"Takdir sepertinya setuju jika aku memilih untuk tetap menyukaimu."
-Bima Johannes-
______________________________________________________________________________
Seorang pria di samping Bima terus mengangkat kedua alisnya ketika pandangannya menjelajah lapangan indoor yang sengaja ia datangi. Setiap sudut dia amati, bahkan murid-murid yang sedang berada di tempat ini pun dihitungnya.
Terlihat ada yang membersihkan kaca, bola-bola, sampai ada juga yang berlarian untuk mengepel lantai lapangan yang luas ini.
Yahh, meskipun terdengar banyak yang mengeluh karena tidak ikhlas melakukannya.
Pria itu menepuk pundak kiri Bima dan membuat Bima melirik ke arahnya,
"Bagus! Kelas paling bandel di sekolah ini bisa kau bujuk untuk ikut bekerja bakti." ucapnya.
Bima memasukkan kedua tangan di dalam saku,
"Ini pembuktian, jika aku benar-benar serius dengan apa yang ku inginkan." balas Bima sengit.
"Menjadi penerus sekaligus kepala atau guru di sekolah ini akan menjamin kehidupanmu."
"Jadi, apakah keinginanku tidak akan menjamin kehidupan aku?" sahut Bima membuat tangan pria itu terlepas dari atas pundaknya.
"Aku sudah cukup bersabar ketika kau membuat perjanjian tentang magang di tempat ini. Tapi untuk menjadi penerus atau sebagainya, meskipun kau adalah Kakak aku sendiri sangat berusaha keras untuk membujuk. Maaf, Pak Dewa, aku sama sekali tidak berminat."
Pria bernama Puntadewa Johannes adalah putra pertama keluarga Johannes, berumur 33 tahun yang notabene penerus kedua dari SMK Bangsa, matanya menatap datar punggung Adiknya yang mulai pergi menjauhi tempat di mana dia berdiri.
Dia masih tidak habis pikir. Bima sudah diberikan kehidupan yang enak dari usaha mendirikan sekolah dari Ayah mereka. Namun bukannya menikmati dan meneruskan perjuangan beliau seperti yang dilakukan Dewa, Bima justru memilih hal yang menurut Dewa hanya akan membuang waktu tanpa mengasilkan sesuatu untuk masa depan Bima sendiri.
=====
Di saat banyak orang sibuk dengan tugas mereka, Bima yang sedang berjalan perlahan mendengar percakapan antara tiga siswa yang berhenti melakukan aktivitas bersih-bersihnya, Bima pun memutuskan untuk mendekat.
"Wah, iya ya. Senja memang cantik." ucap Dido seraya membenahi letak kacamata yang ia pakai saat mengamati setiap senti wajah gadis yang sedang mereka bincangkan.
"Jika saja sering tersenyum, pasti idaman sekali." sahut Rio.
Seorang Sena sedang menumpu dagu di punggung tangan yang menggenggam atas gagang sapunya langsung melirik Rio.
"Dia hanya sering senyum ke Rere."
Cowok itu kembali melihat Senja.
"Senyum Senja dijadikan taruhan. Kalian mau bantu aku?" lanjut Sena.
Kaki Bima berhenti sedetik setelah Sena mengucapkan kalimat itu. Entah kenapa Bima penasaran dengan apa yang akan direncanakan bocah satu ini.
"Lah, apa untungnya untuk kami?" cibir Rio.
Sena segera menegakkan badannya,
"Semisal aku memenangkan taruhan itu, kalian akan ku beri free main di warnet sampai kita lulus." ujarnya.
Dido langsung menyentuh lengan Rio dengan ujung sikunya dan membuat cowok itu menoleh lalu mengeryitkan keningnya.
Rio menghela napas ketika Dido memasang raut wajah memelas karena janji manis dari Sena. Sejujurnya Rio sangat malas melakukan hal seperti ini, tapi jika mengingat warnet yang akan digratiskan selama lebih dari lima bulan dan Dido yang notabene pecandu game online adalah sohibnya, Rio tidak bisa menolak.
"Kita harus apa?" tanya Rio pasrah.
"Gampang. Nanti aku akan meminta bantuan pada Senja ke ruang perlengkapan dan kalian hanya bertugas mengunci pintu dari luar, sisanya aku yang atur." jelas Sena, Rio mengangkat alisnya sebentar tanda setuju dan membuat Dido bersorak senang.
Tenang, itulah yang terus Bima yakinkan di dalam hatinya. Dia terus berusaha untuk bersabar terhadap tingkah murid-muridnya.
Di sisi lain Bima merasa lega bisa mengetahui hal itu sebelum Sena melakukan sesuatu pada Senja, jadi Bima bisa berusaha untuk
menghalangi.
Tentu saja Bima berharap rencana para murid itu tidak merugikan siapa pun.
Pria itu melangkah dan berhenti tepat di belakang Rio, Dido, dan Sena. Lalu berdecak membuat mereka kompak menoleh ke arah Bima.
"Kenapa kumpul di sini?" tanyanya.
Terlihat Sena memainkan bola matanya seperti berpikir.
"Anu, Pak. Kita sedang istirahat sebentar." balas Sena.
Terlihat Bima memijit pangkal hidungnya sebentar,
"Jangan banyak alasan. Bapak sudah hitung kalian berhenti selama lima belas menit dan itu tidak termasuk dalam kata 'sebentar' di kamusku."
Tiga siswa berseragam itu menutup mulut mereka rapat, tidak bisa membantah.
"Kalian dihukum lari keliling lapangan ini sebanyak sepuluh kali." lanjut Bima, mendengar kalimat itu rahang Sena pun
mengeras.
"Cepat lakukan!"
Rio dan Dido yang terkesiap langsung saja menarik lengan Sena untuk segera melakukan perintah wali kelas mereka yang mulai menghembuskan napas panas.
=====
"Sini! Sini!" teriak Nea pada Rere.
Senja yang sedang duduk membersihkan bola pun melirik ke arah gadis yang dimaksud tadi.
Terlihat Rere berlari seraya mendorong tongkat pelnya ke arah mereka dengan napas terengah-engah, membuat Sinta yang sedang duduk di dekat Senja ikut tertawa bersama dengan Nea.
Rere segera menjatuhkan pantatnya ketika dia benar-benar sudah sampai di tempat teman-temannya berkumpul, bahkan alat pel yang dia bawa dia lempar begitu saja karena kelelahan dan sibuk mengatur napasnya.
Sinta menepuk bahu Rere beberapa kali,
"Memangnya kenapa harus lari?"
"Biar cepat selesailah, Sin.." sahut Rere.
Nea menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Kau itukan sedang tidak dihukum seperti mereka." ucapnya kemudian menunjuk dengan dagunya ke arah tiga pria yang sedang berlarian mengelilingi lapangan.
"Pasti Pak Bima lagi." ucap Senja.
Nea, Sinta, dan Rere menoleh bersamaan ke sumber suara.
Raut wajah Senja berubah kesal ketika menyebut nama seraya menatap sosok pria itu. Pria yang berdiri dengan tampang sok tampannya dan mengamati mangsa yang berlari atas perintahnya.
=====
Senja merenggangkan tubuh setelah menyelesaikan tugasnya lalu dia beranjak dari duduknya hendak meninggalkan lapangan indoor yang nampak sepi.
Seseorang berdeham, seketika Senja menoleh dan mendapati pria yang ia kenal sedang tersenyum menghadapnya.
"Riko memintamu membawa dan meletakkan semua bola ini ke ruang perlengkapan." ucap Sena.
"Aku yang membersihkan, aku pula yang memindahkan?" tanya Senja tak terima lalu berdecak kesal.
Mentang-mentang Riko ketua kelas, seenaknya memerintah. Itulah yang Senja pikirkan saat ini lalu mengangkat tiga bola voli ke dalam pelukannya dan melangkah perlahan.
"Aku bantuin." segera Sena meraih sisa bola di bawahnya.
Beberapa langkah, Sena melihat Senja sudah masuk ke dalam ruang perlengkapan kakinya pun berhenti. Dia cepat-cepat menjatuhkan bola yang ia bawa lalu berlari pergi menjauhi ruangan itu karena tidak tahan ingin buang air.
Dido dan Rio yang sebelumnya bersembunyi di balik papan tulis yang digunakan untuk papan skor pun mengendap-endap lalu menutup pintu ruang perlengkapan dengan cepat dan menguncinya.
Senja terbelalak mendengar suara daun pintu yang terbanting sangat keras, dengan ragu Senja mendekati pintu itu dan berusaha membukanya, namun sia-sia.
Gadis itu beberapa kali menarik bahkan memukul-mukul pintu di hadapannya, hasilnya tetap percuma.
Senja mendengus kesal.
"Mereka benar-benar melakukan hal ini." ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik kardus yang tersusun rapi.
Tentu saja gadis itu terkejut bukan main, melihat Bima dengan santainya berjalan ke arah Senja dan membuat Senja berjalan mundur beberapa langkah lalu terjatuh duduk tepat di atas matras.
Senja yang mendongak semakin memperjelas raut wajah Bima yang sedang menunduk dan terus menatap kedua mata Senja, dia jadi kesulitan bernapas.
Bima pun mengusap tengkuk karena gugup lalu meraih dua bola yang sedang Senja bawa, dia pun menaruh bola itu di rak paling atas di belakangnya. Bima kembali berbalik untuk meraih sisa bola yang ada di tangan gadis itu.
Entah kenapa tangannya berhenti saat tak sengaja menyentuh jari jemari Senja di bola voli yang sedang mereka pegang.
Getaran hati Bima semakin tidak terkontrol, dia mulai menyondongkan wajahnya hanya untuk menatap lebih dekat mata indah milik Senja.
Bruk!
Bola yang ia letakkan di atas rak tadi ternyata menggelinding, memantul, mengakibatkan bola-bola lainnya berjatuhan lalu tidak sengaja mengenai bahu Bima dan membuat Bima terjatuh menimpa tubuh Senja.
Bahkan bibirnya menyentuh bibir mungil Senja.
Mata Bima dan Senja melebar bersamaan. Bima pun mengangkat tubuhnya lalu mundur beberapa langkah seraya menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, dia tidak peduli dengan bahunya yang terasa sakit karena bola-bola tadi tapi dia tidak habis pikir dengan hal yang terjadi di antara mereka.