Aku tahu, berat rasanya membuka sisi gelap kebersamaanku dan Dani tapi harus kulakukan. Steve sudah siap mendengar.
Awal aku dan Dani tinggal seatap di Jerman, karir Dani belum sebagus saat ini. Uang yang dihasilkan kadang kurang untuk biaya hidup. Namun, Dani tak pernah mengeluh bahkan menutupinya dariku.
Tadinya, aku tak pernah tahu kalau Dani punya hutang. Suatu malam, saat Dani tidur, aku iseng membuka gawai miliknya. Dari sana aku tahu, Dani memiliki hutang dan itu bukan jumlah yang sedikit.
Aku merasa bersalah sudah menjadi beban hidupnya. Diam-diam, aku mulai mencari pekerjaan part time. Mulai dari tukang cuci piring, membersihkan rumah, kujalani tanpa sepengetahuan Dani. Sebenarnya, aku bisa mengemis pada Ayah dan Ibu. Mudah dan pasti dapat uang. Namun, aku tidak suka. Kurang menantang. Aku lebih suka berusaha dengan caraku.
Suatu ketika, temanku satu kampus mengajak untuk bekerja di sebuah bar. Pekerjaannya mudah, membawa baki minuman bagi para tamu di bar. Tentu saja baju yang kukenakan sangat menantang bagi para pria hidung belang. Tugasku hanya mengantar pesanan minuman dan mengambil gelas kotor. Bayaran yang diberikan jauh lebih besar dari pekerjaanku sebelumnya.
Dani yang bekerja di dua tempat sekaligus sama sekali tak mengetahui pekerjaan baruku. Aku sampai di rumah jam dua pagi, sedangkan Dani jam tiga atau jam empat baru pulang ke rumah.
Aku mulai bisa menyimpan uang sendiri. Kadang diam-diam kusisipkan beberapa Euro di dompet Dani. Aku juga membantu Dani membayar cicilan hutang.
Aku hafal dan dapat menirukan pertanyaan Dani ketika kusodori uang. Ia bertanya dapat uang dari mana. Jawabanku selalu berbohong, kubilang itu adalah kiriman Ayah dan Ibu.
Reaksi Dani hanya diam dan menerima uang yang kusodorkan. Setiap kuberi uang, Dani selalu bertanya dan sudah pasti aku berbohong tentang asal uang itu.
Hingga suatu malam aku mengantar minuman untuk beberapa pria di sudut bar. Baru kuletakkan dua buah gelas di atas meja, seorang pria dengan suara yang kukenal mencengkeram pergelangan tanganku. Dani murka seketika melihat apa yang kulakukan. Ia menyeretku keluar dari bar dan Kami bertengkar hebat.
Kami saling diam beberapa hari. Aku tetap meneruskan pekerjaanku. Masa bodoh dengan Dani yang murka. Aku hanya bekerja di bar dan tak menjual tubuhku. Dengan prinsip itu kubuat seorang Dani Wibisono bungkam.
Sementara Dani mencoba mencari perusahaan yang mau menggaji lebih tinggi dan mulai menawarkan sistem yang dibuatnya. Hidup tak semulus jalan tol, perjuangan Dani belum satu pun membuahkan hasil.
Suatu malam, ketika aku sedang libur bekerja, ada tiga pria yang datang ke rumah mengaku sebagai teman Dani. Mereka menagih hutang. Aku menelepon Dani agar cepat pulang. Namun, ketika aku sedang menelepon mereka menyeret dan mengikatku. Aku menjerit sekuat tenaga agar Dani mendengar suaraku di telepon. Mereka menampar dan membungkam mulutku lalu menyekapku di kamar tidur.
Tak lama kemudian, Dani pulang. Hutang sudah dibayar, sayangnya mereka tak mau pulang bahkan menganiaya Dani hingga babak belur. Dani diikat di kursi tak jauh dari tempat tidur.
Satu per satu dari pria itu mulai datang menggangguku. Aku bisa apa dengan tangan dan kaki yang terikat, saat mereka mulai menyentuh tubuhku dan menganggapnya sebagai mainan. Dani berteriak histeris, menangis, juga memohon agar mereka tak menggangguku.
"Mereka bukan pendengar yang baik, Steve," kataku dengan mata basah.
Dadaku begitu bergemuruh untuk melanjutkan ceritanya. Namun, aku harus menyelesaikannya.
Hanya beberapa kalimat yang kuucapkan pada Dani saat mereka membuka lakban di mulutku. Aku meminta Dani menutup mata, jangan melihat, dan melupakanku.
Seperti aku yang menutup mata, tak sanggup melawan saat satu-persatu dari mereka menyentuhku di kasur dan memaksa Dani menonton.
Aku hanya mendengar tangisan Dani beserta suara pukulan yang harus diterimanya karena selalu mencoba melawan meskipun diikat. Perlahan semua itu mengabur, aku tak mendengar apa pun. Kupikir aku sudah mati.
Aku berada di sebuah rumah sakit saat membuka mata. Dani tertidur, menyandarkan kepala di sisi kasur. Satu tangannya menggenggam tanganku.
Pertama kali dalam hidupku, melihat Dani yang begitu rapuh. Hampir tiap hari Dani menangis. Walau melakukannya sembunyi-sembunyi tapi aku tahu. Dani belum dapat menerima kenyataan, berbaikan dengan keadaan. Ia membutuhkan waktu lebih lama untuk bangkit dibandingkan denganku.
Pernah suatu ketika, aku terbangun tengah malam. Kulihat Dani menangis di meja kerja. Sesekali Ia bicara sendiri, kenapa dirinya tak berguna sebagai laki-laki. Aku yang sudah lelah membujuk Dani tak tahu harus berbuat apa lagi.
Aku kembali naik ke atas kasur tak berapa lama, Dani menyusul. Sebelum tidur, Dani membelai, menciumku, dan bertanya kenapa kecantikanku seperti malapetaka, yang membuat Dani tak sanggup menjagaku dengan baik. Dani meminta maaf berulang kali sambil menangis.
Aku tetap memejamkan mata pura-pura tidur.
Hubungan kami memburuk. Dani sering pulang larut malam. Dia memilih tidur di sofa dan tak pernah lagi menyentuhku. Namun, Dani tetap memberiku uang untuk membeli kebutuhan hidup kami berdua. Dia memang diam tapi tidak menelantarkan diriku.
Kita bicara seperlunya, seperti dua orang asing dalam satu rumah. Berbulan-bulan lamanya hingga aku lulus kuliah.
"Do you still work at the bar, Kania?" tanya Steve dengan suara parau. Matanya yang basah mengerjap.
"No. Hutang Dani sudah lunas bersama dengan malam terkutuk itu," jawabku.
"What next, Kania?" tanya Steve. Tangannya mengusap air mata di pipiku.
Suatu malam, Dani pulang diantar seorang teman kantor karena mabuk. Ketika aku memapahnya ke kamar, Dani kembali meminta maaf karena telah mengubahku jadi p*lac*r kecil. Seharusnya Ia berusaha lebih keras melindungiku.
Lalu Dani menangis, tertawa, berteriak, meracau sendiri. Berkali-kali Ia menyalahkan dirinya, menyebut dirinya br*ngs*k, tak becus jadi laki-laki. Namun, Dani juga mengakui sangat mencintaiku sekalipun aku p*l*c*r, b*tc*, atau little wh*r*, begitu Dani menyebutku.
Aku menangis mendengar ucapan Dani tapi aku terus memapah, mengganti pakaian Dani.
Tiba-tiba Dani berteriak sambil mencengkeram tanganku dan minta dilayani. Aku menolak karena Dani mabuk. Namun, Dani terlalu kuat, aku tak sanggup melawannya. Dani menyentuhku tapi dalam hati kuberkata, 'Ini yang terakhir. Aku sudah tak tahan hidup dengan laki-laki yang sibuk menyalahkan dirinya sendiri tanpa ada solusi. Terlalu lama menangisi keadaan. Tak sudi hidup bersama pria yang menyebutku b*tc*, wh*r*, dan nama lain yang sejenis.'
Ketika Dani tidur, aku segera booking pesawat dan berkemas. Sengaja tidak tidur karena susah bangun pagi. Sebelum pergi, kutinggalkan cincin pemberian Dani.
Satu setengah bulan, setelah minggat, aku hamil. Berkali-kali aku memohon pada Ayah dan Ibu agar tak memberitahu Dani. Aku memilih menanggung semuanya sendiri. Biarlah aku dan Dani memilih jalan hidup masing-masing.
Aku tahu, Dani sedang menata kembali hidupnya saat itu. Ia rajin mengirimiku pesan cepat, walau aku tak membalasnya. Ia diterima di perusahaan baru dengan gaji yang bagus. Hampir setiap pagi, Ia mengirimkan pesan cepat. Namun, semua berakhir ketika kuganti nomor gawai. Aku ingin lepas dari bayang-bayang Dani dan memulai hidup baru bersama anakku.
Bayi lelaki itu, ku beri nama Johansen Wibisono, lahir prematur dengan kondisi kelainan jantung. Dua hari Jojo menemaniku. Kami melewatkan waktu bersama, walau aku hanya bisa memandangi dari kaca besar sementara Jojo di dalam kotak inkubator. Kadang aku meminta tolong pada suster untuk diizinkan berdiri lebih lama di dekat kotak inkubator Jojo tapi mereka mengusirku.
Aku sangat ingin menimang putraku. Berbagi kehangatan saat Jojo menyusup di pelukan, menyusui, membelai wajahnya yang tampan, mengganti popok, bahkan mendengar tangisannya sekalipun.
Pada malam kedua, Ibu, dokter, dan para perawat datang. Jojo dalam gendongan Ibu, matanya terpejam, tak bergerak, tak ada lagi hangat napasnya. Aku berteriak dan menangis seperti perempuan gila, ketika diberitahu Jojo meninggal.
"Kania ... Kania .., I'm sorry to hear that. It's part of God's plan. May he get a beautiful place up there," bisik Steve. Ia berpindah duduk di sampingku, memeluk, dan membiarkan aku menangis sejadi-jadinya.
Hingga kini, Dani tak tahu bahwa Ia pernah memiliki seorang anak laki-laki yang tampan. Aku akan memberitahunya nanti setelah pulang dari Jepang. Jika keadaan Dani jauh lebih baik, lebih siap untuk menerima keadaan apa pun karena apa yang akan kusampaikan bukanlah hal yang mudah diterima.
"That's me, Honey and the dark side. No more secrets. I told you everything," kataku dengan wajah sembab mengakhiri cerita.
Sekarang saatnya mempersiapkan hati, entah apa yang akan dipilih Steve nanti. Menikahiku atau mundur teratur.