Semua bunga sakura yang berjatuhan di tepi jalan itu dipenuhi oleh cairan berwarna merah yang sangat kental. Lalu, dia yang melihat darahnya menghiasi bunga sakura yang sangat ia cintai itu pun bertanya, Apakah darahku itu akan menodai bunga sakura tersebut? Atau malah membuatnya terkotori? Bunga Sakura, sebuah bunga yang melambangkan arti kata cinta. Warnanya, bahkan hingga coretan-coretan serat yang bersatu hingga membentuk daun bunga yang berwarna merah muda itu berisi makna sebuah cinta di dalamnya. Istrinya dan anaknya pun juga tahu akan hal itu, makanya mereka semua satu keluarga menyukai bunga sakura.
Di suatu hari di hari gugurnya bunga sakura. Yang sebelumnya menghiasi setiap bagian dari jalan persimpangan tersebut telah tiada. Di dalam hati mereka berdua, sepasang ayah dan ibu ini berniat membelikan hadiah untuk anaknya yang sekitar 3 hari lagi akan berulang tahun. Namun, sebelum mereka bisa mencapai ke tempat tujuan, semua hari mereka yang telah mereka jalani dengan sangat senang dan penuh kebahagiaan, hari-hari yang telah mereka jalani berdua dan bersama anaknya, selama Tujuh Musim Semi yang telah tiba menghampiri mereka, selama Tujuh Kali bunga sakura bermekaran, seketika berakhir dengan sekejap mata.
°~°
"Haah!! Ah... Cuman mimpi ternyata..." seorang ayah yang sedang mengalami mimpi buruk itu pun kebingungan sejenak dan menenangkan dirinya yang tengah dalam keadaan panik. "Ah, itu mimpi yang sangat nyata..." dia memikirkan kembali tentang mimpinya. Di suatu hari di tanggal 26 April, saat dia dengan istrinya pergi untuk membelikan sebuah hadiah untuk anaknya, tiba-tiba ada sebuah truk angkut besar yang melayang tepat menjatuhi mereka.
Setelah sejenak mengingat mimpi buruk itu dan berencana untuk meneguk sedikit air untuk menenangkan badannya, istrinya yang sedang tertidur lelap seketika terbangun dari tidurnya seperti habis melihat mimpi buruk. Sang Ayah pun langsung menghampiri istrinya dan juga membawakannya segelas air minum untuk menenangkan pikirannya. Setelah pikirannya tenang dan sudah memiliki kesadaran penuh, istrinya langsung memeluk suaminya dengan erat, lalu dengan tubuh yang sangat dingin dan lemah, dia menangis dengan pelan.
Sang Ayah pun khawatir dan bertanya tentang alasan kenapa sang Ibu menangis tiba-tiba. Dan ternyata mimpi tersebut tak hanya dialami oleh satu orang suami maupun sebaliknya. Tapi ini dialami mereka berdua di malam dan di saat yang bersamaan. Seorang istri yang ketakutan akan hal itu mencoba untuk menceritakan pengalaman mimpi buruknya itu kepada sang Suami, sang Suami pun langsung berkeringat dingin dan tubuhnya bergemetar kecil. Suara jantungnya menembus tulang-tulang rusuknya, tangannya yang selalu hangat itu pun seketika menjadi dingin, ini adalah pertama kalinya dia mendengar sebuah "kebetulan" di mana seseorang dan seseorang yang lain bermimpi hal yang sama persis, jatuh di malam yang sama, dan di saat yang bersamaan. Pada awalnya, dia masih bisa berpikir remeh tentang "kebetulan" yang jarang terjadi ini. Namun, setelah kelima kali berturut-turutnya si Istri menceritakan mimpi buruknya yang "kebetulan" sama persis seperti mimpi buruk sang Suami, tubuh sang Suami pun bergetar keras tanpa henti. Dan entah dari mana asal dari pemikiran ini sebenarnya tak diketahui, Suami tersebut tiba-tiba berpikir bahwa ini bukanlah sebuah "kebetulan", melainkan ini adalah sebuah "firasat". Menyadari hal itu, akhirnya sang Suami pun membuka mulutnya dan mengatakan bahwa dia selama ini juga mengalami mimpi buruk yang sama. Saat mendengar hal itu, reaksi si Istri pun juga sama persis. Terlebih lagi, si Istri juga mendapatkan pemikiran yang sama seperti Suaminya. Ini sebenarnya bukan berarti bahwa kedua suami-istri ini adalah sekelompok orang yang spiritualis, bahkan mereka pun juga bukanlah orang yang religius.
Ketika pemikiran mereka terlempar jauh ke mana-mana, mereka pada akhirnya meneguhkan kembali akal sehat mereka dan memutuskan untuk pergi ke orang yang ahli untuk menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi kepada mereka. Sang Ahli pun melakukan tugasnya, dia mendiagnosa keadaan mereka berdua, menanyakan apa yang terjadi pada mereka di masa lalu, riwayat konsumsi obat dan lain-lain. Lalu setelah mengetahui bahwa dari hasil diagnosa sebenarnya tak memiliki hal yang sangat berpengaruh terhadap mimpi buruk mereka, seperti tidak adanya trauma di masa lalu, tidak adanya stres yang terlalu menekan, dan riwayat konsumsi obat yang memiliki efek samping pengkonsumsi mengalami mimpi buruk pun tidak ada. Menanggapi hal tersebut, sang Ahli pun tidak bisa apa-apa selain menyarankan untuk mengkonsumsi obat-obatan untuk menghindari nightmare tersebut.
Namun, mimpi buruk yang sama itu tidak menghilang. Mimpi itu selalu menghantui mereka dan membuat mereka khawatir berlebihan. Suatu hari, sang Suami berencana dengan istrinya untuk mengatasi semua masalah yang akan ada apabila mereka akan benar-benar mati di "Musim Semi Ketujuh" tersebut. Seperti melindungi Hiro, bagaimana cara hidup Hiro, bersama siapa Hiro akan menjalani kehidupannya dan bagaimana Hiro akan—
"Haha, sepertinya kita tidak memiliki apa-apa selain Hiro, ya..." tawanya dengan pahit (?) yang sebenarnya juga tak bisa dibilang bahwa senyuman itu adalah senyuman pahit. Singkat kata, itu hanya sebuah senyuman seorang yang takut akan kehilangan, meninggalkan sesuatu. Sebenarnya mereka sama sekali tidak takut untuk mati. Tapi bukan juga berarti bahwa mereka ingin meninggalkan dunia ini begitu saja. Dalam 6 Musim Semi terakhir ini, mereka adalah pasangan ayah-ibu yang sangat bahagia. Saking bahagianya, mereka terkadang kehilangan diri mereka dan berpikir bahwa "aku tak apa mati hari ini". Namun, bagaimanapun, mereka tidak boleh menjadi egois.
"Hiroshi... Aku selama ini ngga pernah ngeliat kamu seserius ini sebelumnya... Haah, baiklah! Sebagai teman baikmu, nanti kalau seandainya kalian telah tiada di dunia ini, aku janji apa yang nantinya akan terjadi aku akan merawat anakmu!" ungkap janji seorang sahabat dari Taketsugi Hiroshi bernama Taketatsu Shu.
Tapi sejujurnya, apa yang membuat mereka sepasrah ini terhadap takdir? Mereka adalah sepasang suami-istri yang telah menekan segala macam cemoohan dari orang sekitarnya, orang yang menganggap bahwa cemoohan mereka adalah sebuah hukuman bagi mereka yang melanggar "hukum adat", dan memutuskan untuk hidup sesuai dengan keinginan mereka, dan 'mereka' yang sama telah pasrah terhadap "takdir" mereka.
Ini adalah Musim Semi ketujuh, Musim Semi yang dihitung dari lahirnya anak mereka yaitu Hiro, yang juga merupakan musim yang telah melewati Musim Panas, Musim Gugur dan Musim Dingin berkali-kali. Musim yang menjadi sebuah musim yang melambangkan bemekarannya bunga Cinta yang dalam kelopaknya terkikis ratusan hingga ribuan kenangan yang telah mereka lalui bersama anak mereka Hiro, kini telah mencapai garis terakhirnya.
•o•
"Oi Hii-chan...!"
"Hii-chan!!"
"HII-CHAN!!"
Dalam keterlarutan yang mendalam oleh sebuah TV Series yang dia tonton dan kiranya takkan bisa di ganggu gugat oleh siapapun, kini kesadarannya telah sampai ke lapisan teratas.
TV Series bernama Frog Prince merupakan sebuah cerita yang dulunya ditulis oleh Grimm Bersaudara yang terkenal di seluruh penjuru dunia yang menceritakan seorang perjuangan pangeran yang dikutuk menjadi kodok dalam mencari pasangan kekasihnya. Frog Prince ini telah di-remake oleh seorang Produser Jenius di Jepang dan dijadikan sebuah TV Series anak-anak. Idenya untuk me-remake Frog Prince ini dikarenakan sang Produser Jenius ini sangat prihatin terhadap anak-anak pada generasi baru. Setelah dia data melihat survei yang dia lakukan, kira-kira dari 10 anak berumur 5 sampai 12 tahun, hanya ada 1 satu di antara mereka yang mengenal dongeng-dongeng indah yang dulunya sang Produser ini sangat suka. Lalu, hasil juga menunjukkan bahwa 5 dari 10 anak menyukai cerita bergenre Romance-Komedi yang memiliki banyak adegan tidak senonoh. 2 dari 10 anak menyukai cerita ber-rating 17+. Lalu 2 dari 10 anak menyukai cerita Shounen atau bisa disebut juga Perjuangan Anak Muda. Pengambilan survei ini dilakukan terhadap 1000 anak berumur 5 sampai 12 tahun. Yang di mana 5-7 tahun sekitar 200 anak, 8-10 tahun sekitar 400 anak, dan 10 dan 12 tahun sekitar 400 lebih anak.
"Ah, Ibu..." Hiro yang sedang terlelap dalam dunia imajinasinya menyadari Ibunya sedang memanggilnya dan menjawab panggilan Ibunya dengan suara dan kekuatan yang lemas. Setelah dua puluh menit tanpa henti dia menatap layar TV, membayangkan apa yang dia lihat layaknya anak berumur enam tahun yang sedang terlalu fokus berimajinasi layaknya anak lain pada umumnya.
Tunggu, apakah hal itu adalah hal yang 'umum' terjadi? Entahlah...
"Ayo makan! Ayah udah nunggu di meja makan itu lho..."
"Eh, benarkah?!" tepat setelah Amane memberitahu Hiro kalau makanannya sudah siap, Hiro langsung terkumpulkan tenaganya dan dengan sangat bersemangat dia pergi ke ruang makan.
"Eh, Hii-chan tunggu aku! Aku juga ikut!" teriak Amane pada Hiro yang sedang kegirangan saat sedang meluncur ke ruang makan.
"Ayo bu, cepetan!" balas teriaknya.
°y°
"Yo, kalian sudah datang, ya? Aku sudah lama menunggu kalian..." kata Hiroshi sambil melipat tangannya di dadanya dan berkata seperti seorang Raja Iblis yang menyambut sang Pahlawan karena bisa datang bertatap muka dengannya setelah mendengar kabar bahwa sesosok Pahlawan telah menebas habis seluruh bawahannya, dan bukannya merasa takut terhadap ancaman dari Pahlawan tersebut, sang Raja Iblis justru malah merasa sangat senang karena kehidupannya yang membosankan akan segera berakhir, pikirnya begitu sambil menunggu duduk dengan sombong di singgasana hitam berestetik miliknya.
Mendengar ucapan itu, Amane dan Hiro pun tersenyum, lalu mereka secara kompak mengambil pose "Kami Telah Tiba!" bersamaan.
Yang sedang dalam posenya, Hiro pun berkata, "Kali ini kita akan mengalahkanmu Raja Iblis!"
Yang sedang dalam posenya, Amane pun berkata, " 'Kegagalan adalah awal dari kemenangan!', layaknya pedoman tersebut, meskipun kami telah mengalami banyak kekalahan, kami akan menang kali ini!"
Mendengar ucapan 'sok pahlawan' mereka, Hiroshi tertawa keras. Tawanya yang jahat itu menggema di ruangan tersebut. Dia mengelus dagunya dengan pelan, ini menandakan bahwa dia sedang sangat meremehkan para "Pahlawan". Lalu selagi mengelus dagunya dia berkata, "Wahai makhluk yang lemah, kamu tidak akan menang dalam pertandingan 'Cepat-Cepatan Makan' ini!!"
"Haha, aku sudah berlatih bersama Re-chan! Makanan sebanyak satu piring bisa aku habiskan dalam satu menit!" kata Hiro dengan sangat percaya diri.
"A-Aku juga sudah berlatih dan hasilnya aku bisa makan satu piring dalam satu detik!!" kata Amane dengan gugup.
Yap, "Cepat-Cepatan Makan!", inilah permainan mereka ketika mereka berada di meja makan. Apakah permainan bodoh seperti ini boleh dimainkan di meja makan? Tentu saja tidak boleh lah! Yah, itulah keluarga ini sih, sudah anak yang berumur enam tahun itu kekanak-kanakan, tambah lagi kedua orang dewasa yang tak mengingat bahwa umur mereka sudah mencapai kepala tiga masihlah bermain hal-hal yang tidak penting dan justru melanggar etis layaknya anak kecil. Jadi intinya, jangan ditiru ya!
"Sa-Satu detik?! Benarkah itu Bu?!"
"Te-Tentu sajalah!! Hehe..."
"Oi, jangan dipercaya lah omong kosong Amane itu, Hiro... Ngga mungkin Ramen sebesar ini bisa dimakan dengan satu detik..."
"Ho-Hoo, kamu ngga percaya ya Hiroshi-kun, baiklah aku akan membuktikan itu!"
"Ooo!!"
1,
Hitungan maju sebelum mereka bisa menyantap Ramen buatan tangan itu sudah mulai.
2,
Masing-masing memegang sumpitnya dan menyodorkannya pada ramen tersebut dan bersiap dengan sigap untuk bisa menyantap Ramen tersebut dengan kilat.
3, Mulai!!
Dan masing-masing pun menyantap Ramen-nya dengan sangat serius. Meskipun perlombaan omong kosong ini tak memiliki hadiah, mereka tetap dengan sangat serius mencoba untuk memenangkan pertandingannya. Hiro mencoba untuk secepat mungkin memasukkan helaian mie Ramen itu ke dalam mulutnya. Tapi bagaimanapun, Ramen tersebut masihlah panas. Malah sebelum dia memasukkan satu suap sumpit yang dia pegang itu ke dalam mulutnya, helaian mie yang dia suap malah mengenai bibirnya dan dia langsung loncat kepanasan.
"Hi-Hii-chan?!"
Amane yang melihat hal itu, langsung panik dan menghentikan jurus makan Ramen "Satu Detik Semuanya Masuk" miliknya. Sementara itu peserta yang satunya lagi, masih melanjutkan makannya tanpa menghiraukan anak maupun istrinya yang sedang panik.
"Sluuurrpp!! Ah..!!" Hiroshi telah menghabiskan Ramen-nya dengan suapan terakhir yang terlihat begitu puas dengan hasil pertandingan yang telah ia jalani bersama keluarganya. "Jurus 'Tanpa Menghiraukan Apapun' milikku kali ini berhasil! Sudah kukatakan kan Hiro, Amane, kalau kalian takkan pernah menang melawanku! Hahahahaha!!" Ini adalah jurus pamungkas Hiroshi ketika lomba makan bersama dengan Hiro dan Amane. Seperti namanya, jurus pamungkas "Tanpa Menghiraukan Apapun" ini adalah jurus yang berpuluh-puluh kali Hiroshi pakai dan di saat yang sama, berpuluh-puluh kali dia menang. Jurus pamungkas tersebut adalah jurus yang sangat efektif terhadap mereka berdua. Dari Hiro yang masih kecil dan tidak tahu mana yang bahaya mana yang tidak, lagi keinginannya yang kuat untuk menang, ditambah lagi Hiro itu masih kecil. Lalu sampai ke wanita yang paling dicintai oleh Hiroshi di dunia ini, dia adalah wanita dan juga seorang ibu, sekarang, seorang ibu mana yang rela anaknya merasakan rasa sakit namun dia malah terus terfokuskan pada apa yang dia lakukan?
"Hi-Hiroshi-kun, Hii-chan lagi sakit kena panas ini lho, kok masih tetep dilanjutin makannya?!" Yap, singkat kata Hiroshi itu jahat.
"Pft, bwaaahahahahahahahaha!! Hei kalian semua..." lagi-lagi dia berkata layaknya seorang Raja Iblis yang memiliki suara yang besar dan berat. "Itulah yang dikatakan oleh pecundang, setelah berpuluh-puluh kali kita melakukan pertandingan ini, masih saja kalian melakukan hal yang sama terus menerus..!" lanjutnya...
"Ka-Kalau itu..."
"Hah, ini tidak pantas dijadikan sebuah pertandingan, kalian hanya membuang-buang waktuku!! Hmph!" Hiroshi yang merasa terlecehkan oleh mereka berdua karena mereka berdua masih saja tidak bisa dewasa meskipun sudah melakukan perlombaan yang sama selama puluhan kali, langsung membalikkan badannya dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Namun—
"Ayah!!!" Hiro yang sebelumnya masih mengelus bibirnya yang melepuh itu, dia tiba-tiba langsung berdiri tegak dan mengangkat dadanya layaknya dia telah memegang teguh suatu pendirian di tangannya, lalu dengan kepalan tangan yang erat itu dia menepuk jantungnya dengan keras, lalu berkata "Tak peduli berapa kali pun aku kalah, selama jantung ini tidak membusuk, aku akan berjuang!! Lalu, aku akan mengalahkanmu dan menjadi Raja Makan Cepat di rumah ini, tidak di seluruh dunia!!!"
Mendengar hal yang menakjubkan keluar dari mulut anaknya yang selama ini dia telah tunggu-tunggu, akhirnya dia kembali untuk memandang mereka berdua, dia kembali untuk memandang meja makan tempat mereka berdua bertanding barusan. Lalu dengan senyum jahat dia kembali lagi duduk di kursi makannya dan menyuruh Amane untuk memasak dua porsi makan lagi Ramen untuk memastikan bahwa perkataan anaknya tadi itu memiliki kobaran api yang abadi di dalamnya.
Setelah selesai memasak Ramen Daging Sapi yang sama, dia langsung menyajikan menu makanan perlombaan di hari itu kepada mereka berdua. Untuk kali ini, karena selama ini Amane juga ikut menjadi partisipan, mungkin dia tak menyadari sebenarnya perlombaan yang mereka lakukan ini, bukanlah sekedar bersenang-senang, namun perlombaan yang dilajukan dengan serius. Melihat aura mereka berdua yang sangat panas, pemikiran itu tidaklah meragukan. Sebagai seorang ibu dan wanita yang baik, Amane berpikir untuk tidak mengganggu keseriusan mereka berdua.
1,
Hiro mengerutkan matanya dan dengan serius menatap seorang ayah yang dengan ekspresi yang sama pula menatap balik anak, penantangnya.
2,
Masing-masing melepas rekatan sumpit mereka lalu sumpit itu mereka arahkan pada Ramen yang sangat menggoda yang baru saja disajikan oleh ibu maupun istri mereka yang tercinta yang ada di depan mereka. Sebelum hitungan mencapai angka tiga, masing-masing dari mereka melakukan stretch dengan cara yang berbeda-beda, ada yang mencuil dan mengangkat-angkat helaian Ramen tersebut dengan tujuan mengetes seberapa cepat dia bisa memasukkan mie Ramen ke dalam mulutnya. Lalu ada yang meniup-niup Ramen tersebut dan memastikan agar kejadian yang sama tak terulang lagi.
3,
MULA—!!
`~`
"Hm, kamu kenapa Hii-chan, kok kaya lesu gitu? Habis dimarahi?"
"Ah, Jun-chan, sebenarnya waktu aku bertanding dengan ayahku, aku kalah... Sial sial sial! Padahal hanya tinggal satu suap aja!! Oh iya Jun-chan, mumpung lagi makan di rumahmu, gimana kalo kita berdua tanding "Cepat-Cepatan Makan"?"
"Oh, kayaknya seru! Ayo kalo gitu!!"
"Yosh, satu, dua, ti—!"
"Hii-chan, Jun-chan! Lagi di meja makan ngga boleh makanan dipake mainan!"
"He? Ngga boleh?"
"Lagian siapa yang ngajarin untuk main permainan ngga jelas kayak gitu, terlebih lagi waktu di meja makan lagi..."
"Ayah yang ngajarin..."
"Ah, Hiroshi lagi kah?"
`-`
Si kedua Caster ini pun duduk di tempatnya masing-masing. Hari ini adalah sebuah acara—lebih tepatnya permainan, sih—yang telah lama dilakukan oleh mereka berdua. Sebenarnya permainannya itu sama sekali tidak lucu maupun menyenangkan, permainan ini hanyalah permainan yang sama sekali tidak ada artinya, bahkan kalau dikatakan latihan pun, sebenarnya kedua-duanya sama sekali tidak tertarik dengan pekerjaan Caster. Dibayar pun? Tidak.
Ini adalah sebuah permainan di mana kedua "Caster Tipu-Tipu" atau lebih tepatnya "Caster Gelandangan" ini akan meramal cuaca di Jepang khususnya di Ibu Kota Tokyo yang kiranya akan atau tepatnya tidak akan pernah terjadi. Ini sebenarnya sebuah penghinaan bagi para Forecaster yang ada di luar sana. Karena ketika mereka melakukan forecasting atau mudahnya "meramal cuaca", mereka pastilah bekerja dengan sangat profesional, dan dalam keprofesionalan itu, pastilah mereka mementingkan keakuratan, sedangkan mereka berdua apa?
"Oi Hiro, besok hujan! Hmm, aku menerima sebuah wahyu dari langit dan mengatakan bahwa besok akan hujan!" kata Hiroshi sambil melihat langit cerah yang secarik pun tak memiliki awan yang terbentang di halaman rumah yang terlihat sedikit kuno milik mereka.
"Be-Benarkah itu ayah?!" lanjut Hiro yang dengan kepolosannya dia menerima kebohongan sekaligus ketidakjelasan ramalan cuaca yang dilakukan oleh Hiroshi.
"Oi oi, aku tadi itu bercanda, jangan diambil serius lah!"
"O-Oh begitu..."
Dan itulah saat pertama kali mereka melakukan peramalan cuaca versi acak-acakan mereka. Dari hal itu, mungkin bisa diketahui bahwa sebenarnya Hiroshi sama sekali tidak melakukan 'ramal cuaca' dengan benar.
Namun, dalam ketidakjelasan itu pun, mereka tumbuh dewasa, setelah melakukan acara Forecasting yang tidak jelas ini, mereka tumbuh dewasa dan akhirnya, setidaknya mereka bisa melakukan tugas seorang Caster dengan benar dan profesional (mungkin?)
"Halo semuanya, kini kita di sini guna untuk memberitahu bagaimana cuaca esok akan jadi..." kata Hiroshi yang sebenarnya kalimat yang dia ucapkan itu serasa aneh kalau seandainya mereka lakukan itu di acara televisi. "Hiro-kun, menurut lembaran yang barusan kau bawa itu, silahkan dengan itu mari kita kasih tahu bagaimana cuaca esok akan jadi..." lanjutnya dengan logat dan cara bicara aneh yang sama.
"Baiklah tuanku. Err, semua penonton apa kabar? Kab—"
"Oi Hiro! Kamu ngga boleh nyapa! Jangan nyapa penonton! ayo coba bayangin bahwa kamu ngga ditonton siapa-siapa, dan interaksinya itu seperti 'hanya kamu dan kamera'!" bisik Hiroshi yang telah memotong kalimat Hiro karena menyadari ada yang salah pada kalimatnya.
"Oh, oke. Akan aku ulangi. Ekhem," sebelum memulai report-nya, Hiro membersihkan tenggorokannya dan sekilas dia memikirkan tentang apa dan bagaimana cara dia akan berbicara menyampaikan kertas laporan yang isinya hanya omong kosong itu kepada penonton. Maksudnya, penonton.
"Berikut ini adalah laporan hasil ramalan cuaca yang telah dilakukan oleh Departemen Asal-Asalan. Seperti yang bisa anda lihat di layar sebelah saya ini," kata Hiro yang sedang mencoba sekeras mungkin untuk terlihat seperti seorang profesional dalam meng-cast sebuah acara. Lalu seperti profesional pada umumnya, saat dia mengatakan "layar sebelah saya ini," dia menunjuk sebuah layar yang sebenarnya hanyalah sebuah papan hitam yang berisi coretan-coretan tidak jelas yang ada di sampingnya. Lalu dia lanjut, "Untuk beberapa jam ke depan, oleh Profesor Hakase telah diramalkan akan hujan khususnya di Tokyo bagian selatan. Melihat dari arah tekanan angin yang mengarah ke selatan dan kepadatan awan yang awalnya menyebar rata di seluruh Tokyo, kini sedang berkonsentrasi di daerah bagian selatan, kira-kira daerah Ota sampai pada Setagawa lalu di kota Komae dan Chofu akan mengalami hujan lebat berpetir. Lalu untu kota daerah yang lainnya, seperti Shinjuku, Shibuya, Bunkyo, Toshima dan daerah yang lainnya akan mendapatkan cuaca yang cerah. Dan sekian dari saya, forecaster Hiro... Lalu, Hiroshi-san, silahkan kalau ada yang ingin anda sampaikan..."
Setelah memerhatikan pembicaraan panjang lebar dari Hiro, Hiroshi yang tadinya sempat kehilangan kesadarannya, sekarang telah bangun. Untuk beberapa saat, Hiroshi mengumpulkan nyawanya yang tadinya sempat melayang dan berserakan di mana-mana. Dan saat sadar bahwa sekarang adalah waktunya untuk melakukan aksinya, dia sepenuhnya sadar dan menggoyangkan kepalanya dengan kerasa sehingga dia dapat terbangun sepenuhnya.
Dan tanpa satu pun patah kata kepada anaknya, dia mengeluarkan sebuah payung biasa yang bisa ditemukan di rumah siapapun yang sedari tadi telah dia simpan, ke atas meja mereka berdua. Seolah tahu hal ini akan terjadi, hal yang sebenarnya tidak penting dan tidak ada hubungannya antara forecast dengan payung, Hiro hanya duduk terdiam dan hanya tersenyum ke arah kamera yang ada di depan mereka yang sebenarnya tidak ada apa-apa di sana, hanya saja, "berpura-pura kalau ada kamera di depan mereka" . Hiroshi pun membuka payung punyanya tersebut dan meneduhkan kepala mereka berdua, seolah-olah terjadi hujan lebat yang menimpa mereka. Melihat suasana sejuk dan cerah, sekaligus acara yang mereka adakan ini mereka lakukan di ruangan tertutup yang biasa disebut "Studio" ini yang sebenarnya hanyalah teras rumah mereka yang luasnya sekitar 4 tatami, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Hiroshi itu adalah kelakuan yang bodoh. Dan entah apa yang dia pikirkan, dia tetap saja meneduhkan diri mereka dengan payung, dengan senyum lebar seperti seorang anak kecil yang tidak memiliki dosa dan rasa malu, dia berkata, "Kalau hujan, kalian pasti akan membutuhkan payung kan? Ha?! Bingung cari payung karena harga payung sekarang naik menjadi 1000 yen?! Kalau begitu kalian jangan ragu untuk membeli payung No Drop ini! Payung No Drop, adalah payung yang tidak akan nge-Drop! Entah itu tidak akan menjatuhkan air apapun kepada kalian, entah itu payung ini tidak akan Drop dari pegangan kalian, ataupun tentang harganya juga yang tidak akan akan akan akan pernah Drop! Payung No Drop ini akan dijual seharga 1000 yen! Hm, 'bukannya itu harga pasar?' ? Jangan khawatir! Kalau seandainya kalian membeli payung pasaran, kalian tentu akan kehilangan fitur spesial dari Payung No Drop ini dengan harga yang sama! Sesuai yang saya sebutkan tadi, Payung No Drop itu berbeda dari payung regular lainnya! Karena kalau kalian memakai Payung No Drop, kalian akan bisa melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan!" layaknya seorang yang sedang promosi barang dagangannya dengan sangat senang hati.
Hiroshi yang hanya duduk diam sambil memegang payungnya itu mengedip-kedipkan matanya dan memberikan sinyal pada Hiro untuk memberitahu bahwa ini adalah saatnya di beraksi. Hiro yang telat menyadari hal itu pun langsung kelabakan dan sangat gugup. Setelah itu dia menghirup nafas panjang untuk menenangkan dirinya, dia menggenggam gagang payung dan tersenyum lebar mengarah ke kamera. Melanjutkan kalimat Hiroshi tadi, "Ya! Kalau seandainya kalian membeli Payung No Drop ini, kalian bisa melakukan hal yang kita lakukan seperti kita berdua!" Yang Hiro ingin katakan adalah, " 'Berteduh di bawah payung meskipun kalian ada di dalam ruangan'! Kalau seandainya kalian membeli payung yang lainnya, kalian pasti tidak akan menggunakan payung di dalam ruangan, kan? Kalau Payung No Drop ini berbeda! Karena Payung No Drop ini bisa kalian gunakan meskipun—tidak, pasti akan kalian gunakan ketika kalian berada di dalam ruangan sekalipun! Lihatlah kain yang sangat biasa namun terbuat dari bahan yang sama seperti payung-payung pada umumnya ini!" kata Hiroshi dengan semangatnya sambil menunjuk payung yang sebenarnya mereka beli dari minimarket di dekat rumah mereka dengan harga pasaran. Yah, simpelnya payung yang mereka iklan-kan itu bukanlah payung yang luar biasa.
"Lalu kalau seandainya kalian tertarik kepada Payung No Drop ini, kalian juga bisa mendapatkan sabun mandi ini! Lalu, cangkir teh yang antik ini! Dan banyak sekali perabotan-perabotan rumah tangga yang sekiranya akan berguna untuk anda menjalankan kehidupan keseharian anda!" kata Hiroshi yang juga menawarkan barang-barang tambahan yang ada di atas meja mereka yang sebenarnya sudah sedari tadi mereka simpan.
Setelah semua ide kekanak-kanakan yang terpikirkan oleh Hiroshi telah habis, mereka berdua akhirnya kembali ke dunia nyata dan menyadari bahwa permainan bodoh yang mereka lakukan sedari tadi adalah benar-benar sebuah permainan yang 'bodoh'.
"Eh, Ayah..." kata Hiro yang telah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan 'permainan' yang mereka lakukan, dengan sangat kebingungan dia melihat barang-barang perabot rumah tangga yang mereka ambil dari kamar mandi, dapur dan seluruh tempat yang ada di rumah ini. Dengan jiwa yang telah sadar dan bisa kembali berpikir secara normal, Hiro melanjutkan, "Sebenarnya kita mau main apa sih?"
Si Ayah pun terdiam dan menatap barang-barang yang mereka 'curi' dari tempatnya dan dengan sangat sedih melihat dirinya tercermin dalam barang-barang tersebut yang terlihat sangat menyedihkan. Namun, karena dia tidak ingin menganggap dirinya menyedihkan, dia tetap memaksakan ide untuk muncul di kepalanya dan mengatakannya dengan tegas dan penuh percaya diri, "Tapi!!" dia berteriak dengan keras dan itu menutupi semua keheningan yang baru saja melintasi mereka, "Barang-barang ini dijual terpisah!" lanjutnya.
Hiroshi menghela nafasnya dan akhirnya benar-benar sadar... "Sebenarnya apa yang kita lakukan, ya?"
[END]
Di sisi lain,
Amane yang sedang membersihkan dirinya,
"Lho, kok sabunnya hilang?!"