Beberapa tahun yang lalu.
"Baiklah, peringkat pertama di semester ini diraih oleh Wisnu." ucap pria tua yang sedang berdiri di depan kelas XII IPA 1.
Sontak saja pemberitahuan tersebut membuat seisi kelas bersorak terpukau dengan kepintaran pria bernama Wisnu itu.
Lain halnya dengan seseorang yang duduk di bangku ke tiga yang meremas kertas raportnya semester ini karena mendapat peringkat kedua.
Kringggggg
"Kita lanjutkan nanti." pinta pria tua tadi.
Lantas kelas ini pun menjadi ramai karena masuk di jam istirahat. Mereka berhamburan entah ke mana, mungkin di kantin, mungkin juga ke tempat lain, tapi tidak dengan Wisnu dan beberapa orang yang masih memutuskan untuk menetap.
Wisnu beranjak lalu melangkah dengan bangganya, berjalan mengampiri satu bangku dengan pria kesal yang menempatinya.
"Bagaimana? Kali ini kau kalah kan?" tanyanya menjengkelkan setelah tiba di samping bangku pria itu.
Yang diajak bicara memutar bola mata, "masih ada semester akhir, jangan sombong dulu!" balasnya.
Wisnu melipat kedua tangannya di depan dada, "Ah kau berkata seperti itu karena kau malu berada di peringkat kedua kan?"
"Akui saja, Bima." lanjut Wisnu.
Pria bernama Bima ini menggigit bibir saking kesalnya. Yang dipikirannya sekarang, bagaimana dia berhadapan dengan Ayahnya karena raport ini?
=====
Bruk
Bima berhasil menangkap bola basket yang tak sengaja melayang ke arahnya.
"Mau gabung, Bim?" tanya salah satu pria yang berada di lapangan itu.
Namun mata Bima yang tak sengaja menangkap sosok Wisnu membuatnya mengurungkan niat untuk melempar bola, "Aku 1-1 dengan dia!" teriaknya membuat siapa saja di sekitar Bima mendengarnya.
Yang disebut-sebut namanya mendengus kesal lalu melangkah mendekat.
Dia pun berdiri tepat di depan Bima, "Aku tak yakin kau bisa mengalahkan ku kali ini." ucapnya sengit.
"Sudah ku bilang, kau jangan sombong terlebih dulu!" balas Bima tak kalah sengit.
Keduanya melangkah ke tengah lapangan disaksikan banyaknya pasang mata, tidak bisa dipungkiri momen ini adalah momen yang membuat suasana sekolah mendadak ricuh, karena kedua pria ini masuk ke dalam rank "Pangeran" di sekolah mereka saking banyaknya penggemar.
Hingga bola mulai dilempar ke udara, permainan pun dimulai.
=====
Bima bergegas menghampiri seorang gadis yang berada di pinggir lapangan, gadis cantik yang telah mengisi hatinya belakangan ini, namun Bima belum bisa mengungkapkan rasanya karena tak tahu caranya, "kau lihat aku bisa mengalahkannya?" ucapnya.
"Sudah ku duga, kenapa kau suka beradu dengannya?" tanya gadis itu melangkah meninggalkan tempatnya berdiri.
Langkahnya dengan perlahan mengarah ke Wisnu yang masih mengatur napas di bawah ring di lapangan.
Gadis itu menyerahkan sebotol air minum kepada Wisnu dengan senyuman, tepat di depan mata Bima.
"Karena sebuah harga diri." balasan Bima yang saling menatap tajam dengan Wisnu.
Wisnu melirik sekilas ke arah gadis itu, "Oh jadi persaingan kita bertambah?" tanyanya.
"Apa maksudmu?" tanya Bima balik dengan raut wajah yang kesal.
Wisnu melangkah, mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya agar bisa berbisik kepada Bima.
"Mau bertaruh siapa yang berhasil mendapatkan gadis ini? Aku sangat yakin dia akan memilihku." bisiknya tepat di sebelah telinga Bima.
Bima melotot sejadi-jadinya dan Wisnu hanya tersenyum seraya meninggalkan Bima.
=====
Bima terdiam tepat di depan pintu masuk rumahnya, matanya benar-benar kosong, pikirannya melayang karena memikirkan hal-hal yang sekiranya akan terjadi pada dirinya.
Bagaimana cara menghadapi Ayahnya jika dia kembali mendapatkan peringkat kedua?
Dengan cemas dia berusaha menghilangkan pikiran buruknya lalu meraih gagang pintu untuk dia dorong ke dalam.
Baru saja satu kaki yang berhasil memasuki rumah ini, Bima sudah disambut dengan decakan pria yang sedang duduk menunggunya sedari tadi.
"Selamat sore, Yah." sapa Bima.
"Serahkan raportmu! Bukankah hari ini keluarnya?" tanya Johannes tanpa membalas sapaan anak bungsunya itu.
"It.. itu..." ucap Bima ragu.
"Cepat berikan ke Ayah atau Ayah sendiri yang menggeledah tasmu!" bentak Johannes.
Bima menelan ludah dengan kesusahan, dirahnya tas punggung untuk mencari keberadaan kertas yang sangat ditunggu Ayahnya.
Setelah dia dapat, dengan lambat Bima menjulurkan lengannya namun benar saja dia tidak berniat untuk menunjukkan hasil usahanya di semester ini.
Johannes merebut paksa kertas itu. Wajahnya terlihat memerah dan melangkah semakin mendekati Bima.
Plak
Tamparan keras berhasil mendarat di pipinya.
"Anak macam apa kau ini? Bagaimana kau tak bisa seperti Kakakmu? Apa hanya ini kemampuanmu? Kerjaanmu hanya memalukan keluarga saja!" ucapnya.
Bima hanya bisa menunduk, hatinya sangat sakit melebihi sakit di pipinya. Karena Ayahnya tetap memperlakukan Bima seperti ini.
=====
"Bagaimana? Apakah kau merasa takut untuk ku kalahkan lagi?" tanya Wisnu yang sudah berdiri di samping bangkunya saat jam istirahat.
Bima menutup bukunya dengan kasar, "takut? Siapa takut?" balasnya seraya beranjak dari duduknya.
"Akan aku buktikan seorang Bima bisa mendapatkan hatinya! Dasar buaya darat!" lontarnya pada Wisnu lalu pergi keluar kelas.
Bima terus melangkah menuju ke lorong kelas sebelas dan di dapatkannya gadis yang dia suka.
"Mau ke kantin?" ajaknya, gadis itu mengangguk seadanya.
"Apa kau bertaruh dengan Wisnu lagi?" tanyanya di tengah perjalanan.
"Begitulah.." balas Bima.
Gadis itu meliriknya sekilas, "jangan bilang jika ada hubungannya dengan ku?"
Bima terdiam.
"Kalau memang benar, aku tak mau lagi menemuimu." lanjutnya.
Seketika seseorang mendorongnya ke dinding membuat siapa saja terkejut, termasuk Bima.
Orang itu berhasil membuat gadis yang Bima suka tidak berkutik.
"Ka.. kau mau apa, Wisnu?" tanyanya gugup.
Wisnu menatapnya lekat-lekat, "jadi kau tidak akan mau menemui Bima lagi jika taruhan aku dan dia ada hubungannya denganmu, Embun?"
Gadis bernama Embun ini menelan ludahnya, "begitulah." jawabnya.
"Bagus!" ucap Wisnu lalu kembali melangkah.
Setelah kepergian pria itu, barulah Embun bisa bernapas lega.
"Kau tak apa?" tanya Bima.
"Apa maksud ucapannya tadi? Kau mencoba mempermainkanku?" tanyanya balik lalu mendengus dan meninggalkan Bima yang terus mengikutinya.
=====
Embun berjalan menuju gerbang sekolah, dia ingin segera sampai ke rumah untuk menyantap masakan Ibunya yang menurutnya paling enak sedunia.
"Apa menu hari ini? Rendang? Bakso? Apa ya?" gumamnya seraya bersenandung senang.
Namun seseorang yang sebelumnya bersandar pada mobil itu beranjak dan menghalanginya, "kau Embun?" tanyanya.
Sang empunya nama hanya mengangguk, mengiyakan.
Pria itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku jas hitamnya, "ini kartu namaku,"
Embun membaca pada kartu ini bertuliskan 'Johannes' dengan sedikit bertanya-tanya.
"Aku Ayah Bima, kedatanganku kemari hanya ingin memberitahumu bahwa Bima tak ada waktu untuk berpacaran denganmu jadi jangan menghalangi jalan Bima." ujarnya.
"Ta-tapi—"
"Apa yang kau butuhkan darinya? Uang? Aku bisa memberikan berapa pun padamu." potongnya seraya menyulurkan amplop coklat yang sedikit tebal.
Embun mendorong perlahan tangan pria itu dengan maksud bahwa dia tidak menerima uang Johannes.
"Maaf sebelumnya, saya dan Bima tidak memiliki hubungan. Jadi menurut saya, anda sudah salah menilai saya." balas Embun.
"Ah, kau berhasil mempermalukan saya." ucap Johannes seraya memasukkan amplop itu kembali.
"Mungkinkah uang ini kurang? Esok ku berikan lebih." lanjutnya.
"Tidak, tidak. saya serius, saya tidak akan menerima sepeser pun dari anda."
Wisnu yang tak sengaja melihat Embun berdebat dengan Ayah Bima pun menghentikan langkahnya di samping Embun.
"Ada apa?" tanyanya, Embun hanya menggeleng tidak mengerti.
Johannes masuk ke mobilnya dengan kesal, "aku harap kau bisa menjaga nyawamu karena sudah berurusan dengan ku." ucap Johannes lalu menginjak gas untuk melaju cepat meninggalkan kawasan sekolah ini.