Chereads / Cinta Laki-laki Pemarah / Chapter 5 - Suara Hati Seorang Ibu

Chapter 5 - Suara Hati Seorang Ibu

Angin malam bertiup semilir. Menambah mencengkam suasana malam. Bulan tampak semakin kecil di atas langit. Jika dilihat dengan teliti, ada semacam lingkaran yang melingkari bulan tersebut. Seperti cincin.

Seorang wanita yang berumur kira-kira empat puluhan tahun, menggunakan gaun kuning dan jilbab dengan warna senada dengan gaunnya sedang memarkir motornya di beranda rumah tembok warna kuning. Rumahnya besar sekali untuk ukuran orang Bengkalis. Halamannya juga luas.

Di samping rumah bagian kanan banyak terdapat pohon buah-buahan hasil cangkok seperti Mangga, Jambu madu dan jambu kristal.

Jika kita memalingkan sedikit wajah kita di bagian samping rumah sebelah kiri, maka hati kita akan terasa nyaman.

Banyak pohon bunga yang bermacam bentuk dan jenisnya. Sangat beraneka ragam yang diatur sedemikian rupa, sehingga menambah keasrian halaman rumah tersebut.

"Mama sudah pulang. Capek ya, Ma. Maafkan Za, ma, tadi Za tak ada lihat-lihat hp. Hp, Za cas di kamar, sedangkan Za nunggu mama sambil baca-baca buku di ruang keluarga". tiba-tiba ada suara yang terdengar merdu langsung nyerocos ketika wanita itu baru melangkahkan kakinya menuju pintu.

Sedangkan suara yang merdu tadi adalah milik seorang gadis yang beranjak dewasa. Perawakannya agak tinggi. Dengan kulit putih, halus.

Gadis itu langsung berlari mendapati ibunya. Sikapnya agak manja untuk gadis seumuran dengannya.

"Tidak apa-apa, Zara. ini kan bukan salah Zara. Mama asal bawa motor saja tanpa melihat bensinnya dulu."

Kata ibu itu dengan tersenyum lembut.

Melihat anaknya yang risau dan raut wajah bersalah, membuat hatinya terenyuh. Hilang sudah rasa kesal dan rasa lelah.

Zara, anak bungsunya ini memang baik. Yang ada dalam pikirannya hanya belajar dan belajar saja. Walaupun sekali-kali ada juga ia membantu memasak, walaupun mereka sudah ada pembantu.

"Terima kasih, Ma." Kata Zara dengan penuh syukur. Satu hal yang ia takuti adalah jika ia tanpa sengaja telah membuat mamanya marah dan sedih.

"Ma, tolong ceritakan lagi bagaimana kronologisnya, lewat hp tadi kurang puas mendengarnya, Ma!"

"Kan sudah mama ceritakan tadi. Sama saja kan lewat handphone atau langsung." Sepertinya wanita ini lagi tak mau memikirkan kejadian tadi. Cuma bikin emosi saja. Soalnya bukan kejadian yang istimewa. Malah bisa dikatakan hal yang sepele sebenarnya. Saking sepelenya, ia sampai tidak terpikir jika kejadian tadi bakal menimpanya.

"Tapi, sebenarnya ada yang mama sesalkan..."

Jadi ternyata mama marah ya sama, Za..." Berkata Zara dengan nada sedih lagi.

"Yang sabar, Zara. Bukan itu maksud mama. Yang mama sesalkan adalah mama tak sempat berterima kasih dengan cara yang lebih baik dengan pemuda itu.

Coba Zara bayangkan, ada orang yang telah menolong kita, jangankan kita memberi imbalan terhadap pertolongan yang telah diberikan, malah namanya juga tidak sempat mama tanyakan." Berkata mamanya Zara dengan penuh rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Ma, mudah-mudahan nanti mama bisa bertemu lagi dengan pemuda itu, dan bisa memberi imbalan dan berterima kasih, ma." Kata Zara dengan nada yang menenangkan.

"Ya, jika bertemu nanti mama akan memberikan imbalan..." raut mamanya Zara mulai perlahan lembut lagi, karena hatinya sudah mulai bisa menerima sikapnya tadi.

"Eh....!"Tiba-tiba suara mama Zara menjadi tinggi lagi. Matanya agak melotot seperti orang terkejut kena serangan jantung. "Masya Allah, Zara, mama memang keterlaluan...mama memang keterlaluan...bagaimana ini...?"

"Kenapa, ma?" Zara pun ikut-ikutan terkejut dengan sikap mamanya barusan. Pada hal tadi mamanya sudah mulai tenang, tapi sekarang tiba-tiba panik lagi.

"Pemuda tadi, Nak. Jangan mama yang memberi imbalan, tapi malah dia yang memberi bensin dengan gratis sama mama..."

Zara hanya terdiam. Bingung.

"Mama lupa membayar bensin yang diberikan pada mama. Karena waktu itu, dia memberikan bensin, langsung mama masukkan ke tangki. Kalau tidak salah, dia menyuruh mama coba hidupkan motornya. Setelah menyala, bersamaan dengan kamu menelpon mama. Mama langsung jawab telpon kamu, dan mama mulai menyetir motornya dan...dan...mama meninggalkan pemuda itu sendirian...

Entah apa tanggapan pemuda itu terhadap sikap mama, Nak...mama jadi malu....!"

Ternyata begitu ceritanya. Zara hanya bisa diam melongong. Tidak tau mau ngomong apa. Tapi berkata Zara kemudian, "Ma, jangan terlalu mama fikirkan ya, karena Za rasa mungkin pemuda itu sudah kenal sama mama, sehingga dia sengaja mencari perhatian mama..." Setelah menarik nafasnya, Zara kembali melanjutkan perkataannya, "Coba mama fikir, kan tak mungkin malam-malam begini masih ada seorang pemuda yang masih berkeliaran menggunakan sepeda, apa lagi sendirian. Kalau dia dan rombongan atau club, masih bisa dipercaya. Iya kan, ma?"

Setelah termenung dan mencerna perkataan anaknya, akhirnya, buk Siti, mamanya Zara berkata, "Bisa jadi apa yang kamu katakan benar, Nak. Mungkin mama masih beranggapan semua orang baik semua." Walaupun berkata seperti itu, tapi sebenarnya di hati buk siti masih ada hal yang agak mengganjal. Tapi ya sudahlah.

Perkataan anaknya memang masuk akal. Kalau difikir kembali, sebenarnya memang agak aneh, malam-malam seperti ini, ada orang yang bersepeda sendirian. Tak tau apa sebenarnya motif pemuda tersebut, yang pasti, jika bertemu lagi, ia akan tetap berterima kasih dan memberikan sedikit imbalan kepada pemuda tersebut.

Kalau dilihat sekilas dari raut wajahnya dan sikapnya, memang tak mungkin jika pemuda tersebut ada niat yang tersembunyi terhadapnya. Tapi siapa yang bisa memastikan di dunia ini?

Banyak orang yang sepertinya orang baik-baik, ternyata ia adalah penjahat kelas kakap.

Ada juga orang yang tampangnya seperti penjahat, ternyata memang penjahat benaran. Ada juga yang sikapnya seperti orang jahat, tapi ternyata ia malah orang yang baik.

Itulah dunia. Penuh dengan intrik dan kepalsuan. Kita memang harus pandai-pandai dalam menyikapi hidup ini.

Buk Siti masuk ke kamarnya, sedangkan Zara anaknya kembali belajar. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, Buk Siti langsung berbaring. Badannya memang terasa capek. Sebelum terlelap, ia masih sempat berfikir jika pemuda yang ia jumpai tadi adalah pemuda yang baik.

Andai saja pemuda tadi, status sosialnya sama seperti dirinya, alangkah baiknya jika pemuda itu berjodoh dengan Zara, anak nya yang baik dan pintar ini. Tapi pemuda tadi terlihat biasa-biasa saja. Andai saja ia tahu, bahwa pemuda tadi sebenarnya naksir sama anaknya. Karena Zara anaknya ini adalah Zara Saraswati yang menjadi idola kampus.

Andai saja...

***

Mumu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ia tau bahwa yang ia tolong itu adalah calon mertuany he he, entah bagaimana sikapnya tadi.

Tapi memang ia menolong tadi, murni karena kasihan, bukan karena sebab lain, bukan karena mengharapkan imbalan apa pun.

Memang agak sedikit lucu, karena ibuk yang ia tolong tadi, sampai lupa membayar uang bensin yang ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Tapi tidak apa-apalah, kata orang tuanya dahulu, jika kita ingin menolong orang, tolonglah dengan ikhlas, jangan karena mengharapkan imbalan. Karena nanti akan tiba saatnya Allah membalas kebaikan kita dengan cara-Nya dan pada waktu yang tidak kita sangka-sangka.

Mumu sangat terkesan dengan nasehat orang tuanya, sehingga, sampai saat ini, ia masih mengingat dan berusaha untuk mengaplikasikannya semampunya.

Berbuat sesuatu tanpa pamrih ternyata bisa membuat segalanya mudah dan simple. Pekerjaan berat menjadi ringan. Jarak yang jauh terasa dekat. Hal yang rumit menjadi sederhana. Sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, setidaknya itu lah yang dirasakan oleh Mumu sekarang ini. Jika ia bisa menolong orang lain, maka hatinya terasa lebih lapang. Ada kepuasan tersendiri. Kepuasan yang hanya bisa kita rasakan di dalam hati.

Sungguh beruntunglah orang seperti Mumu ini, yang bisa merasakan kesenangan dengan membantu orang lain.