Chapter 18 - Putus saja

"Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa semua akan baik-baik saja."

________________________________________________

Apa benar? Bima bisa setega itu pada Senja?

Seketika pikiran Senja merumit, dari apa yang dia lihat atau pun dia dengar, Senja tahu, dia sama sekali tidak diinginkan di tempat ini.

Dengan sadar diri Senja pun melangkahkan kaki melewati orang-orang yang melihatnya aneh. Apa yang salah dengan dirinya? Apa yang salah dengan penampilannya?

Kakinya terus bergerak, keluar dari rumah itu, keluar dari perkarangan itu, dan melangkah terus menelusuri jalanan aspal untuk mencari taxi agar dia bisa segera pulang.

Tidak lupa dia melepas sepatu heelsnya, kakinya sakit jika berlama-lama memakai sepatu itu, tapi itu tidak sebanding dengan sakit hatinya kan?

Tinn

Suara klakson mobil membuat Senja langsung menoleh, namun dia kembali melangkah setelah apa yang dia dapati adalah Bima yang sedang memohon pada Senja untuk berhenti dan masuk ke mobilnya.

"Senja tolong dengerkan aku!" teriak Bima yang mengeluarkan wajahnya dari jendela mobil yang terbuka.

Tinn! Tinnnnn!

Senja memilih menutup telinganya dan terus melangkah.

"Senja!"

Gadis itu terhenti saat tangannya dicekal oleh Bima.

=====

Tidak ada percakapan di antara keduanya, Senja memilih memalingkan wajah dan terus menatap jendela sampingnya sedangkan Bima menatap lurus ke jalanan meskipun sesekali menoleh ke arah Senja.

Bima pikir jika membawa Senja ke acara itu, dia akan terbebas dari syarat ayah dan Dewa untuk bertunangan dengan Sisil, tapi justru sebaliknya.

Bagaimana dia harus menjelaskan ini kepada Senja? Dia sudah berhasil melukai hati gadis di sebelahnya ini.

Mobil ini berhenti tepat di depan perkarangan rumah Senja, tanpa menunggu lagi, gadis itu dengan cepat turun dan melangkahkan kaki menjauhi Bima.

Tapi tentu saja bukan Bima namanya jika tidak berhasil mencekal tangan Senja.

"Apa lagi?" tanya Senja lirih seraya melepas tangan Bima dari tangannya.

Bima terdiam.

"Bukankah Bapak sudah bertunangan?"

Bima menelan ludahnya dengan susah payah, dia sangat menyesal. Bagaimana pun hal yang terus ditutupi pasti lama kelamaan akan terbongkar juga.

Dirinya menarik napas panjang,

"Dengarkan aku," Bima meraih kedua bahu Senja lalu menatap mata sedihnya.

"Apa pun keadaannya, aku tetap Bima yang cinta denganmu, Senja." jelasnya.

"Biarkan aku mengurus masalah itu, kau tak perlu memikirkannya."

Senja mengangguk seadanya, kata-kata Bima berhasil membuatnya kembali yakin dengan hubungan ini.

Bima mencium pipi kanan Senja lalu mengusap gemas puncak kepala gadis itu,

"Aku pamit dulu. Besok Bapak berkemas untuk hari terakhir magang." lanjutnya.

=====

Hari ini free, jam kosong, karena ujian akhir semester sudah selesai kemarin. Kelas pun ramai melebihi pasar. Senja hanya menaruh kepalanya di atas meja, tidak peduli dengan apa yang dilakukan teman-teman sekelasnya.

Tubuh Senja ada di sini, tapi pikirannya entah ke mana. Rere terus bergumam mengetahui Senja yang seperti ini.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan sangat keras membuat seisi ruangan menghentikan aktivitasnya. Langsung saja, murid-murid berhamburan untuk kembali ke bangkunya setelah mengetahui siapa orang yang membuka pintu tadi. Ya, Bima.

Bima melangkahkan kakinya menuju depan kelas dengan senyum smirk yang kembali membuat para muridnya merinding, apa Bima akan menghukum salah satu di antara mereka?

Kelas ini masih hening, sorot mata terus tertuju pada Bima, tidak terkecuali dengan Senja.

Dia tersenyum tipis melihat sosok Bima ada di depan sana.

Bima berdeham,

"Kalian pasti sudah tahu kenapa Bapak ke sini?" tanyanya.

Masih dengan suasana hening.

"Hari ini Bapak akan menyampaikan salam perpisahan, karena kerja magangku di sini selama 3 bulan telah usai. Dan di semester 2 kalian akan bertemu kembali dengan Bu Nurul selaku wali kelas kalian sebelumnya." lanjut Bima.

Mata Bima menelusuri seisi kelas dan berhenti ketika sorot pandangannya bertemu dengan mata milik Senja. Namun, Bima segera memutuskan kontak dan dia yakin Senja akan kecewa dengan itu.

"Baiklah, hanya itu yang bisa Bapak sampaikan. Terima kasih." ucapnya lalu melangkah pergi.

Senja menghela napasnya, dadanya merasa sesak.

"Kau tak apa?" tanya Rere, Senja hanya menggeleng.

"Sedari pagi kau seperti ini, apa ada masalah?"

Gadis itu kembali menggeleng.

"Apa ada hubungannya dengan Pak Bima?" tanyanya lagi.

Senja terdiam, tidak mungkin dia menggeleng lagi, karena jelas-jelas dia ada masalah dengan Bima. Bima berubah apa karena masalah kemarin malam.

"Eh eh! Lihat! Pak Bima pulang bersama seorang wanita!" pekik Sinta yang sedang berdiri di depan jendela yang mengarah langsung ke halaman sekolah.

Benar saja, teriakan itu berhasil membuat siapa saja berlari mendekat untuk melihat apa yang Sinta lihat.

Senja dan Rere yang masih duduk pun langsung saling bertatapan lalu melangkah menuju gerombolan.

Gadis itu mematung karena apa yang dia lihat sama sekali tidak menyenangkan.

Senja melihat Bima membawa kotak berisi barangnya menuju Sisil yang sedang menunggu di depan mobil, bahkan mereka terlihat akrab.

=====

Terhitung sudah beberapa jam setelah Wisnu keluar dari apartemen, Senja masih duduk menunggu kedatangan Bima.

Dia butuh penjelasan dari orang yang masih dia anggap sebagai pacarnya dan dia yakin Bima pasti punya alasan kenapa pria itu melakukan ini semua kepadanya.

Lamunannya berhenti ketika seseorang membuka pintu dan menampilkan sosok yang sangat dia tunggu-tunggu. Dia tersenyum sangat lebar melihat keberadaan Bima.

"Pulang!" perintah Bima.

Senyum Senja seketika memudar.

"Tidak, aku masih butuh penjelasan." ujar Senja.

Bima melangkah padanya dan meraih lengan Senja lalu ditariknya, gadis itu segera melepas tangan Bima sebelum Senja beranjak dari sofa tempat dia duduk sebelumnya.

"Tidak ada yang perlu aku jelaskan." balas Bima.

Senja yang masih duduk, menatap Bima yang sedang berdiri tepat di depannya, tatapan pria itu sangat tajam. Apa Senja telah melakukan sesuatu? Apa Bima sangat marah padanya?

"Kita putus saja." Gadis itu terbelalak, dia langsung beranjak.

"Tidak! Kenapa Bapak seenaknya sendiri?" ucapnya sedikit mendorong bahu Bima dengan air mata yang tiba-tiba mengalir.

"Jika berujung seperti ini, kenapa Bapak seenaknya menganggapku sebagai seorang pacar dan seenaknya memutuskan hubungan ini?" Senja tidak henti-hentinya mengguncang tubuh Bima.

"Aku bukanlah mainan, Pak! Lantas apa arti semua ucapan Bapak? Semua hanya omong kosong belaka? Setelah aku benar-benar menaruh hati pada Bapak, kau jadi seperti ini?"

Bima menghentikan tangan Senja lalu mendorong tubuh gadis itu jatuh di atas sofa, dia langsung berpindah di atas tubuh Senja seraya tangan yang dia gunakan untuk mengunci tangan Senja.

Tentu saja gadis itu terkejut dengan apa yang dilakukan Bima padanya.

Bima menyondongkan wajahnya, dia pun mencium bibir mungil Senja. Gadis itu meronta tapi percuma, dia kembali tidak menolak ciuman Bima.

Lidah Bima memaksa untuk masuk dan bermain membuat Senja kesulitan bernapas.

Antara menerima dan tidak menerima perlakuan Bima. Dia merindukan Bima namun tidak begini caranya.

Senja langsung menoleh untuk melepaskan ciuman Bima.

"Hentikan!" pinta Senja.

"Kenapa? Kamu butuh penjelasan kan? Ini jawabannya, karena aku hanya membutuhkan ini." sahut Bima yang langsung beralih memainkan leher Senja.

Senja terpukul, apa yang baru saja dia dengar membuatnya sangat terkejut, benarkah Bima tidak benar-benar mencintainya?

Dengan memberontak Senja melepaskan tangannya lalu mendorong tubuh Bima dengan kuat, tak lupa dia menampar wajah pria itu.

Tidak masuk akal. Senja tidak habis pikir dengan Bima. Kenapa Senja bisa jatuh dirayuan Bima dan berujung seperti ini?

Gadis itu melangkah pergi meninggalkan Bima yang masih diam terduduk di sofa.