Chapter 13 - Rahasia Bima

"Bahkan sayap mimpi seseorang sangat mudah patah dan parahnya keluarga sendirilah yang berusaha mematahkan sayap itu, demi masa depan dalih mereka."

_________________________________________________________________________________________

Sudah beberapa hari setelah kejadian itu, Senja masih belum bertemu dengan Bima.

Kabarnya Bima masih masa pemulihan karena tidak terlihat di sekolah. Di pesan terakhir Bima pun terus meyakinkan Senja bahwa pria itu baik-baik saja. Tapi sungguh, Senja masih sangat khawatir. Saking khawatirnya, dia bergegas menuju ke apartemen yang Wisnu maksud. Dia bilang Senja boleh masuk karena Wisnu juga mengirimkan kode kamar apartemen yang Senja kira milik Bima.

Dengan dua kantung belanjaan yang Senja bawa, Senja yang sudah menekan beberapa digit angka di pintu masuk pun segera melangkahkan kaki setelah pintu itu dapat dibuka olehnya.

Senja menyapu ruangan sekitarnya, namun tidak ada satu orang pun di dalam sini. Dia menekan beberapa tombol lampu lalu menaruh kantung itu di dapur. Tanpa pikir panjang lagi, Senja segera menggerakan tangannya untuk mengolah beberapa sayuran segar yang telah dia beli di minimarket sebelum Senja datang di tempat ini. Gadis itu ingin membuatkan makanan istimewa untuk guru sekaligus orang yang berhasil membuatnya jatuh cinta lagi.

Sudah lama dia tidak bertemu seseorang bernama Bima, apa kabar dengan guru menyebalkan itu? Ah. Senja sangat merindukan pria itu. Benar-benar merindukannya.

Tidak lama setelah Senja membayangkan raut wajah Bima yang mendapatinya di tempat ini, pintu apartemenpun terdengar terbuka. Senja dengan sigap membilas tangan, kakinya pun melangkah cepat menuju sumber suara tadi.

Senja terdiam.

Itu bukan Bima.

"Pak Wisnu?" ucapnya lirih, pria itu melotot.

"Aku bukan gurumu, jadi kau jangan panggil aku dengan sebutan 'Pak'. Lagi pula aku dan Bima seumuran. Aku masih muda." cerocosnya seraya melewati Senja lalu duduk terlipat di atas sofa.

Dia terlihat biasa saja mendapati Senja berada di apartemen yang jelas-jelas miliknya.

Wisnu menyalakan televisi yang berjarak sekitar tiga meter dari tempatnya duduk menggunakan remote lalu meraih stik PS untuk memainkan game favoritnya.

Beberapa detik, Wisnu yang mulai memainkan game itu menyadari Senja masih berada di tempatnya berdiri sedari tadi, dia pun berdecak.

"Panggil aku Wisnu saja, tapi jika kau panggil Kak Wisnu itu lebih baik, lebih menghargaiku yang sedikit lebih tua darimu." lanjutnya, berusaha agar Senja tidak canggung melihat muka Wisnu yang sering dicap kelewat dingin.

Senja masih tak bergerak dari tempatnya. Hal itu membuat Wisnu sedikit khawatir.

Dengan secepat kilat dia mencari cara lain agar Senja meresponnya. Wisnu pun mengendus-endus udara di sekitarnya, "aku seperti mencium aroma apa gitu ya..." ucapnya seakan berbicara sendiri. Senja terbelalak, dia baru ingat bahwa dia meninggalkan masakannya tadi, kakinya seketika melangkah menuju dapur lagi.

Ahh.. akhirnya Wisnu bisa merasa lega.

"Sini bawakan aku seporsi lalu temani aku bermain!" lanjutnya dengan sedikit menaikan nada suara, tapi tetap saja terdengar berat bagi Senja.

Anehnya Senja tidak membantah.

Dengan sepiring makanan yang selesai dia masak, Senja melangkahkan kaki menuju tempat Wisnu. Pria itu menepuk tempat sebelahnya mengisyaratkan agar Senja duduk dan tidak mengacaukan konsentrasi bermainnya.

Senja benar-benar duduk. Wisnu segera meraih piring itu ke pangkuannya tanpa melepaskan pandangan dari layar berwarna itu.

"Kau g*la? Orang baru saja sembuh kau beri dia makanan oseng sayur?" Senja langsung melotot mendapat cibiran pedas pria di sampingnya.

Ingin sekali dia meraih kembali piring itu dan langsung menghantamkan ke kepala Wisnu, namun itu tidak mungkin, itu tidak sopan. Jadi Senja hanya menghela napasnya. Sabarrrrrrr, batinnya.

"Tak apa, biar aku saja yang menghabiskan sisanya. Lagi pula Bima sudah pasti makan di rumahnya." gadis itu tidak paham ucapan Wisnu.

"Jadi, Pak Bima tidak di sini?" tanya Senja, Wisnu yakin dari pertanyaan itu, Senja pasti merasa kecewa dibuatnya.

Dia menyuapkan beberapa sayur ke mulutnya, "sebentar lagi juga dia ke sini, dia tak nyaman berlama-lama di rumahnya." lanjut pria itu.

"Kenapa?"

Entah kenapa aura di sekitar mereka berdua terasa semakin panas.

Wisnu kembali berdeham, "Aku dan Bima sudah kenal lama," dalihnya, dia tidak ingin membahas topik utama terlalu tergesa-gesa.

Senja diam masih mendengarkan, yang Wisnu yakin gadis itu tidak masalah dengan pergantian topik sementara ini.

"Aku dan Bima dulu musuh berat, di mana kita selalu bersaing buat jadi nomor satu di sekolah. Waktu itu Bima suka ke adik kelas, tapi karena memang dasarnya Bima b*go dengan yang namanya cinta, adik kelas itu justru suka ke aku." Wisnu sedikit tertawa renyah.

Wisnu sedikit melirik Senja, Wisnu membaca dari wajah datar itu topik ini terdengar sangat membosankan.

"Tapi karena aku sudah banyak yang suka ya masa bodo saja gitu dengan gadis itu. Tak aku sangka, aku dan Bima bertemu kembali, satu kampus bahkan satu fakultas."

Pria itu menghela napas, "Tak tahu mulai dari kapan kita menjadi akrab dan dia meminta tolong untuk aku membawanya di tempat ini."

Senja menekuk keningnya, "kenapa?"

"Dia punya impian jadi barista." balas Wisnu.

"Dan Ayahnya memaksa Bima untuk meneruskan usaha keluarga mereka?" sahut Senja, Wisnu langsung menoleh.

"Kau sudah tahu?" tanyanya, gadis itu menunduk lalu mengangguk.

"Lantas, kalau pun Pak Bima tetap menolak untuk memegang alih, kenapa dia masuk ke fakultas pendidikan dan magang di sekolah itu?" Senja sangat penasaran akan hal ini.

Wisnu kembali terlihat serius, dia meletakkan piring tadi di atas meja kecil di samping sofa lalu membenahi posisi duduknya.

"Begini, menjadi barista itu tak mudah dan tak semua orang bisa melakukannya. Bima harus melatih kemampuannya, lebih bagus lagi Bima belajar atau mengikuti pelatihan agar mendapat sertifikat untuk memudahkan dia membuat kedainya sendiri. Tapi semua itu butuh biaya dan tentu juga persetujuan dari orang tua Bima." Senja mengangguk-ngangguk karena antusias mendengarkan.

"Syaratnya, Bima harus menyelesaikan study dan mengikuti apapun perintah dari Dewa alias Kakak Bima termasuk magang di sekolahmu. Menurut aku yang Ayah Bima lakukan itu karena dia yakin selang 4 tahun bisa merubah tujuan hidup Bima untuk mengikuti usahanya, karena keluarga besar Bima sangat meyakini menjadi barista adalah pekerjaan yang hanya akan membuang waktu Bima dengan percuma." jelas Wisnu lagi.

"Jadi itu rahasia Bima..." ucap Senja seraya menghela napas, bukan karena lega atas penjelasan Wisnu tapi Senja semakin yakin bahwa Bima sama dengan dirinya.

Senja dan Bima memendam luka yang sama atas mimpi besar mereka. Luka itu dibuat oleh orang tua mereka sendiri.

Seketika, terdengar kembali pintu terbuka. Dan menampakan sosok Bima yang terkejut akan keberadaan Senja.