Tangisan Dani pecah di ruang tamu. Bak seorang anak yang sedang mengadu pada Ibunya. Steve dan aku melihatnya dengan perasaan iba. Bahkan seorang Steve Bregmann ikut meneteskan air mata. Di balik sifat Om bule yang suka berteriak marah, ternyata cengeng.
Hanya sebentar Dani mampir ke rumah. Ia berpamitan karena sudah ada janji dengan dokter yang menanganinya selama ada di Indonesia.
Setelah Dani pergi, Steve memintakan izin pada Ibu karena akan mengajakku menjemput Ibu dan menginap di hotel bersama keluarga Steve.
"Maaf Bu, apa Kania boleh tidur di hotel bersama Saya?" tanya Steve.
"Hah?! Tidur bersama? Kalian belum nikah loh, lha kok sudah keburu mau nyoblos aja," balas Ibu.
Aku sengaja diam, mendengarkan dari kamar. Lucu juga membiarkan mereka berdua bercakap-cakap.
"Tidak bukan nyoblos. Eh ... em ... whatever. Saya mau ajak Kania ke hotel," jawab Steve.
"Lha ngapain berdua di hotel kalau ndak nyoblos? Bobok bareng? Ya ndak bisa, nikah dulu tho Steve," kata Ibu dengan medok.
"Kita mau bicara nikah di hotel," jawab Steve.
"Halah alesan, Kamu. Bilang aja udah pengen sama anak saya Kania. Ayo ngaku," jawab Ibu.
"Bukan itu, Ibu. Oh my gosh, where is Kania?" tanya Steve mulai stres.
"Pokoknya ndak boleh nyoblos, nikah dulu. Apa kata orang kalau anak saya hamil duluan!" balas Ibu.
"What hamil? Baby? Oh my God! Tunggu Kania, ok. We need Kania," Steve meremas rambutnya, stres berbicara dengan Ibu.
Aku muncul dari kamar dengan terkikik. Tak bisa kubayangkan jika mereka berdua tinggal dalam satu rumah tanpa bantuan penerjemah. Betapa lucunya.
"Pie tho Nduk kok malah ngguyu. Calon suamimu itu ngomong apa toh?" tanya Ibu.
"Jadi gini, Bu. Hari ini keluarga Steve datang dari Bali. Buat acara lamaran besok malam di rumah. Steve mau izin ngajak aku jemput, sekalian tidur di hotel buat bahas acara nikah di Bali. Gitu loh," kataku.
"Oalah .., gitu tho. Ya wis sana. Lebih cepat dibahas lebih baik," jawab Ibu sambil tersenyum.
Tawaku meledak.
"Lha tadi tak kira Steve sudah ndak tahan. Ya Ibu takut tho, Kamu diapa-apain sebelum nikah," kata Ibu.
"Nggak Bu, lagian mana ada sih pengen gitu tapi izin dulu ke orang tuanya?" tanyaku sambil tertawa.
Aku menoleh pada Steve sambil menganggukan kepala. Wajah Steve masih agak merah. Pasti tadi penampakan Steve seperti kepiting rebus ketika bicara dengan Ibu. Gara-gara stres. Sekarang, Steve menghela napas lega.
Kami berdua berpamitan dan berangkat ke bandara. Dalam perjalanan ke bandara aku menggoda Om bule.
"Steve .., bayangin kalau misalnya kamu dan Ibu tinggal satu rumah," kataku.
Tawa Steve menggema.
"No .., please don't," jawab Steve. Tertawa memamerkan deretan gigi putihnya.
"Kalau nanti beneran gitu, gimana?" tanyaku menggoda.
"Nggak mau ... ," jawab Om bule dengan aksen sok imut.
Kami berdua tergelak.
Bandara seperti tak pernah tidur. Lalu lalang orang. Kami menunggu Ibu di pintu kedatangan. Tak lama menunggu, Ibu, Amanda, dan seorang babysitter muncul di pintu kedatangan.
Segera kuhampiri dan kucium tangan Ibu Steve dengan takzim. Amanda tersenyum gembira melihat Steve dan diriku.
Belum terlalu malam ketika kami meluncur ke hotel. Rencananya kita mau makan malam bersama tapi karena Amanda rewel ya terpaksa makan malamnya pesan online. Kita langsung menuju ke kamar hotel.
"Kania, mampir ke kamar Ibu sebentar ya," pinta Ibu.
Aku mengangguk, ikut masuk ke kamar Ibu. Menunggu di sofa, sementara Ibu Steve membuka travel bag.
"Gimana Kania, sudah makin mantap jadi Nyonya Bregmann?" goda Ibu Steve.
Aku tersenyum malu.
"Ini Ibu bawakan brosur EO yang menangani pernikahan," kata Ibu.
Wah EO? Pasti Steve belum bilang jika aku hanya ingin pesta privat, keluarga inti. Aku tak ingin sebuah pesta mewah. Menikah di tepi laut dengan hamparan pasir putih. Setelah itu dilanjutkan makan malam keluarga.
"Kenapa Kania, kok dari tadi diam? Apa ada sesuatu?" tanya Ibu Steve.
"Ibu, ma-maaf .., apa boleh kita hanya menikah sederhana saja?" tanyaku terbata.
Ibu Steve memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Ada apa Kania? Kenapa kamu memilih menikah sederhana?" tanya Ibu.
"Kania nggak ingin membebani Steve, Bu. Sederhana saja yang penting sah. Maaf, itu hanya dari sudut pandang Kania," jawabku menunduk.
Ibu memandangku beberapa saat. Aku menunduk dan canggung. Aku tahu, Ibu Steve adalah seorang desainer interior yang terkenal di Denpasar. Kekayaan keluarga Steve tak diragukan tapi entahlah kenapa aku tak bernafsu pesta. Aku lebih bernafsu untuk menghabiskan waktu berdua, bercinta dengan Om bule. Ups! Pikiran apa ini?
"Kania ...." Ibu Steve menyebut namaku dengan suara yang bergetar.
Aku mendongak menatap Ibu. Ada butiran bening yang turun di pipi Ibu Steve. Loh, Ibu menangis. Aduh, jangan-jangan aku salah bicara. Wah, bisa ngamuk nih Om bule kalau lihat Ibunya nangis gara-gara aku.
"Ma-maaf Bu, Kania nggak bermaksud menyinggung Ibu," kataku sambil mencari tisu di tas.
Dengan panik kuaduk-aduk tas.
"Duh, tisuku ke mana sih?" gumamku panik.
"Boleh Ibu memelukmu, Nak?" tanya Ibu.
Aku segera mengangguk. Apa pun asal Ibu Steve tidak menangis lagi. Terlalu ngeri membayangkan Om bule yang murka.
Pantatku beringsut mendekati Ibu. Membiarkan Ibu memelukku sepuasnya.
"Beruntungnya Steve punya istri seperti kamu, Nak," kata Ibu.
Bermula dari pelukan hingga akhirnya Ibu Steve membocorkan beberapa wanita yang pernah dekat dengan Om bule. Mereka hanya menginginkan uang Steve. Berkali-kali itu terjadi. Steve ternyata seorang budak cinta sejati. Dia akan memberikan segalanya termasuk uang. Bahkan Om bule sering dijadikan mainan. Duh, aku kok ikut sakit hati ya dengar Steve diperlakukan gitu.
"Kania, sudah punya bayangan mau pakai baju pengantin model apa?" tanya Ibu.
Aku menggeleng. Sebenarnya aku sudah punya ide baju tapi untuk malam pertama. Kenapa pikiranku jadi ke sana terus ya? Akhir-akhir ini aku sering membayangkan adegan film dewasa. Gimana rasanya jika kulakukan bersama Om bule. Fix, kebanyakan digauli eh bergaul sama Om bule. Korslet.
"Kania ... Kania ... astaga Nak, kamu melamun apa?" tanya Ibu Steve sambil tertawa.
"Ah ... em ... anu, eh maaf Bu. Ibu bilang apa tadi ya?" tanyaku antara gugup dan malu.
Kayaknya harus cepet nikah nih. Aku jadi kacau begini. Dokumen nikah kapan jadinya. Kenapa lama sekali? Cintaku mentok di dokumen.
"Sudah nggak sabar first night ya?" goda Ibu Steve.
Wah ternyata Emaknya Steve jahil juga kalau menggoda orang. Aku menunduk malu.
"Ya udah sana ke kamar, Steve dan Amanda sudah nungguin. Ditahan ya jangan making love sekarang. Nanti first nightnya dahsyat," kata Ibu Steve sambil mengedipkan satu mata.
Wah gila sih, demi apa Ibu mertua aku seasyik ini.
***
Di dalam kamar, sehabis mandi, kulihat Steve masih menonton televisi di sofa. Aku yang sudah mengantuk, menyelinap di balik selimut bersiap tidur.
Kudengar Steve mematikan televisi, mengganti lampu tidur, lalu berbaring di sisiku. Ikut menyelinap di balik selimut.
Tangan Steve mulai beraksi. Hidung Steve sudah menempel di leher. Sensasi geli tapi nagih mulai terasa. Kurasakan sesuatu yang enak di balik kimono. Kakiku mulai bergerak gelisah menahan kenikmatan di antara geli dan basah.
"Jangan Steve," kataku di antara sadar dan tidak.
How do i stop? Ini enak banget. Kimonoku sudah berantakan dan terbuka.
"Steve, jangan sekarang .., please. Ingat Ibu, Honey," pintaku di antara napas memburu dan kesadaran yang tersisa.
Om bule berhenti, memandangku beberapa saat, mengumpulkan akal sehatnya. Hingga akhirnya, "Oh my gosh, Kania! I'm so sorry."
Tangan Steve buru-buru menutup kimonoku. Tanpa banyak bicara, Steve mengambil satu bantal dan tidur di sofa. Setelah Steve pindah ke sofa, aku langsung terlelap tidur sampai pagi.