Malam tampak cerah. Bintang Gemintang menampakkan wajahnya. Awan berarak kemana-mana, sehingga tidak bisa fokus untuk menutupi bintang yang menyembul keluar.
Walaupun bintang banyak bermunculan di langit malam, tapi sinarnya tidak seberapa terasa hingga ke permukaan bumi ini.
Ada cahaya yang lebih megah dan lebih bersinar, seakan akan mau berkata, 'walaupun kamu banyak bertebaran di langit, tapi tidak bisa mengalahkan aku sendiri'.
Bak kata pakar ilmu hitung, kuantitas belum tentu bisa mengalahkan kualitas. Begitu lah dalam hidup di kehidupan ini, kita seakan-akan sudah yakin jika jumlah banyak pasti bisa mengalahkan jumlah yang lebih sedikit. Pada hal ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil tersebut.
Dahulu, sewaktu di kampung, guru ngaji Mumu pernah bercerita tentang perang Badar, yaitu pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan kaum kafir Quraisy.
Badar adalah nama sebuah tempat yang terletak di antara Mekah dan Madinah, terkenal dengan sumurnya. Nama tempat (kampung) ini dikaitkan dengan nama seorang lelaki yang mula-mula menggali sumur tersebut, nama lelaki yang dimaksud adalah Badar ibnun Narain.
Dalam Perang Badar tersebut, pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang, dengan kemenangan yang berpihak pada kaum Muslim.
Ini adalah salah satu bukti bahwa, jumlah yang banyak saja tidak menjamin akan akan kemenangan atau kelebihannya.
***
Di halaman SMP 1 Bengkalis yang terletak di jalan Pahlawan. Jam 19.40 wib.
Ada sekitar tiga puluhan remaja yang sedang berkumpul menggunakan seragam hitam les kuning, dan ada juga sebagian kecil yang memakai pakaian olah raga.
Mereka berdiri membentuk 3 baris panjang berbanjar.
Sedangkan di hadapan mereka berdiri dengan gagah tiga orang pelatih. Ketiganya memakai baju merah les putih di baju bagian leher mereka, di ujung lengan dan di ujung kaki. Nampak gagah. Baju nan elok ini dipadukan dengan sabuk warna merah muda yang melingkar di pinggang mereka. Benar-benar gagah.
Mereka bertiga adalah pelatih remaja. Di atas tingkatan mereka ada lagi yang namanya pelatih taruna dan pelatih madya.
Di bagian paling kanan jika dilihat dari posisi anggota yang bediri sebanyak tiga puluh orang itu, adalah pelatih remaja yang berasal dari desa Penampi. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman, tapi dipanggil Guntur.
Hingga saat ini masih menjadi misteri mengapa nama panggilannya Guntur.
Sedangkan di bagian tengah berdiri dengan raut wajah yang serius. perawakannya agak kurus tinggi, Yalis namanya. Sedangkan di samping kanan, berdiri dengan gagah, tapi wajahnya datar-datar saja. Dia lah Mumu.
Iya, Mumu.
Mumu yang mana lagi?
Mumu yang itu lah.
Selain kuliah, Mumu juga aktif di bidang olah raga, khususnya olah raga silat ini.
Lebih kurang tiga tahun yang lalu Mumu mulai aktif di pencak silat ini. Awalnya, silat ini adalah salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dari mulai kelas satu, Mumu mengikuti kegiatan silat ini hingga sekarang.
Ia satu angkatan dengan Guntur dan Yalis. Tapi hingga saat ini, belum ada satu kalipun, Mumu ikut bertanding dalam kejuaraan, Porseni, Popda atau Porda. Menurut para pelatihnya, Mumu tidak ada bakat baik di bidang seni atau pun laga.
Beda dengan Guntur dan Yalis, mereka berdua sudah beberapa kali mengikuti kejuaran, baik mewakili kecamatan maupun mewakili kabupaten.
Makanya di kalangan pelatih remaja, Mumu adalah satu-satunya pelatih yang tidak ambil pusing jika setiap kali perguruan mengadakan seleksi antar perguruan untuk bisa mewakili kecamatan di dalam pertandingan silat.
Karena bisa dipredeksi, bahwa ia tak akan dipilih untuk mewakili perguruannya.
Walaupun tidak berbakat seni maupun laga, tapi Mumu termasuk anggota silat yang rajin dan disiplin. Jarang dia bolos latihan. Makanya setiap jurus dan dasar jurus yang pernah diajarkan, ia bisa menghafalnya.
Tapi hingga saat ini masih sebatas hafalan, karena gerakan tersebut belum mendarah daging di dalam dirinya.
Kata pelatih seniornya, tanda gerakan silat itu sudah ada dalam diri seseorang, maka gerakan tersebut akan muncul dengan sendirinya untuk membentengi dan melindungi diri jika mendapat serangan tiba-tiba dari orang lain.
Kalau istilah orang sekarang, gerak reflek, yaitu gerakan yang otomatis dan tidak dirancang terhadap rangsangan dari luar yang diberikan suatu organ atau bagian tubuh yang terkena serangan.
Hingga saat ini, Mumu belum bisa menemukan kunci ilmu tersebut. Sehingga setiap gerakannya masih sebatas hafalan semata. Tapi hal tersebut tidaklah mengurangi semangatnya untuk latihan. Buktinya saat ini ia masih diberi kepercayaan untuk naik tingkat dari anggota menjadi pelatih remaja.
Mumu memang senang olah raga silat ini. Rasa senang ini apakah sebagai hobi atau sebagai apa, ia tak tahu pasti. Karena setahunya, yang dimaksud dengan hobi adalah adalah sesuatu hal yang bukan menjadi pekerjaan utama, tapi hal tersebut memang kita senangi.
Yang namanya sesuatu hal yang kita senangi, maka kita akan bergiat dan bersungguh-bersungguh dalam menggelutinya.
Beda dengan Mumu, ia memang menyukai silat, tapi hanya setakat itu saja. Silat hanya menjadi rutinitas saja baginya. Tapi untuk berkembang ke arah yang lebih baik, belum ada nampak tanda-tanda pada diri Mumu.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.05 Wib. Mumu mengayuh sepedanya perlahan-lahan. Ia menyusuri sepanjang jalan A. Yani, lewat depan kantor Bupati. Diperempatan jalan, Mumu berbelok ke arah kanan, menuju jalan Hang Tuah.
Jalan sudah mulai sepi, walau pun masih ada beberapa kendaraan roda dua yang sesekali melintasi jalan, menuju entah kemana.
Udara malam terasa menyegarkan. Apalagi setelah latihan yang banyak mengeluarkan keringat. Udara mulai terasa dingin. Dinginnya dengan cepat menyerap keringat yang tadi sempat bercucuran.
Hal ini lah yang disukai Mumu jika latihan silat. Banyaknya keringat yang keluar dari tubuh.
Menurut pemikirannya sendiri, keluarnya keringat dari tubuh sebagai pertanda bahwa seluruh tubuhnya masih berfungsi dan menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik. Itu artinya semua organ tubuhnya masih normal. Hanya ada satu defenisi, Berarti tubuhnya masih sehat.
Setelah sekali lagi melewati perempatan jalan, tapi kali ini Mumu ambil jalan lurus, lebih kurang seratus meter kemudian, Mumu berbelok ke kanan.
Inilah Play Group yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Rumah semi permanen yang disewakan dan menjadi Play Group.
Mumu memandang ruko yang berada di seberang Play Groupnya ini.
Hari ini cepat pula tutup ruko tersebut. Ruko milik orang cina yang menjual pulsa dan ponsel.
Sewaktu pandangannya tidak sengaja melihat sedikit ke arah kanan ruko tersebut, ia melihat seorang ibuk yang sepertinya sedang menelpon. Ada motor Beat yang terparkir di sampingnya. Setelah sekian menit menelpon, tapi sepertinya tidak ada respon dari orang yang coba dihubunginya, Ibuk tersebut langsung menuju ke arah motornya tadi.
Anehnya, Ibuk tersebut tidak berusaha untuk naik dan mengendarai motor itu, tapi malah berusaha mendorongnya.
Mumu heran, Ibuk itu kenapa ya. Ada kendaraan tapi malah hanya didorong saja. Pikiran Mumu bercabang, jangan-jangan motor Beat tersebut bukan milik ibuk itu. Tapi jika bukan punya dia, kenapa dibawa. Apakah ibuk ini seorang pencuri?
Ah, tak mungkin, Mumu membantah pikirannya sendiri.
Atau motor ibuk tersebut mogok?
Mendapat pikiran tersebut, Mumu langsung memutar sepedanya dan langsung tancap gas menuju ke arah ibuk tersebut.
"Motornya kenapa, Buk?" tanya Mumu ketika sampai di samping ibuk tersebut.
"Ini, Nak, motornya tak mau hidup. Mungkin kehabisan bensin, tapi di sekitar jalan ini tak ada orang yang jualan bensin." Kata ibuk tersebut sambil menyeka keringat yang mulai muncul satu-satu di wajahnya.
Kelihatan sekali jika ibuk ini tidak terbiasa dengan hal yang berbau susah. Baru saja mendorong motor tapi udah mulai muncul keringatnya.
Tapi Mumu tidak sempat memikirkan hal tersebut. Ia hanya merasa kasihan dengan ibuk itu.
"Rumah ibuk di mana, Buk?"
Ibuk tinggal di Kelapa Pati tengah. Tak nyangka bensin motor tinggal sedikit, sedang telpon anak ibuk tal diangkat. Memang begitulah sifat dia kalau sedang asik belajar, tak ada dia lihat-lihat handphonenya." jelas ibuk tersebut seperti hanya dalam satu tarikan nafas saja. Ia sebenarnya bingung mau pulang ke rumah. Mana sanggup dia mendorong motor sampai ke rumahnya. Syukur-syukur jika ada orang jualan bensin disepanjang jalan yang akan ia lalui. Jika tidak ada bagaimana?
Mau minta tolong pada pemuda yang di sampingnya ini. Kasihan. Dimana mau mencari bensin. Apalagi pemuda ini hanya menggunakan sepeda.
"Ibu bisa tunggu di sini sebentar. Biar saya coba cari bensin dahulu!" tiba-tiba suara Mumu membuyarkan pemikiran ibuk tersebut.
Tanpa menunggu jawaban dari ibuk itu, Mumu langsung mengayuh sepedanya menyusuri jalan Damon, pas simpang empat belok kanan menuju jalan Jend. Sudirman. Biasanya banyak pedagang bensin eceran yang jualan di sini.
Ketika Mumu tiba, ternyata sepi. Mumu terus mengayuh sepedanya, Melawati Masjid Raya belok kiri, menuju pasar. Tidak ada juga orang yang menjual bensin. Mumu maju dan belok lagi ke kiri menuju jalan A. Yani.
Disusurinya jalan itu dengan penuh harap. Mata Mumu tiba-tiba berbinar. Karena pas di dipersimpangan hotel Panorama, ada seorang bapak yang masih jualan minyak.
Tanpa banyak cerita Mumu merogoh sakunya untuk membeli bensin satu botol wadah Aqua yang besar itu.
Di Bengkalis ini, memang biasa, wadah minyak dari botol minuman bekas. Ada yang botol wadah air mineral, ada juga dari botol wadah minuman syrup.
Setelah mengucapkan terima kasih, pada bapak tersebut, yang telah berbaik hati menjual bensin sekalian dengan botolnya, sehingga memudahkan Mumu untuk membawa minyak yang sudah dibelinya tadi.
"Ini buk, bensinnya. Coba diisi." Kata Mumu ketika baru sampai di hadapan ibuk tersebut.
"Terima kasih banyak, nak!" katanya dengan penuh rasa syukur, sambil mengisi minyak ditangki motornya.
Setelah itu, dicoba pencet starter, ternyata langsung menyala motornya.
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, Buk." berkata Mumu.
"Iya, Nak terima kasih banyak ya..."
'Tuut tuut, tiba-tiba handphone ibuk itu menyala. Langsung dijawab telponnya. Sambil menelpon, tanpa sadar ibuk tersebut mengegas motornya perlahan-lahan. Lupa dia tentang Mumu yang barusan telah menolongnya.
Mumu tak terlalu ambil hati, diputarnya stang sepedanya dan langsung tancap pulang.
***