat dari sini deh, Sher lebih jelas."
Sekali lagi aku hanya menuruti kata-katanya. Dika membantuku berdiri, menarik lenganku perlahan, kemudian mendekapku dari belakang.
"Biar kaga kedinginan… boleh?" bisiknya tulus, aku mengiyakan.
Spontan kusandarkan kepalaku di dadanya. Jantungku sempat berdebar, namun kedamaian sanggup membungkam nafasku. Di kejauhan di bawah sana, lampu-lampu penduduk masih tampak menyala. Matahari juga belumlah bulat sempurna. Cahyanya merah menyala, masih sanggup kulihat langsung dengan kedua bola mata ini.
"Indah sekali ya, Dik?"
"Tunggulah sebentar lagi. Bulatnya akan sempurna. Warna merah darahnya akan segera berubah menjadi kuning hingga berangsur menjadi putih menyala."
"Seperti inikah sebuah hari di mulai? Seumur-umur baru sekali ini kulihat matahari terbit, Dika."
"Inilah kehidupan. Jika kemarin Sherly melihat bagaimana sebuah hari berakhir, pagi ini Sherly melihat bagaimana sebuah hari dimulai sejak pagi bermula. Seperti roda, terus berputar."
"Seperti kita, Dika."
"Maksudnya?"
"Iya… Sherly ngga sendirian lagi. Jika kemarin-kemarin Sherly selalu sendiri, kini ngga lagi."
"Hihihi..."
"Dika jangan ketawain Sherly dong, Sherly mau jujur aja pada diri sendiri, pada apa yang Sherly rasain, lagian Sherly masih ingin menikmati momen pagi ini. Bersama Dika tentunya… hehe..."
"Siap… wahai kamu yang selalu menjadi tuan rumah di hatiku?"
"Berarti… Dika jadi tamunya dong?"
"Hehe... jadi rumahnya dong, Sher, biar bisa melindungi Sherly dari terik dan ujan."
"So sweet... makasih, Dika."
"Buat apaan?"
"Buat ngelindungi Sherly dari terik dan ujan… hehe… Dika mau kan? Udah lama banget nih, ngga ada yang ngelindungi Sherly."
"Hihi… bersayap banget diksi Sherly?"
"Yeee… beneran koq!" protesku.
"Iya deh… yang penting Bidadariku bisa tersenyum bahagia."
"Tuh, kan… malahan Dika yang kini bersayap."
"Hihihi… dah pecah tuh mataharinya… kalau sekarang resmi udah pagi… cari kopi yuk?"
"Yaaa… padahal Sherly masih pengin didekep."
"Udah ahh... yuk?"
Di kedai bawah, lelaki ajaib di hadapanku ini hanya terdiam memandangi secangkir cappuccino tepat di hadapannya. Tatapannya begitu dalam seolah menembus hingga ke dasar endapnya. Entah apalagi yang dipikirkan olehnya, apalagi yang akan diperbuatnya, kejutan apalagi yang akan diberikannya, aku hanya turut berdiam, larut dalam hening dan turut merasa damai.
"Sher, beneran kamu nyaman dan bahagia bersamaku?" kalimat Dika datar, begitu lirih, hampir tak dapat kudengar.
"Iya, Dika… Sherly bahagia banget bertemu dan bersama Dika."
"Kamu yakin, Sher, dengan kebersamaan ini? Aku hanyalah seorang sales, sementara Sherly Putri Titiani adalah seorang dokter."
"Dika kenapa sih? Koq jadi banding-bandingin gitu?"
"Sekedar memastikan aja… kalau Sherly bener-bener nyaman… dan bahagia bersama Dika…"
"Ngga cuma nyaman dan bahagia, Dika… Sherly turut merasa damai… tiap kali bersama Dika…"
Detik berikutnya, tak ada lagi suara. Kupandangi sekali lagi lelaki ajaib yang duduk di hadapanku. Dika tampak begitu serius, mengaduk topping coklat pada permukaan cappuccino miliknya. Perlahan sekali, hingga membentuk sebuah ornamen. Serasa belum puas, lalu diaduknya sekali lagi. Kali ini lebih berhati-hati. Aku hanya menerka apa yang akan diperbuat dengan cappuccinonya. Begitu seriusnya sampai-sampai aku tak berani bertanya, takut mengganggu konsentrasinya. Sambil tersenyum, kemudian disodorkannya cappuccino dengan topping berbentuk hati itu kepadaku.
"Hati ini… cappuccino ini… boleh buat Sherly tak bersyarat..." bisiknya.
"Maksud Dika? Ini kan Sherly udah punya cappuccino sendiri." tanyaku tanpa paham maksudnya.
"Hati Dika ini… boleh buat Sherly tak bersyarat..." lanjut Dika dengan nada datar dan masih sambil memegangi cappuccino dengan topping hati itu.
"Dik? Aduuuh, Dika? Kenapa Sherly jadi gagal paham gini… maaf ya, Dik… maafin Sherly ya, Dik?"
"Hehe... iya… cappuccino ama hati Dika… boleh Sherly miliki… buat Sherly seorang… tak bersyarat…" lanjutnya sambil tersenyum.
Untuk sekian detik waktu, aku masih gagal memahami apa yang terjadi. Lelaki ajaib di hadapanku ini segera menarik dan menggenggam kedua jemariku. Sepersekian detik berikutnya, mulutku hanya bisa menganga demi menyadari yang terjadi.
"Dik, ini beneran?" tanyaku tak percaya dengan apa yang baru saja Dika ucapkan.
"Iya… hati Dika buat Sherly seorang… Dika boleh Sherly miliki… tak bersyarat…" lanjutnya.
"Ini beneran, Dik?"
"Masih kaga percaya kalau Dika sungguh-sungguh?" tuturnya lirih sambil mengecup jemariku.
"Dika. Sherly jadi lemas gini… Makasih ya, Sayang?"
"Udah ahh… yuk turun… kita cari sarapan di Bogor aja yah udah laper nih… sayang-sayangan ternyata butuh energi juga… hehe…"
"Yaaa… Dika… kenapa selalu memotong momen-momen seperti ini sih?"
"Hehehe… buat besok lagi… dah ahh, yuk biar para pembaca yang masih jomblo tidak iri!!!"
"Dika… makasih ya… Sherly sayang Dika."
"Ditto."
Dika memulai satu hari ini dengan sesuatu yang begitu istimewa. Setelah emosi yang naik-turun bahkan sejak awal mula kami bertemu, pada akhirnya Dika menerima cintaku. Sungguh tak sia-sia kumulai semua ini. Hebatnya, Dika mengemas romansa kami pagi ini lewat secangkir cappuccino penuh cinta ala Dika. Hari ini betul-betul menjadi hari yang bersejarah dalam kamus hidupku.
Entah kalau dengan orang lain, dengan kalian, akan seperti apakah pandangan kalian dengan apa yang telah kuputuskan dengan penuh kesadaran akan kebersamaan ini. Aku berani memutuskan untuk memulai terlebih dahulu sebab aku tahu, dalam benak Dika yang terdalam, Dika juga menyukaiku, menyayangiku. Ajaibnya, Dika tak pernah sekalipun mengucapkan kata suka apalagi sayang, namun bertindak nyata. Dika menunjukkan dan mempersembahkan rasa sayangnya kepadaku lewat sikap dan tindakan yang seutuhnya ditujukan demi bahagiaku semata. Ajaib.
"Dik?"
"Iya… Dika di sini..."
"Dika tidak ingin mencium Sherly?"
"Hihi… tar Sherly kaga bisa mendarat loh!"
"Kalo gitu biar Sherly yang cium Dika aja yah?"
"Yeee… jangan di sini dong tuh liat tuh… yang jual Ubi Cilembu pada cemburu, pada iri ama Sherly yang lagi bersemi kayak gini."
"Apaan sih… bunga kali pake bersemi?"
"Beneran… liat tuh, pada iri kan ama kita yang lagi seneng banget?"
"Hihi… iya deh… suka-suka Dika aja… boleh Sherly nyandar di bahu Dika?"
"He em… biar adem benak Sherly."
"Iya… rasanya damai banget deketan Dika kayak gini… makasih ya, Dik… buat semuanya."
"He em… sama-sama."
Kupeluk Dika dengan ketulusan hatiku. Dika membalas pelukanku dengan kehangatan kasihnya. Lelaki Ajaibku tersenyum. Begitu damai. Ingin sungguh rasanya dicium oleh Dika, atau aku yang menciumnya juga rela, tapi Dika terlalu ajaib sekedar untuk hal mencium ataupun dicium. Keren.
Jauh hari setelah cappuccino cinta ala Dika, barulah aku tahu, Dika adalah The Kaisar, The Good Kisser. Pada penasaran kan ama ciuman selangit ala Dika? Sabar ya, tunggu sampai bagian itu di buku selanjutnya… eh, selanjutnya lagi… hehehe…
…Cappuccinoku, sekarang aku baru tahu,
kalau di dalam toppingmu… ada aku…