Chapter 12 - Jatuh Cinta

"Yang kau kira kenal, belum tentu kau sudah benar-benar mengenalnya."

_____________________________________________________

Senja duduk dengan cemas di kursi yang tepat berada di sebelah ranjang tempat Bima terbaring. Sejak kejadian malam tadi, Bima belum juga sadarkan diri sampai saat ini. Senja menatap Bima dengan rasa bersalahnya. Melihat kepala Bima yang dibalut perban membuat hati Senja semakin terasa amat sakit. Tidak seharusnya Bima terluka, harusnya Senja saja yang terluka.

Dari dokter yang keluar dari ruangan Bima, Senja berjam-jam terjaga menunggu Bima terbangun, dia takut Bima semakin memburuk meskipun dokter bilang Bima sudah membaik, tapi tetap saja kecemasan tak kunjung menghilang.

Gadis itu terus menggenggam tangan Bima, sesekali dia memejamkan mata untuk berdoa, berharap Bima membuka mata dan menatap Senja dengan senyuman khasnya.

Tak lama kemudian, doa Senja terkabul, perlahan Bima menggerakan jari tangan lalu membuka kelompak matanya. Senja terkejut, dia hendak berdiri ingin segera memberi tahu dokter namun tangannya langsung dicekal oleh Bima. Senja menaikkan kedua alisnya, apakah Bima menginginkan sesuatu darinya?

"Ditungguin pacar saat sakit ternyata begini ya rasanya?" ucap Bima sangat lirih lalu meringis tanda masih terasa nyeri di lukanya.

"Bapak masih bisa bercanda.." balas Senja seraya bernapas lega mengetahui Bima yang dia kenal sudah kembali.

Bima tersenyum, sangat-sangat manis. Dia terus menggenggam tangan Senja, kali ini dia menatap Senja dengan sangat bahagia.

Tiba-tiba ada suara kehebohan di luar ruangan ini, seperti suara orang yang lebih tua dari Senja maupun Bima. Satu orang terdengar sedikit marah, lainnya terdengar seperti seseorang yang resah. Di saat pintu terdengar dibuka, reflek Senja segera berdiri lalu bersembunyi di balik tirai di celah meja dan jendela.

"Bimaaa... kau tak apa, Nak?" tanya perempuan paruh baya yang langsung memeluk tubuh Bima dengan erat.

"Sembuh nanti langsung pulang ke rumah ya! Ibu tak mau terjadi apa-apa lagi denganmu." lanjutnya, seseorang yang Senja yakini adalah ayah Bima menarik tangan perempuan itu dari Bima.

"Tak usah! Biarkan saja! Kalau pun dia masih bersikeras tidak mau melanjutkan usaha Dewa untuk memegang sekolah Ayah, lebih baik tak usah pulang sekalian!" bentak ayah Bima.

Seketika itu pula ibu Bima menangis seraya menutup mulutnya, sedangkan Bima, Senja lihat dia memasang wajah dinginnya. Ada masalah apa Bima dengan keluarganya?

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian seisi ruangan ini. Menampakkan pria berjas diikuti tiga orang yang sangat Senja kenali.

"Ada anak-anak yang berhutang maaf pada Bima." ucap Dewa yang notabene kakak Bima.

"Ibu sama Ayah, Dewa antar pulang ya? Sudah malam, tak baik untuk kesehatan kalian berlama-lama di rumah sakit." lanjutnya berusaha membujuk, tidak lupa dia mengusap pipi ibunya untuk menghapus genangan air mata.

Setelah Ibu, Ayah, dan Kakak Bima pergi meninggalkan tempat ini, Senja berani untuk segera keluar dari persembunyiannya.

"Mau kalian apa?!" pekik Senja yang menutup mata dengan mengepalkan kedua tangannya.

Tentu saja tiga orang itu terkejut dengan kehadiran Senja.

Bima membenahi duduknya, dia sekilas melirik Senja, ingin sekali dia genggam tangan kekasihnya itu tapi dia ingat masih ada murid-muridnya di sini.

"Senja, mereka biar Bapak saja yang urus. Kau pulang saja ya?" pinta Bima yang terlihat memelas menundukan kepala. Senja menelan ludahnya lalu mengangguk, menuruti kata Bima, dia pun melangkah pergi.

Setelah di rasa tempat ini aman, Bima kembali menatap orang-orang yang dibawa Dewa tadi kepadanya.

"Bapak tak habis pikir dengan kelakuan kalian. Jujur apa yang akan kalian lakukan pada Senja?" tanya Bima dengan tatapan tajam.

Mereka saling bertatap saling menyalahkan, "Kami hanya ingin Senja menyesal sudah menyakiti kami, Pak." akhirnya salah satu dari mereka mengeluarkan suaranya.

"Dengan cara seperti ini? Bapak sudah tidak bisa mengatasi kejadian yang kalian lakukan. Apa kalian tahu jika perbuatan kalian bisa mempengaruhi psikis Senja? Apalagi dengan niatan memukul gadis itu dengan balok kayu, apa yang akan kalian lakukan jika kayu itu berhasil mengenai Senja dan membuatnya tidak sadarkan diri?" lanjut Bima.

Hening. Mendadak ruangan serasa kekurangan oksigen untuk bernapas.

"Kami minta maaf, Pak." ucap mereka kompak.

Bima tahu salah satu dari mereka tidak memiliki rasa bersalah atas semua ini.

Bimapun berdeham, "Harusnya kalian juga minta maaf pada Senja. Naufal, Riky, Sena. Bapak akan serahkan tindakan ini pada pihak sekolah yang berwenang, jangan harap bapak akan membantu kalian."

=====

Senja menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal, dia tidak habis pikir, bisa-bisanya orang-orang tadi melakukan itu padanya dan pada Bima? Tapi Senja juga merasa bersalah, bukankah karena dirinya yang tidak bisa menghargai orang yang menyukainya hingga Bima yang menjadi korbannya?

Bodoh.

Tapi apa lagi ini? Senja merasakan detak jantungnya berdebar tidak karuan saat mengingat hari-harinya dengan Bima. Apa dia sudah benar-benar jatuh cinta pada gurunya itu? Oh iya, salah. Apa dia sudah benar-benar jatuh cinta pada pacarnya itu?

Senja juga teringat akan ucapan ayah Bima, kalau benar Bima tidak ingin memegang alih sekolahan milik ayahnya, kenapa Bima masih memilih belajar di fakultas pendidikan dan memilih magang di sekolah itu?

Memang benar, Senja belum benar-benar mengenal Bima. Seketika kaki Senja berhenti di lorong rumah sakit. Yang Senja tahu, Bima sama dengannya, mereka sama-sama dipaksa oleh ayah mereka untuk melakukan hal yang tidak ingin mereka lakukan.

Ah, Senja jadi teringat pria yang paling Senja benci di hidup ini. Bulan-bulan yang tenang akan segera berakhir, ayahnya yang sedang bertugas akan pulang dari luar negeri. Di saat itu pula, Senja akan merasa tidak ada tempat yang nyaman lagi di dunia ini.

Tiba-tiba Senja yang sedang menatap ujung sepatunya, melihat ujung sepatu lain yang berhenti tepat di depannya. Senja mendongakan kepalanya. Dia melihat sosok pria dengan muka datar menatap ke arahnya yang membuat Senja mengidik ngeri.

"Siapa?" tanya Senja sengat pelan nyaris berbisik.

Pria itu sedikit membungkuk untuk mensejajarkan matanya pada mata Senja, "Memang benar kata Bima, Senja itu orang yang mudah dikenali karena sorot matanya." ucapnya, gadis itu langsung mundur satu langkah.

"Jangan menatapku seperti itu, aku bukan guru c*bul seperti kau memanggil Bima." Senja makin mengeryitkan keningnya saat mencerna kalimat itu.

Siapa pria yang tahu banyak hal tentang dirinya dan Bima?

Dengan segera pria itu meraih selembar kartu dari dompetnya lalu menyerahkan pada Senja.

Ini kartu nama.

"Aku Wisnu, rahasia Bima ada di aku. Jika kau penasaran, kau bisa menghubungiku." lanjutnya lalu melangkah melewati Senja yang Senja yakini Wisnu memang berjalan menuju ke arah ruang rawat Bima.