Chereads / Cinta Laki-laki Pemarah / Chapter 2 - Hati yang Berdebar-debar

Chapter 2 - Hati yang Berdebar-debar

Langit tampak cerah. Matahari berangsur-angsur menampakkan cahayanya, perlahan-lahan. Bak sang putri yang menampilkan senyum malunya. Udara masih terasa dingin, tapi segar!

'huft' Mumu melepaskan nafasnya berlahan-lahan melalui mulutnya. Ini sudah menjadi rutinitas baginya.

Tarik nafas dalam-dalam melalui hidung, tahan sebentar di perut, lalu lepaskan secara perlahan melalui mulut.

segar!

Itulah yang ia rasakan.

Apalagi pagi, belum terlalu banyak kendaraan yang lewat di jalan ini.

Mumu terus mengayuh sepedanya dengan perlahan-lahan, seakan-akan tidak ada beban dalam hidupnya.

Beban?

Apakah memang benar tidak ada beban dalam hidupnya?

Setiap manusia pasti punya beban dalam hidupnya!

Cuma bagaimana cara kita menyikapi persoalan tersebut yang akan menentukan apakah persoalan hidup itu menjadi beban atau menjadi batu loncatan.

Hari masih pagi. Belum ada jam 08.00 wib. Sedangkan perkantoran biasanya buka jam 08.00 Wib.

Oleh karena itu, Mumu langsung belok ke Kanan, memasuki jalan A. Yani. Sampai di Simpang tiga Lapangan Tugu, Mumu berbelok ke kanan lagi. Kira-kira lima puluh meter, langsung belok kiri.

Kalau lurus ke depan, akan langsung ke Pelabuhan, tapi Mumu agak menyamping ke kiri sedikit, dan langsung sampai di tepi pantai.

Pantai ini terletak diantara Pelabuhan lama dan Pelabuhan Bandar Sri Laksamana.

Kawasan tepi pantai ini, banyak terdapat bangku-bangku tempat orang bersantai.

Bahkan di sore hari, banyak orang-orang yang berjualan di sini. Hingga malam.

Jika pagi-pagi kita datang ke sini, maka kita akan bisa melihat orang-orang yang maraton di tepi pantai ini.

Walaupun sekarang tidak bisa dianggap masih pagi sekali, tapi masih ada beberapa orang yang berjalan santai di sekitar tepi pantai berpasir ini.

Dari jauh kelihatan ada dua orang perempuan yang berjilbab panjang sedang berjalan santai sambil berbincang-bincang.

Lebih tepatnya, wanita yang lebih dewasa itu yang sedang berbicara, sedangkan wanita yang satunya lagi, yang umurnya seumuran Mumu, lebih banyak diam, mendengarkan. Sambil sesekali melihat-lihat pemandangan di sekitar.

Mereka berdua terus berjalan-jalan menyusuri tepi pantai yang dibatasi oleh batu, yang kata orang-orang, batu ini adalah batu gunung, yang didatangkan oleh Pemerintah Bengkalis dari Tanjung Balai Karimun.

Mumu tidak menyadari jika kedua wanita tersebut hampir mendekatinya.

Kalaupun tahu, tentu ia tidak terlalu peduli. Karena orang-orang yang jalan-jalan santai di Lapangan pasir ini, biasanya tidak ia kenali.

Ketika lamat-lamat, terdengar suara kedua wanita tersebut, Mumu sontak menoleh.

Karena yang dibincangkan mereka mengenai Kampus tempat Mumu kuliah.

Hati Mumu langsung bergetar. Ia kenal wanita muda tersebut.

Karena wanita itu kuliah di tempat Mumu kuliah. Mereka satu angkatan. Tapi lain jurusan.

Hati Mumu berdebar-debar!

Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya untuk kembali memandang pantai dan air laut.

Tapi ia terlambat!

Gadis muda tersebut sudah melihat ke arahnya.

Hati Mumu semakin berdebar-debar dan salah tingkah. Setelah berusaha menenangkan dirinya, Mumu berusaha untuk tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda menyapa. Lalu cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Gadis tersebut tidak tersenyum juga tidak membalas sapaannya.

Biarlah!

Mumu tidak terlalu peduli.

Mumu memang agak pemalu. Tapi bukan berarti terlalu malu, sampai-sampai tidak bisa bersosialisasi dengan orang lain sama sekali.

Ini bukan persoalannya.

Mengapa ia jadi salah tingkah, pada hal gadis muda tersebut adalah teman kuliahnya. Walaupun mereka tidak ada berinteraksi antara satu sama lain.

Karena gadis tersebut bukan sembarang gadis.

Ia adalah kembangnya Kampus!

Cantik, cerdas, walaupun kelihatannya agak pendiam, tapi kabarnya ia adalah orang yang ramah.

Zara, itulah namanya!

Zara Saraswati.

Banyak orang yang naksir dengannya.

Tapi pada akhirnya akan mundur secara teratur. Karena ia terlihat indah seperti bunga Ros.

Tapi jangan sekali-kali kamu mendekatinya kalau tidak hati-hati, kawan!

Nanti akan kena durinya.

Bagaimana dengan Mumu?

Apakah ia juga naksir sama Zara?

Yang namanya laki-laki yang normal, sudah pasti ia menyukai akan keindahan.

Apalagi wanita yang cantik, cerdas, solehah lagi.

Tapi Mumu tahu diri.

Walaupun sebenarnya ia menyukai gadis itu sejak pada pandangan pertama, tapi ia tidak bisa seperti senior atau teman-temannya yang lain, yang dengan pedenya menyatakan cinta, walaupun pada akhirnya akan mundur dengan sendirinya, karena cinta mereka akan bertepuk sebelah tangan.

Zara bagaikan terik mentari di siang hari. Cahayanya bisa dilihat, tapi tidak bisa didekati, karena akan terbakar kepanasan.

Kadang kala Mumu pun tak habis pikir, apakah perasaannya terhadap Zara ini, hanya sekadar kagum, tertarik akan hal-hal yang sifatnya hanya sebatas pada kecantikan semata atau lebih dari pada itu.

Tapi yang pastinya, setiap kali ia bertemu dengan Zara, atau lebih tepatnya, setiap ia melihat Zara, walaupun dari kejauhan sekalipun, maka hatinya akan terasa berdebar-debar.

Yang lebih parahnya lagi, jika ada orang yang berbicara dan menyebut nama Zara, maka hatinya mulai nyut-nyut tidak karuan. Pada hal yang disebut orang itu entah Zara yang mana, kan belum pasti yang dibicarakan adalah Zaranya Mumu. He he.

Di dunia ini, nama bukan hanya milik satu orang. Banyak juga djumpai, orang-orang dengan nama yang sama.

Tapi itu lah hati.

Rasa berdebar itu bukan keinginan Mumu. Bukan juga dibuat-buat oleh Mumu.

Tapi rasa itu hadir dengan sendirinya.

'Lama kelamaan, aku akan stes' pikir Mumu.

***

"Kita minum dulu, Zara." Kata wanita yang tadi berjalan bersama Zara.

"Kebetulan ada yang jualan minuman dingin di pagi hari."

Zara hanya menganggukkan kepalanya, sambil berjalan bersisian dengan wanita tersebut menuju tempat duduk yang masih kosong di tempat orang jualan minuman tersebut.

"Zara mau pesan apa?"

"Sama dengan apa yang Kakak pesan saja." Oh ternyata wanita yang sedari tadi berjalan dengan Zara adalah kakaknya?

Tapi, dilihat dari raut wajahnya, wanita itu agak jauh lebih dewasa dibanding Zara.

Lebih tepat seandainya wanita tersebut dipanggil Bibi atau Bibik, Adiknya orang tua Zara.

Tapi jika memang wanita itu adalah kakaknya Zara, tapi mengapa kita yang sibuk mau merubah kakak menjadi Bibi.

Sedangkan yang empunya cerita saja tidak sibuk!

Setelah memesan minuman, sang Kakak duduk di kursi yang berseberangan dengan Zara. Sambil menatap wajah adiknya, sang kakak bertanya, "Siapa pemuda yang duduk di tepi pantai tadi, Zara?"

"Yang mana, Kak?"

"Yang duduk dibangku dan ada sepeda di sampingnya." kata sang kakak sambil terus melihat apakah ada perubahan di raut wajah Zara.

"Ooo, itu kalau tak salah, dia salah satu mahasiswa yang kuliah di kampus kita." jawab Zara dengan suara pelan.

"Siapa namanya?"

"Aku tak kenal, Kak. Soalnya lain jurusan walaupun mungkin masih satu angkatan."

"Ooo baguslah kalau begitu."

"Memangnya kenapa, Kak?" kini giliran Zara yang heran terhadap sikap protektif kakaknya.

"hemm, dari cara pemuda tadi melihat kamu, kakak yakin, dia suka sama kamu, Zara." Zara semakin heran.

"Memangnya kenapa, Kak?"

"Kalau dilihat dari penampilannya, nampaknya dia anak kosa-kosan yang berasal dari kampung. Kakak tidak suka jika kamu berteman dengannya, apa lagi jika sampai kamu menjalin hubungan dengannya!"

Zara hanya bisa melongo, "Kak, ada banyak mahasiswa yang tampangnya lebih menarik dan berasal dari keluarga terpandang yang naksir sama aku, tapi semuanya tidak ada aku layan!"

Setelah menarik nafas dengan pelan, Zara melanjutkan ucapannya, "Apalagi, pemuda tadi, yang tampangnya biasa-biasa saja. Ini bukan berarti Za bersikap sombong, Kak, tapi seperti itulah kenyataannya. Za belum ada niat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun, apa lagi dengan pemuda tadi!"

"Janji ya!" kata sang kakak yang hatinya mulai terasa lapang.

Entah mengapa, walaupun ia sangat yakin dengan karakter adiknya yang tidak mudah goyah dan tertarik dengan sembarang lawan jenis, tapi ia merasa resah dengan tatapan pemuda tadi terhadap adiknya.

Walaupun pemuda tadi hanya menatap sekilas, tap rasa-rasanya tatapan itu tidak sesederhana seperti kelihatannya.

Apakah ini karena permainan pikirannya saja. Yang langsung berfikiran negatif ketika melihat seorang pemuda desa yang memandang adiknya.

Tapi di sudut hatinya yang paling dalam, ia tetap merasa ada yang tidak berkenan di hatinya ini.

***