21+
Bunyi ketukan kembali terdengar di pintu. Kutatap Om bule dengan pandangan memohon.
"Please open the door," pintaku pada Steve.
Alat pemindai butuh sidik jari Steve agar pintu terbuka. Steve mengangkat kedua tangannya yang masih terborgol. Bambang! Itu bisa nanti. Kalau kita lama buka pintunya, nanti dicurigai warga.
Namun akhirnya, Steve menurut. Ia menempelkan ibu jari ke pemindai. Aku segera membuka pintu untuk melihat siapa yang datang.
Dua orang petugas berseragam, berpatroli keliling kompleks dan mampir sebentar untuk melihat keadaan di rumah pasca lampu mati.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya salah seorang di antara mereka.
"Ya, tentu. Cuma mati lampu biasa kan?" tanyaku balik.
"Apa Pak Bergmann ada?" tanyanya lagi penuh selidik.
"Ada, sebentar ya," kataku sambil masuk ke dalam.
Steve menunjuk saku celananya, mengisyaratkanku untuk mengambil sesuatu.
"What?" tanyaku.
"The key. Aku lupa kalau ku simpan di saku celana," kata Steve sambil nyengir.
Bambang! Gitu kok ngomel ke aku. Dia yang lupa. Namun, aku tak sempat protes. Dua petugas keamanan masih menunggu di luar. Segera kulepas borgolnya agar Steve dapat menemui kedua petugas keamanan. Aku mengekor Steve.
Terjadi tanya jawab antara Steve dan petugas keamanan. Tak lama kemudian, Mereka berlalu.
Steve kembali ke dalam sambil nyengir, memandangku.
"I am sorry, Kania," katanya lembut.
"Ugh Bambang! Kamu yang lupa, aku yang dimarahin. Tadi itu aku letakkan di meja. Eh enggak taunya dipindah ke saku celana," kataku gemas. Jari-jariku mencubit perut Om bule.
Steve memelukku dan membujuk untuk meneruskan tur.
"What next?" tanyaku.
Bak anak kecil yang hobi pamer, Steve menunjukkan semua kecanggihan yang ada di rumah. Dengan menekan tombol, tirai jendela terangkat naik lalu kembali turun. Ada juga televisi layar datar yang muncul dari ujung dipan tempat tidur bergaya Victorian.
Aku mulai membayangkan berapa banyak kabel yang terpasang di bawah dipan.
"Honey, kasurnya aman enggak? Aku belum mau kesetrum. Bercinta di sini aman kan?" tanyaku polos.
Tawa Steve meledak. Satu tangan Steve melambai, mengajakku untuk melihat kabel dan semua hal berbau setrum yang telah dilengkapi pengaman.
"It safe, Honey," kata Om bule. Ia tersenyum lalu mengecup bibirku.
Walk in closet sudah pasti dipamerin. Di dalam sudah ada kostum perawat, kelinci nakal, dan satu stel baju olahraga pole dancing. Gila nih Om-om. Dia pikir bercinta itu kayak bikin cerpen apa ya? Pakai tema.
"Steve, why do we use a themes for make love? It just happened right?" tanyaku.
Aku jadi tertarik menguak apa yang ada di dalam kepala pria 38 tahun ini.
"Yes, you are right but I like to try something new so I don't get bored," jawab Om bule, berbisik di depan wajahku.
Aih gawat, kayaknya si Bambang kreatif banget. Bisa kebanting nih kalau aku enggak rajin baca atau cari referensi.
Mataku membesar, deretan dvd film original berjajar rapi. Beberapa di antaranya masih bersegel. Namun, dari semua itu, ada yang lebih mencengangkan. Koleksi film dewasa Steve jumlahnya lebih banyak.
"Kamu beli di mana, Honey?" tanyaku sambil tertawa.
"Nitip sopir kantor," jawab Steve dengan tawa berderai. Perlahan wajahnya memerah. Malu tuh kayaknya.
Meja stainless panjang di dapur, jangan dikira untuk alasan memasak. Big no! Si Bambang membayangkan aku terbaring di atasnya, lalu makanan ditata rapi di atas badan dan Bambang menikmatinya. Setelah kenyang makan lalu mengajakku bersenang-senang. Aduhai!
Tiang besi untuk olah raga pole dancing dan sebuah sofa duduk untuk menikmati atraksi. Shower di taman dekat kolam renang dan pernik lainnya yang membuat pelipisku berdenyut.
Desainnya bagus tapi alasan si pemilik rumah itu loh yang membuat orang menelan saliva. Saat itu kusadari, ada kebutuhan Om bule yang terabaikan selama Ia jadi duda.
Kuhampiri kulkas untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Kosong. Lalu kakiku berjalan menuju mini bar. Ah dapat sebotol anggur.
Steve tetap mengoceh tentang desain rumah, aku tak peduli. Biarlah Dia mengoceh, karena aku sedang sibuk berganti kostum pole dancing. Sesaat kukagumi pantulan di cermin.
'Perfect,' kataku dalam hati.
"Honey .., honey, where are you?!"
Rupanya Steve menyadari aku sudah tak ada di belakangnya. Steve masuk kamar dan melihatku.
"Damn! You so beautiful, Kania," bisik Steve.
"Apa kamar mandinya bisa digunakan?" desisku menggoda.
Steve mengangguk.
"Siapkan musiknya, Honey. Crazy, Julio Iglesias, please," kataku di depan Steve.
"O-ok," jawab Om bule tergagap.
Tak lama kemudian, musik mengalun, tubuhku meliuk-liuk di sebatang besi. Steve duduk, menikmati. Beberapa kali tangannya meraih gelas yang berisi anggur.
Di pertengahan lagu, Steve membuka dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas. Oh ok, aku ngerti maksudnya. Seperti di film, Om bule mau nyawer. Dengan genit, kudatangi Steve.
"Makasih Om," kataku manja, menerima uang saweran.
Steve tersenyum, aku terus menari, membuat sugar daddy Steve senang.
"You're so wild, Kania but I like it," bisik Steve. Aku tertawa manja.
Dengan satu tangan kuangkat gelas minuman. Aku meminumnya seteguk. Sisanya sengaja aku tumpahkan di tubuh Steve.
Tanpa menunggu lebih lama kuhajar Om bule.
Steve mengerang panjang disertai napas yang memburu. Tangan berbulu memelukku erat. Detak jantung, aroma maskulin parfum di kulitnya, ekspresi wajah yang kemerahan, oh semuanya, aku suka!
"You're incredibly beautiful, so lucky to have you. I never know your wild side. Hebat ya!" kata Steve, beberapa saat setelah napasnya stabil. Ia tertawa lalu menciumku.
"Welcome to my life, Honey. Terima kenyataan aku bukan anak manis. I am wild ya," jawabku tertawa.
Kami berdua tergelak.
"You're dangerous," kata Steve, menatapku dan tersenyum.
"Well, thanks. I am glad to hear that," jawabku. Aku tertawa dan melangkah ke shower.
Keluar dari shower, Steve sudah mendengkur.
Perlahan aku naik ke kasur agar Steve tak terbangun. Aku meringkuk si samping Steve. Tangan berbulu itu memeluk tubuhku. Tanpa membuka mata Om bule berbisik, "My everything," menciumi rambut, tengkuk, dan punggung lalu kembali mendengkur.
****