Chapter 7 - Menghindar

"Menghindar tidak membuatmu terlepas dari semua masalah."

-Bima Johannes-

_______________________________________________________________________

Rere terlihat kebingungan saat menghampiri Rio dan Dido yang sedang duduk bersandar di depan pintu perlengkapan seraya memainkan ponsel mereka, tapi Rere sangat yakin jika mereka sedang bermain game online yang sama karena jelas sekali dari perbincangan itu.

Namun bagaimana tidak merasa bingung jika melihat temannya berada di tempat ini berduaan? Rere tahu mereka memanga bersahabat tapi kalau di mana saja dan kapan saja mereka selalu bersama, orang awam pasti mengira mereka pacaran. Kan tidak lucu, sangat tidak lucu.

Rio Dido, Dido Rio. Seperti tidak ada habisnya melihat mereka yang terus bersama. Mungkin persahabatan seperti ini yang banyak orang lain inginkan. Tapi, ini tampak aneh bagi Rere pasalnya pria sering bersama di berbagai keadaan dan berbagai tempat. Tapi untunglah, dia sudah terbiasa karena sekelas dengan Rio dan Dido hampir tiga tahun ini. Yah, dia sangat berharap suatu hari nanti Rere tidak menyukai salah satu dari mereka ataupun sebaliknya.

Tapi mungkin Rere lupa jika semesta bermain dengan semestinya.

Harapan akan hanya menjadi harapan jika semesta sudah berkehendak.

"Bisa tidak duduknya kalian tak terlalu berdemper seperti itu?" sindir Rere yang baru saja sampai di dekat dua pria tadi.

Dido mendongakkan wajahnya lalu berdecak ketika melihat gadis berponi yang berbicara tadi adalah seorang Rere, "Datang-datang merusak suasana saja kau! Pantes jomblo selalu..." balasnya kemudian.

Rere memutar bola matanya, sebal karena percuma saja memberitahu pria-pria itu, mereka akan terus berdempel.

"Kalian berdua tahu ke mana Senja pergi? Dia tak kunjung kembali ke kelas sedaritadi, padahal sudah ku tunggu tapi seakan menghilang karena dia tak membawa ponselnya." tanyanya.

Rio dan Dido langsung saling bertatap, mengingat bahwa Senja sedang mereka kunci bersama Sena di dalam ruang perlengkapan di belakang tubuh mereka. Alhasil Dido terkekeh dengan ragu untuk menutupi kebodohan mereka.

"Bagaimana nih?" bisik Dido yang sudah berkeringat dingin pada Rio.

"Eh! Aku barusan bertanya, kenapa kalian justru saling berbalas lirikan? Itu membuatku curiga." lanjut Rere mulai kesal.

Terdengar hentakan sepatu mengarah ke arah mereka dan memperlihatkan sosok Sena yang langsung membungkuk mengatur napas setelah berlari.

Dido terbelalak, "Lah kenapa kau di sini?" tanya Dido tak percaya lalu beranjak dari duduknya. Karena dia yakin sekali Sena sudah masuk bersama Senja tadi.

"Aku pergi ke toilet sebelumnya. Di mana Senja?"

Rio yang masih fokus dengan ponselnya pun berdiri lalu mengarahkan dagunya ke ruang perlengkapan dengan cueknya.

Rere memahami maksud Rio, "Kau mau apakan Senja, Ha?!" bentaknya pada Sena.

Dia segera menerobos tubuh pria-pria itu lalu membuka kunci dan pintu ruangan pun terbuka.

Tubuh Senja ada di baliknya. Namun keempat orang itu sangat terkejut ketika Bima berdiri tepat di belakang gadis yang saat itu terlihat menundukkan

Senja segera melangkahkan kaki tanpa sepatah kata. Melewati orang-orang yang terdiam melihat Senja dan Bima dalam satu ruangan yang sama. Rere pun sempat bingung lalu mengekor ke mana saja arah kaki Senja membawa mereka.

Bima mengela napasnya ketika menyadari Senja berubah karena kejadian tadi, seharusnya dia tidak menaruh bola di rak itu, seharusnya dia tidak menatap mata Senja, dengan begitu mungkin hal tadi tidak akan terjadi. Namun nasi sudah menjadi bubur, apapun yang terjadi sebelumnya adalah ketidaksengajaan.

Namun dia takut kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi antaranya dengan Senja, maupun antaranya dengan kerja magangnya di SMK Bangsa ini.

Bima menggigit bibir bawahnya sebentar lalu berpaling ke arah Sena, Rio dan Dido dengan tatapan ingin membunuh.

"Kalian lagi..." ucapnya menggantung.

Pria itu menarik telinga ketiga muridnya satu persatu,

"...ikut Bapak ke kantor guru! Sekarang!" lanjutnya dengan tegas.

=====

Bel jam istirahat berbunyi, beberapa siswa berhamburan keluar kelas untuk mengisi perut mereka. Hari ini memang bebas karena adanya kegiatan kerja bakti, tapi mereka harus tetap mengikuti jam pulang sekolah meskipun semua pelajaran dikosongkan.

Hal itu membuat setiap kelas ramai bukan main, tak terkecuali dengan kelas XII Farmasi 1, kelas Senja. Mulai dari dia masuk sampai dia bangun dari tidurnya, kelas itu masih terdengar kacau bak pasar tradisional. Ya.. kalian pasti tau bagaimana kondisi kelas saat jam kosong.

Senja yang mulanya menenggelamkan wajah dalam lipatan tangannya, kini mendongak seraya menghela napas sangat panjang, mencoba menghilangkan rasa kesalnya karena Bima. Ah, Bima lagi, batinnya.

Rere terus melihat gelagat aneh dari temannya, dia curiga ada apa-apa antara Senja dan Bima di tempat tadi. Tapi tidak ada gunanya kan kalau hanya menduga-duga?

"Kau kenapa?" tanya Alex yang mendadak muncul di hadapan Senja.

Rere bersyukur Alex datang di waktu yang tepat, dia menanyakan apa yang Rere ingin tanyakan.

"Ada masalah?" lanjut Rere pada gadis itu.

Senja menatap Alex dan Rere dengan tatapan lelah secara bergantian. Rasanya tidak mungkin kalau dia menceritakan kejadian itu, mengingat bahwa Bima adalah guru bahkan wali kelas Rere dan Senja sendiri. Pikirannya tiba-tiba merumit dengan sendirinya.

"Aku ke toilet sebentar." alihnya lalu beranjak dari bangkunya, dia pun berjalan keluar dari kelas.

Gadis itu masih sibuk dengan pemikirannya, kakinya pun terus bergerak melewati lorong dan dia juga tidak peduli dengan orang-orang yang menyapanya. Masalah keluarganya, masalah kuliahnya kedepan, masalah ujian praktik kejuruan sampai ujian nasional yang akan dia hadapi, sekarang ditambah masalahnya dengan Bima? Rasanya Senja ingin berteriak keras saat ini juga.

Tapi, apakah dengan berteriak dapat menghilangkan sedikit bebannya? Apakah dengan orang-orang yang mengetahui bahwa dia banyak masalah dapat sedikit membantunya? Senja pikir itu akan percuma, jadi dia akan tetap begini, menjadi Senja yang terlihat masa bodoh dengan apapun.

Iris mata Senja sedikit bergetar saat Bima terlihat berjalan melewati lorong ini juga, perlahan semakin dekat jarak antara mereka, hingga mereka berpapasan, Senja memilih untuk memalingkan sorot matanya ke arah lain, berharap Bima tidak mengungkit hal mengesalkan sekaligus memalukan itu.

Kaki Bima berhenti, dia pun membalikkan badannya. "Senja!" panggilnya.

Namun gadis yang ia panggil tidak menggubris bahkan terlihat buru-buru masuk ke dalam toilet.

Bima kembali terdiam.

Kejadian itu sebuah kecelakaan tapi jelas sekali Senja berusaha menjauhkan diri darinya. Jujur saja Bima sedih akan hal ini.

=====

Senja mengepalkan tangan dengan sangat erat, dia sudah lama menatap pantulan dirinya di cermin lebar di dalam toilet ini.

Perlahan dia mulai menghidupkan kran di wastafel lalu meraih air itu dengan telapak tangan dan mulai mengusap-usap bibirnya.

Ciuman pertamanya sudah diambil Bima, seorang guru yang sejak awal berhasil mengusik kehidupan Senja.

Tidak puas dengan hanya membersihkan bibirnya, Senja pun membilas wajahnya beberapa kali, dia ingin melupakan tatapan dan ciuman Bima beberapa saat yang lalu.