Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 9 - Cerita Tentang Dika

Chapter 9 - Cerita Tentang Dika

Senja benar-benar merana tanpa Dika. Entah kenapa gara-gara jendela di Kedai Mang Ujang, aku jadi suka menikmati senja. Senja yang bahagia, senja bersama Dika dan senja beserta rona jingganya.

Kakiku terasa berat kulangkahkan menuju Kedai Mang Ujang. Dika tak menghubungiku seharian. Bahkan sebuah pesan pendek sekalipun tak ada. Sudahlah, Dika terlalu sibuk hari ini. Nanti juga pasti menghubungi.

Entah kenapa pula, tiba-tiba benakku kembali merasa kosong tanpa Dika. Seperti ada yang kurang dalam satu hariku ini. Tiba-tiba aku merasa... kangen...

"Dika... kenapa lama sekali... ini udah mau senja, kenapa Dika belum juga menyapa?" protesku hanya dalam hati.

Ingin sungguh rasanya segera menghubungi Dika, minimal mengirim pesan pendek, namun aku takut mengganggu aktivitasnya. Pasrah, akhirnya aku memesan cappuccino dan memilih duduk di hadapan jendela Kedai Mang Ujang.

"Dika bilang... ini adalah Jendela Kenangan. Lewat jendela ini, Dika seolah melihat dunia. Masa lalu, masa kini, bahkan masa yang belum terjadi sering digambarkannya lewat semua yang terlihat dari balik jendela ini." tutur Mang Ujang sambil mengantar cappuccino pesananku.

"Keren... seperti itukah Dika memaknai semua ini?" sahutku.

"Bu Dokter beruntung mengenal Dika. Tak banyak laki-laki baik seperti Dika. Pemikirannya jauh ke depan. Prinsip hidupnya tak terbantahkan."

"Oh ya?" kejutku.

"Dika itu seperti monster. Diam tapi mematikan kalau sampai emosi. Dibalik sikap dinginnya, ada kelembutan yang tak gampang Dika bagikan. Dika juga bisa mencuci otak hanya lewat kata-katanya."

"Iya... gara-gara tuturan kalimatnya, Sherly jadi suka menikmati senja akhir-akhir ini, Mang."

"Tapi tidak hari ini kan? Kalian berantem?"

"Oh, tidak, Mang... Dika terlalu baik ama Sherly, terlalu santun bahkan. Tak pernah sekalipun Dika membentak Sherly."

"Itu yang membuat Bu Dokter kangen saat ini kan?"

"Hihi... Mang Ujang tau aja."

"Haha... udah, tenang aja... tar juga kemari. Kalau sampai jam segini belum kemari, itu artinya banyak kiriman. Pintu rejeki anak itu seperti pilihan kata yang diucapkannya, mengalir seperti anak sungai."

"Keren diksi Mamang."

"Itu Dika sendiri yang bilang, Mamang cuma mengulang."

"Maksudnya, Mang?"

"Iya, pintu rejekinya selalu mengalir karena Dika selalu berbuat baik dan suka menolong orang-orang yang dikenalnya."

"Sama Mang Ujang juga?"

"Tak terhitung berapa kali Dika membantu Mamang. Tiap kali mau pulang kampung, Dika selalu mengantar. Jadwalnya diubah, nganvas di daerah Sukabumi sekalian mengantar Mamang. Ini hape juga Dika yang ngasih, hape Mamang biar dipakai istri di rumah. Jadilah kami bisa komunikasi lancar sekarang. Belum lagi sekolah Euis, anak Mamang yang pertama, Dika juga itu yang bayarin uang gedungnya. Mamang ganti saat sudah terkumpul rupiah, Dika tidak mau. Malah ditambahi buat merehap kedai ini. Belum lagi urusan ama preman-preman depan. Dika juga yang ngatasi waktu itu."

"Bentar-bentar, Mang... Insiden Margonda maksud Mamang?"

"Ada hubungannya dengan itu sih... tapi ini setelahnya."

"Jadi beneran itu, Dika dikeroyok ama preman-preman Margonda?"

"Kaga cuma dikeroyok, tapi digebugi, dipukuli... Pelipisnya bocor, trus lengannya memar semua, ada juga bekas sabetan belati tuh... Dika ke warung Mamang dalam kondisi seperti mayat hidup. Darah dimana-mana. Bajunya sampai kaga wujud lagi. Miris kalau inget kejadian itu."

"Bukannya para preman itu yang kalah?"

"Iya... tapi itu setelah Dika murka. Tanya aja ama Udin, salesnya yang botak itu. Si Udin kan ikut mukulin Dika waktu itu. Udin bilang, Dika seperti setan kalau udah murka. Preman-preman segedhe Udin, dilibasnya cuma pakai kursi lipat. Tiga orang sampai opname, Yang dua lari tunggang langgang termasuk Si Udin."

"Serem ya, Mang? Ngga nyangka Dika punya sisi gelap seperti itu?"

"Jangan salah. Semua itu cuma pembelaan diri. Dika emang pernah jadi anak nakal. Tapi itu dulu."

"Jadi semua itu beneran, Mang? Sherly baca di tulisan-tulisan Dika, beberapa tentang kehidupan jalanan. Miris bacanya. Jangan-jangan emang beneran kisah hidup Dika itu."

"Sudahlah. Itu tidak penting. Dika sudah tobat. Bu Dokter lihat foto itu?" sahut Mang Ujang sambil menunjukkan sebuah foto pada salah satu dinding.

"Wuihhh... keren... Mang Ujang pernah foto ama Artis?"

"Oh, bukan yang itu. Mamang kaga kenal itu. Laki-laki satunya, yang kecil dan berambut panjang."

"Siapa itu, Mang?"

"Itu jawara pencak silat di negeri ini. Temen Dika itu. Dika juga yang ngajak main kemari."

"Loh, bukannya yang satunya artis sinetron itu?"

"Iya sih... tapi Mamang kaga tau. Mereka abis pada syuting di Stasiun Depok. Kebetulan Dika lagi turun dari kereta. Nah, kaga tau gimana ceritanya, tau-tau pada diajak kemari. Penuh ini warung. Pada pengin liat artis ngopi di kedai Mamang... hahahaha..."

"Keren... ngga nyangka ya, Mang... Dika punya kenalan macem-macem orang?"

"Bu Dokter jangan salah. Tidak semua orang yang kenal Dika adalah sahabat Dika, teman baik Dika. Bagi Dika, sahabat adalah segalanya."

"Iya, Sherly pernah baca juga tulisan Dika seperti itu. Apa karena Dika lebih mengutamakan persahabatan sampai tak peduli dengan kebutuhan pribadinya?"

"Pacar maksud Bu Dokter?*

"Hihi... iya... Dika belum punya pacar kan, Mang?"

"Hahahaha... kalau soal ini Mamang kaga komentar deh. Bu Dokter nikmati aja semua perihal Dika. Nanti juga tau sendiri, merasakan sendiri."

"Hihihi... iya, Mang... Dika terlalu ajaib untuk hal-hal seperti itu."

"Ngomong-omong, udah sampai jam segini kenapa belum juga sampai di sini ya? Bu Dokter sudah janjian ketemu di sini kan?"

"Oh, Dika lagi ke Bekasi, Mang... ambil mobil box. Dika ngga janji sih, tapi kalau cukup waktu, katanya mau mampir hari ini."

"Dika jadi ambil mobil box?"

"Iya... Dika bilang pengin memperluas area penjualannya sampai ke Carita."

"Bener-bener itu anak. Baru berapa hari kenal Bu Dokter aja, semangat kerjanya langsung berlipat. Gimana kalau sampai kalian menikah? Pasti tambah ajaib anak itu."

"Hahahaha... Mang Ujang bisa aja..."

"Hihihi... Percaya deh ama Mamang... Semua hanya soal waktu. Kalau Dika sampai menemui Bu Dokter hari ini, itu artinya Dika bener-bener sayang sama Bu Dokter."

"Amien... Makasih, Mang Ujang... Doakan aja seperti itu."

"Tapi Bu Dokter suka juga kan? Tidak malu kan, seandainya pacaran sama seorang sales?"

"Hahahahaha... Jangan beda-bedain gitu dong, Mjang. Menurut Sherly nih ya, Dika jauh lebih baik dibanding temen-temen Sherly yang dokter itu di klinik. Terlalu baik bahkan. Sherly juga nyaman bersama Dika."

"Siippp... Dika pasti senang dengan semua ini. Udah, ditunggu aja, tar juga kemari."

"Iya... Makasih, Mang Ujang... buat semua masukannya."

Senja semakin merana, Dika belum juga menyapa. Aku menyerah, membayar cappuccinoku dan melangkah pulang. Baru sampai di depan pintu, sebuah mobil sengaja dihentikan tepat di depan langkahku, menyalakan lampu jauh hingga membuat silau kedua bola mataku, kemudian membunyikan klakson. Dika terbahak dari balik kemudi sambil mengeluarkan kepalanya lewat jendela samping.

"Hahahaha... Udah mau nyerah nungguin Dika ya?"

"Dika jeleeeek!!! Matiin lampunya! Silau ini!"

Dika masih terkekeh, mematikan lampu dan segera turun. Sambil tersenyum tanpa dosa, Dika menghampiriku dan langsung menyahut bungkusan nasi udukku yang rencananya hendak kumakan di pondokan.

"Dika laper... makan dulu yuk?"

"Yeee... main serobot aja. Dika pesan sendiri dong!"

"Hehe... ini buat Dika dulu. Sherly yang pesan lagi. Laper berat nih... Kita makan di sini aja yah?"

Aku hanya pasrah tanpa bisa menolak. Dika menarik lenganku sambil melangkah masuk.

"Tuh kan... apa kata Mamang tadi, Neng... Dika pasti kemari. Lagi di jalan aja itu tadi."

"Hihi... maaf, hape drop tadi... jadi kaga bisa menghubungi kan?"

"Makanya... ganti ama yang baru!"

"Enak aja... jelek-jelek gini sangat berjasa nih... kalau ganti kekasih baru aja gimana? Hahahaha..."

Merah sungguh benakku menahan geram, namun sekaligus bahagia ketika mendengar candaan Dika. Seolah Dika benar-benar sedang memintaku untuk menjadi kekasihnya.

"Udah, jangan nganga juga. Sherly pesen aja lagi, kita makan dulu, trus Dika anterin pulang, ambil baju ganti sekalian seragam buat besok pagi."

"Buat apaan?"

"Tidur di Bogor. Mau kan?"

"Beneran? Boleh?"

"Hihi... tuh kan... ketauan kan... tadi udah mau marah kan ama Dika?"

"Abisnya... sebel tau... mana seharian enggak menghubungi juga. Tau-tau nongol. Pake nyerobot nasi Sherly juga?"

"Maaf... maaf... Dika yang salah. Maafin Dika ya, Sher? Lain waktu kaga akan Dika ulang lagi deh!"

Ajaib. Dika betul-betul menyesal dan sungguh-sungguh meminta maaf untuk sesuatu yang bukan mutlak kesalahannya. Bahkan sebetulnya aku hanya bercanda tadi, menumpahkan rasa kesalku yang sudah menggunung walau tanpa alasan.

"Maafin Dika ya, Sher... Dika janji deh... kaga akan mengulang."

"IYA..."

"Tuh kan... kaga tulus kan..."

"Abisnya... Dika juga sih..."

"Iya... iya... Dika yang salah... sekali lagi maaf... udah dong... jangan ditekuk gitu mukanya. Tar kaga jadi Dika ajak ke Bogor lho..."

"Hihi... maafin Sherly, Dika... becanda koq... tapi tadi emang sebel beneran. Untung ditemenin Mang Ujang."

"He em... Dika tau koq, Sherly pura-pura marah kan tadi? Tapi sekaligus seneng kan, mau Dika ajak ke Bogor?"

"Hihihi... Dika tau aja. Tapi beneran boleh kan, nginep di rumah Dika?"

"Lain waktu aja yah? Springbed Dika kecil banget soalnya."

"Nah... trus... koq, ngajak Sherly ke Bogor?"

"Iya... Sherly tetep ikut Dika ke Bogor, tar nginep di Bogor, tapi di rumah Mbak Anna ya? Tar sekalian Dika kenalin ama kakak Dika, suami ama ponakan Dika."

"Oh... gitu... iya deh... tapi Dika ikutan kan?"

"He em... tar Dika dongengin sampai Bu Dokter terlelap kayak kemarin."

"Yeee... norak tau... kenapa mesti pulang sih kemarin? Kan Dika tinggal tidur aja. Mana pakai nyelimutin Sherly juga. Ngunciin Sherly juga."

"Hihi... kan Dika udah bilang, kaga nginep di pondokan Sherly. Lain waktu aja yah?"

"He em... berarti Sherly pesen makan dulu aja ya?"

"Makan di sini aja, sekalian nemenin Dika. Nambah satu lagi juga boleh. Ama teh anget manis yah?"

"Apalagi, Tuan Besar?"

"Tuh kan... kaga tulus lagi kan... udah Dika pesen sendiri aja kalo gitu."

"Iya... iya... iya... maaf... becanda, Dika... biar ngga tegang."

"Hahahaha... sekalian nutupin senengnya Sherly kan?"

"Tau aja... Nasinya nambah ama teh manis?"

"Yuuup... makasih ya, Sher... kaga usah pake sambel. Kepedesan ini."

Akhirnya aku bisa tertawa lepas melihat Dika yang kepedesan. Mukanya merah. Keringat bercucuran. Dika lari ke dapur, mengambil air putih dan langsung meminumnya. Mang Ujang bahkan turut tertawa.

"Makanya, jangan main serobot punya orang juga."

"Starving akut, Mang... harap maklum aja."

"Jadinya gimana nih? Nambah satu atau dua?"

"Dua sekalian aja, Mang. Dika buat minum sendiri ya? Pedes banget ini..."

"Hahahaha... kena batunya kau."

"Hihihi... Syukurin... Itu akibatnya kalau main serobot." timpalku.

"Kalau menyerobot hatinya Bu Dokter... boleh kaga?" sahut Dika.

"Hahahahahaha..." Mang Ujang tertawa lepas. "Dika mau dilawan... Susah, Neng... bukan level kita."

"Apaan sih?" protesku dengan muka bersemi.

"Tuh... Pipi Bu Dokter jadi pink kan... aduuuh... tambah cakep aja, Mang... kalau bersemi kayak gitu... Lelaki mana yang akan sanggup coba? Lelaki mana yang kaga akan luluh benaknya coba?"

"Tuh kan... Dika merayu Sherly kan?" protesku.

"Enggak... Dika cuma bicara fakta. Tanya aja ama Mang Ujang. Boong besar kalau Mang Ujang bilang Sherly kaga cakep, iya kan, Mang?"

"Jadi pengin jadiin istri muda Mamang kan?" sahut Mang Ujang semakin menyudutkan diriku.

"Hahahaha...." Dika tertawa lepas.

"Yeee... Mang Ujang malah sekongkol... Dika norak tau!"

"E-eh... kaga boleh marah... tar luntur loh... cakepnya..."

"Biarin!"

"Tuh kan... tambah pink kan kalau malu gitu?"

"Dika!!! Udah!!! Sherly marah beneran nih..."

"Hihihi... iya, maaf... Dika cuma bicara jujur aja koq. Coba Mang Ujang berani bilang, mesti kalimatnya sama. Bahkan kalau Mang Ujang malah ditambah-tambahi, mau jadiin Bu Dokter istri keduanya pemilik warung makan. Keren kan? Hahahaha..."

"Wah, kalau ini norak beneran. Jangan bawa-bawa orang tua dong."

"Hahahaha..." Kami tertawa juga pada akhirnya.

Setelah selesai makan, Dika langsung berdiri dan membayar serta memesan lagi empat bungkus untuk dibawa pulang.

"Koq... masih bawa pulang?"

"Iya sekalian buat yang di rumah."

"Oh... kirain mau Dika habisin sendiri."

"Hahahaha..."

Dika kembali menarik lenganku dan segera mengantarku pulang.

"Mang, Dika nganter Bu Dokter dulu, tar langsung Dika ambil ya sekalian pulang."

"Siap... yang kaga pake sambel cuma satu kan?"

Dika hanya mengangguk dan langsung mengantarku pulang.

"Gimana tadi ceritanya, koq lama banget?"

"Itu dia. Dika udah bilang kalau minta yang warna hitam. Eh, malah dikasih yang Putih. Agak ribet juga tadi urusannya."

"Tapi lebih besar ini daripada yang di rumah ya?"

"Lebih irit juga bahan bakarnya. Box-nya emang sengaja pilih yang ekstra. Ada tambahan lima centimeter di kiri dan kanan, tapi pengaruh daya muatnya banyak banget."

"Masak sih?"

"Liat aja tar di rumah. Sher... tar Dika tidur dulu sampai jam delapan ya? Mesti istirahat dulu bentar ini. Dika capek banget."

"Iya... eh, trus Sherly ngapain? Nungguin Dika tidur sampai terbangun?"

"Hihi... kan ada Mbak Anna tuh... kakak Dika... Sherly bisa ngobrol ama sesama wanita. Mas Seno juga ada. Kalau Mas Tanto mesti udah tidur jam segini. Tar tengah malam baru bangun."

"Kalau ponakan Dika?"

"Vania? Hihi... Sherly bakal dimusuhi Vania deh tar."

"Kenapa?"

"Karena Bu Dokter mau merebut bahagianya... hehe..."

"Hubungannya ama Sherly apaan?"

"Hahahaha... liat aja tar... kalau Dika main ke rumahnya, anak itu mesti minta dipeluk-peluk dulu sampai bisa tertidur. Nah, kalau Nia sampai tau Dika bakalan peluk-peluk Sherly, pastilah akan marah besar dan cemburu berat nantinya."

"Hahahahaha...."

"Beneran... liat aja tar..."

"Hihi... emang Dika beneran mau peluk Sherly?"

"Iyalah... tapi kalau Sherly ngijinin."

"Kalau tidak?"

"Ya Dika tinggal temenin Sherly aja sampai tertidur kayak kemarin. Gampang kan?"

"Semudah itu?"

"Iya... semudah itu. Baiknya juga emang cuma gitu."

"Hihi..."

"Kenapa?"

"Enggak... keren aja... Makasih ya, Dik... udah ngijinin Sherly ikut ke Bogor."

"He em... yang terpenting, Sherly bahagia..."

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Dika benar-benar ajaib. Bahkan untuk urusan kebebasan seperti ini sekalipun, Dika menanggapinya dengan begitu santai. Sikap bebasnya memang terbilang norak, namun tetap santun. Tak ada rasa takut sedikitpun dalam tiap tawaran maupun pintanya. Bahkan Dika memintaku untuk tidak mudah marah dengan hal-hal kecil, Dika juga selalu tulus meminta maaf ketika merasa bersalah. Dika menyanjungku hingga satu titik yang terkadang membuatku seolah lupa untuk kembali menjejak bumi. Dika begitu lugas, bicara apa adanya, terkadang penuh sayap, hingga butuh energi ekstra sekedar untuk memahaminya. Seperti itulah Dika, lelaki ajaib yang baru kukenal beberapa hari ini.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah. Seorang lelaki sedikit diatas usia Dika tampak membuka gerbang. Dika tidak memasukkan mobilnya, namun justru memarkirnya di bahu jalan. Dika segera memperkenalkan diriku kepada Mas Seno, kakak iparnya. Berikutnya Mbak Anna kakaknya turut keluar dan menyalamiku.

"Mas Tanto mana, Mbak?"

"Lagi nganter Nia beli es krim di depan."

Belum juga kami masuk ke rumah. Seorang gadis kecil berlari sambil berteriak dan langsung meloncat ke arah Dika. Vania, ponakan Dika yang lucu dan imut itu tak mau lepas dari gendongan Dika.

"Om Dika jahat. Berduaan mulu ama Bu Dokter. Nia jadi tidur sendirian kan?" celotehnya.

"Hahahahaha..." semua tertawa. Mas Tanto yang paling keras.

Setelah basa-basi sebentar, Mbak Anna mengajakku ke belakang. Dika langsung masuk.ke kamar dan tidur bersama ponakannya.

"Dika biar tidur dulu. Nanti jam delapan juga bangun."

"Iya, Mbak... tadi juga bilang gitu."

"Sherly mau tidur dimana? Di sini atau rumah Dika?"

"Gampang nanti, Mbak. Dika bilang, di sini aja katanya."

"He em... bed-nya kecil di sana. Tar tidur sini aja. Di kamar Nia. Bentar lagi paling dipindah Dika itu kalau sudah pules."

"Hihi... ngga mau lepas sama Om-nya ya, Mbak?"

"Biasanya tiap hari juga kan sama Dika, kadang sama Pak Dhe-nya."

"Pantes aja. Lengket banget."

"Dika tuh yang norak, diajari macem-macem tiap hari. Kadang diceritain soal Sherly juga."

"Oh ya?"

"Iya... Norak banget kan? Tapi itu ngga penting. Sherly bahagia kan?"

"Maksudnya, Mbak?"

"Dika bahagiain Sherly kan?"

"Hihi... iya, Mbak... damai banget rasanya kalau ada Dika."

"Sherly ngga dibentak, ngga dimarahi Dika kan?"

"Enggak pernah, Mbak."

"Baguslah. Anak itu selalu istimewa soal memperlakukan wanita."

"Sherly gagal paham ini, Mbak?"

"Iya, pastinya. Sherly baru kenal Dika seujung kuku. Kelak kalau sudah paham beneran, Sherly pasti ngga akan bisa berkata-kata. Dika itu norak ama jail banget. Sejak kecil itu. Bawaan orok. Dika juga punya masa lalu yang pastinya Sherly tidak pengin tau. Kalaupun sekarang Dika bangkit, pasti ada sesuatu yang menggerakkannya. Pastilah itu kamu, Sherly. Jangan kaget. Dika itu istimewa, tak seperti laki-laki pada umumnya."

"Hihi... iya, Mbak. Sherly sampai ngga habis pikir. Kami baru beberapa hari kenal. Tapi rasanya kosong banget saat ngga ada Dika. Ini tadi seharian Dika ngga menghubungi Sherly, rasanya sebel banget, bad mood, serba males, mau ngapa-ngapain juga males."

"Tapi Sherly ngga bisa marah sama Dika kan?"

"Iya... koq tau, Mbak?"

"Trus Sherly pasrah aja kan... ngikutin semua pintanya kan?"

"Ajaib... koq... Mbak Anna tau? Kan baru hari ini kita ketemu?"

"Pasrah tapi tidak takut sama sekali kan? Penginnya ama Dika terus, pengin dipeluk juga kan?"

"Ajaib...."

"Dika yang ajaib, Sherly... seperti itulah Dika memperlakukan gadis yang dipilihnya."

Percakapan sempat terhenti saat Mbak Anna mengajakku pindah ke depan sambil membawa minuman. Kami duduk di teras sementara Mas Tanto membongkar muatan dari mobil box baru Dika ke mobil lama.

"Itu Dika ngga bantuin bongkar tissue, Mbak?"

"Udah biarin aja. Kerjaan laki-laki itu. Tar juga Dika pasti mengecek ulang. Dika biar istirahat. Anak itu punya penyakit susah tidur. Makanya, tidak ada yang berani ganggu kalau Dika bisa tidur."

"Jam delapan pasti bangun kan?"

"Iya. Trus mesti chatingan ama Sherly sampai tengah malam kan?"

"Hihi... iya, Mbak... ada aja topiknya."

"Trus Sherly penginnya di dekat Dika terus kan?"

"Hahahaha... iya... ini tadi juga gitu, Mbak. Rasanya udah sebel banget. Pengin marah-marah... eh, malah kemakan omongannya, malah nurut aja ke Bogor."

"Iya... santai saja. Dika itu betul-betul istimewa. Buktiin aja sendiri. Dika ngga akan macem-macem dengan gadis yang dipilihnya."

"Maksudnya, Mbak?"

"Dika tidak akan nakalin Sherly kecuali Sherly yang minta. Dika ngga bakalan peluk Sherly kecuali Sherly berani bilang minta dipeluk. Seperti itulah Dika mengasihi gadisnya. Perlu Sherly tau aja, ngga mudah bagi Dika sekedar untuk menyayangi gadis yang dipilihnya. Kelak Sherly akan paham. Dika ngga mudah jatuh cinta sekalipun hidupnya selalu dikelilingi wanita."

"Itu dia, Mbak... Sherly suka bingung sendiri."

"Hahahaha... ngga kaget. Seperti itulah cara Dika mengasihi Sherly."

"Maksudnya?"

"Hihi... sudahlah... kelak Sherly akan paham semua yang kita bicarakan ini. Sherly tenang aja. Kami semua mendukung Dika koq. Sherly tau sendiri kan, baru di awal aja, semangat hidupnya langsung menyala seperti itu. Langsung berani ambil keputusan-keputusan besar dalam hidupnya, dalam usahanya. Dika berani ambil mobil lagi, nambah sales lagi. Semangat seperti ini yang sudah lama kami nanti. Hidup Dika terlalu redup. Padahal kami tau, Dika bisa lebih dari semua itu. Beberapa hari ini semua jadi terbolak-balik."

"Itu juga yang Sherly rasain, Mbak... Sherly bingung sendiri. Bahkan mau cerita aja ngga tau mau mulai dari mana."

"Seperti itulah ajaibnya Dika. Sherly akan lebih bahagia lagi ke depan nantinya."

"Amien."

"Perlu Sherly ketahui juga, di dunia ini, tak ada yang ditakuti Dika kecuali Bapak. Dika hanya tunduk sama Bapak di rumah. Dika punya sisi gelap yang ingin dilepasnya. Hanya cinta yang bisa melepaskan semua itu. Dika tidak ingin menjadi Dika yang dulu. Dika udah janji di depan Bapak dan Bunda di rumah. Dika akan menjadi Dika lama dengan kemasan baru, pakaian baru dan hidup baru tentunya. Hanya cinta yang bisa mewujudkan semua impiannya itu."

"Keren..."

"Akan lebih keren lagi kalau Sherly bisa membantu Dika mewujudkan semua itu."

"Hihi... semoga, Mbak."

"Iya... Sherly akan butuh waktu yang lama sekedar untuk memahami semua ini. Tapi Dika akan selalu berusaha dengan keras untuk mewujudkannya."

"Agak bingung ini, Mbak..."

"Pastilah... kelak Sherly akan paham dengan semua ini. Biar waktu yang bicara. Kami mendukung Dika sepenuhnya. Apapun yang Dika putuskan, siapapun yang Dika pilih, kami mendukung sepenuhnya. Dan jika Sherly bener-bener menjadi pilihan Dika, bersyukurlah Sherly untuk satu hal itu. Dika yang ajaib akan mengubah hidup Sherly, jauh lebih baik tentunya."

"Iya, Mbak... semoga demikian adanya."

"Yang penting Sherly percaya aja sama Dika. Jangan pernah meragukan Dika. Ucapannya adalah janjinya. Dika tak pernah mengingkari janjinya sendiri. Seperti itulah Dika. Jangan takut dengan perangai Dika yang kadang noraknya ngga ketulungan, Dika punya cara sendiri untuk membahagiakan gadis pilihannya."

"Keren..."

"Semua itu pekerti atas masa lalunya yang pilu, Sherly. Mungkin Sherly tidak akan sanggup sekedar mendengarnya. Biarlah yang sudah berlalu seperti itu. Lihatlah Dika yang sekarang dan keajaiban yang akan dibuatnya ke depan nantinya."

"Iya, Mbak..."

"Satu lagi, Sherly... jangan pernah buat Dika marah. Hanya Bapak yang bisa meredam amarah Dika, sementara Bapak ada di rumah. Tak mungkin setiap saat ada buat Dika. Tapi Sherly jangan takut juga. Dika tidak bakalan pernah memarahi wanita, apalagi pilihannya."

"Iya, Mbak... Makasih atas masukannya."

"He em... kami semua menyayangi Dika. Oleh karenanya, kami mendukung apapun keputusan Dika."

"Makasih, Mbak..."

"Sherly tunggu aja keajaiban-keajaiban Dika selanjutnya. Udah jam delapan, bentar lagi Dika bangun. Tar Sherly tidur di kamar Nia ya? Cukup buat kalian berdua."

"Hihi... iya, Mbak... Sherly nurut ama Dika aja."

Ada perasaan penuh suka dalam pepatnya Sang Waktu setelah berbincang dengan Mbak Anna, kakak kandung Dika. Banyak informasi yang kudapat. Aku merasa semakin tenang dan nyaman saat hanya bersama Dika, lelaki ajaib yang mengaduk-aduk benakku beberapa hari ini.

Dika terbangun tepat pukul delapan. Minun cappuccino dan memintaku untuk istirahat sementara Dika membereskan tagihan bersama Mas Tanto. Di dalam kamar, aku sempat termenung memahami semua yang terjadi. Tentang penuturan Mas Tanto, Mang Ujang, terutama penuturan Mbak Anna tadi. Seistimewa itukah Dika?

Kutepis segala tanya tanpa jawab dalam kepalaku dengan melihat-lihat seisi kamar Vania.

"Ini kamar anak kecil atau kamar Dika? Norak abis!" gumamku.

Pada salah satu sudut ada meja belajar anak, lengkap dengan buku-buku cerita, bahkan sebagian berbahasa Inggris. Lalu pada dinding lainnya, dipenuhi dengan coretan anak kecil yang dipenuhi dengan aneka cerita.

'Papa, Nia dan Mama... Papa, Mama, Nia dan Pak Dhe Tanto... Papa, Mama, Nia dan Om Dika'

Seterusnya tulisan tangan Nia tentang kesehariannya.

Lamunanku dikejutkan oleh Dika yang masuk dan langsung rebah di tempat tidur.

"Kaga bisa tidur ya? Takut ya? Aneh ya?" tuturnya.

"Hihi... udah kelar kerjaannya?" sahutku.

"Gampang itu. Nanti Dika bereskan sendiri bisa. Itu tadi karena Mas Tanto besok berangkat subuh. Dika bantu muat sekalian."

"Kenapa ngga diselesiin sekalian? Kan bisa langsung istirahat."

"Iya... trus kalo kepala Sherly meledak, siapa yang tanggung jawab?"

"Iya nih... bantu Sherly memahami semua ini dong, Dik?"

"Hihi... kaga penting itu. Dika tanya dulu, Sherly seneng kaga sekarang ini?"

"Kalau Sherly sedih, Sherly akan minta Mas Tanto buat nganter pulang... hehe..."

"Hihi... iya... trus... Sherly merasa takut kaga?"

"Enggak tuh? Koq bisa ya?"

"Satu lagi, yang terakhir... Sherly nyaman kaga saat ini?"

"Nyaman-nyaman aja tuh?"

"Siippp... udah, sekarang Bu Dokter istirahat... Dika temenin sampai terlelap kayak kemarin. Boleh Dika tidur di sini? Deket Sherly?"

"Iya... temenin Sherly sampai tertidur yah?"

"He em... Dika di sini. Kaga jauh dari senyum manis Sherly."

"Tuh kan... mulai kan..."

"Hihi... abisnya... Sherly terlalu manis kalau malu kayak gini."

"Udah dong, Dik... tar kepala Sherly mekar beneran loh..."

"Iya... Sherly tau kaga, ada dua kemungkinan tiap kali laki-laki dan perempuan berada seranjang seperti kita saat ini."

"Nyimak."

"Sebenarnya panjang uraiannya, Dika ringkas ya?"

"He em... Dika sambil tiduran sini dong... Sherly capek kalau mesti mendongak gini."

"Hihi... iya... maaf ya, Dika tiduran deket Sherly."

"Iya."

Ada jeda sesaat sebelum Dika melanjutkan ceritanya. Dika menyibak poni rambutnya, memandangku dengan penuh senyum, sedang diriku pasrah menunggu tuturannya.

"Ketika laki-laki dan perempuan seranjang, ada dua pilihan, apakah akan saling menjaga jarak dengan guling memisahkan seperti kita saat ini... atau justru melewatinya dan membiarkan segala sesuatu mengalir seturut logika irrasionalnya."

"Hihi..."

"Yeee... malah ketawa."

"Trus... lanjutannya?"

"Menurut Sherly, apa yang akan terjadi ketika memilih yang pertama?"

"Galau, gusar, resah dan justru ngga akan bisa tidur."

"Yuuup... kalau yang kedua?"

"Nafsu, tak masuk akal, menyesal."

"Hahahaha... keren diksinya. Trus... kalau itu yang akan terjadi pada kita malam ini, Sherly pilih yang mana?"

"Tuh kan... Dika jebak Sherly kan?"

"Hahahaha... kaga... Sherly jangan berpikiran yang negatif dong. Dika cuma tanya, bukan apa yang akan kita lakuin tar."

"Susah jawabnya. Kalau Dika pilih yang mana?"

"Kalau yang pertama, Dika akan nyesel banget malam ini. Sengsara sampai pagi. Kalau yang kedua... Sherly pasti akan bahagia banget malam ini, tapi nyesel selamanya."

"Hahahaha... Anak kecil juga tahu itu, Dika. Trus Dika pilih yang mana?"

"Kalau Dika disuruh memilih, Dika akan pilih yang kedua. Dika akan ambil guling ini, melemparnya ke lantai bilamana perlu, teus Dika akan peluk Sherly sampai bisa tertidur."

"Dika norak banget deh..."

"Kaga percaya kan?"

"Iyalah... laki-laki mana yang akan sanggup coba?"

"Laki-laki yang ada di hadapan Sherly ini... hihi... udah, Sherly tenang aja. Boleh Dika peluk Sherly bentar? Dengerin detak jantung Dika kalau kaga percaya. Kalau sampai detak jantung ini meningkat, Sherly boleh melepas Dika. Tapi kalau Dika bisa tetap tenang, Sherly boleh peluk Dika sampai tertidur."

"Janji loh ya?"

"He em... Dika bicara sekali. Kaga akan mengulang."

Ajaib. Dika dengan santainya memelukku, membelai rambutku, dan membiarkanku mendengar detak jantungnya. Benar sekali, Dika begitu tenang. Jemarinya terus saja membelai rambutku. Bahkan sempat kulihat, Dika tak memejamkan bola matanya. Kulihat kedamaian lewat sorot matanya. Dika begitu tulus. Pintanya begitu sopan. Nyaman sekali aku dibuatnya. Perlahan aku dapat memejamkan kedua bola mataku seiring hembusan nafas Dika yang begitu teratur. Dika sudah hendak melepas pelukannya dan berdiri ketika alam setengah lelapku tersadar.

"Jangan lepas pelukannya dulu, Dika... sampai Sherly tertidur..."

"Iya... Sherly kaga usah takut. Tar Dika tidur di bawah."

"Enggak... Dika tidur disitu ngga apa-apa."

"Hihi... udah, Sherly istirahat... Dika temenin sampai tertidur."

Malam kian larut saat tidurku sampai pada lelapnya. Masih dapat kurasakan, Dika membelai rambutku sampai aku benar-benar terlelap. Damai sungguh rasanya.

...Seistimewa apakah laki-laki bernama Dika ini,

sampai-sampai aku takluk dan menuruti segala pintanya?...