Chereads / Cinta Om Bule / Chapter 33 - Dua Hari Terakhir Dani

Chapter 33 - Dua Hari Terakhir Dani

21+

"What are you laughing at?" tanya Steve dengan dahi berkerut.

"Us," jawab Dani sambil terus tertawa.

Dani mulai membeberkan apa yang ada di kepalanya. Ia menertawakan, menyindir Rich, Steve, dan dirinya sendiri yang begitu bodoh meributkan satu wanita. Padahal sudah jelas siapa yang dipilih wanita itu. Untung Dani sedang jadi anak manis, kata-kata yang dipilih sopan, sekalipun Ia menyindir tidak membuat para pendengar marah.

Rich seperti melunak sikapnya mendengar kata-kata Dani. Pandangannya tak lagi menantang Steve.

"Cinta itu selain membuat tebal muka juga bikin bodoh. Sudah ah, aku mau pulang. Urusanku sudah selesai," kata Dani sambil menjinjing paper bag yang berisi kemejanya.

Ia menepuk bahu Rich dan Steve ketika berpamitan lalu masuk ke dalam mobil. Steve tersenyum sendiri, mungkin Ia berpikir kata-kata Dani ada benarnya. Ia sudah mulai tenang dan duduk di gazebo taman. Sementara Rich, akhirnya pamit pulang.Tinggal aku dan Om bule di gazebo.

"Kania, I am starving. Can we go to the seafood restaurant?" tanya Om bule.

Aku tersenyum, satu tanganku mencubit hidung mancung Om bule dengan gemas.

"Bentar, aku izin sama Ibu dulu, sekalian matiin tv dan dvd," kataku.

Steve mengangguk senang.

***

Seporsi kepiting saus asam manis terhidang di atas meja. Hidung Om bule kembang kempis menghidu aroma masakan. Matanya berbinar menatap potongan kepiting.

"Cuci tangan dulu, Steve," kataku seperti emak berdaster yang mengingatkan anaknya.

Steve menurut, Ia bergegas menghampiri wastafel lalu kembali ke meja makan. Mirip anak kecil mendapat mainan baru, tak sabar mengobrak-abrik. Jari Om bule lincah mengorek daging kepiting di antara cangkangnya. Namun, suapan pertama diberikan padaku. Padahal aku sudah berdiri, mau cuci tangan. Aku kembali duduk, menerima suapan Om bule dengan melayang. Duh .., manis banget sih perlakuannya.

"How?" tanya Steve, meminta pendapatku.

"Enak, Honey. Apalagi disuapi pacar bule," kataku menggoda Steve.

Kami berdua tergelak.

Malam itu, aku makan seafood tanpa mengotori tangan. Kita makan sepiring berdua. Om bule menyuapiku dan dirinya sendiri. Kita makan, bercanda, semua terasa menyenangkan. Di balik semua kesadisan Om bule ketika berteriak marah, ternyata bisa romantis juga. Pintar memanjakan pasangan. Bohong jika kubilang tak merasakan apa pun karena aku sudah tak berpijak di bumi dari tadi.

Pacaran itu paling enak diajak jalan, diajak makan, diajak nonton, dan yang tak kalah penting semua dibayari. Sejak aku berpacaran dengan Om bule, prinsip hidup mandiriku terkoyak. Tiap pacaran mulai dari a sampai z, semua terjamin. Om bule bukan pacar yang perhitungan. Isi dompetku terselamatkan, kecuali kemarin ketika membayar tagihan bengkel. Mengganti uang Dani, ada rasa enggak enak, masak sudah putus masih minta dibayari. Lagi pula Om bule cemburu berat kemarin gara-gara masalah mobil.

Saat perjalanan pulang, iseng-iseng aku tanya tentang tempat tinggal setelah menikah nanti. Ingin tahu isi kepala pria berumur 38 tahun alias Om-om.

"Honey, setelah nikah kita mau tinggal di mana? Di apartemen? Nanti Amanda jadi tinggal sama Kita kan?" tanyaku.

Steve tersenyum ke arahku, jahilnya kumat seketika. Ia menjawab, "Mau tahu aja apa mau tahu banget?" dengan aksen menggelikan.

"Mau tahu banget, Bambang. Seriusan," jawabku gemas. 

"Wait until tomorrow, Markonah. I have surprise for you," balas Om bule.

Ih, kampret! Aku menatapnya dengan gemas. Sementara Om bule menanggapi dengan tertawa jahil penuh kemenangan. Ih sumpah deh ya, ada bagian yang ingin kucubit.

"Honey, boleh nyubit Kamu enggak. Aku lagi gemes sama cowok bule nih. Boleh ya, please ... please," rengekku.

"No, Kania. I am driving. What about kissing?" tanya Om bule mencoba menawar dengan sesuatu yang enak dan menguntungkan buat Dia.

"Itu makin enggak boleh, Bambang! Efek ciuman lebih bahaya," jawabku tertawa.

Sepanjang perjalanan aku dan Steve bercanda hingga tak terasa mobil Om bule sudah sampai di depan rumah. Mesin mobil sudah mati tapi kakiku enggan turun. 

'Duh .., gini amat ya pacaran sama Om-om. Perasaan dulu waktu pacaran sama Dani aku enggak semabuk ini. Kenapa giliran Steve aku mabuk berat ya? Tiap nyampai depan rumah, bawaannya bete,' kataku dalam hati.

Steve membuka pintu mobil karena aku dari tadi diam di dalam.

"Kenapa, Kania? What's wrong?" tanya Steve lembut.

Malas menjawab pertanyaan Om bule. Namun, aku memeluknya dalam diam. Entahlah, aku tak ingin jauh dari Steve. Kurasakan tangan Om bule menepuk-nepuk punggung, bibir tipisnya mencium kepalaku.

"Honey, boleh enggak nikahnya diajukan besok? Makin ke sini, aku makin enggak tahan," kataku.

Uh edan .., entah apa yang merasukiku. Jujur banget ngomong ke Om bule.

Damn, I lose control! Kulumat bibir tipis Steve. 

Entah berapa menit otakku kabur. Ketika kesadaranku kembali, aku sudah berantakan akibat beradegan plus-plus bersama Om bule.

'Wah, ini harus dihentikan, sebelum ketahuan Pak RT dan warga yang ronda,' kataku dalam hati.

Walau sebetulnya berat berhenti karena lagi nanggung enaknya. Eh, apa sih?!

Tanganku mendorong lembut tubuh Steve. Ia hanya melirikku sambil tersenyum. Wajahku memerah ketika membetulkan posisi kaos dan bra yang kukenakan. Tanganku meraih tas dan hup! Turun dari mobil berlari masuk ke dalam rumah sambil deg-degan.

Ibu sudah tidur saat aku masuk. Jika tidak, maka Beliau akan melihat putri tunggalnya berantakan, basah oleh keringat, bra yang sudah terlepas seluruh pengaitnya, serta kaos yang sedikit tergulung ke atas.

Padahal tadi saat berlari, aku sudah berusaha membetulkan posisi kaos yang sempat kutarik ke atas saat bercumbu. Ternyata masih ada bagian kaos yang menggulung.

Benar kata Dani, "Cinta membuat Kita menjadi tebal muka dan bodoh."

***

Pagi itu di depan cermin, baru kusadari jejak cinta yang ditinggalkan Om bule semalam banyak dan terlihat jelas di leher. Kupilih blus dengan kerah ruffle, rambut kubiarkan terurai untuk membantu menutupinya.

Aku berangkat ke kantor tanpa sarapan pagi. Terbayang file di meja kerja  menumpuk. Besok Senin Dani sudah berangkat ke Jepang, pekerjaanku berlipat ganda. Kalau hanya soal makan pagi, nanti beli sarapan di kantin karyawan, minta tolong dibelikan OB kantor. Makan di meja kerja.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bergegas masuk ke ruangan dan menyalakan laptop. Eh .., alangkah terkejutnya, Dani sudah duduk manis di depan monitor. Ya ampun, enggak Dani, enggak Steve punya kebiasaan berangkat pagi. Kadang repot juga punya bos macam ini. 

Astaga, lima map di depan meja kerja. Pelipisku mulai berdenyut. Alamat lembur sampai malam nih. Map pertama kubuka hingga map terakhir. Lah, ini sih laporan yang sudah selesai, kenapa ada di mejaku? Aku menoleh ke kiri, Dani masih sibuk. Ok, aku harus masuk ke ruangan Dani.

"Bos, itu map yang di meja kerjaku mau diapain? Laporan sudah final. Kenapa ditaruh di atas mejaku?" tanyaku pada Dani.

"Ya kalau Kamu pikir enggak ada gunanya dibakar aja, gimana?!" jawab Dani ketus, sambil melirikku kesal.

Emh .., aku datang di waktu yang salah nih. Kulirik layar monitor Dani mungkin itu penyebabnya. Pantesan! Angka dan huruf seperti berkejaran di layar monitor dan ujung-ujungnya error atau denied.

"Boleh coba?" kataku.

Dani melirik tanpa menjawab.

"Ayolah, jam sepuluh nanti ini harus disosialisasikan toh? Kalau ini sampai enggak beres, divisi Kita kena," kataku setengah merayu Dani.

Dani berdiri dari kursi, wajahnya suntuk. Tanpa bicara, Ia duduk di kursi tamu. Giliran aku yang tenggelam dalam pekerjaan. Tak kusadari saat itu Dani tengah memerhatikan leherku. 

"Done," kataku, satu setengah jam kemudian.

Dani tersenyum puas melihat apa yang kukerjakan. Sejumlah catatan kecil kuberikan padanya. 

Satu tangan Dani menyibak rambutku lalu berbisik di telinga, "Kamu hebat, Love dan akan selalu begitu di mataku. By the way, enak ya digigit Bergmann?"

Napas Dani yang mulai naik turun terasa hangat di kulit leherku.

"Itu bukan urusanmu, Dani. Dengan siapa pun aku bercumbu, itu hakku," jawabku dingin.

Dani tersenyum mendengar jawabanku. Ia menggeser tubuhnya beberapa langkah untuk memberiku jalan. Aku berdiri dan hendak melangkahkan kaki tapi Dani mencengkeram pergelangan tanganku.

"Maaf .., aku mencintaimu, Kania dan sudah kukatakan pada Sylvia. Aku gagal move on," kata Dani.

Aku menutup kedua mataku. Kesal sekaligus kasihan mendengar pengakuan Dani.

"Aku harus mempersiapkan meeting, Bos. Pekerjaan masih banyak," ucapku.

"Tunggu. Tanda tangani ini, lalu nanti jam satu kita meeting online. Setelah itu, terserah kamu mau berbuat apa. Aku tak peduli," balas Dani dingin.

Tangan Dani menyodorkan sebuah dokumen berbahasa Jerman. Aku hanya mengerti bagian judul di halaman pertama. Surat wasiat yang telah dibubuhi tanda tangan Dani. Selebihnya aku tak tahu apa yang tertulis di sana.

"Apa ini, Dan? Kenapa aku harus tanda tangan?" tanyaku.

"Pengalihan aset, Kania. Semua yang kumiliki akan berpindah jadi milikmu. Termasuk rumah Kita di Dortmund," jawab Dani.

"Aku tak berhak menerimanya. Hubungan kita sudah berakhir. Kamu berlebihan, Dan," kataku.

Dani memandangiku. Beberapa kali kudengar napas yang dihempas secara kasar.

"Aku belum tentu masih hidup, Kania, setelah berhadapan dengan pisau operasi dokter. Kalaupun hidup, aku belum tentu normal. Entah otakku ini masih sanggup bekerja atau tidak," balas Dani.

Deg! Hatiku perih mendengar perkataan Dani.

"Kamu pasti sembuh. Aku percaya itu," jawabku sedatar mungkin, menyembunyikan perasaan.

Seperti biasa, Dani tersenyum, memamerkan deretan gigi putih yang bersih, rapi, sekaligus menawan.

"Hanya dengan cara ini aku melindungimu. Jika perkawinanmu nanti tidak bahagia, jangan bertahan. Pergi dan mulailah hidup baru, pakai saja aset dan peninggalanku. Lindungi diri dan anak-anakmu," kata Dani lembut, sambil menyentuh bahuku.

Mataku basah mendengar perkataan Dani. Rasa sesak menyeruak. Begitu besar rasa cintanya untukku.

"Hentikan omong kosong ini, Dani. Kamu mulai membuatku takut," kataku sambil menangis.

Dani mendekat, menghapus lelehan air mata di pipiku. Lalu menggenggam kedua tanganku. Sesaat Dani menciuminya, menghirup aroma di antara jari-jariku.

"Aku mencintaimu. Wanita yang sanggup bertahan ketika hidupku susah. Kamu yang mengubahku jadi seperti sekarang. Sayang, aku tak punya banyak waktu bersamamu," kata Dani.

Dengan gemetar, kutandatangani semua bagian yang ditunjuk Dani. Kuturuti semua permintaan Dani. Selintas ide yang mendarat di kepala, memantapkan diri untuk menerima pemberian Dani.

"Kania, jika aku mati nanti, jenazahku tidak akan dikirim ke sini. Aku sudah menyetujui menjadi silent mentor. Tubuhku akan digunakan untuk penelitian di Jepang. Aku senang karena tubuhku masih berguna," kata Dani.

Gila! Aku menoleh pada Dani. Memandangnya lekat dengan perasaan canpur aduk. Jika terjadi sesuatu pada Dani, itu artinya Jum'at dan Sabtu adalah hari terakhir bersama Dani. Ditambah Minggu, kalau aku mengantarnya ke bandara.

"Kamu ke Jepang sama siapa?" tanyaku dengan tenggorokkan tercekat menahan tangis.

"Sendiri. Enggak usah khawatir. Kania .., boleh aku menikmati kecantikanmu sedekat ini?"

Dani berdiri sangat dekat di hadapanku. Embusan napasnya terasa hangat. Jemari Dani mulai menyentuh wajahku lembut.

"Aku sangat mencintaimu, Kania. Astaga .., aku memang bodoh ya tetap mencintaimu," kata Dani sambil tertawa getir.

Aku mematung. Tak sanggup membalas tatapan dan ucapan Dani. Wajahku menunduk, butiran air mata merangkak turun.

"Well .., persiapkan meetingnya Kania. Aku ingin memberikan yang terbaik di dua hari terakhirku," bisik Dani di telingaku.

Aku mengangguk.