Bima melangkahkan kakinya menelusuri lorong, seperti biasa, dia akan mencari Embun untuk mengajaknya ke kantin.
Tapi anehnya, setelah dia sampai di kelas Embun, gadis itu sama sekali tak nampak. Hingga akhirnya kakinya melangkah lagi mencari keberadaan Embun.
"Kau lihat Embun?" itulah yang dia ucapkan saat berpapasan dengan orang-orang. Tapi jawaban mereka tetap sama, "tidak".
Di setiap sudut sekolah, Bika terus mencarinya. Tak biasanya Embun menghilang seperti saat ini. Baiklah, ada banyak kemungkinan. Mungkin Embun sakit? atau dia berusaha menghidari Bima?
"Mukamu bak pantat kera!" sapa Wisnu yang melihat Bima memasuki kelas dengan lesu.
Setelah sadar bahwa yang mengajaknya berdebat adalah Wisnu tentu saja dengan cepat dia mendekati pria itu.
"Kau kira itu lucu?"
Wisnu tertawa, "tentu saja."
Bima menghela napasnya, terlalu malas rasanya menanggapi Wisnu. Energinya terkuras habis karena berlari ke sana kemari untuk menemukan keberadaan Embun.
"Ke mana dia pergi?" gumam Bima yang hendak duduk di bangkunya.
"Dia? Embun?" sahut Wisnu.
Bima tak berniat meresponnya, "Sedari tadi dia bersamaku. Pantas saja kau tak bertemu dengannya meskipun kau mencari ke banyak tempat." balas Wisnu yng benar-benar berhasil membuat Bima menoleh.
"Pada akhirnya aku yang akan menang lagi darimu."
Bima meraih kerah Wisnu dan seketika membut seisi kelas heboh.
"Sudah ku bilang, jangan sombong! Itu membuatku muak!" balasnya, matanya terlihat menyeramkan.
"Kenapa? Harga dirimu sangat tercoreng ketika kau kalah?" tanya Wisnu dengan senyuman smirknya.
"Itu semakin membuatku ingin menjatuhkanmu." lanjutnya.
Bima tak bisa berkata apa-apa lagi setelah mendengar banyak kalimat yang Wisnu lontarkan. Dia pun melepaskan kerah Wisnu lalu berbalik pergi.
=====
Langit nampak kemerahan, tiba saatnya menyambut malam. Bima melangkah melewati perkarangan sekolah dengan tergesa. Sudah sangat terlambat untuknya sampai di rumah.
Ini karena gurunya sibuk mendiskusikan suatu projek yang akan dia lakukan.
Matanya seketika menangkap sosok Embun yang nampak berjalan melewati gerbang sekolah, senyuman terukir di wajah Bima dan dengan cepat Bima berlari mengejarnya.
Hingga tangan itu berhasil dia cekal.
"Kau menghindariku?" tanyanya spontan.
"Lepaskan!" pinta Embun yang berusaha melepas tangan Bima.
"Beri aku alasan, mengapa kau menghindariku?"
Embun menggenggam tali tasnya dengan kuat, "tak ada alasan, hanya saja aku menyukai orang lain." ujarnya ragu.
Bima berhenti, senyumnya hilang begitu saja dan tanganya lepas dengan lemas.
"Jadi kau sengaja memanfaatkan rasa sukaku padamu? tanya Bima terheran.
"Tak ada yang memintamu untuk menyukaiku, tak ada yang memintamu untuk mengejarku, atau bahkan tak ada yang memintamu untuk mengikutiku, Bim. Semua itu atas keinginanmu sendiri!" balas Embun.
Gadis itu sedikit melangkah mundur, "jangan pernah menemuiku lagi!" pintanya seraya berbalik dan berlari meninggalkan Bima yang mematung.
=====
Esok harinya, Bima kembali dengan rutinitasnya, dia seolah melupakan ucapan Embun di sore itu dan mencarinya untuk sekedar mengajak jalan, berbicara, atau makan bersama.
Karena bukan Bima namanya jika dia menyerah tentang sesuatu begitu saja.
Namun yang dia dapati adalah Embun yang berjalan bersama dengan Wisnu tepat di depan matanya.
Seketika itu, Bima menarik tangan Embun.
"Jangan pergi!" pintanya.
Genggaman tangan Bima berhasil membuat Embun merintih kesakitan, "aku bilang kau jangan pergi!" pintanya lagi.
"Lepaskan!" pinta Embun balik.
Dengan cepat Wisnu memisahkan tangan Bima dari Embun, "bukankah dia sudah memintamu untuk menjauhinya?" ujar Wisnu lalu menghela napas jengkel.
Bima mengeryitkan keningnya, "apa dia orang yang kau suka?" tanyanya.
Embun menggigit bibirnya enggan menjawab.
Tanpa berpikir, Wisnu langsung menarik Embun ke belakang tubuhnya, "jika iya memang kenapa? Dari awal memang sudah jelas kau akan kalah, Bim." ucap Wisnu dengan senyuman menyebalkan.
"Aku hanya ingin mendengarkan jawabannya, bukan kau!" gertak Bima yang menatap tajam Wisnu dan Embun yang bersembunyi di belakang tubuh Wisnu secara bergantian.
"I..ya, Wisnu yang aku suka." ucap Embun lirih.
Jawaban itu berhasil membuat Wisnu tersenyum puas melihat Bima berapi-api.
"Aku tak mau kau menemuiku lagi, itu membuatku tak nyaman." lanjutnya.
Hati Bima benar-benar hancur, orang pertama yang dia suka, orang pertama yang menjadi cinta pertamanya, dan orang pertama yang berhasil membuatnya nyaman, bisa meremukan hatinya begitu saja.
"Apa yang kau dapat darinya? Jelas-jelas dia memiliki banyak gadis, kau akan terluka nantinya." ujar Bima yang mulai putus asa.
Embun terus terdiam.
"Oh jelas. Aku sangat pandai di berbagai bidang, akademik mau pun non akademik. Aku seorang model, tentu saja uang dari keringatku sendiri tak sedikit. Dan juga, aku lebih tahu bagaimana memperlakukan seorang gadis. Sedangkan kau? cih!" celoteh Wisnu lalu dia berbalik seraya merangkuh bahu Embun untuk dia bawa pergi dari hadapan Bima.
Ucapan Wisnu terus terngiang di kepalanya, karena tentu saja Bima banyak kekurangan namun selalu berusaha dimodifikasi oleh Ayahnya sendiri agar berlari ke arah sempurna dengan tekanan. Dia juga masih bergantung kepada Ayahnya karena waktunya dia habiskan untuk belajar dan belajar saja. Tentang memperlakukan gadis? Wanita yang dia kenal hanyalah Ibunya sebelum Embun berhasil masuk ke kehidupannya, karena tentu saja Bima tahu sebelum-sebelumnya Ayahnya tidak akan tinggal diam jika mendengar Bima tidak fokus ke sekolah karena seorang gadis.
Tapi tak dia sangka, justru gadis itu terlihat muak kepadanya. Bahkan dia menyukai orang lain yang notabene musuh Bima sendiri.
=====
Satu tahun berlalu, Bima merenggangkan tubuhnya setelah keluar dari gedung rumah sakit tempatnya menjalankan rawat jalan untuk melakukan check-up.
Dia pun mulai melangkahkan kakinya untuk pulang.
Di perjalanan pulang, dia mendapati seorang gadis yang mirip dengan Embun namun gadis ini dua kali lipat lebih cantik dan tentu saja dia menjadi sorotan banyaknya pasangan mata karena auranya.
Bima mengikutinya dan dia ikut berhenti saat gadis itu berhenti.
Yang dia lihat, gadis itu seketika mematung saat mendapati sepasang kekasih yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Mungkinkah seperti yang Bima pikirkan?
Spontan saja dirinya memeluk tubuh gadis itu dari depan, membuatnya tertutupi tubuh Bima. Tentu saja, dia terbelalak karena terkejut.
Setelah pria yang notabene kekasih gadis itu pergi bersama gadis lain, barulah Bima melepaskan pelukannya.
"Mereka sudah pergi, kau tak apa? Lain kali carilah pria dengan lebih berhati-hati, banyak yang seperti dirinya. Kau jangan bersedih..." ucap Bima.
"Oh iya, aku Bima." lanjutnya seraya mengulurkan tangan ingin berkenalan.
Gadis yang masih terbelalak pun mendongakkan kepalanya, menatap wajah Bima.
Bukannya membalas uluran tangan atau pun membalas ucapan tadi, dia langsung mendorong tubuh pria itu dengan kuat.
Bima menatap punggung yang semakin lama semakin mengecil pun tersenyum miring.
Cantik. Batinnya seraya meletakkan telapak tangan di atas dada yang sudah berdetak kencang.
Dari seragam yang dipakai dan papan nama yang terpasang di seragam gadis tadi dapat dia simpulkan,
"Senja Dahlia, kelas sepuluh, SMK Bangsa." ucapnya lalu tersenyum manis.
Dari pertemuan ini lah, Bima bertekat untuk masuk ke jurusan pendidikan, agar dia bisa sering bertemu dengan Senja sebagai guru magang.