Setiap detik, menit, lalu menjadi jam, serasa menggiringku menuju ujung perpisahan dengan Dani. Hari ini, Dani Wibisono masih memimpin meeting di kantor. Masih tertawa bersama teman-teman. Bahkan resek ketika bercanda menanggapi video porno seorang artis, di akhir meeting.
"Kania, boleh minta waktunya?" tanya Dani.
Aku mendongak dari tempat dudukku, memandang wajah Dani, tersenyum lalu mengangguk.
"Makan siang bareng yuk. Sama anak-anak kantor juga. Boleh enggak satu mobil sama Kamu? Kamu yang setir," kata Dani.
Aku mengangguk. Dani menyambutnya dengan senyum.
"Guys, kita makan siang bareng yuk. Sekarang aja, jam satu soalnya aku ada meeting lagi," kata Dani di ruang meeting.
"Asyik!" teriak Beck.
Sementara yang lain menyambut dengan sumringah.
***
Jari Dani menekan tombol volume pada audio mobil. Suara denting piano bergema memenuhi mobilku. Sesekali Dani memandangiku yang sedang menyetir. Sementara aku, pura-pura sibuk memandangi jalanan, tak berani membalas tatapan pria tampan di sebelahku.
Kebiasaan lama Dani muncul. Ia memasukkan dompet, gawai ke dalam tasku. Seperti ketika di Dortmund dulu. Ia selalu beranggapan bahwa semua yang dihasilkan pria untuk kebahagiaan wanita yang telah menemani hidupnya.
Tak lama kemudian, kudengar Dani mendengkur. Saat itu kupandangi wajah tampannya yang tidur. Tampak damai.
Suara tuter di mobil belakang membuyarkan lamunanku. Lampu sudah hijau ternyata. Segera kupindah gigi persneling.
"Jalan dua ratus meter lalu belok kanan," suara panduan google.
Sebuah kafe yang terkenal dengan es krim gelatosnya sudah berada di depan mataku. Kubangunkan Dani, si pecinta es krim.
Dani mengerjap, memerhatikan sekeliling.
"Oh, sudah sampai," kata Dani sebelum turun.
Kami berjalan bersama memasuki kafe. Ada rasa canggung ketika jari Dani menyusup di sela-sela jemariku. Bahkan ketika menaiki tangga, Dani memegang pinggangku karena saat itu aku memakai high heel.
"Hati-hati, Love," bisik Dani di telingaku.
Aku mengangguk, jantungku berdesir menerima semua perhatian Dani.
Teman-temanku sudah duduk mengitari meja makan. Masih ada dua tempat duduk kosong bersebelahan. Namun, di atas meja terdapat tulisan king, queen. Dari tulisannya, aku tahu siapa pemilik tulisan itu. Dani hanya tersenyum ke arah Beck yang tengil.
"Pacaran teroz! Kapan pesen makanannya?" tanya Beck dengan nada protes.
"Loh, belum pada pesen? Pesen duluan enggak apa-apa, kok pakai nunggu aku," balas Dani.
Hebohlah anak satu divisi memesan makanan. Membuat repot petugas yang mencatat. Ketika mereka ribut memesan makanan, Maya mencolek tanganku.
"Kania, Aku kok enggak tega ya sama Bos Dani. Berangkat ke Jepang sendirian. Ih Dani kan kemarin abis berantem sama Sylvia di kantor," bisik Maya bergosip denganku.
Aku memasang telinga baik-baik, mendengar hot gosip selama aku tak berada di kantor. Dani sudah putus sama Sylvia ternyata. Yang lebih membuat kaget, Dani memutus hubungan.
"Kok Dani tega sih mutusin cewek? Selama pacaran, setahu aku Dani enggak pernah nge-cut hubungan. Selalu dia yang diputusin sama pacar-pacarnya," kataku lirih takut Dani dengar.
Maya menghela napas. Ia melihat ke arahku, memandangiku lekat. Kedua tangan mengusap wajahnya. Hmm .., aku mencium sesuatu di balik sikap Maya barusan.
"Love ...," suara Dani mengagetkanku.
Aku segera menoleh jangan sampai Dani sadar aku sedang bergosip.
"Cie .., manggil Love nih ye ... awas Bergmann denger, bisa panjang urusannya," celetuk Beck lagi.
"Mau pesan apa?" tanya Dani lembut, tanpa menggubris celetukan Beck.
"Pilihin aja buat aku. Es krimnya juga, Love yang pilih. Mau sepiring berdua juga boleh, seperti di Dortmund. Love mau kan sepiring berdua sama aku?" bisikku di telinga Dani.
Senyum mengembang di wajah Dani. Aku melihat semu merah merambat di kulit wajahnya yang cerah. Dani mengangguk dengan gembira.
"Eh itu, bisik-bisiknya sudah dong. Dunia milik bersama, bukan milik berdua. Kalau mau mojok, noh di sana," goda Dion sambil tertawa.
Kali ini Dani membalas, "Bawel! Enggak bisa lihat temen lagi seneng apa?!" lalu tawanya meledak.
Aku menunggu Maya yang sedang ke toilet. Semenjak hamil, kuperhatikan Maya lebih sering ke toilet. Beberapa saat kemudian, Maya kembali. Gosip berlanjut.
"Lanjutin dong. Kenapa Sylvia diputus?" tanyaku.
"Janji, kamu jangan marah ya. Jangan bilang ke Dani juga kalau aku yang cerita," kata Maya.
Aku mengangguk. Lalu cerita mengalir dari bibirnya yang seksi.
Nista durjana! Gila tuh Sylvia menyebutku l*nt*. Belum pernah kena santet online nih perempuan. Darahku sempat mendidih mendengar cerita Maya.
Ternyata dari awal masuk kantor, kondisi Dani dan Sylvia memang sudah ribut. Puncaknya pada saat pulang kantor. Sylvia masuk ke ruangan Dani sambil ngomel. Dani tak terima dimarahi di depan anak buah. Lalu Dani mulai membandingkan Sylvia denganku. Boom! Mereka makin ribut. Apalagi setelah kata l*nt* meluncur dari mulut Sylvia. Dani nyaris menampar pipi mulus Sylvia. Dion menahan tangan Dani. Sementara Beck membujuk Sylvia untuk keluar dari kantor. Anak satu divisi heboh melihat drama kantor.
"Wah, aku melewatkan sesuatu yang seru," bisikku pada Maya.
"Mereka berantem sampai di basement loh. Jadi anak satu gedung yang lagi ada parkiran, terus satpam, pada ngerti semua. Hebat kan?!" kata Maya.
Aku tak menyangka separah itu. Tak terbayangkan jika aku ada di ruangan. Mungkin acara selanjutnya adalah saling jambak rambut Kania vs Sylvia. Ah, kampungan!
Pesanan sudah datang. Aneka makanan lezat terhidang di meja. Aroma manis tercium tatkala seporsi wafel tersaji di hadapan Dani.
Aku melirik Dani. Dia masih hafal menu favoritku, chicken in red. Dulu ketika di Dortmund, Dani sering memasak untukku. Chicken in red buatan Dani rasanya juara.
Pandangan Kami bersirobok. Dani mulai menggoda. Jarinya membentuk hati, ditujukan untukku. Aku tersenyum menunduk malu-malu. Aduh .., aku bahkan lupa jika baju yang kukenakan bukan putih abu-abu.
"Itu berdua, kalau masih saling sayang, ngaku aja," celetuk Dion, melihat isyarat saranghae di jari Dani.
Aku dan Dani diam, malas menanggapi. Biarkan para penonton bermain dengan pikiran mereka sendiri.
Penonton semakin berisik tatkala Dani mengambil makanan dari piringku. Kebiasaan Dani di Dortmund enggak bisa hilang kayaknya. Dani dan aku saling berbagi makanan. Ketika aku susah mengiris daging ayam, Dani memotongkannya untukku. Semua Kami lakukan dalam diam.
Kami berdua saling mengenal dengan baik. Kadang tak perlu banyak bicara, hanya pandangan mata, aku dapat menebak pikiran Dani, dan sebaliknya. I feel connected.
"Seneng deh liat bos Dani bisa ketawa lagi. Kesayangannya baru pulang dari Singapura. Kangen ya Bos? Eh tapi kok kita enggak dibagi oleh-oleh ya," goda Beck.
Astaga aku lupa. Oleh-oleh masih di mobil. Tadi pagi terlalu sibuk kerja.
"Maaf ... maaf, ada kok di mobil. Tadi ribet benahi sistem di ruang bos Dani. Nanti kalian pilih ya. Jangan lupa bilang makasih sama Steve juga," jawabku.
Sekali lagi mereka bersorak senang.
Ketika makan es krim, mereka kembali menggodaku dan Dani.
"Gila Coy, Kania disuapi Dani! Ah nekad nih Bos Dani. Istri orang tuh. Eh, biarin deh, toh Bergmann enggak liat," kata Dion lalu tertawa.
Dani tersenyum, tak membalas.
Aku tak tahu apa yang dilakukan teman satu divisi. Mereka kasak-kusuk. Beberapa di antaranya mondar-mandir sambil terkikik. Tiba-tiba terdengar alunan musik In Love with You milik Jacky Cheung dan Regine Velazques. Suara Beck menggema di ruang kafe, memanggil namaku dan Dani untuk berdansa.
Dani menatapku seperti minta persetujuan. Aku mengangguk. Kami pun melantai. Di akhir dansa, Dani memelukku, dan berbisik, "Ich liebe dich, Kania."
Aku tersenyum tanpa membalasnya.
Aku dan Dani menoleh tatkala mendengar bunyi gelas saling beradu.
"Cheers, Kita berhasil, Guys!" teriak Beck. Anak-anak satu divisi pun tertawa gembira. Aku dan Dani mengerutkan dahi tapi sudahlah, biarkan mereka bahagia.
***
Jam satu, aku dan Dani di ruang meeting menatap layar. Hari itu, aku diperkenalkan sebagai pengganti Dani, kepada semua rekan bisnis kuliner Dani di Jerman.
Dani tidak pernah cerita bahwa usaha kulinernya yang dulu bangkrut, bangkit kembali. Ku pikir usaha itu sudah kandas.
Selesai meeting dengan rekan bisnis, Dani memperkenalkanku pada seorang teman di Jerman yang membantu mengurus legalitas pengalihan aset.
Meeting selesai, layar gelap. Dani keluar ruangan tanpa bicara sepatah kata pun. Aku menyusulnya keluar. Ku lihat Dani sedang berpamitan pada semua staf divisi.
Aku masuk ke ruang kerjaku, menelepon Steve, cerita tentang Dani dan semua yang dilakukannya untukku. Aku tahu, Steve menangis di sana. Suaranya bergetar ketika bicara. Di akhir telepon, Steve berkata, "Dani only has you, Kania. Accompany him, be nice. I can wait."
"Thank's Honey. I love you," ucapku sambil menangis sebelum menutup telepon.
Dani sudah kembali ke ruangannya. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengajaknya ke suatu tempat. Terpaksa kulakukan sekarang karena aku tak pernah tahu takdir Dani setelah operasi nanti.
"Bos, selesai jam kantor ada waktu enggak?" tanyaku lembut.
Dani menatapku beberapa saat. Aku menunduk karena grogi.
"Buat Kania, selalu ada," jawab Dani.
"Ikut aku ya. Aku yang setir," kataku.
"Ok," jawab Dani.
***
Aku dan Dani pulang lebih awal. Pukul empat sore, jalanan ramai. Deretan mobil seperti berpawai, memaksaku lebih memerhatikan jalanan. Dani tidur di samping kursi kemudi. Selimut bergambar batman menutupi tubuhnya. Dengkuran halus Dani bersaing dengan denting piano.
Satu jam kemudian mobilku memasuki sebuah gerbang besi dengan ornamen peri bersayap. Beberapa meter dari pintu gerbang tersaji pemandangan bunga beraneka warna di bahu kanan dan kiri jalan.
Dani baru saja bangun ketika aku hendak memasuki gerbang kedua. Jendela mobil kuturunkan, untuk bicara dengan penjaga gerbang.
"A-5," kataku pada penjaga gerbang.
Palang pintu terbuka. Mobilku melaju melewati hamparan tanah yang tertutup rumput jepang. Terlihat indah, terawat, dan rapi.
"Tempat apa ini, Kania?" tanya Dani.
Aku tak ingin menjawab pertanyaan Dani sekarang. Mataku terus menatap ke depan. Tak lama kemudian mobilku memasuki halaman parkir. Dani masih terlihat bingung.
Aku segera turun, membuka pintu bagasi, mengambil seikat mawar putih segar. Hasil minta tolong sopir kantor untuk mampir ke pasar bunga sebelum kembali ke kantor, tadi siang.
Dani kembali menggandeng tanganku. Ia tak lagi bertanya karena sekarang jajaran batu nisan telah memberinya jawaban. Perasaanku mulai bercampur aduk. Di balik kacamata hitam, mata ini mulai berair.
Kakiku terhenti pada sebuah makam yang terawat dengan baik. Rumput hijau tumbuh rapi di atas tanahnya. Di dekat nisan, ada sebuah vas bunga. Seikat mawar putih kuletakkan di sana.
Dani menangis seketika membaca nama yang tertulis di atas nisan.
"Ini Ayah, Nak ...!"
Jeritan Dani terdengar memilukan. Ia terduduk di atas rumput hijau samping makam, menangis sesenggukan. Tangan Dani mengusap-usap rumput di atas makam.
"Maaf, Ayah tak pernah menggendongmu, Sayang," ratap Dani di sela tangisannya.
Kini tangan Dani mengusap nisan Jojo. Meraba tiap huruf dan tanggal yang tertera di sana. Menciumi batu nisan sambil menangis.
"Sabar Nak, sebentar lagi Ayah akan menyusulmu. Kita bisa bermain bersama, Kamu enggak sendirian lagi, Sayang," ucap Dani.
Hatiku tersayat mendengar setiap ucapan Dani. Aku hanya bisa duduk bersimpuh, melepas kacamata hitam lalu menangis sejadi-jadinya.
Dani mendekat, merengkuhku dalam pelukan, di bawah rintik gerimis sore.