Chapter 3 - 20 cm

"Bagaimana ya? Ini yang namanya orang jatuh cinta, apapun dilakuin agar bisa deket dengan dia."

_____________________________________________________________________

Saat berjalan menuju kelasnya, Senja tertawa puas. Bagaimana tidak? Dia baru kali ini berhasil memenangkan debat melawan Bima dan berhasil mengabadikan wajah tolol beserta merahnya di dalam ponsel milik Senja.

Kalau saja Bima berani menyentil ketenangannya lagi, Senja tidak tanggung-tanggung menyebarkan wajah absurd gurunya ini ke media sosial.

Guru mesum harus dibuat kapok.

Senja meletakkan pantat di bangku miliknya bertepatan dengan bel jam istirahat. Beberapa temannya mulai berhamburan keluar kelas, ada juga yang menetap. Senja pun membalik kertas yang tadi dia bawa dan memperlihatkan soal matematika yang mendadak membuat matanya melotot.

"Gila, soal apa ini? Ah Rere juga sedang dihukum." gumam Senja seraya meraih pensil lalu mencoba mencoret angka-angka.

Kelas ini terasa sangat ramai, tapi tidak ada satu pun temannya yang berani mendekati Senja, mereka seakan tahu bahwa Senja sedang sibuk menyelesaikan hukumannya. Jika sudah begitu, lebih baik menghindar daripada singa betina ini ngamuk-ngamuk karena diganggu saat sedang berpikir keras.

Gadis itu sangat serius mengerjakan soal nomor satu, meskipun catatan matematikanya tidak lengkap tapi dengan bantuan buku paket dan kalkulator, Senja yakin lima soal ini akan segera selesai.

Tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di samping meja Senja. Awalnya Senja tidak menghiraukan kehadiran orang itu, namun jari yang terus diketuk-ketukkan di mejanya, berhasil membuat gadis itu mendongak kesal.

"Kau mau apa?" tanya Senja sewot.

"Ku denger kau baru saja putus dengan Naufal?" tanyanya.

Dia Riky, mantan ketua osis seangkatan dengan Senja. Tinggi dan tampan, itu sudah jelas. Tapi satu hal yang Senja tidak suka, pria ini dulunya suka menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas anak nerd. Di mata Senja seakan citra Riky lenyap karena itu.

Senja berdiri dari duduknya lalu menatap Riky,

"Jika iya memang kenapa?" tanyanya lagi.

Pria itu mengusap tengkuknya perlahan,

"Kau mau jadi kekasihku?" pertanyaan Riky berhasil membuat orang-orang yang ada di dalam kelas ini menoleh ke arahnya.

Sebenarnya Senja tidak terkejut. Senja tahu, pria yang langsung gugup di depan gadis pasti terlihat dari tatapan matanya kan?

"Oke." balas Senja lalu duduk kembali untuk mengerjakan soalnya.

"Benarkah?" Riky tidak percaya, dia pun memasang raut wajah gembira.

Teman sekelasnya kembali ramai seperti semula, tapi kali ini yang mereka bahas adalah Senja yang dengan mudahnya menerima Riky tanpa bertanya apa yang pria itu suka darinya. Hal yang gadis lain sering tanyakan saat menerima pernyataan cinta.

Naufal yang tidak sengaja melihat Senja dan Riky pun berdecak kesal.

"1... 2... 3... 4... 5..." ucap Senja yang masih terlihat sibuk dengan tugasnya.

Gadis itu pun meletakkan pensil yang dia genggam dengan keras dan membuat Riky terbelalak,

"Kita putus." tentu saja Riky terkejut.

"Selamat ya, kau orang pertama yang memiliki hubungan denganku hanya lima detik." lanjutnya langsung ditimpal tawaan kompak seisi kelas.

Pria itu merasa dipermalukan lalu pergi meninggalkan kelas Senja dengan sumpah serapah yang dia lontarkan.

Senja tersenyum miring, itulah balasan untuk orang yang berani-beraninya mengganggu dia. Memangnya enak? Senja yakin sekali pasti tidak.

=====

Jam pelajaran terakhir, jam yang paling membosankan, dan jam yang menguji kesabaran.

Pak Teguh, guru bahasa yang sudah berambut putih itu sedang membacakan materi dengan nada yang pelan, kalimat yang panjang, dan tanpa menjelaskan hal-hal yang sekiranya penting. Beliau duduk dan menatap buku, yang bergerak hanya bibirnya saja.

Berulang kali murid-murid di kelas ini menguap karena Pak Teguh membaca sama halnya seperti mendongeng, beliau pun berhenti lalu menatap muridnya.

"Bapak lelah membaca." ucapnya dengan nada pelan lagi.

Kalau saja suara hati bisa didengar pasti di dalam kelas ini bergema kalimat 'siapa yang meminta Bapak baca semua? kami sudah bisa membaca' atau 'mau penjelasannya Pak bukan dibacakan' atau mungkin 'jika lelah maka cepat pulanglah agar kami bisa ikut pulang'.

Pak Teguh memasukkan bukunya ke dalam tas,

"Yes! Benar pulang kan!" bisik Sena.

"Kerjakan halaman 161, minggu depan dikumpulkan." ucapnya lalu berjalan menuju pintu.

Lama, orang-orang ini terdiam. Setelah memastikan Pak Teguh menginjakkan kaki di luar kelas, baru lah seisi kelas XII Farmasi 1 heboh bukan main karena mereka bisa pulang lebih awal dari kelas-kelas lainnya.

=====

Hampir satu jam, ruang kelas ini pun sudah nampak sepi menyisakan dua gadis yang sedang duduk di bangku mereka masing-masing.

Rere lagi-lagi mengidik ngeri dan membuat Senja menoleh lagi.

"Kau memangnya kenapa?" tanya Senja mulai kesal.

"Kepikiran saja, sepertinya si Melati terus mengamatiku. Punggungku rasanya seperti panas di sana." jelasnya.

Rere benar-benar ketakutan saat dihukum sendiri di belakang gedung sekolah, dia bahkan tidak fokus memasukkan sampah ke tempat yang tepat. Yang penting cepat selesai, pikirnya.

"Ck! Kau percaya hal seperti itu." ejek Senja.

Rere memanyunkan bibirnya. Andai saja dia seberani Senja, dia tidak akan terbayang-bayang sosok Melati hantu sekolah ini.

"Btw, masih lama? Kenapa tidak aku saja yang menolongmu? Nanti kau tak cepat selesai jika begini terus." ucap Rere seraya menjatuhkan kepala di atas meja.

"Pulang saja, Aku tau kau masih ketakutan." sahut Senja.

Rere langsung mengangkat kepalanya kembali lalu senyumnya mengembang,

"Benar? Tak apakah? Kau memang sahabat terbaik aku." dengan cepat Rere membenahi tasnya lalu melangkah menjauh, "aku pulang dulu ya?" pamitnya.

Senja hanya tersenyum membalas kepergian Rere.

=====

Seorang pria melangkahkan kakinya dengan cepat seraya menghela napas kesal, kesabaran yang dia punya sudah lenyap karena gadis bernama Senja tidak kunjung datang menghampirinya untuk menyerahkan tugas hukuman yang dia beri. Menunggu bahkan berjam-jam lamanya, Bima tidak bisa menolerir hal ini.

Bima bergumam terus menerus, dia sudah siap dengan dialognya untuk memarahi Senja dan memberi Senja hukuman tambahan.

Begitu sampai, dialog itu tak kunjung keluar dari mulutnya karena melihat Senja meletakkan kepala di atas meja. Dengan segera Bima menghampiri gadis itu, takut-takut jikalau Senja sakit karenanya.

Namun, dugaan itu melenceng saat Bima meletakkan tangannya di kening Senja. Suhu badannya terasa normal. Bima yakin gadis ini hanya ketiduran karena kelelahan mengerjakan soal di mata pelajaran yang sama sekali bukan keahlian Senja.

Bima meraih kertas soal tersebut lalu duduk di kursi dekat bangku Senja. Dia mulai mengoreksi setiap pekerjaan Senja dan satu persatu soal dia beri coretan berbau catatan untuk Senja, agar Senja lebih memahami materi yang belum dikuasai.

Dia kembali beranjak dari duduknya lalu meletakkan kertas itu di dekat Senja. Lagi-lagi matanya terkunci pada wajah milik gadis ini. Benar-benar karya Tuhan yang paling indah, itu yang dia pikirkan.

Perlahan Bima menurunkan badannya dan duduk jongkok agar sejajar dengan wajah Senja yang sedang menghadap ke arah kiri. Tangannya tak sanggup lagi dia tahan untuk menyilakan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah gadis cantik ini, hingga akhirnya wajah Senja benar-benar terlihat jelas di jarak yang hanya sejauh 20 sentimeter dari wajah Bima sendiri.

Apa yang Bima lakukan setelahnya hanyalah terdiam, dia masih sibuk untuk menormalkan kembali detak jantungnya yang mendadak dangdutan.

Tiba-tiba mata Senja terbuka, membuat Bima terkejut dan terjatuh ke belakang dari duduk jongkoknya. Hal itu mengakibatkan terdengarnya benturan keras antara meja dan punggung Bima.

Senja terbelalak,

"Bapak baik-baik saja?"