Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 11 - Kado Terindah

Chapter 11 - Kado Terindah

Setelah sekian kelokan dan tanjakan, mobil ditepikan. Dika turun dan membukakan pintu untukku ketika aku masih juga takjub dan tak bergeming melihat pemandangan. Udara terasa begitu dingin di luar. Dika menggenggam jemariku dan mengajakku untuk istirahat sambil makan.

"Bener, Dik, tempatnya lebih keren di sini. Dika sering istirahat di sini juga?"

"He em… makan di tempat seperti ini, kaga masalah kan, Sher?"

"Mau makan di manapun ngga masalah bagi Sherly… asal makannya… sama Dika… hehe…"

"Genit banget!" sahut Dika sambil tersenyum dan spontan mencolek daguku.

Hening. Dika masih juga tersenyum menatapku. Genggaman tangannya juga belum dilepas. Ada damai berlebih kurasakan.

"Aduuuh… kejutan apalagi ini, Dika?" pekik benakku penuh suka diperlakukan seperti ini oleh Dika.

Sambil menikmati sajian makan bersama Dika, kugunakan kesempatan itu untuk lebih mengenal Dika, mengorek masa lalu Dika, yang menjadikan seorang Dika begitu ajaib seperti saat ini.

"Dik, kenapa kamu memutuskan untuk alih profesi jadi sales? Bukannya lebih enak jadi guru?" tanyaku serius.

Sambil tersenyum, dijelaskannya panjang lebar perihal latar belakang keputusannya untuk meninggalkan dunia pengajaran yang pernah dijalaninya.

Bukan sebuah keputusan yang mudah rupanya, namun bermodal tekad yang kuat, Dika berani memasuki dunia baru yang sangat-sangat jauh dari dunia lamanya dan menjadi merdeka serta damai.

Rupanya pula, kedamaian itu pulalah yang senantiasa dibagikan kepada siapapun yang dijumpainya. Kedamaian itulah energi positif yang menjadikan Dika sosok ajaib yang selalu dapat berbagi kasih seperti saat ini. Haru tapi keren.

"Sher, semua yang kutulis dan kamu baca itu adalah refleksi laju perjalanan hidupku selama ini. Terlalu banyak siangku yang hilang kubuang percuma. Sekaranglah saatnya untuk menebus sekian petang-sekian malam yang dulu lebih sering kulalui dalam kesia-siaan gerutu dan sesalku."

"Tapi koq… bagian sebelum jadi guru tidak ada, Dik?"

"Ada, tapi masih kusimpan di rumah, di Kampung Negeri Castle-ku. Sampai sekarang pun aku tak sanggup mendefinisikannya, apakah itu bagian terburuk atau justru bagian terindah dalam hidupku."

"Iya… Masih banyak waktu, Dika. Boleh kan, Sherly mengenal Dika yang dulu? Yang menjadikan seorang Dika menjadi seperti saat ini?"

"Sampai saat ini sekalipun… sejauh mana Sherly udah mengenalku? Memahamiku? Tak banyak kan?"

"Iya… Dika curang!"

"Hihi… kaga adil ya?"

"Iya… mungkin itu yang membuat Sherly selalu merasa ajaib saat bersama Dika."

"Biarlah waktu yang berbicara, Sher… Mulai sekarang, tugas utama Dika adalah membuat Sherly Putri Titiani seorang merasa bahagia… dah… itu aja… boleh kan? Sherly kaga keberatan kan?"

"Tuh… kan…"

"Kenapa? Kaga boleh?"

"Sherly jadi terbang kan…"

Setelah obrolan panjang yang begitu menyita energi dan emosi, kami melanjutkan perjalanan. Kami masih larut dalam permenungan masing-masing. Tak satupun dari kami bersuara. Benakku kembali diaduk-aduk. Sampai pada titik ini saja, Dika selalu membuatku merasa begitu bahagia, lantas apa yang dimaksud dengan kalimat terakhirnya? Aku yakin, Dika juga menyukaiku. Tak salah lagi. Ajaib sungguh diksimu, Dika.

"Salut buat kamu, Dika. Hampir semua orang di negeri ini ingin sukses di Ibukota. Tapi kamu lebih memilih untuk menaklukkan Jakarta dengan caramu sendiri… Keren…"

"Makasih, Sher, tujuanku sederhana saja. Aku tak ingin lebih banyak lagi orang daerah yang punya mimpi selangit untuk merantau ke Ibukota. Tanpa berada di Jakarta sekalipun, kita bisa sukses, setidaknya berhasil menjadi pribadi yang mandiri dan tidak tergantung dengan Ibukota."

"Betul juga ya… kalau semua orang berniat untuk hidup di kota, lantas siapa yang mau tinggal di desa?"

"Perjalanan masih panjang, Sher. Suatu hari nanti, ketika aku sudah berhasil mengepung Ibukota dengan produk daganganku, tak perlu lagi kan aku hidup dari nafkah Ibukota? Aku ingin panji-panji produkku terlihat di sekeliling Jakarta, sekaligus untuk menunjukkan kepada sales-sales yang begitu bangga mengerat di Ibukota, bangga dengan kesuksesan mereka di Jakarta, bahwa aku juga bisa. Ingin kubuktikan, bahwa tanpa menginjakkan kedua kakiku sekalipun di Tanah Batavia, aku juga bisa berhasil. Ingin kutunjukkan kepada Bapak, Bapakku seorang, bahwa tanpa menjadi pendidik sekalipun, aku bisa berhasil menjadi seseorang yang mandiri, bebas berkehendak dan bergelimang cinta…"

"MAUUU…" rengekku memotong runtut paparannya.

"Mau apaan?" kejutnya.

"Sherly mauuu… jadi bagian yang terakhir tadi…"

"Hihi… iya… untuk bagian yang terakhir tadi, aku masih perlu belajar banyak, Sher…"

"Iya apaan? Iya boleh… maksud Dika? Sherly boleh berbagi cinta ama Dika? Kita bisa sama-sama belajar, Dika…"

Kukejar pernyataan Dika dengan segala kalimat bersayapnya. Aku sungguh yakin, ini hanya masalah waktu. Tinggal Dika duluan, atau aku yang mesti duluan mengungkapkan perasaan ini.

"Sher, aku masih harus membuktikan kalau Sherly betul-betul bisa nyaman, saling percaya, lalu tertawa penuh suka dan bahagia seutuhnya…"

Begitu cerdasnya Dika mengelak dan membolak-balikan diksi untuk jawaban dari kejaran pertanyaanku. Justru kata-kata sederhananya kembali membuatku tak sanggup lagi menahan segala yang kurasa. Aku menyerah.

"Udahan dulu ya, Dik… Sherly ngga kuat lagi… biar melayang-layang dulu yah… takut jatuh…"

"Yee… salah sendiri… kan Dika udah pernah bilang, kalau 'yang lain' akan membuatmu 'terbang'…"

"Hihihi… iya… Sherly masih inget koq…dan betul… rasanya… melayang…"

Hening. Kami kembali larut dalam benak pikiran masing-masing. Ingin sungguh rasanya menyandarkan kepala ini di pundak Dika. Namun Dika seolah sanggup membaca isi pikiranku. Dika selalu membagikan senyumannya tiap kali kami kembali bersitatap.

"Dika… masih jauhkah?"

"Sherly capek? Ato pengin nyandar di bahu Dika?"

"Hihi… ketahuan… ajaib…" merah mukaku, Dika kembali tersenyum.

"Sherly pengin segera turun… terus memeluk Dika…"

"Norak kamu, Sher… malu tahu… kasian para pembaca tuh… pada senyam-senyum sendiri…"

"Biarin!!!"

-oOo-

Lelap tidurku dikejutkan oleh suara pintu mobil yang ditutup. Sempat kutengok kesana-kemari. Gelap. Kulihat di kursi belakang, kardus-kardus sudah diturunkan semua. Berarti mobil sudah berhenti sedari tadi.

Sesaat kemudian, Dika muncul dari dalam ruko sambil membawa sebuah bingkisan yang dimasukkan ke dalam tas plastik hitam. Aku hanya bisa tersenyum saat pintu kembali dibuka. Dika membalas senyumku.

"Eh, Bidadariku udah bangun…"

"Lama ya tidurku? Sampai ngga tahu kalau udah sampai. Loh, kardus-kardusnya? Itu tadi… Dika turunin sendiri? Maaf ya, ngga bantuin tadi…"

"Hihi… santai aja… Dika udah biasa sendiri. Maaf kalau mengejutkan mimpi indahmu ya, padahal udah pelan-pelan banget tadi, waktu membuka pintunya… hehe…"

"Itu bawa apaan, Dik?"

"Kue moci… mau? Dikasih oleh-oleh sama Teh Melly barusan."

"Oh… tar aja deh… Langsung cabut nih? Udah selesai semua kan?"

"Yuuup, tapi kita makan dulu. Di lesehan situ kaga jadi soal kan, Bu Dokter?"

"Hihi… Sherly ngikut Dika aja. Tapi gentian, Sherly yang bayar nanti."

"Oh, kalo gitu, kaga jadi aja."

"Koq?"

"Hihi… Sherly ikut Dika kan? Berarti Dika yang bayar."

"Hihihi… iya deh… Sherly nurut aja."

Baru kali ini kurasakan suasana makan di lesehan di pinggir jalan, namun berasa seperti makan di restoran mewah. Itu karena ada Dika yang duduk bersila tepat di hadapanku. Dika bahkan selalu tersenyum tiap kali bola mata kami bertemu.

"Kita kayak pasangan yang lagi pacaran aja ya, Dik?" kupancing Dika.

"Hihi… itu buat orang lain aja. Dika penginnya bahagiain Sherly. Dah itu aja."

"Tuh kan… mulai kan?"

"Hihi… yang penting Sherly seneng. Kalo Sherly bahagia, Dika ikutan bahagia, jadi lebih semangat buat kerja dan bahagiain Sherly terus."

"Hihi… makasih, Dika… Sherly seneng koq, bersama Dika terus. Sherly jadi belajar banyak. Anyway, beneran tuh, Dika cuma penginnya bahagiain Sherly?"

"Hahahaha… coba pertanyaannya diubah gini deh, Dika beneran, enggak mau pacaran ama Sherly? Seperti pasangan-pasangan di meja sebelah?"

"Hihihihi… ketahuan lagi… Dika jelak ahh!"

"Hihi… Sher, dunia ini terlalu keras sekedar untuk dihadapi dengan bahasa-bahasa klise seperti itu. Mendingan langsung tindakan nyata, kaga usah kebanyakan basa-basi. Toh tujuannya sama kan, menjadikan hidup ini lebih berwarna?"

"Betul juga ya… trus kalo Dika sendiri, penginnya pasangan hidup yang kayak apa?"

"Hahahaha… kalo Dika jawab sekarang, tar pipi Sherly jadi tambah pink loh…"

"Maksudnya?"

"Hihi… pinjem sendoknya, Sher…"

"Buat?"

"Udah Sherly nurut aja… pinjem sendoknya bentar…"

Kuberikan sendok yang kupegang. Dika mengambil nasi goreng dari piringku dan alangkah terkejutnya diriku ketika tiba-tiba Dika menyuapiku.

"Hihi… kirain mau ngapain… so sweet, Dika… tapi kenapa pake sendok Sherly?"

"Soalnya, nasi goreng Sherly pedes. Kalo pake sendok Dika, tar Dika jadi kepedesan, perut sakit, repot kan?"

"Hahahaha… ada aja… makasih, Dika… gentian, Sherly juga suapin Dika. Sendoknya mana?"

"Hihi… keren gini kan? Kaga perlu pake bilang pacaran kan, kalo cuma mau buat pasangan kita bahagia?"

"Hihihi… iya, Sherly ngarti maksud Dika. Eh, kasihan juga tuh, pada liatin kita… hihi…"

"Biarin aja, toh mereka bisa sendiri. Nih, Dika bikin tambah baper… mulutnya nganga dikit dong… Dika bersihin bibir Sherly…"

"Hihihi… ada aja… jangan pake tissue gulung loh!"

"Hahahahaha… kaga… nih tissue khusus buat wajah… nganga dikit dong… biar kaga berminyak bibir Sherly…"

Ajaib. Dika benar-benar ajaib. Dikejutkan dengan suapan ala Dika aja rasanya sudah melayang tak terhingga. Ini malah ditambahi dengan acara sentuh-sentuh bibir. Ampuuun Dika… Sherly nyerah deh… Bahagia banget rasanya.

Setelah Gala Dinner ala Dika, kami melanjutkan perjalanan. Dika tampak begitu bahagia, terlihat dari senyumnya yang tak pernah putus ditujukan kepadaku. Benakku? Jangan ditanya. Begitu bahagianya benak ini bahkan sampai kusandarkan kepalaku di pundak Dika.

"Dika, makasih ya… Sherly bahagia banget malam ini…"

"Tenang aja… udah tugas Dika itu… bahagiain Sherly… tiap hari…"

"Dika beneran, pengin buat Sherly lebih bahagia lagi?"

"Dika beneran, pengin Sherly jadi pendamping hidup Dika?" ralat Dika seolah tahu maksud arah pertanyaanku.

"Tuh kan… ketahuan mulu sejak tadi… Dika jelek!!! Tar Sherly ngga bisa nginjak bumi lagi loh…"

"Hihihihi… kan ada Dika… yang siap menarik Sherly biar bisa kembali ke bumi."

Selesai sudah pertahananku. Aku menyerah. Kupeluk Dika dengan kedalaman kasihku.

"Dika… Maaf, Sherly ngga kuat lagi, Sherly peluk Dika yah?" pintaku.

"He em… kalaupun mau nyandar, tapi Sherly tetep tidur lagi geh, sekalian istirahat. Dika bawa mobilnya agak kenceng ya, takutnya kabut keburu turun. Trus nanti istirahatnya sekalian di Kedainya Mang Yayan aja. Ada gardu pandang di lantai atasnya."

"Enggak, Dika… Sherly peluk Dika aja, boleh kan?"

Dika tak menjawab selain tersenyum dan mengangguk, mengiyakan semua pintaku.

Jelang tengah malam, perjalanan telah kembali sampai di Puncak Pass. Setelah menuruni beberapa kelokan, akhirnya Dika menepikan mobil. Udara cukup dingin hingga membuat tubuh menggigil. Beruntung kabut perlahan mulai sirna. Kerlap-kerlip lampu di bawah terlihat cukup jelas.

"Dika… Sherly kedinginan…"

"Yee… salah sendiri, tadi disuruh bawa jaket tebal kaga percaya."

"Terus gimana ini, Dik… tukeran jaket dong…"

"Ogah… tar kalau Dika jadi menggigil kedinginan, terus sakit, siapa yang mau jagain Sherly?"

"Yaa… Dika… masak tega sih…"

"Hihihi… udah Sherly jalan-jalan ke bawah aja bentar, biar darahnya ngalir trus jadi anget… ama tolong pesenin kopi dong… ini kaki biar lurus bentarrr aja…"

"Bilang aja minta kopi! Pake ceramah segala!!!"

"Hihihi… sekalian dong… tolong ambilkan bingkisan yang dari Teh Melly tadi ya?"

"IYA… bingkisan ama apalagi??? Cappuccino kan???"

"Hehe… iya… makasih ya…"

Belum juga sepuluh menit kutinggal untuk memesan kopi, Dika telah terlelap dalam tidurnya. Kecapekan berat pastinya. Seharian ini Dika tidak istirahat sama sekali. Kubiarkan sesekali dengkurnya menghiasi malam. Ingin rasanya melepas kuncir rambut yang kelihatannya mengganggu posisi kepalanya, namun takut malah membangunkannya.

Akhirnya kubiarkan dan kusibukkan diriku membuka laptop sambil meneruskan membaca tulisan-tulisannya. Keheningan terpecah oleh suara sirene dari serombongan moge yang meraung-raung melewati tempat istirahat kami. Dika terkejut dan segera terbangun.

"Udah lama ya Dika ketiduran… koq, kaga dibangunin?"

"Yee… pules kayak baby juga… mana mendengkur lagi… cappuccinomu sampai dingin tuh…"

"Hehe… makasih ya… maaf, kurang tidur sejak kemarin malam… soalnya takut…"

"Takut apaan?"

"Takut kalau sampai bola mata ini terpejam… yang muncul adalah bayang-bayang senyum Sherly…"

"Dika jelek!!!" timpukku sekenanya.

"Beneran… kalo sampai terpejam, mimpiku cuma Sherly seorang!"

"Dika jelek! Apaan sih… baru juga buka mata… udah mulai…" protesku.

"Hihihi… tapi seneng kan? Diterbangkan terus-terusan?"

"Lama-lama Sherly melayang beneran nih…"

"Hihihihi… lho, itu bingkisannya… koq, kaga dibuka?"

"Yee… tadi kan cuma disuruh mengambilkan… ngga disuruh membuka juga… baru berapa menit Sherly tinggal, Dika udah langsung tertidur tadi…"

"Hihi… iya ya, maaf deh… ya udah kita buka bareng-bareng yuk… kasihan banget Bidadariku… sampai membeku kayak gini…"

"Emang isinya apaan, Dik? Kue moci?"

"Traalaaaa…"

"Apaan ini, Dik? Sweater?"

"Selamat ulang tahun, Sherly Putri Titiani…"

Jantungku serasa berhenti berdetak. Mulutku begitu kelu, tak sanggup mengucap barang sepatah kata. Aku betul-betul ternganga dengan kejutan kado ulang tahun dari Dika. Bagaimana Dika bisa tahu hari ulang tahunku sedang aku sendiri sampai lupa saat ini? Ajaib…

"Ini… udah tanggal sembilan ya… oh iya, Sherly sampai lupa… hari ini Sherly berulang tahun… Dika… kamu… ajaib… koq Dika bisa tahu… kalo hari ini Sherly berulang tahun?" gagapku masih tak percaya.

"Hihi… malah nganga… udah langsung dipakai aja sweaternya… biar kaga kedinginan lagi."

"Ajaib… Dika… kamu…"

"Sherly terharu ya? Besok bilang makasih ama Tasya. Berkat info darinya, Dika jadi tahu kalau hari ini Sherly berulang tahun… hehehe…"

"Kapan Dika bungkusnya? Perasaan kemarin tidak ada?"

"Tadi waktu sampai Cipanas, selagi Sherly pules, Dika minta tolong Teh Melly buat bungkusin sweater ini, itung-itung bantu ngelarisin dagangannya. Katanya sih cocok kalo mau dipake di Puncak, anget, tapi kaga panas kalo siang. Katanya juga, cocok buat orang yang spesial… hehe… Nah, terus, karena yang pake Sherly, berarti Sherly yang spesial buat Teh Melly… hahahahaha…"

"Dika bisa aja… Anyway, makasih ya, Dik…" sesegukan haru benakku.

"Sama-sama… udah, Sherly jangan nangis."

"Dika, Sherly enggak kuat… boleh Sherly nangis ya… sekaliii aja…"

"He em…"

"Dika… Sherly bener-bener ngga kuat… boleh nangis di pelukan Dika?"

Tanpa pikir panjang lagi, segera kupeluk Dika diantara sesegukan isak tangisku. Dika membelai rambutku. Dada ini rasanya betul-betul mau meledak. Mulutku seperti membatu. Entah bagaimana lagi menggambarkannya sampai-sampai air mataku berlinang. Ada haru menyelimuti kalbuku. Seumur-umur aku belum pernah mendapat kejutan seperti ini. Ajaib.

"Udah… udah… kan tadi juga Dika udah bilang… tugas utama Dika sekarang adalah bahagiain Sherly… sempurna kan untuk malam ini?"

"Dika… jangan dilepas… Sherly masih belum kuat… Sesek banget dada ini rasanya… Sekali lagi makasih buat semuanya ya, Dik…"

Dika menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kupeluk Dika begitu erat. Dika membelai rambut dan kepalaku. Begitu damai rasanya. Kubenamkan keseluruhan wajahku di dada Dika. Benakku membiru. Terkejut, bahagia, haru, semua bercampur menjadi satu hingga mulutku tak sanggup mengucap barang sepatah kata untuk sekian detik waktu.

"Dika…" tuturku masih di antara isak tangis bahagiaku.

"Iya… Dika disini… selalu di hati Sherly kan?"

"Sherly sayang Dika…"

Pada aneka perasaan yang begitu entah kurasakan, spontan kuutarakan gejolak-kecamuk rasa yang memenuhi isi benakku. Aku sepenuhnya sadar dan juga tahu, Dika tak akan keberatan dengan ungkapan rasa sukaku kepadanya, sebab aku tahu, Dika juga menyukaiku.

"Iya Sherly… Dika tahu koq…" jawab Dika begitu tenang sambil tersenyum.

"Maaf ya, Dik… kalo barusan Sherly bilang gitu… dada ini mau meledak rasanya… Sherly ngga kuat, Dika… Jangan dilepas pelukannya ya, Sayang…"

"He em… Khusus malam ini, Sherly bebas minta apapun, bebas mau apapun, biar makin sempurna bahagia Sherly hari ini…"

"Makasih ya, Sayang… Sherly ngga minta apa-apa… semua yang telah Dika lakukan buat Sherly selama ini udah lebih dari cukup…"

"Eh, Sherly tahu kaga… seseorang itu terkadang meneteskan air mata… bukan karena lemah… tapi karena tak menemukan diksi kata-kata yang tepat… sekedar untuk menggambarkan perasaannya… seperti Sherly saat ini…"

"Iya… Sherly bingung harus bilang apa… Sekali lagi makasih banget buat semuanya ya, Dik. Ini adalah kado terindah dalam hidup Sherly. Belum pernah sekalipun dalam hidup, Sherly merasa seperti ini, diperhatikan, dimengerti, disayang, dimanja, diterbangkan… ah, Dika… Dika adalah kado terindah buat Sherly… Makasih ya, Sayang…"

"Iya… tuh lihat tuh, bintang-bintang aja sampai pada minder… lihat Sherly peluk Dika erat banget kayak gini…"

"Biarin!!!"

Hening untuk sekian waktu.

Dika kembali tersenyum ketika kudongakkan kepalaku. Dengan begitu lembut, Dika mengusap air mata di pipiku. Kucoba untuk tersenyum sebisaku.

"Sherly seneng kan malam ini?" tanya Dika.

"He em…" hanya itu yang sanggup kuucapkan.

"Sherly juga bahagia kan?"

"Iya, Dika… bahagia banget. Maaf kalo Sherly…"

"Sssttt… udah ngga apa-apa…"

Dika memotong kalimatku seolah tahu apa yang hendak kuucapkan. Bahkan meletakkan telunjuknya di bibirku. Pasrah, aku hanya bisa memeluk Dika begitu erat.

Dika membelai lembut rambutku, kemudian membalas pelukanku dengan begitu hangat pula. Bahagia sungguh kurasakan diri ini dalam damai dekapan Dika. Aku tak peduli dengan penilaian Dika. Aku tak peduli dengan semua yang Dika rasakan. Setidaknya, benakku benar-benar menjadi lega malam ini.

Satu hal kuyakini sungguh, Dika sungguh istimewa, lelaki baik yang mengerti dan memahamiku saat ini. Aku juga yakin, Dika menyayangiku sungguh. Semua Dika lakukan demi bahagiaku. Dika tidak hanya berkata-kata, namun bertindak dan semua yang dilakukannya betul-betul membuatku menjadi bahagia. Terima kasih Dika… buat semua kejutan ini…

…Dan kalaupun bintang-bintang di angkasa

sampai bersembunyi malam ini,

mungkin benar kata Dika, mereka minder,

melihat kami berpelukan…