Chapter 4 - Memori Manis

"Kau pikir manis, dia pikir biasa saja. Jangan bawa perasaan!"

__________________________________________________________

Bima berjalan tertatih saat masuk ke sebuah apartement, tangannya terus ia gosokkan di punggungnya yang masih terasa sakit.

Lagi-lagi dia merasa malu dihadapan Senja, apa lagi dengan posisi dia yang terjengkang. Bima tidak ingin mengingat peristiwa itu lagi.

"Kau kenapa?" tanya seseorang yang sedang membawa gelas kosong dan kembali berjalan ke arah dapur setelah mengetahui bahwa Bimalah yang masuk ke apartement.

Bima tidak menghiraukan, melainkan menjatuhkan badannya di kasur berukuran twin yang dibalut dengan bed cover bergambarkan klub bola kesukaan pemiliknya.

"Lepas dulu sepatumu!" teriak orang tadi.

Bima mengerang,

"Berisik sekali kau, Nu! Keluar sana! Pergi!" balas pria itu lalu menutup seluruh badannya dengan selimut.

Hal itu membuat Wisnu kesal bukan main, dia segera menarik selimut tebal itu lalu beralih menarik telinga Bima tanpa ampun. Tentu saja pria itu terus mengeluh kesakitan.

"Kau bilang apa barusa? Kau lupa ini apart punya siapa?" tanyanya dengan tatapan tajam yang dapat membuat siapa saja ketakutan.

Bima terus bergumam, Wisnu pun terus mengatur napas panasnya.

"Kau hanya menumpang, Bim. Lebih baik kau kembali ke rumah Kakakmu saja." ucap Wisnu setelah melepaskan tangannya dari telinga Bima dan menyisakan warna merah di sana.

"Sorry, tak lagi-lagi.. tega sekali ngusir aku--"

"Salah sendiri." potong Wisnu yang sudah duduk di sofa depan benda elektronik berukuran 40 inci.

Bima kembali beranjak lalu ikut duduk di sofa itu dengan susah payah.

"Aku tanya, kau kenapa?" tanya Wisnu, nampaknya dia tahu bahwa sahabatnya ini sedang bermasalah dengan tubuh bagian belakang.

"Jatuh di depan Senja. Malu sekali aku." balas Bima seraya melepas sepatu kulitnya.

"Kasian Senja."

"Lah, kenapa?"

"Ya yang jatuh di depannya bukan seorang pangeran bak cerita dongeng." ucapnya, dia terus menekan tombol remote untuk mencari acara bola kesukaannya.

"Aku kan tampan, kurang apa aku ini untuk jadi pangerannya Senja?" tanya Bima.

Wisnu berdecak,

"Kalo perihal tampan aku pun tampan, Bim." Bima mengangguk-ngangguk seakan menyetujui pernyataan itu.

Bodoh. Batin Wisnu seraya menahan tawa tapi masih cool mode on.

"Pangeran itu yang sering membuat seorang putri senang. Nah kau? Sering menghukum, galak, mengajak debat melulu. Gimana Senja mau denganmu?" ejek Wisnu.

Bima masih memikirkan ucapan Wisnu.

"Yang tahu sifatmu seperti ini hanya aku saja, Bim, di luar kau tuh tsundere, terlalu banyak nonton anime." lanjut pria itu.

Bima masih berpikir dan di pikirannya semua ucapan Wisnu memang benar.

Sifat tsundere sudah melekat kuat di dalam dirinya. Di depan Senja dia berlagak mengesalkan, tapi di belakang, Bima bisa saja berguling-guling senang karena kejadian-kejadian yang dia alami bersama gadis itu.

Wisnu sudah tahu sifat Bima yang satu ini, dia bahkan sudah sangat terbiasa dengan Bima yang curhat setelah pulang dari magangnya. Senja yang beginilah, Senja yang begitulah. Wisnu jadi mengenal gadis itu meskipun belum bertemu dengan orangnya langsung.

Jika diingat, Bima yang sekarang dan Bima yang dulu sangatlah berbeda.

Wisnu akan tersenyum jika sudah mengingat masa lalu sebelum mereka bersahabat, Bima dan Wisnu dulunya musuh.

Ini semua berkat kehadiran Senja di hidup orang bernama Bima Johannes.

=====

"Beruntung sekali ya kalian, wali kelasn masih muda tampan pula." ucap Karin yang langsung dibalas anggukan oleh Kiki, murid XII Farmasi 2 yang sering datang ke kelas Senja untuk sekedar mengajak gadis itu bergosip.

Tentu saja, hal itu membuat beberapa teman sekelas Senja ikut menggerombol di bangkunya. Bergosip tentang suatu hal, tapi Senja tetap memilih untuk diam.

"Iya benar... tapi kalian tak tahu saja, Pak Bima itu sama seperti iblis. Suka muncul seenaknya, suka bikin kacau mood murid seenaknya." balas Sinta yang duduk tepat di depan bangku Senja.

Senja yang mendengarkan pernyataan Sinta pun mengangguk, sangat setuju.

"Lihatkan? Seorang Senja yang biasanya tak merespon jika diajak gosip, jadi mengangguk seperti itu." ucap Rere seraya terkekeh.

"Aku juga kesal dibuatnya." balas Senja.

"Kenapa?" tanya Kiki penasaran.

"Asal kalian tahu, di kelas ini yang paling sering kena hukuman plus omelan dari Pak Bima itu ya Senja." sahut Riko ditimpal tawa teman-temannya.

"Lihat aku hoho! Ranger merah!" ucap Riko yang kembali fokus dengan perbincangan awal kelompoknya seraya bergaya ala-ala pahlawan super di acara tivi saat mereka kecil.

"Ranger biru!" sahut Sena.

"Ranger hitam!"

"Ranger pink!" lanjut beberapa temannya yang ikut menggerombol di belakang kelas, mereka seakan bernostalgia dengan acara anak tersebut.

"Ranger guru!" sahut seseorang yang baru masuk lalu menyerang beberapa murid itu dengan memukul buku yang dia bawa ke kepala mereka.

Tentu saja hal itu membuat beberapa anak lari tunggang langgang menuju bangku mereka masing-masing, begitu pula dengan Karin dan Kiki yang segera keluar dari kelas Senja.

Bima kembali melangkahkan kakinya seraya menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan tingkah murid di kelas ini. Jadi wali kelas memang tidak mudah, pikirnya.

Setelah dia sampai di dekat bangku guru, Bima reflek mengusap punggungnya yang tiba-tiba terasa nyeri. Mungkin duduk bukan pilihan yang tepat, jadi Bima mengurungkan niatnya.

Pria itu memakai kacamata yang baru dia ambil dari dalam sakunya lalu membuka buku yang dia pegang.

Pandangan Bima mulai menjelajah ke seluruh penjuru kelas, dia mulai tersenyum jahil membuat siapa saja yang melihat pasti mengidik karena sudah tahu hal yang akan terjadi selanjutnya.

"Nea..."

Gadis yang mulanya menghalangi wajah dengan buku itu pun menghela napas pasrah.

"Baca bab selanjutnya!" perintah Bima.

Nea menurunkan bukunya lalu mengangguk,

"Statistika adalah cabang dari matematika yang mempelajari cara mengumpulkan data, menyusun data, menyajikan data, mengolah dan menganalisis data, menarik kesimpulan, dan menafsirkan parameter..."

Bima mendengarkan penjelasan itu seraya melangkahkan kakinya dengan pandangan yang terus mengarah pada bukunya.

"...kegiatan statistika meliputi, satu, mengumpulkan data, dua, menyusun data, tiga, menyajikan data..."

Langkahnya berhenti tepat di dekat bangku Senja.

Senja menyadari Bima sudah ada di dekatnya. Tangannya mulai meraih sesuatu di kolong lalu meletakkan di atas mejanya.

Bima pun melirik salah satu muridnya itu dengan kening yang mengerut, Bima lihat Senja masih menatap bukunya tapi mulutnya bergerak seperti memberitahukan sesuatu. Un-tuk-ba-pak.

Akhirnya Bima mengerti lalu meraih benda yang sudah berbungkus plastik di atas meja Senja, dia juga memasukkan benda itu ke dalam saku jas hitamnya.

Senja menyandarkan punggungnya, lagi pula dia sudah memberikan benda itu pada Bima, jadi tidak ada alasan lagi untuk Senja merasa bersalah atas kejadian kemarin sore saat Bima terjatuh di hadapannya.

"...empat, mengolah dan menganalisis data, lima, menarik kesimpulan, enam, menafsirkan..."

Bima menahan senyumnya, jantungnya pun mulai berdenyut tak karuan, dan mungkin wajahnya sudah memerah. Bima membalikkan badannya lalu melangkah menuju bangkunya, dia harap tidak ada satu orang pun yang tahu kalau dia sedang salah tingkah karena pemberian Senja.

=====

Bima menurunkan pantatnya secara perlahan untuk duduk di kursi apartemen yang terasa sunyi. Wisnu belum pulang dari kampusnya.

Pria itu teringat dengan benda tadi, benda pemberian Senja yang membuat Bima senyum-senyum sendiri. Langsung saja Bima meraihnya dari saku lalu membuka plastik pembungkus dan memperlihatkan beberapa obat di dalamnya.

Karena penasaran, Bima pun mencari tahu tentang obat ini di halaman pencarian di internet.

"Pa-ra-ce-ta-mol." ucapnya mengeja.

"Paracetamol, anti nyeri." lanjutnya lalu Bima mengangguk paham.

Memang, anak farmasi tidak bisa diremehkan jika sudah menyangkut hal seperti ini.

Bima suka, Bima senang, Bima gemas, baru kali ini Senja memberikan sesuatu padanya. Meskipun hanya sebatas obat, tapi Bima akan menyimpan memori manis ini di tumpukan kejadian yang pernah dia alami bersama gadis itu.