Kalau ada satu keceriaan yang ingin kuabadikan, tentu adalah kerianganku sepagi ini. Entah kenapa langkahku terasa begitu ringan hari ini. Rasanya dunia turut bersuka seiring senyum yang kutebar pada siapapun yang kujumpai. Begitu tak biasanya sampai-sampai aku datang ke klinik sepagi ini. Ada sebuah semangat yang menggerakkan kaki-kakiku untuk segera mandi, sarapan dan langsung berangkat ke klinik.
Adalah pesan pendek dari seorang Dika, lelaki penjual tissue yang baru kukenal baik beberapa hari ini yang menjadikan duniaku terasa begitu penuh warna sepagi ini. Ya, tadi pagi Dika membangunkan lelap tidurku lewat pesan pendeknya. Dika hanya mengirim satu pesan, namun sudah cukup buatku untuk segera mandi dan turut menata hariku.
Dika cuma berpesan, "Bangun, mandi, ngaca dikit, trus tunggu di klinik ya? Hari ini ada kiriman ke Depok. Tar boleh mampir kan?"
Sengaja tak kubalas pesan itu sekedar untuk mengetahui kesungguhan niatnya. Ada saja kalimat dan tingkah kelakuannya. Semalam mendongeng nyaris sampai tengah malam. Kemudian pagi ini juga membangunkan lelap tidurku, mengajakku untuk kembali bertemu di klinik. Benak ini seperti telur dadar, digulung dan di bolak-balik semaunya, sekehendaknya. Ironi dari semua itu, aku justru merasa terhibur, merasa senang, walau hanya sekedar bercakap dengannya lewat pesan pendek.
Sesampainya di ruang kerjaku, tak satupun kujumpai rekan-rekanku. Kulihat jarum jam. Ternyata aku yang datang kepagian. Pantas saja tak kujumpai satu orang pun. Segera kuambil ponselku dan kubaca-baca lagi percakapan kami semalam. Ada tawa dalam tiap kalimat yang ditulisnya. Ada senyum dalam tiap diksi yang dipilihnya. Dika bukanlah seorang sales biasa. Dari beberapa tulisannya yang kubaca sejak kemarin, aku jadi tahu, ternyata Dika pernah kuliah, mengambil jurusan Bahasa Inggris, bahkan Dika juga pernah jadi guru. Kemudian memutuskan meninggalkan dunia pendidikan dan alih profesi jadi penjual tissue.
Aneh. Tidak salah semua ini? Hampir semua orang yang kukenal ingin sukses lewat profesi yang sesuai dengan gelar kesarjanaannya. Tapi tidak dengan Dika. Lelaki satu ini lebih memilih keluar masuk pasar, restoran hingga hotel sambil menawarkan tissue daripada mengabdi pada dunia pendidikan yang digeluti sebelumnya. Sudahlah, aku hanya merasa senang saja tiap kali mengobrol dengannya. Bahkan seringkali merasa begitu nyaman membaca tulisan-tulisan yang ditujukannya untukku lewat pesan-pesan pendek.
Lamunanku dikejutkan oleh Tasya, resepsionis klinik sekaligus sahabatku. yang sudah berdiri di ambang pintu. Tasya tampak terkejut mendapati diriku yang sudah datang sepagi itu. Segera diambilnya kursi dan duduk di depan mejaku.
"Mimpi apa semalam sampai sepagi ini udah ngantor?" tanyanya.
"Mimpi dibangunin seorang Pangeran." sahutku spontan.
"Hahahaha... Pangeran bertubuh gempal?" sindir Tasya.
"Enak aja."
"Hihi... sarapan yuk, mumpung masih cukup waktu?"
Tak kujawab namun segera berdiri dan kami pun langsung menuju kantin, memesan cappuccino dan memilih meja di dalam yang masih kosong.
"Semalem Axl telepon, nanyain Bu Dokter..."
"Oh ya? Jam berapa?" sahutku penuh kejut sebab sampai hampir tengah malam Dika chatingan bersamaku.
"Kaga penting itu. Pastinya, Axl nanyain Sherly. Bilang juga kalau hari ni mau mampir ke klinik."
"Kan... ngga ada orderan kemari?" lanjutku pura-pura tak peduli.
"Iya sih... makanya, Dokter Sherly yang ditanyain mulu. Naksir kali."
"Emang nanyain apa aja?"
"Kepooo... Banyak lah... udah kayak detektif aja semalam."
"Tasya ngga cerita macem-macem kan?" selidikku begitu ingin tahu.
"Ya kaga lah... cuma nanyain orang tua Sherly."
"Aneh... Kenapa Papa dan Mama yang ditanyain?"
"Tau... Mau melamar Sherly kali."
"Haha..." tawaku tertahan menutupi keterkejutanku.
"Tuh kan... merah kan pipinya?"
"Abisnya... aneh aja... Orang tanya-tanya tuh ya, biasanya kan... namanya siapa, umurnya berapa, rumahnya dimana, kesukaannya apa... seperti itulah."
"Hihi... Sherly tau kaga... Axl tu kaga cuma cakep, tapi jenius. Sebenernya kaga tanya-tanya gitu sih. Axl cuma menebak, apakah benar, Mama Sherly orang Jawa? Trus tanya juga, apakah Papa Sherly udah pensiun."
"Tambah aneh... Buat apa nanyain Papa ama Mama?"
"Ya mana Tasya tau... Tar tanya aja sendiri."
"Norak!"
Tak lama berselang, kami berdua dikejutkan oleh suara berisik di meja luar. Suara para perawat yang sedang tos-tosan saat Dika datang. Begitu akrabnya mereka sampai-sampai Dika diberi tempat duduk di tengah, kemudian tampak mendongeng kalau tak mau kuanggap merayu. Tasya yang penasaran dengan suara gelak tawa mereka segera ikut bergabung. Kubiarkan sementara aku lebih memilih untuk menikmati cappuccino sambil memperhatikan ulah Dika.
Jujur benakku memerah. Bagaimana bisa Dika kenal dengan para suster perawat itu? Sepertinya mereka telah lama akrab. Termasuk dengan Tasya. Sedang denganku, baru empat hari ini aku mengenal sosok seorang Dika yang ajaib.
Untuk sejenak tak kudengar lagi tawa dari para perawat. Rupanya mereka telah membubarkan diri. Namun tak kulihat Dika di antara mereka. Tasya sempat menghampiriku, buru-buru meminum cappuccinonya dan segera kembali ke meja kerjanya ketika mendapat panggilan. Dika masih belum kembali. Entah kenapa benakku jadi penuh tanya,
"Pergi kemana juga... Katanya pengin ketemu... ketemu apaan... malah sibuk melayani gadis-gadis lain. Sekarang malah pergi." sewotku hanya dalam hati.
Sejuta lima tanyaku dikejutkan oleh kehadiran Dika yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
"Tralaaa... ini buat Bu Dokter..." tuturnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan.
"Apaan nih?" tanyaku.
"Kalau pagi dibiasakan sarapan... biar lambungnya kaga kayak pelampung."
"Maksudnya?"
"Hihi... kalau perut kosong, tar lambungnya cuma dipenuhi gas... trus perutnya jadi kayak balon."
"Hahahaha... bisa aja... ini apaan?"
"Udah dinikmati aja... belum pesen sarapan kan?"
"Belum."
"Pas... sekarang sarapan bareng yuk? Dibuka satu aja. Satunya buat Neng Tasya... upeti buat jawaban semalem... hehe..."
"Yee... norak... pake tanya-tanya Tasya segala. Emang jam berapa ngebel Tasya? Kan semalam kita ngobrol sampai hampir tengah malam?"
"Hihi... kaga penting itu. Cuma memastikan aja... Dokter Sherly beneran ada darah keturunan Jawa kan?"
"Emang kenapa?"
"Enggak... cuma nebak aja... lagian udah keliatan juga. Anyway, udah lama meniti sepi ya?"
"Maksudnya?"
"Ya sepi... sendiri, mengurung diri, menggadaikan mimpi..."
"Apaan sih? Malah berpantun." protesku demi menutupi kebenaran penilaiannya.
"Hihi... maaf... kaga ada maksud. Cuma nebak doang."
"Kalau iya emang kenapa?" godaku.
"Yeee... jangan goda Dika dong... tar kaga bisa tidur lagi."
"Emang semalam enggak bisa tidur?"
"Gimana mau tidur? Di rumah sendirian, kebayang wajah Bidadari... udah gitu, gaung suaranya kayak memenuhi batok kepala ini."
"Hahahaha... norak... tapi seneng kan?" tanyaku penuh sayap.
"Akan lebih seneng lagi... kalau tar abis kerja, langsung ikutan Dika ke Bogor."
"Ngapain?"
"Hihi... makan martabak..."
"Hahahaha... jauh-jauh ke Bogor cuma buat makan martabak? Di sini juga ada." heranku.
"Ya lain atuh... martabak Air Mancur istimewa. Mamang penjual martabaknya keren. Kaga rugi deh sekali-sekali nyobain."
"Hihi...."
"Malah ketawa... Mau kaga? Kalau mau Dika tunggu nih..."
"Kalau ngga mau?"
"Ya Dika pulang... trus tidur..."
"Koq... malah tidur? Ngga ada kiriman hari ini?"
"Ada sih... tapi nunggu Mas Tanto, lagi ambil tissue di Bekasi."
"Trus... disini mau ngapain?"
"Pengin deketan aja ama Bu Dokter."
"Ya tapi kan..."
"Ssattt... Dika nunggu di sini koq... kaga di samping Bu Dokter... tar malah ganggu kalau ada pasien yang mau cabut gigi."
"Hihi... trus di sini mau ngapain?"
"Ya nunggu sampai Bu Dokter pulang. Biar deket aja. Kalau kaga ada pasien, kan Dika bisa main ke ruang Bu Dokter."
"Hihi... biasanya sih banyak pasien kalau masih pagi gini. Tar jam sebelas baru agak longgar."
"Ya kaga jadi soal. Makanya Dika nunggu di sini aja. Tar kalau kaga ada pasien kan bisa sambil chatingan... hehe..."
"Modus!!!"
"Oh... ya udah... Dika pulang aja kalau gitu."
"Iya... iya... iya... maaf, becanda tadi."
"Hihi... gitu dong... tar Dika hibur Bu Dokter deh kalau sepi kerjaan."
"Iya deh... ini roti apaan? Koq kecil-kecil?"
"Orang Bogor bilang, namanya roti Unyil. Tapi kalau boleh kuganti, lebih tepat roti mungil. Sepotong gini, pas masuk ke mulut semua. Cobain deh... akkk..."
Dika mengambil sepotong roti dan menyuapiku. Dengan tanpa beban Dika justru hanya melihatku menikmati sepotong roti pemberiannya. Anehnya, seperti tersihir, aku bahkan hanya menurut saja ketika Dika mengambil tissue dan membersihkan mulutku.
"Enak... apa tadi namanya?"
"Roti Mungil."
"Mungil atau Unyil?"
"Sama aja... kaga penting itu. Yang terpenting... Dokter Sherly bisa sarapan. Jadi Dika kaga takut Dokter Sherly pingsan hari ini gara-gara mikirin Dika."
"Koq tahu?" benakku terkejut.
"Hihi... itu juga kaga penting... yang lebih penting lagi... Dokter Sherly seneng kan... pagi ini?"
"Gimana ya... Pagi-pagi udah dibangunin pake puisi indah... trus dikejutkan ama suapan roti mungil..."
"Eh... ini Dika kaga menyuap Bu Dokter lho..."
"Iya... maksudnya bukan menyogok... tapi menyuapi makanan..."
"Hahahaha... iya... yang penting Dokter Sherly bisa sarapan... trus seneng juga."
"Hihi... iya... makasih ya, Dik... udah perhatian ama Sherly..."
"Sama-sama... Dika nunggu di sini aja yah? Sambil buat laporan."
"He em... tar Sherly beritahu kalau ngga ada pasien."
"Kaga usah... Dika seneng koq... kalau Dokter Sherly jadi seneng."
Sekali lagi benar kata Dika. Satu hari itu menjadi begitu ringan kulalui. Di sela jam kerjaku, saat pasien sedang kosong, kukirimi Dika beberapa pesan yang langsung dibalasnya. Ada saja kalimat-kalimatnya. Hampir semua tebakan Dika perihal diriku adalah benar adanya. Benakku merasa tersanjung. Belum pernah seumur-umur ada laki-laki yang bisa membuatku tertawa lepas seperti cara Dika menghiburku. Lugas, namun tepat sasaran. Norak, namun benar adanya.
Pukul sebelas kuhampiri Dika di kantin. Ingin sungguh rasanya tertawa demi melihat kelakuan Dika yang menggelar nota-nota penjualan di atas dua meja. Rupanya sedang diurutkan. Aku tak langsung menghampiri namun memesan dua gelas cappuccino dulu. Dika tersenyum ketika kuhampiri.
"Bentar-bentar... cuma mengurutkan tanggal koq..."
"Udah... diselesiin dulu..."
"Hihi... gampang ini... nanti bisa dilanjutkan di rumah."
"Jadinya gimana nih? Mau nunggu beneran sampai Sherly pulang?"
"Boleh kan? Kalau kaga boleh, ya Dika pindah ke Mang Ujang aja."
"Hihi... siapa juga yang melarang?"
"Ya udah... ini bisa dilanjutkan nanti."
"Trus... mau ngapain tar di Bogor?" tanyaku penuh sayap.
"Hihi... bukannya Dokter Sherly masih pengin nanya-nanya?"
Aku terkejut dengan jawaban santai Dika. Sejujurnya, benakku memang menginginkan bersama Dika daripada mesti chatingan lewat ponsel. Ironisnya, Dika seolah tahu keinginanku. Kali ini aku akan jujur saja sambil melihat reaksi Dika berikutnya.
"Iya sih... boleh kan? Dika curang... Dika banyak tahu tentang Sherly, tapi sebaliknya, Sherly cuma tahu dikit tentang Dika."
"Hihi... makanya... tar ikutan main ke Bogor. Daripada cuma dipendam, mendingan lihat dan tanyain langsung aja, buktiin aja sendiri, biar semua lega...hehe..."
"Tapi ngga apa-apa kan, ikutan main ke rumah Dika? Ngga ganggu kerjaan kan?"
"Hahahaha... Buat Bidadari secantik Bu Dokter... kerjaan bisa nomor kelima deh..."
"Maksudnya?"
"Iya... Nomor lima... Yang pertama dan utama adalah bahagiain Sherly, terus menghibur Sherly, trus makan bareng Sherly, gitu..."
"Nomor empatnya?"
"Hihi... nomor empatnya tertawa bareng Sherly... hahahaha..."
"Dika bisa aja..."
"Yeee... beneran... rasanya damai banget bisa membuat Bu Dokter tersenyum. Jarang kan Dika lihat Dokter Sherly tersenyum di klinik? Biasanya cuma diem aja... kayak tegang dengan kerjaan."
"Hihi... iya sih... maklum aja... masih baru di sini."
"Boong... Dokter Sherly minder kan ama dokter-dokter yang lain di sini?"
Aku terperanjat. Dika betul-betul cermat menilaiku. Semua yang dikatakannya benar adanya. Aku menyerah dan mengajak Dika makan siang bersama.
"Koq, Mpok Watik ngga mau dibayar ya, Dik?"
"Hihi... deposito Dika masih banyak di kantin."
"Emang Mpok Watik terima deposit?"
"Hahahaha... ya kaga... kan uang tissue belum bayar tuh... tinggal potong aja kalau Dika makan atau minum di kantin."
"Tapi kan yang beli Sherly?"
"Dokter Sherly beliin siapa?"
"Dika..."
"Berarti yang bayar Dika. Mpok Watik udah tau itu."
"Ya tapi..."
"Udahlah... Males bahas kayak ginian... Nurut aja... lain waktu Dika jelasin."
"Iya deh... makasih ya, Dik..."
"He em... Tapi jangan sekarang ya... minta dijelasinnya... ceritanya panjang soalnya."
"Iya... Eh, tar ke Bogornya pake mobil Sherly aja ya? Takut ujan kayak kemarin."
"Berarti abis ni Dika nitip motor dulu aja ke Mang Ujang."
"Ngga usah. Ditinggal di klinik aja. Aman juga. Tar Sherly yang bilang ama satpam deh. Trus Dika jangan kemana-mana. Abis ni Sherly langsung pulang koq."
"Iya deh... yang penting Dokter Sherly senang."
"Panggil Sherly aja kenapa sih, Dik?"
"Hahahaha... Kalau kaga di klinik ga masalah. Ini kan tempat kerja Sherly. Tar dikiranya Dika cuma ngobrol ama resepsionis..."
"Hahahaha... suka-suka Dika aja deh... tapi ni Sherly ngga lagi ngobrol ama tukang panggul kan?"
"Sssttt... ama Pangeran dari Negeri Sebrang..."
"Hahahaha..."
Siang itupun kembali menjadi penuh semangat. Dika menepati janjinya. Bahkan seharian Dika menungguku dan mengesampingkan pekerjaannya. Setelah jam pulang klinik, kami langsung pulang ke pondokanku sebentar untuk ganti baju dan langsung berangkat ke Bogor.
...Kalaupun ada satu kisah lagi yang ingin kukenang,
itu adalah saat Dika membuatku tertawa lepas pada sebuah siang,
hingga petang menjelang...