#cerbung
Steve
Part 25
Duhai hati, betapa membingungkannya dikau! Kenapa harus berdesir? Kalau begini caranya, tiap ketemu Rich, aku bisa mendadak jantungan. Perlakuan manisnya membuat grafik jantung naik turun walaupun skalanya lemah dibandingkan ketemu Om bule. Ish, kok aku mulai membandingkan ya?
Pesawat sudah mendarat dengan sempurna di Changi Airport. Jantungku kembali akrobat. Pasalnya Rich menungguku, berjalan bersama, bahkan mengantar sampai ke hotel. Semua perlakuannya membuatku meleleh. Ibarat es krim yang terkena sinar matahari. Leleh dengan rasa yang manis.
Hal pertama yang kulakukan ketika tiba di kamar hotel, mencari cermin. Ngaca! Semerah apa wajahku.
'Oh Kania, apa yang baru saja kau lakukan? Kenapa kau biarkan rasa itu menyusup perlahan?' kataku untuk diri sendiri. Bahkan aku tak tahu yang kulakukan waras atau tidak. Aku berbicara dengan bayangaku di cermin.
Inikah rasanya mendua? Wait ...! Aku, mendua? Seorang Kania Wisnu Brata mendua? Yang benar saja! Tidak, ini tidak boleh.
Tarik napas ... keluarkan. Keluarkan energi positif.
'Itu bukan cinta. Itu hanya kekaguman sesaat,' bisikku pada hati.
Ok, itu bukan cinta! Aku harus yakin. Wanita mana yang tidak bangga digandeng pria setampan Rich? Hello ...!
Seorang model majalah dewasa, semua wanita membayangkan di pelukannya. Termasuk diriku. Oh ya ampun ...! Gawat ...!
Lebih baik aku mandi. Mungkin otak ini sedikit bergeser ketika pesawat belok di udara. Hih, entahlah! Berharap guyuran shower dapat membereskan otakku. Setidaknya buatlah aku lebih baik, please!
Keluar dari kamar mandi, kulihat beberapa pesan singkat yang menumpuk di gawai. Untuk sementara aku lupa dengan Rich dan tenggelam dengan pekerjaan. Semua aman hingga pukul tujuh malam. Pukul tujuh lebih lima, gawaiku bergetar dan nama Rich muncul.
Dua puluh menit kemudian, kudapati diriku dan Rich menyusuri pusat kuliner. Kunikmati suasana yang ada, aneka street food, hingar bingarnya jalanan, dan seorang pria tampan dengan kemeja denim berpadu celana hitam sedang menggenggam erat jemari tanganku.
Rich menghentikan kakinya di sebuah kedai popiah. Memesan dua porsi.
"Ini enak, Kania. Kamu harus coba," kata Rich sambil menjejalkan potongan popiah ke dalam mulutnya.
Aku tersenyum menatap pria tampan di depanku. Betapa rakusnya Ia.
"Tumben ada model yang makannya rakus," selorohku.
Kita berdua tergelak.
Malam itu, seperti menjadi milikku dan Rich. Menyusuri jalanan, menyesap kopi berdua, bercerita tentang apa saja, dan sebuah percikan timbul ketika hujan turun.
"Aku selalu menyukai hujan, Rich," kataku.
Mataku memandang ke jendela kafe. Hujan sedang menari bersama sang angin. Udara dingin mulai terasa membelai kulit.
"Apa yang Kamu suka dari hujan, Kania?" tanya Rich. Tangan kirinya masih sibuk mengaduk gula di dalam cangkir kopi.
"Semuanya, Rich. Udara sejuk, bau tanah yang menyeruak, dan romantisme di bawah hujan," jawabku sambil tersenyum.
Kuhempaskan napas yang mulai menyesakkan dada. Lalu tersenyum kecut, menyadari keinginanku terlalu gila. Siapa yang mau kuajak bermain hujan? Haruskah kuminta Steve menari di bawah hujan bersamaku, atau melakukan ciuman panas, lalu bermain kejar-kejaran di bawah hujan?
"Wow, romantisme di bawah hujan. Ceritakan khayalanmu Kania, aku ingin mendengar," bisik Rich.
"Apa kamu pernah mencium kekasihmu di bawah hujan? Itu romantis, Rich," kataku sambil menirukan suara dubber telenovela. Lalu tawaku meledak.
"Yuk Kania!" kata Rich tiba-tiba.
Kupandangi Ia penuh tanda tanya.
"Mau ke mana Rich? Masih hujan loh," kataku.
"Balik ke mobil lah. Cemilan dan kopi sudah habis nih. Ayo ke mobil," kata Rich.
Aku menuruti Rich, berjalan keluar.
Rich meminjam mobil milik saudaranya untuk mengajakku berjalan-jalan. Rich pernah tinggal beberapa tahun di Singapura. Jadi Ia tahu tempat yang asyik untuk dikunjungi.
"Yakin kita mau lari menembus hujan?" kataku pada Rich.
Dia menoleh, tersenyum. Wajahnya begitu dekat denganku.
"Kania berani main hujan-hujanan? Nggak takut masuk angin?" tanya Rich.
Kubalas tatapan matanya. Benarkah Rich akan mewujudkan romantisme gilaku? Akankah ada kesempatan menciumnya di bawah hujan? Oh ya ampun! Kenapa Rich, kenapa bukan Steve? Makin pusing saja diriku!
"Kania," kata Rich.
"Sebentar Rich, aku harus melepas sepatuku. Aku nggak mau keseleo waktu lari nanti," jawabku.
Rich tersenyum melihatku melepas sepatu.
"Kamu pilih mana, mau adu lari, atau kita kejar-kejaran?" tanya Rich.
Tawaku seketika meledak. Konyol sekali Rich. Nggak ingat umur.
"Rich, nggak takut dibilang gila? Kamu model loh. Nggak malu kalau tiba-tiba ada wartawan infotainment?" godaku.
"Ah, Kania! Ayolah. Aku sudah lama nggak hujan-hujanan nih. Kangen! Mumpung ada kamu yang doyan mainan hujan. Aku nggak mau dibilang gila sendirian, Kania," jawab Rich tertawa renyah.
Wajahnya kian mendekat. Bahkan bibirnya hampir menyentuh bibirku. Sedikit lagi! Mata itu, seperti menjelajah wajahku lalu menelanjangi pikiranku dengan tatapannya yang tajam. Jantungku kembali akrobat.
"Oh, jadi Kamu lagi cari temen buat gila-gilaan di bawah hujan? Boleh, siapa takut. Kejar aku kalau kamu bisa," kataku lalu segera berlari sekencang mungkin sambil menenteng sepatu.
Aku tertawa lepas, rasanya begitu gembira berlari di bawah hujan. Lalu ketika kudengar Rich sudah dekat di belakangku, tawaku menjadi semakin keras.
"Kena!" teriak Rich. Tangannya melingkar di pinggangku.
Aku berteriak seperti seorang bocah yang gembira tatkala Rich mengangkat pinggangku dengan kedua tangannya.
"Aku terbang! Aku terbang! Hore ...! Yeay .., aku terbang!" teriakku di tengah hujan, diselingi tawa yang mengikik.
Bukan hanya aku yang tertawa dan berteriak gembira. Rich juga melakukannya. Kami seperti dua bocah yang merayakan turunnya hujan.
Rich menurunkan tubuhku setelah beberapa saat. Bibir tipisnya yang seksi mulai bernyanyi.
You know I can't smile without you
I can't smile without you
I can't laugh and I can't sing
I'm finding it hard to do anything
You see, I feel sad when you're sad
I feel glad when you're glad
If you only knew what I'm going through
I just can't smile without you
....
Aku dan Rich berdansa di bawah hujan. Menari disinari lampu jalanan. Berteriak dan tertawa berdua. Di penghujung lagu Rich membopongku. Kini kedua kakiku menjepit pinggang Rich. Kami saling berhadapan.
"Rich, lagunya terlalu tua," kataku tertawa.
"Aku cuma ingat itu, Kania. Hujan ini membuatku gila," balas Rich terkekeh.
"By the way, makasih ya Rich. Kamu udah mau basah buat aku. Turunkan aku, Rich. Berat loh badanku," kataku.
"Wait! Bukankah masih ada satu bagian lagi, Kania? Aku ingin melakukannya, Sayang," jawab Rich.
Hah! Rich akan menciumku? Di bawah hujan? Eh .., astaga!
Bibir Rich menempel ketika aku sibuk berpikir. Di sana, di bawah guyuran hujan, Rich menciumku dengan mata terpejam dan aku membalasnya.
***
Sebuah romantisme hujan yang sempurna. Kulakukan bersama Rich, yang membuatku melompat gembira di kamar hotel. Lalu tak bisa memejamkan mata. Bayangan bersama Rich selalu menggoda.
Kubuka pintu balkon, membiarkan udara dingin masuk. Udara terasa bersih setelah hujan turun.
Oh ya Tuhan! Aku benar-benar gila. Kini bibirku menyanyi lagu yang sama saat Kami berdansa di bawah hujan. Aku mulai menari sendiri di balkon. Imajinasiku kembali terbang, mundur beberapa saat yang lalu.
Ting!
Sebuah pesan cepat masuk di gawai. Senyumku mengembang seketika melihat nama Rich tertera.
[Apa kamu sudah tidur?]
[Belum. Aku nggak bisa tidur.]
[Kenapa?]
[Entahlah. By the way, barusan aku menari di balkon, pakai lagu yang tadi. Gila ya? Masih kebayang terus. Udah ah jadi malu.]
[Boleh aku mengajakmu berdansa lagi?]
[Kapan?]
[Sekarang, aku naik ke kamarmu.]
Hah?! Sumpah demi apa, aku lompat sambil berteriak, "Yes, He is here!"
Lalu buru-buru bercermin, mempercantik diri.
Tok ... tok!
Suara ketukan di pintu kamar.
Seulas senyum mengembang di wajah tampan Rich ketika pintu kubuka.
****
Catatan:
Lagu Can't Smile Without You dipopulerkan oleh Barry Manilow.